Senin, 27 Mei 2013

Repdem Galang Petisi Tolak Pemakzulan Jokowi

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/05/repdem-galang-petisi-tolak-pemakzulan.html

Repdem Galang Petisi Tolak Pemakzulan Jokowi

Jakarta, GATRAnews - Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) menegaskan bahwa mengajukan hak interpeleasi memang hak politik wakil rakyat di DKI Jakarta. Namun, menggunakan hak ini untuk menghadang program pro rakyat, seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), merupakan upaya semena-mena.
"Hak interpelasi, hak politik anggota legislatif. Namun penggunaan untuk menghadang program pro rakyat pemerintah provinsi DKI Jakarta, seperti KJS, adalah tindakan semena-mena yang bertentangan dengan kepentingan rakyat Jakarta," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Repdem, Masinton Pasaribu, di Jakarta, Senin (27/5).

Menurutnya, mengajukan hak interpelasi atas program KJS, jelas bukan untuk membantu rakyat kecil memperoleh akses perawatan di rumah sakit. Pasalnya, praktek komersialisasi kesehatan oleh rumah sakit selama ini, mengakibatkan rakyat kecil yang sedang membutuhkan perawatan kesehatan di rumah sakit tidak terlayani.

Dengan adanya program KJS, maka sebagian rakyat kecil warga Jakarta yang memiliki KJS dapat memperoleh pelayanan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.

Seharusnya, tandas Masinton, yang dilakukan DPRD DKI Jakarta, adalah menghapuskan praktek komersialisasi rumah sakit terhadap pasien miskin. Menurutnya, tindakan konyol anggota DPRD yang mengajukan hak interpelasi tentang KJS merupakan upaya melanggengkan praktek komersialisasi kesehatan yang mengabaikan perawatan warga miskin.

Adapun anggota DPRD DKI Jakarta yang membubuhkan tanda tangan setuju mengajukan hak interpelasi mengancam akan mencopot Jokowi karena dianggap kurang mampu menuntaskan masalah kekisruhan sistem pembayaran KJS, yakni anggota Fraksi Demokrat, PPP, Hanura, PDS, PAN, PKB, dan Golkar.

Walaupun koalisi fraksi partai-partai penentang program pro rakyat lebih banyak jumlahnya di DPRD DKI Jakarta, namun kekuatan rakyat Jakarta akan berada di garda terdepan melawan koalisi beberapa partai-partai politik yang menghadang program pro rakyat gubernur DKI Jakarta, KJS.

Untuk itu, Repdem tengah menggalang Petisi warga Jakarta menolak impeachment Gubernur Joko Widodo (Jokowi) oleh DPRD DKI Jakarta. Petisi Warga Jakarta adalah wujud partisipasi rakyat menentang ketidakadilan yang sedang dipertontonkan beberapa politisi anti rakyat di DPRD DKI Jakarta. (IS)

Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!

UNTUK MENYONGSONG HARI ULTAH LAHIRNYA PANCASILA DAN BUNG KARNO TAHUN 2013 "INDONESIA BERJUANG" AKAN MENAYANGKAN ARTIKEL-ARTIKEL BERKAITANNYA (3) 

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2011/07/soekarno-bukan-pembelah-dan-ajaran.html


Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!


BERDIKARI ONLINE, Jumat, 29 Juli 2011 | 6:19 WIB

Opini

Oleh : Rudi Hartono

Bung Karno Pidato Di Hadapan Massa Rakyat 

Sebuah tanggapan terhadap tulisan Max Lane, “Soekarno: Pemersatu Atau Pembelah?”
Max Lane, seorang indonesianis dari University of Sydney, Australia, menulis sangat baik tentang Bung Karno dan gagasan-gagasan politiknya. Salah satu tulisannya yang terbaru diberi judul “Soekarno: Pemersatu Atau Pembelah.” 
Artikel itu membongkar satu keyakinan umum orang-orang Indonesia dan sebagian penulis dari luar:Soekarno sebagai tokoh pemersatu. Ternyata, setelah menyelami tulisan Bung Karno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Max Lane menemukan bahwa Bung Karno juga adalah pembelah.
Selain itu, jika anda tuntas membaca artikel itu, maka pesan utama yang hendak disampaikannya hanya satu hal: nasionalisme sebagai ideologi perlawanan sudah tidak relevan. Alasannya, nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa untuk satu kepentingan yang sama, sedangkan fakta menunjukkan bahwa jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama: Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya. 
Saya tidak setuju dengan kesimpulan itu. Lagi pula, tanpa sebuah elaborasi yang memadai, Max Lane tiba-tiba mengajak kita untuk sampai pada kesimpulan yang masih memerlukan perdebatan panjang. 

‘Membelah Demi Persatuan?’

Salah satu rujukan Max Lane dalam membangun argumentasinya adalah tulisan Bung Karno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Menurutnya, orang yang menganggap tulisan itu mengusung persatuan adalah orang yang berfikiran dangkal dan menyesatkan.
Sebaliknya, bagi Max Lane, tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan. Max menyebut Bung Karno Sukarno ‘membelah demi sebuah persatuan’. Sebuah kalimat yang kontradiktif.
Argumentasi pokok Max Lane, kalau boleh saya sederhanakan, adalah bahwa tulisan Bung Karno itu menuntut setiap golongan (nasionalis, islamis, dan Marxist) untuk memilih: bersatu atau tidak. Hanya saja, lanjut Max, landasan untuk bersatu itu bukan hanya Indonesia Merdeka, tetapi analisa terhadap dan sikap anti-kapitalis.
Artinya: Soekarno mengajak setiap golongan nasionalis, islamis, dan Marxist untuk bersatu atas dasar Indonesia merdeka dan sekaligus anti-kapitalis. 
Di sinilah letak masalahnya: Max Lane terkesan memaksakan bahwa basis persatuan yang dikehendaki Bung Karno adalah persatuan untuk Indonesia merdeka dan sekaligus anti-kapitalisme (asing dan bangsa sendiri).
Ini gampang dijelaskan secara teoritis, tetapi sulit diterapkan dalam aplikasi strategi politiknya. Soekarno berseru untuk persatuan demi pelipatgandaan kekuatan melawan kolonialisme, sedangkan kecenderungan kesimpulan Max adalah politik mengisolasi perjuangan nasional menjadi segelintir “anti-kapitalis”.
Pertanyaannya: Apa mungkin mencapai Indonesia merdeka dengan mengandalkan persatuan segelintir orang, dalam hal ini kalangan anti-kapitalis ansich, untuk melawan musuh dari luar (kolonialis) dan sekaligus musuh dari dalam (feodalisme dan kapitalisme)?

Beberapa Ketidaksetujuan

Menurut saya, ada beberapa kekeliruan mendasar yang dilakukan Max Lane dalam tulisannya.
Pertama, penggunaan kata “pembelah” kurang tepat, sebab istilah itu hampir dekat dengan kata “pecah-belah”, sebuah politik yang dipergunakan kolonialisme untuk menancapkan kukunya selama ratusan tahun di Indonesia.
Kedua, Soekarno dalam tulisan itu memang menganjurkan pemilahan, menyuruh setiap golongan memilih, tetapi pilihannya adalah: bersatu atau terpecah-belah. Di sini, Soekarno mengajak ketiga kekuatan untuk bersatu mencapai Indonesia merdeka. Jelas sekali, sebagaimana juga dalam tulisannya lainnya, Soekarno selalu menekankan perjuangan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka. 
Ketiga, Max mengabaikan konteks situasi saat lahirnya tulisan itu. 

