Rabu, 25 Mei 2011

PELAJARAN DARI TRAGEDI MEI 1998

PELAJARAN DARI TRAGEDI MEI 1998

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pelajaran-dari-tragedi-mei-1998/

16.05.2011 08:43

Pelajaran dari Tragedi Mei 1998
Penulis : Ester Indahyani Jusuf*

Tiga belas tahun lalu adalah saat yang amat pahit bagi bangsa Indonesia. Setelah Jakarta dihancurkan, kita dihadapkan dengan masalah lain yang tak kalah peliknya.
Politik adu domba antarkelompok masyarakat, juga rasa tidak aman dan ketakutan yang terus-menerus. Sekaligus kebingungan tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Mari kita amati kembali dengan tenang. Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 terjadi sekitar dua bulan setelah Sidang Umum MPR. Pengamanan di Jakarta saat itu lebih dari biasanya. Pemerintah melalui Mabes ABRI melakukan Operasi Mantap ABRI, yaitu pengamanan dan antisipasi penanggulangan situasi keamanan dalam negeri. Khusus untuk kota Jakarta dibentuk Operasi Mantap Jaya di bawah Pangdam Jaya.

Sebagai gambaran, jumlah pasukan yang dapat digunakan di lapangan saat itu adalah 90 SSK (Satuan Setingkat Kompi) atau sekitar 9.000 orang. Pasukan ini masih ditambah kekuatan imbangan (polda-polda) sebanyak 46.236 orang. Itu adalah jumlah pasukan yang amat besar untuk mengamankan Jakarta.

Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kita semua ternganga saat pasukan yang amat besar itu justru menghilang dari berbagai lokasi kerusuhan. Kalaupun mereka ada di beberapa wilayah, mereka tampak seperti membiarkan saja segala penyerangan terhadap penduduk sipil yang berlangsung di depan hidung mereka.

Di depan mata semua penduduk Jakarta, massa berseragam SMA atau berpakaian lusuh atau preman melakukan penyerangan. Mereka mempunyai pembagian tugas yang amat rapi: ada yang bertugas membakar ban mobil, berteriak memprovokasi massa dengan yel reformasi atau anti-China, membongkar rolling door, membakar kendaraan, bangunan, atau manusia.

Semua bergerak cepat dan jelas terkoordinasi. Usai melakukan penyerangan di satu titik mereka pindah ke titik lain. Begitu seterusnya sampai Jakarta benar-benar porak-poranda. Usai menjalankan operasinya, mereka serentak menghilang. Lalu kembali Jakarta “aman” dengan munculnya kembali pasukan keamanan lengkap di lapangan.

Penyerangan Tionghoa

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat di 80 titik lokasi ledakan di Jakarta mendapatkan fakta penting: Masyarakat setempat secara umum tidak mengenali para pelaku penyerangan di lokasi mereka. Mereka terkejut melihat massa dalam jumlah besar melakukan pembakaran dan penyerangan di mana-mana. Mereka khawatir karena terjadi penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa atau wilayah mereka.

Kehancuran paling parah secara umum terdapat di wilayah sentra ekonomi atau lokasi yang warganya tidak bersatu melakukan perlawanan. Di lokasi yang warganya bersatu secara umum selamat dari serangan.

Sebagai contoh, serangan yang ditujukan ke wilayah RW 08 Muara Karang yang mayoritas warganya adalah etnis Tionghoa justru membawa dampak manis bagi kehidupan warga selanjutnya. Ketua RW 08 Bapak Hauw Ming saat menyadari bahwa tidak ada harapan pertolongan atau pengamanan memutuskan menggerakkan semua warga bersatu melawan.

Warga yang ketakutan dan awalnya banyak tidak saling mengenal justru akhirnya bersatu dan merasakan persaudaraan yang sejati. Mereka semua selamat walaupun diserang berulang kali. Pelajaran amat berharga: tetangga atau komunitas kita harus menjadi saudara sejati kita.

Usai babak pertama Tragedi Mei 1998, kembali kita mendapat serangan kedua. Bentuknya agak berbeda. Distorsi informasi dan teror. Tujuannya, membuat korban dan masyarakat bungkam, kebingungan dan hidup dalam rasa takut.

Pertama, dengan isu-isu penyerangan atau balas dendam dari perusuh. Dilanjutkan dengan stigma buruk terhadap para korban. Beruntun komentar negatif terhadap etnis Tionghoa yang pada pokoknya menyatakan bahwa sudah sewajarnya etnis Tionghoa menjadi korban.

Teror ditebar terhadap para sukarelawan dan para pekerja sosial. Selain teror terhadap personal, peristiwa pembunuhan alm Ita Martadinata jelas membuat hampir semua orang memilih bungkam. Juga, terhadap siapa pun yang mau bicara tentang fakta Mei 1998. Berulang kali saya bertemu dengan orang-orang yang menjadi saksi penting, namun memilih bungkam.

Perubahan

Seiring dengan percaturan politik perebutan kue kekuasaan, bicara tentang Tragedi Mei pun seolah ditujukan untuk kepentingan politik menjatuhkan salah satu atau dua capres atau wakilnya. Sampai sekarang situasi sesungguhnya tetap sama. Proses hukum masih macet, belum cukup kekuatan untuk mendorongnya maju.

Saat ini tahun ke-13. Saya sungguh mensyukuri kebesaran Tuhan yang selalu hidup dalam sejarah dunia, termasuk Indonesia. Tiga belas tahun ternyata tidak menyurutkan semangat para sukarelawan, korban dan masyarakat. Harapan dan semangat untuk membuat perubahan ternyata masih berkembang di mana-mana. Terutama pada anak-anak dan generasi muda.

Kami bertemu dengan ribuan anak yang dengan tegas menyatakan tekad untuk menghargai sesama yang berbeda ras, etnis, atau agama.

Saya yakin akan tiba saatnya kebenaran dan keadilan berdiri tegak di Indonesia. Akan ada masa di mana kita semua bisa hidup tenteram tanpa rasa takut.
Apa yang dikerjakan arsitek jahat tragedi Mei 1998 bukan tidak dapat dilawan.

Setiap guru di kelas bisa mengajarkan pada semua muridnya untuk menghargai sesama, untuk menjadi manusia yang jujur dan berani. Ceritakan tentang Tragedi Mei 1998, tanpa perlu menunggu pemerintah menyetujui memasukkannya dalam kurikulum pendidikan nasional.

Tidak harus menjadi anggota parlemen untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Setiap ibu bisa bercerita pada anaknya, rekan sekerjanya, tetangga, atau pembantu rumah tangganya tentang pelajaran dari Tragedi Mei 1998. Setiap pemimpin umat punya ruang yang amat luas untuk mengajar umatnya bekerja bagi bangsa sebagai pertanggungjawaban iman. Semua orang bisa berbuat sesuatu, asalkan mau.

*Penulis adalah Ketua Pengurus Yayasan Solidaritas Nasional Bangsa.

0 reacties:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar