Minggu, 28 April 2013

Pancasila, Dasar Atau Pilar?



Pancasila, Dasar Atau Pilar?

BERDIKARIonline, Senin, 29 April 2013 | 0:34 WIB   

Lambang Pancasila
Lambang Pancasila
Tulisan Harry Tjan Silalahi berjudul “Sesat Pikir, Samakan Pancasila sebagai Pilar”, yang dimuat di Kompas tanggal 12 April 2013, mengeritik penyamaan Pancasila dengan pilar. Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara tidak sama dengan pilar.
Memang, sejak tiga tahun terakhir, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan sosialisasi “empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara”. Keempat pilar itu adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tulisan Harry Tjan itu menunai polemik. Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin, berusaha menangkis kritikan Harry Tjan itu. Menurutnya, penggunaan istilah “empat pilar” lebih kepada pertimbangan teknis komunikasi efektif. Lebih lanjut, ia mengatakan, istilah empat pilar itu justru akan meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara.

Perdebatan ini patut diapresiasi. Maklum, sejak Orde Baru mengkeramatkan Pancasila, perdebatan mengenai ideologi dan dasar negara nyaris tidak terjadi. Satu-satunya interpretasi yang berlaku adalah interpretasi orde baru. Padahal, di era Bung Karno, pendiskusian soal Pancasila cukup intensif.

Saya sendiri tidak setuju dengan penyamaan Pancasila sebagai dasar negara dengan sebagai salah satu pilar. Menurut saya, penyamaan Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar (UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), justru mereduksi esensi Pancasila sebagai dasar negara.

Untuk memahami makna Pancasila sebagai dasar negara, ada baiknya menyelami konteks dan esensi pidato tanggal 1 Juni 1945. Untuk mengerti konteksnya, menarik menyimak penuturan Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Setelah tentara sekutu mendarat di Okinawa, posisi Jepang mulai terjepit. Lantaran itu, pada tanggal 29 April 1945, Jepang menyetujui proposal pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab BPUPKI saat itu: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Tiga hari perdebatan tidak menemukan jawabannya. Barulah, pada tanggal 1 Juni 1945, yakni saat Bung Karno berpidato, jawabannya diketemukan.

Menurut saya, konteks pidato 1 Juni adalah adanya kebutuhan menyiapkan dasar negara untuk Indonesia Merdeka. “Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI) untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka,” kata Bung Karno.

Lantas, dasar negara yang seperti apa yang diminta? Bung Karno menjawab: “Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Artinya, dengan melihat konteks pidato 1 Juni 1945, saya menyimpulkan bahwa esensi Pancasila memang dasar negara. Menurut Bung Karno, hampir semua bangsa merdeka di dunia, seperti Rusia dan Tiongkok, itu punya “Weltanschauung” atau pandangan hidup. Dan di atas weltanschauung itulah dibangun Indonesia Merdeka.

Artinya, sebelum Indonesia ini mewujud menjadi negara merdeka, weltanschauung-nya sudah harus ada. Dan memang, sebelum proklamasi Kemerdekaan, penggodokan dasar negara ini sudah tuntas. Tanggal 22 Mei 1945, panitia kecil atau panitia 9 sudah menyelesaikan dasar negara itu dalam bentuk Piagam Jakarta. Dan UUD 1945, yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, mencantumkan Pancasila di mukadimah atau pembukaannya.

Tetapi, sebuah Weltanschauung haruslah berpijak pada realitas lingkungan, pengetahuan, prinsip hidup, dan kepribadian yang sudah lama hidup dan dianut oleh masyarakat bersangkutan. Dengan demikian, weltanschauung tidak bisa diimpor atau ditiru begitu saja dari luar.

Memang, seperti dijelaskan Prof Driyarkara SJ, kalau filsafat itu ranahnya di lingkungan ilmu pengetahuan, sedangkan weltanschauung adanya di lingkungan kehidupan. Maka, tidak salah kalau Bung Karno mengatakan, “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh Bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada Bangsa Indonesia kembali.”

Artinya, lima prinsip atau azas dalam Pancasila, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/Perikemanusiaan, Mufakat/Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan, pandangan kehidupan yang sudah ada di kalangan bangsa Indonesia sejak lama.

Bagi saya, Pancasila sebagai dasar negara maknanya adalah bernegara berdasarkan Pancasila. Manusia-manusia Indonesia “me-negara” berdasarkan ‘pandangan hidup’ Pancasila. Penyelenggara negara menjalankan praktek bernegara juga harus ‘berpandangan hidup’ kepada Pancasila.

Dalam konteks itu, misalnya, bagaimana supaya kesejahteraan sosial sebagai salah satu sila dari Pancasila bisa terwujud, maka perlu dibuatkan konstitusi/UUD yang mengatur kewajiban dan syarat-syarat mencapai tujuan itu. Atau, contoh lainnya, bagaimana supaya Kebangsaan Indonesia itu kuat, maka realisasinya adalah bentuk “Negara Kesatuan” dan “Bhineka Tunggal Ika”.

Makanya, saya juga berpandangan, cara pandang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar sama saja dengan menyejajarkan Pancasila dengan tiga pilar lainnya (UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika). Cara pandang ini jelas mendegradasi Pancasila sebagai dasar negara atau weltanschauung.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa diubah lagi. Beda halnya dengan konstitusi, UUD 1945, bisa diubah sesuai dengan tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan hidup serta realitas perjuangan rakyat Indonesia. Tetapi, kalaupun ada penyusunan ulang konstitusi, konstitusi baru itu tetap harus sejalan dengan Pancasila.

Risal Kurnia, kontributor Berdikari Online

Sumber Artikel:
 http://www.berdikarionline.com/opini/20130429/pancasila-dasar-atau-pilar.html#ixzz2RjJO7Vi3 
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Kamis, 25 April 2013

Bung Karno: Pancasila Adalah Kiri!


Bung Karno: Pancasila Adalah Kiri!

BERDIKARI.Online,  Selasa, 23 April 2013 | 18:11 WIB   

Bung Karno dan Haji Agus Salim
Bung Karno dan Haji Agus Salim
Setelah peristiwa G.30/S, orang-orang kiri mulai dikejar-kejar. Banyak yang ditangkap, dipenjara tanpa pengadilan, dan dibunuh. Segala yang berbau kiri mulai dilarang.
Saat itu, November 1965, pamor kekuasaan Bung Karno sudah menurun. Beberapa kali himbauannya, agar semua kelompok menahan diri dan tidak terprovokasi, tidak dihiraukan. “Ucapan di mulut katanya taat, tetapi di dalam perbuatannya saya merasa oleh mereka itu dikentukin sama sekali,” keluhnya.
Ironisnya, mereka yang anti-kiri ini mengklaim diri sebagai “penyelamat Pancasila”. Revolusi Indonesia, yang susah payah diperjuangkan sejak Agustus 1945, makin bergeser ke kanan. Pancasila pun hendak diselewengkan menjadi kanan.
Tanggal 6 November 1965, saat sidang paripurna Kabinet Dwikora, di Istana Bogor, Bung Karno marah besar atas upaya menyelewengkan Pancasila menjadi kanan itu. Dengan tegas Bung Karno menyatakan, “Pancasila adalah Kiri.”
Tentu ada alasannya Bung Karno menyebut Pancasila itu kiri. Namun, sebelum kita membahas hal itu, kita periksa dulu defenisi kiri menurut Bung Karno.
Bagi Bung Karno, kiri tidak hanya anti-imperialisme. Tapi, katanya, kiri itu adalah anti segala bentuk eksploitasi (uit-buiting). Menurutnya, kiri adalah menghendaki suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada lagi exploitation de I’homme par I’homme—penghisapan manusia atas manusia.
Pendek kata, Bung Karno mendefenisikan kiri sebagai sikap politik yang menentang segala bentuk penghisapan dan penindasan. Politik kiri menentang penghisapan manusia atas manusia dan penghisapan bangsa atas bangsa. Dengan demikian, politik kiri mestilah anti-kapitalisme, anti-otoritarianisme, dan anti-imperialisme.
Lantas, apa alasannya bung Karno menyebut Pancasila itu kiri?
Bung Karno mengatakan, unsur utama Pancasila adalah keadilan sosial. Selain itu, Pancasila juga anti-kapitalisme. Pancasila juga menentang exploitation de nation par nation. “Karena itulah Pancasila kiri,” tegas Bung Karno.
Sekarang, kita mengarah ke pertanyaan lebih lanjut: benarkan Pancasila menentang kapitalisme?
Mari kita periksa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila.
Dalam pidato 1 Juni 1945 itu, Bung Karno mengajukan 5 prinsip, yakni (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial; dan (5) Ketuhanan yang Maha Esa.
Menurut Bung Karno, lima prinsip itu—yang kemudian dinamainya Panca Sila—bisa diperas menjadi tiga prinsip atau tiga sila, yaitu sosio-nasionalisme (penggabungan dari kebangsaan dan internasionalisme), sosio-demokrasi (penggabungan dari demokrasi dengan kesejahteraan sosial), dan Ketuhanan.
Inilah yang patut diulas. Dalam artikelnya berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi,” yang dimuat di Fikiran Ra’jat tahun 1932, Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.
Sosio-nasionalisme, menurut Bung Karno, akan menjadi menghilangkan kepincangan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara. Karena itu, Bung Karno menegaskan, sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) yang menjadi penyebab kepincangan di dalam masyarakat itu.
Bung Karno sadar, Indonesia merdeka bukanlah jaminan rakyat Indonesia akan terbebas dari eksploitasi. Terlebih, jika Indonesia sudah merdeka, masih ada kelompok “kapitalis bangsa sendiri” dan kaum ningrat yang berkeinginan menjadi “penindas baru”.
Makanya, ia selalu berpesan, “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Karena itu, Bung Karno selalu mengingatkan bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Frase “jembatan emas” ini menyiratkan kemerdekaan hanyalah “fase prasyarat” atau “tahapan” menuju tujuan yang lebih tinggi.
Proses pemerdekaan hanyalah upaya penciptaan gedung bernama “Indonesia Merdeka”, yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan dari eksternal, yakni kolonialisme, tetapi di dalamnya ada perjuangan menghapuskan imperialisme dan kapitalisme. Sebab, syarat memujudkan masyarakat adil dan makmur adalah penghapusan imperialisme dan kapitalisme.
Supaya perjuangan menghapus kapitalisme dan imperialisme di dalam Indonesia merdeka itu bisa berjalan sukses, Bung Karno mengharuskan agar kekuasaan politik (politieke macht) ada di tangan kaum tertindas, yakni kaum buruh dan marhaen.
Nah, inilah esensi sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi secara harfiah berarti demokrasi massa-rakyat. Esensi lain dari sosio-demokrasi adalah pengawinan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Atau, sederhananya, sosio-demokrasi berbicara soal kekuasaan ekonomi-politik di tangan rakyat.
Sosio-demokrasi ini adalah antitesa dari demokrasi borjuis di barat, yang hanya memberikan kesetaraan di bidang politik tetapi memelihara ketidaksetaraan di bidang ekonomi. Akibatnya, kendati secara politik orang diakui sama, tetapi secara ekonomi mereka terbelah antara pemilik alat produksi dan klas pekerja. Pada prakteknya, menurut Soekarno, karena alat produksi di kuasai oleh kaum borjus, maka kekuasaan politik atau parlemen pun dikuasai oleh kaum borjuis.
Konsep sosio-demokrasi mengisyaratkan dua hal pokok: pertama, kekuasaan politik di tangan rakyat. Kedua, demokrasi ekonomi atau pemilikan alat produksi di tangan rakyat. Dengan demikian, sosio-demokrasi sangat anti-kapitalisme.
Dengan demikian, Pancasila—yang didalamnya tertancap kuat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi—memang sangat anti-kapitalisme dan segala bentuk ekspolitasi lainnya yang merendahkan nilai-nilai perikemanusiaan.
Selain itu, dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “jika yang lima saya peras menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong-Royong.”
Menurutnya, negara Indonesia yang didirikan haruslah negara yang gotong-royong, yaitu pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua, keringat semua buat semua.
Artinya jelas: semua bekerja bersama-sama, membanting tulang bersama-sama, dan hasilnya untuk bersama-sama. Itu kan hampir sama dengan prinsip sosialisme Indonesia: sama rasa, sama rata. Artinya jelas: Pancasila itu anti segala bentuk penghisapan dan penindasan. YaPancasila memang kiri!
Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara atau “Weltanschauung” (pandangan hidup) bermakna memastikan perjalanan bangsa Indonesia tetap di jalur kiri, yakni anti-penghisapan dan penindasan. Proses penyelenggaraan negara harus berdasarkan Pancasila. Artinya, semua produk kebijakan negara harus bersifat anti-eksploitasi dan penghisapan.
Artinya, kalau ada organisasi atau lembaga negara yang melarang pemikiran atau organisasi kiri menggunakan Pancasila, berarti mereka telah menyelewengkan Pancasila yang dipidatokan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
Timur SubangunKontributor Berdikari Online


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20130423/bung-karno-pancasila-adalah-kiri.html#ixzz2RWZILJ1f
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Agama, Politik dan Pembebasan


Agama, Politik dan Pembebasan

Iqra Anugrahmahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
AGAMA, dalam artiannya yang mencerahkan, dapat menjadi sumber kemajuan dan pembebasan. Tidak percaya? Mari kita membaca kembali sebuah cerita yang jarang didengar. Kali ini dari negeri sakura, sebuah cerita dari seorang novelis Jepang, Shusaku Endo, dalam novelnya, Hening (Silence atau Chinmoku dalam bahasa Jepang).
Abad ke-17. Alkisah, seorang Pastor Jesuit muda bernama Sebastião Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri nun Jauh di sana: Zippangu atawa Nippon, begitu orang Barat di masa itu menyebutnya. Rodrigues dikirim bukan untuk misi sembarangan: santer terdengar kabar bahwa mentornya, Frater Cristóvão Ferreira, seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira bahkan telah kawin dengan seorang perempuan Jepang, menulis traktat anti-Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang “Jepang”: Sawano Chuan.
Dengan tekad bulat, Pastor Rodrigues bertolak ke Jepang, tidak hanya untuk menyelidiki kasus mentornya Ferreira, melainkan juga untuk sebuah misi yang lebih penting: memberi layanan dan dukungan spiritual bagi para Kakure Kirishitan, umat Katolik Jepang yang terpaksa beribadah sembunyi-sembunyi demi menghindari persekusi oleh pemerintah Jepang di zaman Edo yang represif, terutama setelah diberangusnya pemberontakan Shimabara. Pemberontakan Shimabara yang sering dianggap sebagai pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah Shogun, sejatinya merupakan ekspresi perlawanan para petani Jepang melawan negara yang semakin absolutis dan represif. Katolikisme, pada masa itu, dianggap berpihak kepada orang-orang kecil dan karenanya memberikan harapan bagi para petani miskin Jepang – yang kemudian banyak menjadi penganut Katolik.
Singkat cerita, Rodrigues berhasil masuk ke Jepang, menyapa para petani miskin dan umat Katolik yang tertindas, hingga kemudian ia tertangkap oleh pemerintah Shogun. Di saat itu pulalah ia bertemu Ferreira. Rodrigues menolak untuk murtad, bahkan sudah bersiap diri untuk disiksa, hingga kemudian ia dihadapkan pada suatu dilema keimanan yang dahsyat: yang disiksa bukanlah dirinya, melainkan para pengikutnya, dan para algojo pemerintah Shogun hanya akan berhenti menyiksa petani Katolik tersebut jika dan hanya jika Rodrigues bersedia mencampakkan iman Katoliknya: dengan kata lain, murtad.
Di tengah-tengah pergulatan batin Rodrigues, Ferreira mencoba meyakinkannya, rupa-rupanya itu yang dilakukan Ferreira bertahun-tahun yang lalu: ia akhirnya murtad karena tidak tahan menyaksikan penderitaan umatnya. Tapi Ferreira ternyata memiki alasannya sendiri. Katanya, ‘Kristus pastilah akan murtad untuk menyelamatkan mereka (para petani itu), bahkan jika itu berarti menyerahkan apa-apa yang telah Ia perjuangkan.’
Setengah dipaksa, tatkala Rodrigues akan menginjak fumie, pahatan bergambar Yesus, dalam ritual untuk menunjukkan apostasinya, mendadak dia mendengar figur Yesus dalam fumie tersebut berbicara!
‘Injak! Injaklah! Aku lebih tahu dari siapapun tentang rasa sakit di kakimu. Injaklah! Untuk diinjak-injak oleh umat manusialah maka Aku terlahir di dunia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul Salib-Ku!’ (hal. 271).
Rodrigues akhirnya menginjak fumie itu dan secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Apostasi Rodrigues menjadi simbol pengejawantahan tertinggi dari keimanan: keberpihakan dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas. Di novel tersebut, digambarkan bahwa Yang Transendental ikut memanggul penderitaan manusia.
Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.
Tak heran jika novel tersebut mengundang kontroversi
Agar tidak terlalu tegang, mari kita kembali menengok masa kini. Kali ini kita melompat ke tradisi Islam. Setidaknya akhir-akhir ini ada tiga peristiwa yang membuat orang kembali bertanya-tanya tentang peranan Islam dalam masyarakat modern: aksi kontroversial grup feminis Femen, kasus pengeboman Boston, dan kondisi diskursus keilmuan dan politik Islam di tanah air.
Dengan alasan solidaritas terhadap salah satu aktivis Femen asal Tunisia, Amina Tyler, yang mengalami persekusi setelah melakukan aksi topless di internet, berbagai aktivis Femen di berbagai belahan dunia melakukan aksi topless Jihad, berpose setengah bugil sembari menuliskan pesan-pesan yang menyamakan Islam dan tradisi keagamaan pada umumnya sebagai kemunduran peradaban. Mereka lupa dan alpa, bahwa aksi yang mereka anggap membela hak-hak perempuan itu justru semakin meneguhkan penggambaran rasis dan kolonialis atas para perempuan di komunitas Muslim: seakan-akan karena terlalu ‘lemah’ dan ‘tertindas,’ dikungkung oleh ‘tradisi’ dan ‘hijab’ mereka (tentunya dalam artiannya yang peyoratif),  para perempuan Muslim harus ‘dibebaskan’ oleh aktivis Femen – atau dengan kata lain para aktivis perempuan dari negeri Barat.
Lain lagi halnya dengan kasus pengeboman di kota Boston, Amerika Serikat, yang dilakukan oleh Tsarnaev Bersaudara, Dzhokhar dan Tamerlan, yang kebetulan berlatar belakang Muslim Chechnya. Di masa berkabung ini, berbagai komunitas Muslim di Amerika Serikat dan belahan dunia lain menyampaikan pesan simpati dan belasungkawa atas penderitaan para korban dan mengutuk tindakan pengeboman. Banyak orang cemas bahwa Islam akan kembali diasosikan dengan terorisme dan kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain: sebagian besar umat Muslim adalah manusia biasa, yang memiliki aspirasi yang sama dengan warga dunia lain.
Di tanah air, para politisi, aktivis dan intelektual Islam sibuk berpolitik dan berdiskusi. Sebagian mengklaim memperjuangkan keadilan dan kemakmuran. Sebagian lain sibuk mengaku memperjuangkan Islam yang ‘pluralis’ dan ‘toleran.’ Semua atas panji-panji agama. Jangan-jangan mereka lupa dan alpa bahwa apa-apa yang mereka klaim tersebut bukanlah yang dibutuhkan oleh umat yang masih tertindas dan tereksploitasi.
Tentu saja, kritik ini tidak mengurangi rasa hormat saya terhadap gerakan Feminis, rasa belasungkawa dan simpati saya terhadap korban pengeboman Boston, dan apresiasi saya terhadap warisan khazanah keilmuan dari tradisi Islam di Indonesia.
Narasi ini sekedar menunjukkan bahwa kenyataan tidaklah tunggal, melainkan penuh dengan kompleksitas. Rangkaian peristiwa ini juga menunjukkan bahwa ketidaktahuan dan ketidakpedulian ada di Barat maupun di Timur.
Karenanya, kita perlu menengok sejarah. Kita bisa saja mengasosiasikan KeKristenan dengan kolonialisme, Islam dengan terorisme, Buddhisme dan Konfusianisme dengan anti-modernitas, Barat dengan sekularisme dan lain sebagainya. Adalah lebih mudah untuk melakukan hal demikian. Namun, sejarah menolak tafsir tunggal. Sebaliknya, sejarah berkata lain. Tiap-tiap masyarakat dan peradaban memiliki dinamika dan khazanahnya sendiri yang perlu kita pahami.