Terkait konteks situasi itu, ada beberapa hal yang patut dicatat sebelum kelahiran kelahiran tulisan Bung Karno itu:
Pada jaman itu, di hampir seluruh Asia termasuk Indonesia, tiga kekuatan itu (nasionalis, islamis, dan marxis) tampil menonjol sebagai azas pergerakan melawan kolonialisme. 
Bung Karno sendiri menulis: 
    “….tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha-besar dan maha-kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya..”
Tiga kekuatan itu sama-sama dimulutnya anti-kolonialisme, tetapi, pada lapangan politik, ketiganya sulit sekali bersatu. Satu contoh paling maju adalah pembentukan konsentrasi radikal 1918 guna melawan Volksraad. Sekalipun berhasil menyatukan berbagai spectrum politik nasional, termasuk yang moderat sekalipun, tetapi persatuan ini tidak bertahan lama.
Kemudian, Bung Karno juga menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri keretakan dan saling serang di kalangan pergerakan pembebasan nasional itu sendiri. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam (SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan. Para pemimpin sayap kanan (SI putih) telah berhasil memaksa keluar pengikut-pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.

Pemuda Bung Karno juga menyaksikan bagaimana gurunya, Tjokroaminoto, diserang secara pribadi oleh Haji Misbach, tokoh haji merah yang berfikiran radikal dan anti-kolonial. Dalam kongres PKI itu, pemuda Bung Karno berdiri dan meminta Haji Misbach untuk meminta maaf.

Penekanan Pada Perjuangan Nasional

Pada bagian lainnya tulisannya, Max juga menulis begini: “dengan menyatakan bahwa Indonesia Merdeka adalah prioritas tidak ada pelunturan sedikit pun dengan tekanannya pada diteruskannya propaganda anti-kapitalis.”
Secara sepintas lalu, tidak ada masalah dengan argumen itu. Tapi, ketika diterjunkan ke dalam strategi politik, baik saat itu maupun saat ini, akan tetap muncul masalah; bisakah kita mencapai Indonesia merdeka dan sekaligus merobohkan kapitalisme? Bisakah itu berjalan secara sekaligus?
Soekarno, dalam tulisan “Kapitalisme Bangsa Sendiri”—yang juga dikutip separuhnya saja oleh Max Lane—berkata: 
    “Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional.”
Jadi, dalam pemikiran Soekarno, sekalipun ia konsisten anti-kapitalis, tetapi tetap ada ‘penekanan’ terhadap perjuangan nasional. Ini adalah persoalan strategi politik, yaitu bagaimana menggabungkan kekuatan nasional yang anti-penjajahan untuk selekas-lekasnya mencapai Indonesia merdeka.
Kenapa mendahulukan perjuangan nasional? Soekarno punya analisa menarik untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Dalam tulisan “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, Soekarno menceritakan mengapa perjuangan kelas cocok untuk eropa saat itu, tetapi tidak cocok untuk negara jajahan seperti Indonesia.

Kata Soekarno, dua golongan yang bertentangan di eropa, yaitu pemodal versus buruh, berasal dari dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum buruh dan pemodal berasal dari satu natie. “Karena itulah maka disesuatu negeri yang merdeka antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, –perjuangan klas yang melulu perjuangan klas,” kata Soekarno.
Tetapi, di negara jajahan seperti Indonesia saat itu, menurut Bung Karno, yang “menang” dan yang “kalah”, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie , berlainan kebangsaan. Antithese didalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, –samenvallen atau coÑ—nsederen dengan antithese bangsa. Antithese didalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.”
Di sini, Soekarno menjelaskan perjuangan nasional sebagai prasyarat atau tahapan menuju perjuangan selanjutnya. Penuntasan perjuangan nasional itu mutlak diperlukan sebagai basis atau material untuk perjuangan selanjutnya.

Nasionalisme Tidak Relevan?
Di bagian akhir tulisannya Max Lane menulis begini: “nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa untuk satu kepentingan yang sama, sedangkan fakta menunjukkan bahwa jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama: Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya.”

Dari situlah Max Lane mengambil kesimpulan bahwa nasionalisme tidak relevan.
Saya rasa, sebelum memvonis relavan dan tidaknya, ada baiknya melihat dua kecenderungan nasionalisme: nasionalisme negara-negara kapitalis maju dan nasionalisme negara-negara jajahan (semi-kolonial).
Ini penting, karena seperti kita ketahui, Soekarno pun membedakan antara nasionalisme borjuis di eropa dan nasionalisme yang dianut oleh pejuang anti-kolonial di dunia ketiga: Gandhi dan Sun Yat Sen.

Terkait dengan dua bentuk nasionalisme itu, ada baiknya kembali melihat fikiran Bung Karno. Katanya, nasionalisme di eropa itu nasionalisme borjuis, yaitu suatu ‘nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi’. Sedangkan nasionalisme Indonesia, yang disebutnya sosio-nasionalisme, adalah nasionalisme masyarakat atau nasionalisme yang mencari keberesan dalam kepincangan masyarakat, sehingga tidak ada lagi kaum yang sengsara dan ditindas. (Baca selengkapnya di Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, buku DBR I).

Dalam perkembangan terbaru, misalnya pertemuan G-20 tahun lalu, terlihat jelas bahwa nasionalisme telah menjadi langgam baru kapitalisme global. Negara-negara kapitalis maju berbicara “kepentingan nasional” untuk kepentingan ekonomisnya: perdagangan dan ekspansi pasar. Sedangkan negara dunia ketiga juga berbicara nasionalisme sebagai bentuk pertahanan terhadap serbuan tersebut (proteksionisme, dll).

Dalam era neoliberal sekarang ini, penghancuran negara nasional justru menjadi proyek kaum neoliberalis, sebagai prasyarat untuk menjalankan agenda mereka. Sebaliknya, sebagai bentuk melawan dominasi neoliberal, beberapa bentuk gerakan anti-neoliberal mempergunakan sentimen ‘penguatan peran negara nasional’ khususnya dalam urusan kesejahteraan rakyat.
Jika ditanyakan, apakah nasionalisme masih relevan? Maka jawab saya: Sangat relavan. 
Dimana relevansinya dengan situasi sekarang? Menurut saya, dalam perjuangan melawan imperialisme saat ini, tidak bisa tidak perjuangan kita mengambil karakter perjuangan nasional atau revolusi nasional. Karena, dalam negara terjajah seperti Indonesia, sangat sulit berbicara revolusi anti-kapitalis, sementara ekspresi penindasannya sebagian besar karena eksploitasi dari luar.
Terhadap pertanyaan ini, saya mengutip pidato Njoto sebagai berikut: “Fasensprong (faham melompat) tidak mau tahu akan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever. Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan” – mereka mau “sosialisme dengan imperialisme”!

Minggu, 26 Mei 2013

Dari Bung Karno Aku Belajar Sejarah

UNTUK MENYONGSONG HARI ULTAH LAHIRNYA PANCASILA DAN BUNG KARNO TAHUN 2013 "INDONESIA BERJUANG" AKAN MENAYANGKAN ARTIKEL-ARTIKEL BERKAITANNYA (2)
http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/05/dari-bung-karno-aku-belajar-sejarah.html

Dari Bung Karno Aku Belajar Sejarah
by Hersri Setiawan (Notes) on Wednesday, May 22, 2013 at 5:01am

Dari Bung Karno Aku Belajar Sejarah
Bung Karno pencipta banyak kosakata
Bung Karno penggagas poster ‘Ajo Boeng!’


KETIKA di sekolah menengah atas dulu, aku mempunyai banyak guru-guru yang
hebat -- dalam arti bukan pandai menjejali dan mencetak pikiranku, tapi pandai
membukakan kesadaran dan mengasah  pikiranku. Seorang dari mereka itu guruku
Sejarah Indonesia, Pak Joodkali Padmapuspita, yang juga pamong senior Taman
Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Pak Padma, kami semua biasa menyapa.
          Pada hari pertama memperkenalkan diri, sekaligus sebenarnya
memperkenalkan masalah situasi dan kondisi kesejarahan Indonesia, antara lain
dikemukakan bahwa sumber sejarah Indonesia berbagai-bagai, termasuk juga apa
yang dikenal sebagai "babad". Tetapi karena babad memang ditulis sebagai
sanjungan dan puja-puji, maka segala "Wahrheit" pun sengaja diselimuti dengan
serba "Dichtung" yang indah-indah. Tugas kitalah, kata Pak Padma, untuk
menyiangi "Dichtung" agar "Wahrheit" menjadi tersingkap.
          Suatu ketika sampailah kami pada tiga prasasti Batu Tulis di Bogor, dari
sekitar tahun 450, sejaman dengan yang satu lagi yang ditemukan di timur Tanjung
Priok Jakarta. Selain bertorehkan telapak kaki Purnawarman, sang raja pendeta
negeri Taruma, dan telapak kaki gajahnya, prasasti juga memberitakan tentang
pembuatan saluran air sepanjang kira-kira limabelas kilometer dalam duapuluh
satu hari - -menurut Stutterheim inilah bangunan irigasi tertua di Jawa. Dalam
berita tentang penggalian saluran air ini disebut sepatah nama yang, karena
terselubung "Dichtung" kehinduan atau ke-sanskerta-an, lama menjadi teka-teki
para sejarawan Indonesia Purbakala. Nama itu ialah "Candrabhaga".
          Adalah Pak Purbatjaraka, menurut Pak Padma, yang kemudian tampil dan
berhasil mengurai teka-teki Stutterheim ini. "Candrabhaga" adalah bangunan kata
yang tersusun menurut kaidah kebahasaan Indo Jerman, termasuk di dalam rumpun
bahasa ini ialah bahasa Sanskerta. Untuk mengindonesiakannya susunan bangunan
kata itu harus dibalik: Bhaga - Candra. Kata "bhaga" tidak ada di kamus mana pun,
tapi  "candra" ialah kata Sanskerta untuk "bulan", sinonim dengan "sasi". Lalu
yang terdapat ialah sepatah kata "B(h)aga Sasi". Itulah "Bagasi" atau "Bekasi"
sekarang!
          Masih satu "teka-teki Stutterheim" lagi dituturkan Pak Padma, yang
juga telah dibukakan oleh Pak Purba. Teka-teki ini tentang piagam dari jaman
Syailendra, yang ditemukan di Canggal  Jawa Tengah, di arah tenggara candi
Barabudur. Seperti kata "candrabhaga" pada prasasti Batu Tulis yang menjadi
teka-teki, pada piagam Canggal dari tahun 732 ini terdapat kata "kunjara
kunjadesa". Di manakah gerangan "desa" itu terletak? Pak Purba tampil kembali
dengan cara yang sama: "kunjara kunjadesa" dibalik menjadi "kunjadesa kunjara".
Dua patah kata Sanskerta itu, sesudah diindonesiakan susunannya, lalu
diindonesiakan juga artinya: "kunjara" ialah "gajah" atau "liman"; "kunjadesa"
ialah "semak belukar" atau "hutan" atau "alas". Alas Liman, yaitu  Sleman
sekarang!
          Bekal kesejarahan kritis begitulah yang kujadikan pedoman, ketika
dua-tiga tahun kemudian aku berdiri di depan kelas-kelas sejarah di beberapa
sekolah. Tiba pada jaman Mataram, di bawah Sultan Agung Anyakrakusum (1613-
45),  yang tidak kuingkari kegagah-beraniannya dua kali menyerbu VOC di
Batavia, tapi kupertanyakan "kebesaran" pribadinya, ke-"lohjinawi"-an negeri dan
ke-"tata tenteram kerta raharja"-an hidup kaulanya. Mengapa? Aku merujuk ke
panggung ketoprak dalam lakon "Pranacitra - Lara Mendut",  roman Jawa "Serat
Pranatjitra" (1953), H.J. van Mook  "Kuta Gede" (1948), dan J.C. van Leur
"Indonesian Trade and  Society, Essays in Asian Social and Economic History"
(1955). Maka sampailah aku pada kesimpulan: Sultan Agung Anyakrakusuma
memang gagah berani.
          Tapi ia bukan raja binatara yang besar, melainkan sebaliknyalah: justru lalim. Dua kali ia memerangi Surabaya dan berhasil menundukkannya (1620) dengan siasat "perang kuman": membendung Brantas dan membusukkannya dengan bangkai; negeri dan kaulanya bukan "lohjinawi tata tenteram kerta raharja", tapi penuh penindasan  dan pemberontakan -- pajak perdagangan rokok klobot kretek Lara Mendut dinaikkan setiap senja hari, gudang perbekalan lasykar Mataram di pantai utara Jawa dibakar penduduk, dan suatu malam ibukota Karta gelap gelita karena "empat puluh maling dan kecu" menyerbu dan mengamuk!
          Di sini aku bertentangan dengan Bung Karno yang, jika dalam pidatonya
menyinggung Sultan Agung Mataram Anyakrakusuma, selalu disebutnya dengan
segala puja-puji kebesaran dan kegagah-beranian. Tapi aku mengerti alasan Bung
Karno: demi "nation building" rasa percaya pada diri sendiri sebagai bangsa perlu
ditanam dan dikukuhkan. Pada saat demikian Bung Karno tidak bicara sebagai
sejarawan, tapi sebagai kepala negara dan lebih khusus lagi sebagai bapak
bangsa. Ia tidak bicara tentang sisi politik, tapi tentang sisi kebudayaan dari
kejadian sejarah.
          Pada suatu hari Bung Karno pidato di bangsal utama Universitas Gadjah
Mada, di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Bung Karno satu-satunya presiden dari satu negara muda yang menerima dua puluh tujuh (27) gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan) dari berbagai universitas bergengsi di seluruh dunia. Universitas Gadjah Mada, salah satunya, ketika itu mewisuda Bung Karno sebagai doktor ilmupengetahuan sejarah. Inti dan jiwa pidato wisuda Bung Karno tetap masalah besar dan tunggal: "Nation Building".
          Berabad-abad Indonesia atau Nusantara di bawah pengaruh kebudayaan
Hindu. Sebutan "Indonesia" atau "Nusantara" itu sendiri sudah memberi petunjuk.  Kemudian memasuki sejarah modern, tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Hindu, berabad-abad pula Indonesia ditindis oleh  pengaruh kebudayaan Barat - dalam hal ini khususnya Belanda. Sebutan "Hindia Belanda" atau "Nederlands-Indie" juga sudah menunjukkan. Indonesia dianggap tidak ada di atas peta dunia. Indonesia bukan subjek di tengah-tengah bangsa-bangsa sedunia. Tapi sekedar objek. Objek sejarah! Dunia lalu punya istilah misalnya, dan kita tanpa pikir mengikuti, "Timur Tengah" dan "Timur Jauh". Begitu juga kita ikut menamai samudera perairan kita sendiri "Samudera Hindia". Bandingkanlah luas perairan India dengan Indonesia di lautan selatan kita ini! Kata Bung Karno. Oleh karena itu dan pada waktu itulah Bung Karno menggugat kemapanan istilah tua "Samudera Hindia", dan menuntut pemakaian istilah baru "Samudera Indonesia".
          Bukan hanya itu Bung Karno memberi contoh.  Pada pidato wisuda itu,
untuk kesekian kalinya ia menggugat dunia barat, yang mendominasi segala bidang
kehidupan. Kali ini dilontarkannya  hipotesis tentang siapa penemu benua
Amerika. Mengapa kita ikut mengiyakan saja nama seorang Amerigo Vespucci,
penjelajah Italia, yang hidup baru pada pertengahan abad ke-15 dan awal abad
ke-16? Padahal, gugat Bung Karno, sudah sejak jaman bahari pelaut-pelaut
Polinesia berkiprah di bentangan laut antara Pulau Madagaskar di barat sampai
pulau-pulau Paskah di timur? Di tengah mengarungi Lautan Teduh, para pelaut ini
terkadang mengalami angin mati. Anak-anak gembala di Jawa menyeru Gareng dan Petruk, bila angin mati, dan sendharèn layangan mereka tidak berbunyi. Tapi para pelaut Polinesia yang mati angin di tengah Lautan Teduh berseru-seru
menghidupkannya kembali dengan sepatah kata seruan: "Amukiriiiki! Amukiriiiki!" Dari situlah kata "Amerika" berasal, kata Bung Karno.
          Isi pokok pidato wisuda Sejarawan Soekarno di Universitas Gadjah Mada
ialah pesan, pertama: sebagai bangsa muda yang baru merdeka, harus menulis ulang sejarah sendiri; kedua, dalam menulis ulang sejarah sendiri itu, orientasi
kesejarahan harus dibalik, tidak ke barat tapi ke timur, tidak ke India atau
Belanda tapi ke Indonesia sendiri!