Mari kita kembali ke ceritanya Endo. Dari Jepang, kita bertolak ke Amerika Latin.
Namanya Gustavo Gutiérrez, seorang pendeta Katolik ordo Dominikan asal Peru. Ia bukan pendeta biasa: refleksinya atas ketidakadilan dan penindasan atas kaum papa di negerinya dan Amerika Latin membuatnya tergerak. Pada tahun 1971, gebrakan pemikirannya diterbitkan: sebuah buku berjudul Teologi Pembebasan (A Theology of Liberation). Segera saja, Gutiérrez menjadi lokomotif ide-ide pembebasan dalam tubuh Gereja Katolik, baik di Peru maupun banyak tempat lain. Uskup Óscar Romero asal El Salvador yang menjadi martir melawan rejim otoriter di negerinya juga terinspirasi oleh ide-ide teologi pembebasan.
Dalam bukunya, Gutiérrez berujar, ‘teologi pembebasan mencoba merefleksikan pengalaman dan arti keimanan berdasarkan komitmen untuk memberantas ketidakadilan dan membangun masyarakat yang baru…Pembebasan dari setiap bentuk penindasan, kemungkinan akan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat…yang dapat diwujudkan melalui perjuangan ini’ (hal,. 307)
Dari Amerika Latin, kita beranjak ke Afrika Selatan. Kali ini ide-ide pembebasan dari tradisi agama menulari Farid Esack, seorang intelektual dan aktivis Muslim kenamaan dari Cape Town. Bekal keilmuan yang didapat dari pendalamannya atas tradisi agama dipadukannya dengan kenyataan obyektif di negerinya: rejim apartheid yang otoriter dan rasis itu berkuasa dan karenanya rakyat Afrika Selatan tertindas. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melawan. Selain tergabung dalam organisasi anti-apartheid Front Persatuan Demokratik (United Democratic Front) dan bekerja sama dengan Nelson Mandela, ia juga menulis argumen teologis dan religius tentang pembebasan dalam bukunya, Qur’an, Pembebasan dan Pluralisme (Qur’an, Liberation and Pluralism).
Iya, rupa-rupanya, agama dalam artiannya yang mencerahkan dapat menjadi sumber inspirasi politik pembebasan. Memang betul, agama bukan tanpa masalah, ada tendensi-tendensi konservatif dan reaksioner dalam beberapa bentuk penafsiran agama. Bahkan, sesungguhnya ide-ide apapun yang membawa janji-janji pencerahan dan emansipasi bisa terjebak dalam kemandekan dan dogmatisme. Dalam tradisi agama, kita menemukan bentuk-bentuk dogmatisme tersebut dalam praktek-praktek keagamaan ala abad pertengahan: mulai dari hasrat kekuasaan berbalut dalil teokratisme, pengerdilan makna agama jadi soal benar-salah dan boleh-tidak, hingga diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas dan perempuan.
Bung Karno menyebut kecenderungan ini sebagai ‘kehilangan Api Islam.’ Kita tidak mendapat apinya, hanya abunya saja. Namun, bukan berarti kecenderungan tersebut menihilkan potensi emansipatoris dan egalitarian dari agama. Tentu saja, potensi tersebut hanya akan hadir dalam penafsiran yang progresif yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial. Kepeloporan Sarekat Islam dalam pergerakan dan perjuangan pembebasan nasional, renaisans dunia Arab di era pasca-kolonial, sumbangan berbagai tradisi agama terhadap ilmu pengetahuan, hingga bentuk-bentuk penafsiran keagamaan yang kritis terhadap eksploitasi adalah bukti bahwa tradisi progresif itu ada dan layak dilestarikan.
Tidak heran jikalau Tan Malaka dalam pidatonya yang berjudul ‘Komunisme dan Pan-Islamisme’ pada Kongres Komunis Internasional yang Ke-empat pada 12 November 1922, menyerukan kesatuan tujuan dan perlunya menggalang kerjasama antara kaum Nasionalis, kaum Muslim, dan kaum Kiri.***
Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.