Sumbangan Bung Karno dalam kebahasaan
 Pada tahun 1966 dan sedikit tahun sesudah itu orang-orang bertampik sorak --
kata majemuk "tampik sorak" diintrodusir Bung Karno sebagai pengganti "tempik
sorak", yang oleh telinga Jawa pribadi Soekarno tentu terdengar saru. Mereka meniup terompet kemenangan  bagi "orde baru", sambil memukul genderang kematian bagi "orde lama", khususnya bagi Soekarno penanggung-jawab pertama dan utama "orde lama".
Sejak itu dari ujung rambut di kepala, sampai ke ujung kaki, Soekarno diceritakan sebagai serba hitam belaka! Sementara kaum budayawan ikut-ikut pula bersuara, di tengah gegap gempitanya "coup de grace" itu, ramai-ramai menuding Soekarno sebagai telah membikin kata-kata menjadi miskin makna dan bahkan kehilangan makna, sehingga akibatnya berarti telah membikin rusak bahasa.
Jaman itu, jaman orde para jenderal tentara, adalah jaman ketika hak
jawab tidak ada. Karena bahasa militer hanya kenal dua kosakata: "lapor!" dan
"siap!", yang harus selalu diteriakkan dengan nada dan langgam yang sama. Sejak
ketika itu "bhineka" yang "tunggal ika", semangat persatuan dan kesatuan
Indonesia serta wujud entitas budaya nusantara, sesungguhnya dalam proses
ditumpas. Ke-bhineka-an di dalam ke-ika-an dibasmi, untuk digantikan dengan
"tinggal ika" belaka, sejalan dengan "Pancasila" -- bukan "Pantja Sila" yang
versi Bung Karno -- dikukuhkan sebagai azas tunggal.
          Di tengah hiruk-pikuk melaknat Soekarno itu, aku pun tidak berbuat lain, selain sebisa-bisa menahan suara sendiri. Dalam anganku terkadang muncul bayangan dua sahabat-sahabatku, penyair kulit hitam yang selalu tersenyum dan penuh semangat. Khair Ahmad Khair dari Sudan yang selalu membuka dan menutup pidatonya dari mimbar pengarang Asia-Afrika, dengan pekik "Merdeka!" sambil mengacungkan tinju kanannya ke udara; dan penyair Kenya Kamwithi Munyi, yang selalu berbangga-bangga dengan sebutan "Bung" di depan namanya. Kata "merdeka" diserukan ganti-berganti dengan kata "uhuru", sebutan "bung" mendesak sebutan "comrade in arms", "Panca Sila" Bung Karno telah mengilhami "Consciencism" Kwame Nkrumah, demikian juga sumber acuan kritik keras Theja Gunawardhana , pemimpin gerakan perempuan Srilangka, terhadap "Kruschevism".
          Pada paroh pertama dasawarsa enampuluhan kata-kata "bung", "merdeka", "panca sila", "dasa sila" telah menjadi lema-lema baru di dalam kamus politik Asia-Afrika yang bangkit dan bergerak.
          Sebutan egaliter "bung" itu sendiri, siapakah penciptanya, dan sejak
kapan masuk dalam perbendaharaan kata bahasa kita, dan menjadi lazim dipakai?
Barangkali tidak satu orang bisa menjawab dengan pasti. Tapi sepatah kata simbol
pergerakan kebangsaan ini memang belum dikenal oleh para pendekar kebangsaan
angkatan Budi Utomo, juga belum lazim pada masa "Janget Tinatelon"
Suwardi-Tjipto-Douwes Dekker, dan bahkan tidak pernah tertulis di depan nama
para pemimpin komunis seperti  Semaun, Darsono dan Tan Malaka. Juga Marco
Kartodikromo, yang menuliskan bunyi "ko" pada namanya  tidak dengan "ko", tapi
menggantinya  dengan "co" (agar terkesan sebagai Jawa yang "maju"?), masih
tampil di depan publik sebagai "Mas Marco" bukan "Bung Marco".
          Menurut Nursyamsu, penyair Angkatan '45, guruku Bahasa Indonesia di
SMP, sebutan "bung" berasal dari Batak. Menurut Anton Timur Jaelani, guruku
Bahasa Indonesia di SMA, berasal dari Bali. Tapi ada lagi dugaan mengatakan,
berasal dari kosakata bahasa Betawi. Pendek kata asal-usul "bung" tidak
diketahui dengan pasti. Tapi yang pasti, kata sebutan ini sudah dikenal
berpasangan dengan nama "Karno", lekat satu sama lain ibarat dua sisi dari
sebuah mata uang yang sama, sudah sejak Soekarno muda terjun di gelanggang
politik. Kalaupun bukan Soekarno muda yang menggali dan menemukan kata "bung" ini dari haribaan perbendaharaan kata nenek moyang, seperti halnya lima butir mutiara-mutiara Panca Sila, tapi pastilah ia dan karena ia telah mengangkat dan meluaskan penggunaannya sebagai kata penyapa yang sarat arti dan semangat.
          Di dalam kata "bung" terkandung arti dan seruan semangat persaudaraan,
persamaan, dan kemerdekaan. Dengan tampil sebagai "bung" ia menjembatani jarak yang terentang antara Soekarno yang insinyur dengan "Marhaen" yang "petani gurem".
          Istilah "Marhaen", seperti diketahui, adalah "ciptaan" Bung Karno,
ketika ia hendak merumuskan cita-cita perjuangan dan menjabarkan cita-cita
perjuangannya itu di dalam ajaran. Juga istilah "petani gurem". "Gurem" ialah
kutu ayam, binatang unggas piaraan rakyat kecil. Istilah dunia hewan, yang hanya
akrab bagi golongan bawah masyarakat ini, dipungut Soekarno, dijadikannya
penyebut untuk membentuk sepatah kata majemuk baru Indonesia: "petani gurem",
yaitu "petani tak bertanah dan petani miskin". "Gurem" sepatah kata dari dunia
hewan yang hanya mengandung arti tunggal ini, oleh Soekarno diangkat menjadi
sepatah kata yang bernuansa baru, nuansa sosial dan politik sekaligus.
          Peristilahan baru Indonesia sumbangan Bung Karno, selalu diciptakan
dengan cara yang sama seperti ketika ia "menciptakan" Panca Sila. Yaitu dengan
cara menggali dan mengangkatnya dari guagarba kebahasaan nenek moyang. Bukan nenek moyang kaum elite, tapi nenek moyang rakyat kecil. Di sinilah bedanya peristilahan baru sumbangan Soekarno dan "Orde Lama", yang memperkaya kebahasaan dan menerangi makna kata-kata, dibanding dengan sumbangan Suharto, kaum militeris dan "Orde Baru", yang menciptakan peristilahan baru dengan akibat mempermiskin kebahasaan dan dengan sengaja untuk menggelapkan makna kata-kata.
Peristilahan dari "jaman Suharto" dikais dan dipunguti dari kamus bahasa Sanskerta, bahasa kaum elite Jawa Kuno yang bukan saja tidak populis tapi juga sudah mati; peristilahan dari "jaman  Soekarno" ialah peristilahan yang hidup di dalam denyut jantung rakyat jelata. Adakalanya beberapa istilah bahkan dibangun oleh Bung Karno dari kata-kata yang "belum jadi", sehingga  menjadi peristilahan yang onomatopeik. Tapi justru karena itu selalu mengandung daya hidup, selain tentu saja akrab bagi kehidupan rakyat sehari-hari.
          Sementara budayawan "Orde Baru" menuding Soekarno dan "jaman Soekarno" telah merampas kata-kata dari maknanya. Dalam hubungan ini barangkali bisa diajukan sebagai satu contoh, misalnya, tentang kata "rakyat".  Arti harfiah kata "rakyat" ialah penduduk suatu wilayah, masyarakat awam, atau orang kebanyakan. Tetapi di "jaman Soekarno" arti kata ini telah diberi nuansa baru yang bersifat sosial politis, yaitu "golongan bangsa yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme", atau golongan bangsa yang berjuang untuk emansipasi politik dan sosial. Untuk membedakan antara dua aspek nuansa itu, antara yang harfiah dan yang sosial politis, bahasa Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) lalu mengeja untuk yang berpengertian akhir sebagai "Rakyat" (dengan "R" kapital), seperti halnya dalam kalangan Keluarga Besar PKI yang biasa membedakan antara "kawan", yaitu sahabat, dengan "Kawan" (dengan "K" kapital), yaitu saudara seideologi.
          Contoh lagi istilah "ganyang". Kata ini tidak dikenal dalam kamus orang gedongan, yang untuk "makan" pun perlu diperhalus menjadi "santap". Tapi dalam kehidupan wong cilik di kampung dan petani di desa, kata "ganyang" adalah varian kata "makan", yang berarti mengunyah atau makan langsung mentah-mentah dan habis-habis. Soekarno mengangkatnya  ke panggung wacana politik, sehingga kata "ganyang" memperoleh nuansa makna baru yang sosial-politis: "menghancurkan" atau "melikuidasi".
          Bung Karno menamai pidato tujuhbelasan kenegaraannya sekali setiap
tahun sebagai dialog antara Soekarno dan Rakyat, antara Ego dan Alter-Ego
pribadinya. Ia, karenanya, tidak bicara berlama-lama "dari pikiran ke pikiran",
tapi memilih langsung "dari hati ke hati". Pada pandangan Soekarno rakyat
bukanlah para pemimpin dan pembesar yang duduk di kursi-kursi kenegaraan, tapi
mereka yang dari dalam sorot matanya masih tertangkap amanat penderitaan. Di
depan rakyat kecil yang serba sederhana itu kata-kata "ganyang ngak-ngik-ngok",
misalnya,  lebih gampang diterima ketimbang "hancurkan rock-'n-roll". Istilah
“ngak-ngik-ngok” itulah istilah baru berdasar peniruan bunyi: ngak, ngik, dan
ngok. Istilah-istilah onomatope.
          Setiap kata selalu mempunyai dua arti, arti harfiah dan arti sosial.
Demikian pula halnya setiap mata uang selalu mempunyai dua nilai, nilai
intrinsik seperti yang tertulis di atasnya, dan nilai riil seperti yang berlaku
di pasar pertukaran barang-barang. Nilai intrinsik tetap adanya, seperti halnya
arti harfiah kata-kata, nilai riil selalu berubah-ubah menurut ruang dan waktu.
          Bung Karno telah meluaskan "daerah pengaruh" bahasa Indonesia, jauh
melampaui batas-batas wilayah negerinya. Bung Karno telah menciptakan banyak
peristilahan baru yang populis, sehingga karenanya sejalan dengan watak egaliter
bahasa Indonesia sendiri yang bahasa pembebas dan bahasa pemersatu. Bung Karno juga telah memperkaya nuansa makna pada banyak kata-kata yang lazim diucapkan sehari-hari.
 “Ajo Boeng!”
 "Ajo Boeng!" seruan sebuah poster terkenal dari masa awal "Revolusi Pemuda". Kalau benar apa yang pernah dituturkan Basuki Resobowo kepadaku, tentang asal-usul dua patah kata seruan itu sehingga menjadi tajuk (caption) poster, maka secara kebetulan di sini pun terkandung wawasan dan sepak terjang Soekarno yang populis. Menurut Resobowo "Ayo, Bung!" dua patah kata perempuan lampu merah bilangan Pasar Senen, yang mereka serukan sambil berdiri di depan pintu, dalam nada bergenit-genit, ketika mengundang calon tamu di antara laki-laki yang lalu lalang di depan rumah bordil mereka.
          "Djon!" Kata Bung Karno suatu hari pada S.Sudjojono. "Buatlah satu
poster yang sederhana tapi kuat, untuk membangkitkan semangat Pemuda."
          Sudjojono lalu membawa gagasan Bung Karno yang dipesankannya padanya
itu kepada Affandi, yang segera pula menerjemahkannya di atas kanvas. Beberapa hari kemudian jadilah poster itu: lukisan satu tinju mengacung ke atas. Sudjojono dan Affandi puas memandangi hasil karya mereka. Tapi masih satu hal yang kurang. Kata-kata apa yang patut dibubuhkan di poster, yang tidak kalah sederhana tapi juga sarat dengan pesan yang kuat.
          Sedang mereka berdua berpikir keras, mencari kata-kata untuk caption,
masuklah ke studio Chairil Anwar dan Basuki Resobowo. Mereka baru pulang
kluyuran di Pasar Senen.
                   "Ril, ini dia!" Seru Sudjojono selagi mereka masih di ambang pintu.
          "Poster sudah siap. Tapi belum ada caption. Tugasmu sekarang!"
                   Chairil memandangi poster itu sebentar.
                   "Ayo Bung!" Suara Chairil ringan, tapi bernada sungguh-sungguh.
                   Sudjojono dan Affandi saling pandang sejurus. Kemudian semua sepakat.
Kata-kata "Ajo, Boeng!" dibubuhkan di sana dalam gaya tulisan tangan Bung Karno. Karena itu tentu saja tidak dilafalkan dalam nada-nada bergenit-genit, tapi dalam nada mengguntur seperti suara Bung Karno dari atas mimbar pidato. Maka Sudjojono, dalam salah satu artikelnya mengatakan, poster "Ajo, Boeng!" diciptakan berempat: Bung Karno pemberi ide, Affandi penerjemah ide di kanvas, Chairil Anwar pemberi teks, Sudjojono penata letak.
Memperingati peristiwa dan tokoh sejarah, pesan Bung Karno, bukan
untuk mencari abunya. Tapi untuk menangkap apinya, dan kemudian menyalakan
apinya itu. Demikianlah tulisan pendek ini bermaksud. Untuk menangkap "Api Bung Karno", dan menyalakan terus Api itu.
          Apakah "Api Bung Karno" itu? Tidak ada lain melainkan harkat dan hakikat
sepatah kata "Bung" itu sendiri. Kata yang bernuansa kemanusiaan, sekaligus "battle cry" perjuangan kemanusiaan.***

HIDUP BUNG KARNO!


UNTUK MENYONGSONG HARI ULTAH LAHIRNYA PANCASILA DAN BUNG KARNO TAHUN 2013 "INDONESIA BERJUANG" AKAN MENAYANGKAN ARTIKEL-ARTIKEL BERKAITANNYA (1)
http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/05/hidup-bung-karno.html

Hidup Bung Karno!

by Hersri Setiawan (Notes) on Saturday, May 25, 2013 at 4:49am
Pengantar
Ini naskah lama, ditulis untuk peluncuran buku Romo Baskara T Wardaya S.J. sekaligus untuk memperingati hari-bulan enam-kembar, “the double six day” --tanggal 6 bulan 6 (1901) --, harilahir Bung Karno, saya turunkan artikel lama berjudul “Hidup Bung Karno!”. Tulisan ini saya susun untuk menyambut peluncuran buku berjudul “Bung Karno Menggugat”, yang diselenggarakan di Toko Buku “Gunung Agung” Jakarta, pada 11 Maret 2006.[1]
 
 
6 Juni 1901 – 6 Juni 2011
Hidup Bung Karno!


Gelora tuntutan reformasi dan demokrasi tahun 1998 sudah satu windu berlalu (sekarang, 2012, tentu saja sudah 14 tahun). Sudah cukup waktu kiranya bagi kita untuk menoleh ke belakang, kemudian dengan tenang mengamati perjalanan sejarah masa lalu.
Pandangilah dua sosok presiden kita di sampul buku ini. Soekarno, presiden seumur hidup yang didongkel ambruk sesudah duapuluh tahun; dan Suharto, presiden “konstitusional¨ yang nyaris berhasil membangun dinasti turun-temurun. Siapakah dari yang dua itu yang demokrat, dan siapakah yang diktator sejati? Siapakah yang sejak muda remaja sampai tutup usia terus-menerus menyerahkan hidupnya untuk rakyat, dan sebaliknya, siapakah yang sepanjang lebih 30 tahun kekuasaannya sibuk memeras keringat rakyat dan menggadaikan negerinya -- demi kepentingan diri sendiri, keluarga dan kroni-kroninya? Mengapakah mereka itu, sebut saja Dake, Fic, Giebels – masih saja membuta-tuli terhadap kenyataan busuk yang berjimbun dan mencolok di depan mata?

Sekitar tiga minggu lalu, menyambut launching pertama buku Romo Baskara T. Wardaya SJ di Yogya, saya katakan tanpa tedeng aling-aling: “Suharto penanggung jawab pertama dan utama pembantaian massal pasca-G30S 1965¨. Itu sengaja sebagai semacam test-case. Saya ingin mempertanyakan tentang maraknya gejala-gejala, yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk, sambil meneruskan kampanye de-Soekarnoisasi, mengobarkan kampanye re-Suhartoisasi, melalui berbagai cara, seperti: penghargaan DPP Golkar, penghargaan “Forum Kawula Muda Ayodya Tulada Yogyakarta¨ sebagai satu dari sepuluh tokoh SU (Serangan Umum) 1 Maret 1949[2], penerbitan berturut-turut buku Antonie Dake dan Victor Fic, kunjungan Dake ke Suharto di Cendana sekitar akhir November 2005.
Untunglah kita, karena dari pertemuannya dengan Dake itu ada petunjuk baru sehubungan dengan “pembersihan ‘65¨. Kepada Dake, Suharto dengan tegas dan jelas mengatakan, bahwa “over zuivering in ‘65¨ (tentang pembersihan tahun ’65) ialah untuk “begraaf het slechte¨, mengubur yang busuk. Ia berlindung di balik ungkapan Jawa dengan mengatakan: Mikul dhuwur mendhem jero.[3] Ternyata begitulah arti dan tujuan pembantaian 1965, menurut Suharto: Untuk mengubur sedalam-dalamnya yang busuk! Siapakah yang busuk itu, menurut Suharto? Bukan pertanyaan sukar untuk dijawab. Juga kiranya jelas, bahwa di dalam kategori “yang busuk¨ itu termasuk Bung Karno. Sebab, ungkapan yang sama ini pernah diucapkan Suharto, menurut pengakuannya sendiri di dalam biografinya, ketika ia menjawab pertanyaan Bung Karno (dalam bahasa Jawa): “Harto! Aku iki arep tok kapakké?¨ (Harto! Aku ini hendak kauapakan?) Jawab Suharto: “Mikul dhuwur mendhem jero, Pak!¨

Demikianlah perihal pertama yang hendak saya katakan. Sebuah konstatasi dan sinyalemen sekaligus. De-Soekarnoisasi digalakkan terus. Sementara itu, setelah satu windu, satu siklus jaman menurut hitungan penanggalan Jawa, re-Suhartoisasi mulai dikibar-kibarkan dan dikobar-kobarkan. Dan yang sangat penting lagi, pengakuan Suharto sendiri, bahwa pembantaian tahun ‘65 untuk “mendhem jero¨ yang baginya busuk.

Pada suatu ketika, dalam salah satu pidatonya, atau dialognya dengan rakyat, Bung Karno mendalang. Kali itu Bung Karno me-nyondro atau melukiskan pemuda Kakrasana, tatkala baru turun dari pertapaan Grojogan Sèwu. Betapa gagah dan penuh “p-d¨ pemuda itu, karena ia berhasil mendapat anugerah para dewata berupa azimat bernama “Nanggala¨, yang telah manjing atau masuk di kedua telapak-tangannya. Dengan azimat itu, pikirnya, ia akan mampu bersama adiknya, Kresna yang awatara atau titisan Wisnu, untuk mamayu hayuning bawana. Menjaga dan memelihara kesejahteraan alam semesta. Bukan sekedar demi Mandura, negeri dan kerajaannya sendiri.
Bertahun-tahun kemudian, sesudah Bung Karno lama disingkirkan dengan
sewenang-wenang Orde Baru, saya teringat beliau sekaligus fragmen kisah Kakrasana itu. Entah secara sadar atau tidak sadar, pikir saya, Bung Karno ketika itu sedang berekspresi tentang jatidirinya sendiri[4]. Tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno mengawali karya pengabdiannya bagi bangsa dan negara, tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mempersembahkan sipat kandel atau azimat bagi diri sekaligus bagi bangsanya, yaitu Pantja-Sila[5]. Barangkali tidak ada duanya selain Bung Karno, sebagai pemimpin bangsa di negeri bekas jajahan yang memerdekakan diri pada masa pasca-PD II, yang tampil di gelanggang sejarah dengan telah membawa Weltanschauung atau pandangan hidup bagi bangsa dan negaranya. Sebuah pandangan hidup yang tidak hendak menempuh “Jalan Washington¨ tapi juga tidak “Jalan Moskow¨.
Apa yang dengan pandangan hidupnya itu akan dijawab Bung Karno, sejatinya memang masalah yang besar dan umum dihadapi oleh bangsa-bangsa yang baru merdeka pada pasca-PD II. Masalah itu ialah masalah nation building dan character building. Masalah idiil yang oleh Bung Karno sudah terus-menerus diperjuangkannya sejak awal sekali, yaitu sesegera sesudah Bung Karno turun di tengah gelanggang politik.

Ada tiga tulisan besar yang, pada hemat saya, memuat isi pikiran sekaligus mencerminkan semangat Bung Karno. Tiga tulisan besar itu ialah: Nasionalisme, Islam dan Marxisme (1926), Indonesia Menggugat (1930), dan Mentjapai Indonesia Merdeka (1933). Adapun Pantja-Sila (1945) adalah “endapan¨ pemikiran dan semangat Bung Karno, sepanjang kiprah juangnya sejak akhir tahun belasan abad ke-20 sampai akhir jaman Jepang di Indonesia.
Selain dua masalah idiil tersebut di atas, ada tiga tugas praktis besar, yang
dihadapi bangsa-bangsa yang baru merdeka pada masa pasca-PD II. Tugas itu ialah:
 (1) “menggembleng” persatuan dan kesatuan bangsa;
 (2) membangkitkan dan memberdayakan potensi dan kekuatan bangsa; dan 
(3) mengisi kemerdekaan dengan usaha bersama untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak¨.
Bung Karno memang belum sepenuhnya berhasil memenuhi tugas yang tiga itu, terutama untuk tugas butir ketiga. Karena itu Bung Karno sendiri selalu menegaskan, bahwa Revolusi Agustus belum selesai. Tapi bandingkanlah, misalnya, dengan Mahatma Gandhi di India yang tidak kuasa menahan lahirnya negara Pakistan. Atau lihatlah, misalnya, Malaya, Sri Langka dan Vietnam yang bertahun-tahun dilanda perang saudara itu, dan yang bahkan sampai sekarang (2006) dunia menyaksikan adanya dua Vietnam!
Mengapa Bung Karno berhasil? Pertama-tama dan terutama berkat ajaran-ajarannya, yang tersimpul di dalam Pantja-Sila, dan dipadu dengan leadership-nya yang populis dan karismatik. Bung Karno mampu memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia, negeri yang terdiri dari banyak pulau dan dihuni banyak (suku)
bangsa, serta didominasi oleh mayoritas kaum muslim, karena ia mampu membangun dan mempererat persaudaraan antar-(suku) dan antar-kekuatan religius dan sekuler.
Bung Karno ialah sosok dari ruh persatuan dan kesatuan itu sendiri. Ia mampu melihat nasionalisme dan humanisme (internasionalisme), sebagai dua sisi belaka dari fenomena hidup yang satu dan sama, yaitu Kemanusiaan. Ia mampu melihat kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, sebagai dua sisi belaka dari fenomena kehidupan yang satu dan sama, yaitu Demokrasi. Kemanusiaan dan Demokrasi, di bawah sinar keimanan pada Tuhan YME. Oleh karena itu Bung Karno, dalam bukunya Lahirnja Pantja Sila itu, dengan tanpa bimbang menegaskan, bahwa sila yang lima itu bisa diperas menjadi tiga, dan yang tiga itu pun bersumber dari dan bermuara pada yang satu, yaitu Gotong Royong ibarat kepalan tinju jejari yang lima. Gotong Royong, Eka-Sila, di bawah sinar keimanan pada Allah subhanahu wa taala. Prinsip Gotong Royong yang berprinsip.
Demikianlah perihal kedua yang hendak saya kemukakan.

Apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan Bung Karno itu bukan untuk Indonesia, negeri dan rakyatnya saja. Seperti Kakrasana yang tidak hanya berpikir tentang Mandura. Tetapi untuk mamayu hayuning bawana seluruh rakyat sedunia, sebagaimana secara harfiah dirumuskan dalam Mukadimah UUD 45, dan belakangan secara jelas dan rinci diucapkannya dalam pidato To Build the World Anew[6], Membangun Dunia Baru. Seperti telah dibuktikannya dengan terselenggaranya pesta olahraga nefo (Ganefo; Games of the new emerging forces[7]), dan usahanya untuk menyelenggarakan Conefo (Conference of the emerging forces) dalam akhir 1965 di Jakarta.
Bung Karno tentu sadar, bahwa untuk itu semua ia pribadi dan Indonesia harus menghadapi resiko, diadang oleh kepentingan nekolim yang jauh-jauh hari sudah dirancang dan diorganisasi oleh Amerika Serikat (selanjutnya AS). Maka tidak aneh jika sampai sebelum pemilu 1955, pada pokoknya AS masih mendukung RI, tetapi kemudian sejak sesudah pemilu dan sejak penegasan Bung Karno tentang politik Indonesia yang bebas aktif dan berdikari, AS lalu mengembangkan politik yang bertentangan dengan RI -- terutama sejak berkuasanya dua bersaudara Dulles: John F Dulles dan Allen W Dulles. Lalu, dengan kewenangan resmi pemerintah, CIA melancarkan operasi-operasinya di Indonesia. Lebih lanjut silakan mengikuti uraian Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Bagian II Buku ini, hal. 77 s/d 140.
Tapi ada dua hal yang ingin saya ajukan dalam hubungan ini. Pertama, yaitu SOB (Staat van Oorlog en Beleg; State of War and Siege; Keadaan Perang), Maret 1957, yang menjadi sarana ampuh untuk menumpas PRRI/Permesta yang didalangi AS, tapi bersamaan itu juga menjadi wahana empuk untuk TNI naik ke panggung politik. Kedua, diakhirinya demokrasi setengah-suara-tambah-satu, dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin sejak Oktober 1956. Sejak itu dunia kepolitikan di Indonesia terfokus pada figur Bung Karno, sementara parpol-parpol ribut berebut boncengan pada kebesaran Bung Karno, sambil main sikut dan main intrik. Maka ketika itulah keluar kata-kata peringatan Bung Karno: “Jangan gontok-gontokan!¨ dan “boleh jor-joran, tapi jangan dor-doran!¨ Jangan mengembangkan konkurensi tapi kompetisi!
Di alam SOB dan Demokrasi Terpimpin kebinekaan dan pluralisme menjadi terancam. Sementara pengaruh PKI, partai yang paling keras dan gigih anti-AS sebagai “musuh dunia nomor satu¡¨, menjadi semakin meluas. Ini tentu saja membikin takut parpol-parpol kanan, sehingga karenanya terdorong menjalin kerjasama konspiratif dengan tentara. Polarisasi kekuatan inilah yang sudah ditunggu-tunggu AS dengan tidak sabar. Dalam konteks inilah tentu, maka timbul istilah “our local army friends¨ di dalam dokumen yang dikenal sebagai bernama
“Dokumen Gilchrist¨ [8]. Tokoh-tokoh CIA lalu menjalin kontak intensif dengan
TNI, dan dengan demikian terbangunlah sudah panggung kolosal untuk “Peristiwa
G30S/PKI¨. Kudeta militer yang dibantu CIA dan pemerintah AS sudah siap
dilancarkan. Maka terjadilah “pertemuannya tiga sebab” [9] meletusnya Peristiwa
G30S 1965 itu.
Itulah perihal ketiga.

Saya sampai pada perihal keempat, perihal terakhir sebagai sumbangsih saya
untuk peluncuran bukunya Romo Baskara. Menurut pendapat saya semua kekuatan
sosial-politik yang pernah kiprah selama 20 tahun kepemimpinan Bung Karno,
tentunya minus PKI dan ormas-ormas onderbouw serta simpatisannya, sampai
sekarang masih tetap memainkan peranan masing-masing dengan giat. Sementara itu setting panggung kepolitikan Indonesia, sudah tidak bisa dibandingkan lagi
dengan setting panggung di masa Bung Karno. Beberapa gejala sosial-politik  ingin saya sebut.
Pertama, Indonesia sekarang ialah Indonesia yang dilanda krisis multi-dimensi, termasuk krisis kepemimpinan. Dalam keadaan demikian itu timbul gejala ikutannya, yaitu kesatuan dan persatuan nasional yang terancam parah oleh gerakan separatisme. Sementara itu kaum Islam fundamentalis pun masih terus berdaya-upaya mengubah RI yang sekuler menjadi negara Islam. Gejala berikutnya, yang berkaitan dengan tokoh Bung Karno dan ajaran-ajarannya, yaitu bahwa Pantja-Sila sudah digelapkan dan sudah dihapus dari sejarah. Padahal Pantja-Sila itulah sejatinya dasar fondasi kesepakatan para bapak dan ibu bangsa
untuk eksistensi Republik Indonesia [10]. Sementara itu, dominasi militerisme
Orde Baru belum bisa dikatakan telah sama sekali tamat oleh gerakan reformasi
dan demokratisasi 1998 (yang notabene ibarat taufan dalam gelas itu!). Maka
otoritarianisme pun, sebagai ekspresi militerisme selama lebih 30 tahun, sampai
sekarang masih juga bernafas. Sehingga sebagai akibatnya menjadi tidak aneh
jika sampai sekarang pun bayangan hitam tragedi berdarah 1965/66 masih belum
sirna dari suasana kehidupan sehari-hari masyarakat -- baik di pihak “korban¨
dan yang dikorbankan, maupun terutama justru di pihak yang mengorbankan.
Semuanya itu pasti akan menghambat keterbukaan politik, yang pada gilirannya akan menghambat juga penyelesaian krisis dan konflik di sana-sini yang mengancam amanat Bapak Bangsa Bung Karno, yaitu kesatuan dan persatuan Indonesia.
Barangkali inilah juga jawaban dan alasannya, mengapa sampai sekarang urusan penyusunan anggota KKR tak kunjung selesai dan bahkan telah batal; begitu juga kasus Munir, kasus Semanggi I dan II, kasus Tanjung Priok, kasus Lampung, dan seribusatu kasus lainnya tinggal bergalau dalam wacana. Aksi “Kemisan”, yaitu unjuk-rasa damai dengan berdiri di depan istana Prrsiden setiap hari Kamis, masih terus berjalan seolah “tanpa gema”, karena memang “dicuekin”.
Pantja-Sila Bung Karno harus diperkenalkan kepada angkatan muda, yang -- notabene -- selama 30 tahun lebih telah dicekoki dengan “Pancasila Orde Baru¨, sehingga mereka terlanjur apriori mereaksi sinis jika mendengar kata “pancasila¨. Justru di tengah krisis multi-dimensional yang berlarut-larut ini ideologi Pantja-Sila, dasar kontrak eksistensi bangsa dan negara Indonesia itu, relevan dicermati kembali untuk lebih lanjut, bisa dihidupkan kembali dalam praktik bermasyarakat dan bernegara. Lembaga-lembaga “akar rumput¨ yang gandrung akan adanya perubahan dan pembaharuan, barangkali bisa mulai dengan membuka diskusi-diskusi atau kursus-kursus tentang Pantja-Sila.

Saya percaya Pantja-Sila Bung Karno bisa menjadi sarana untuk keluar dari segala
macam krisis di tanahair yang dari hari ke hari hanya semakin menjadi parah. Saya percaya, karena saya percaya Bung Karno.
Terimakasih!


Tangerang , 8 Maret 2006


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Judul selengkapnya buku itu Bung Karno Menggugat -- Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal ‘65 hingga G30S; karya Dr.Baskara T. Wardaya SJ; diterbitkan oleh GalangPress Yogyakarta.
[2] Harian Kompas 2 Maret 2006, hal. 25.
[3] Dake dengan tepat menerjemahkannya sebagai “Wij moeten het goede hooghouden en het slechte begraven¨ (Kita harus menjunjung tinggi yang bagus, dan mengubur yang busuk); harian Volkskrant, 26 November 2005.
[4] Lihat Lahirnja Pantja-Sila: (Yogyakarta, Goentoer, 1949) , bagian awal, ketika Bung Karno bersujud di malam
Bung Karno Menggembleng Dasar-Dasar Negara

hari, di halaman belakang rumah Pegangsaan Timur, setelah inspirasi tentang
Pantja-Sila turun kepadanya.
[5] Sengaja saya gunakan ejaan lama, sesuai aselinya, untuk membedakan dengan
“Pancasila¨ secara “murni dan konsekuen¨ ala rezim Orba Suharto. Pancasila yang membunuh Pantja Sila.
[6] Pidato Presiden Soekarno di depan Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955;
juga pidato di depan Sidang Umum PBB; terbit oleh Departemen Luar Negeri RI,
Jakarta 1960: 35 hal.
[7] Diselenggarakan di Jakarta bulan November 1963.
[8] Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Tentang Konspirasi; Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2005, hal. 370.
[9] Lihat Pelengkapan Pidato Nawaksara, Presiden Soekarno di depan MPRS 10
Januari 1967, butir “d¨.
[10] Baca pada akhir Lahirnja Pantja-Sila tersebut, yaitu ketika Bung Karno
menawarkan bentuk negara yang hendak mereka sepakati bersama.

Jumat, 24 Mei 2013

Freeport Dan Runtuhnya Kedaulatan Kita

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/05/freeport-dan-runtuhnya-kedaulatan-kita.html

Freeport Dan Runtuhnya Kedaulatan Kita

BERDIKARIonline, Jumat, 24 Mei 2013 | 12:35 WIB   ·                       
             
Ilustrasi
Ilustrasi
Kejadian runtuhnya area tambang bawah tanah di area Big Gossan di Kabupaten Timika, Papua, membuat PT. Freeport kembali menjadi sorotan publik. Sebanyak 38 pekerja terjebak dan tertimbun dalam reruntuhan tersebut. Setelah proses evakuasi selesai dilakukan, diketahui bahwa 28 orang tewas, 5 luka ringan, dan 5 luka berat.
Duta besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Scot Marciel, menyebut kejadian tersebut sebagai “kecelakaan terburuk”. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) juga menyebut kecelakaan tersebut kejadian terburuk sepanjang sejarah 68 tahun Indonesia merdeka.
Kasus kecelakaan di Freeport bukan kali kali ini saja. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor besar di open pit Grasberg yang menewaskan 8 pekerja dan 5 pekerja terluka. Maret 2006, longsor juga terjadi di dekat Grasberg yang menyebabkan 3 orang tewas dan 4 terluka. Kemudian, pada 19 April 2011, tambang bawah tanah di Doz juga runtuh, yang menyebabkan 1 orang tewas.
Kecelakaan kerja di PT. Freeport sudah berulangkali terjadi. Di satu sisi, kuat dugaan bahwa PT. Freeport mengabaikan aspek keselamatan pekerjanya. Di sisi lain, pemerintah kita tidak melakukan pengawasan terhadap standar keselamatan kerja di PT. Freeport. Di sini terjadi semacam simbiosis mutualisme: Freeport hanya memikirkan untung tanpa memperhitungkan keselamatan pekerja. Sementara pemerintah Indonesia hanya mikir royalti yang masuk.
Namun, jika kita melihat persolan mendasarnya, yakni sejak masuknya Freeport tahun 1967 hingga sekarang, ada banyak persoalan yang patut dikemukakan di sini.
Pertama, ada aspek ketidak-adilan. Di satu sisi, seperti dicatat Human Right For Social Justice, keuntungan PT. Freeport di Papua per hari adalah sebesar 114 miliar rupiah. Artinya, dalam sebulan Freeport bisa mendapatkan keuntungan sebesar 589 juta dollar AS atau 3,534 triliun rupiah. Di sisi lain, rakyat Papua selaku pemilik sah kekayaan bumi Papua tidak menikmati tetesan keuntungan itu. Data Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2007 menyebutkan, Papua memiliki indeks kedalaman kemiskinan mencapai 10,56 dan indeks keparahan kemiskinan  5,01. Termasuk yang terburuk di Indonesia. Tak hanya itu, mayoritas rakyat Papua juga tidak bisa mengakses layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pangan, air bersih, perumahan dan lain-lain.
Tak heran, bagi banyak orang Papua, kehadiran PT. Freeport di bumi Papua tak ubahnya praktek penjarahan. Bung Karno menyebut ini sebagai praktek “neokolonialisme”. Dan, berkat merampok Papua, Freeport menempati rangking 140 perusahaan terkaya di dunia.
Kedua, sejak 1967 hingga sekarang, pemerintah Indonesia hanya menjadi “pelayan” bagi PT. Freeport. Tak heran, karena memposisikan dirinya sebgai “pelayan”, pemerintah Indonesia puas dengan royalti sebesar 1% dari Freeport.
Sekarang, karena ada gugatan atas rendahnya royalti itu, ada dorongan untuk renegosiasi. Sayang, pemerintah Indonesia yang bermental “pelayan” ini hanya meminta kenaikan hingga 3%. Itupun, sampai sekarang, PT. Freeport belum menyetujui permintaan pemerintah Indonesia tersebut.
Tak hanya soal royalti, Freeport juga “bandel” dalam membayarkan dividen kepada pemerintah Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia punya saham sebesar 9,36 persen. Pada tahun 2012, Freeport mestinya menyetor Rp 1,5 Triliun, tetapi yang dibayarkan baru Rp 350 miliar. (Sumber: www.merdeka.com)
Menanggapi sikap “keras” PT. Freeport itu, Menteri ESDM Jero Wacik hanya mengatakan, “renegosiasi itu sulit, diucapkan saja sulit, apalagi mengerjakan.” Bayangkan, pemerintah Indonesia tidak berkutik terhadap perusahaan yang hanya menanamkan modalnya di Indonesia.
Yang lebih memalukan lagi, dua Menteri Indonesia, yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri ESDM Jero Wacik, ditolak oleh PT. Freeport. Padahal, kedatangan kedua pejabat ini untuk melakukan investigasi terkait kecelakaan di Freeport.
Dengan memposisikan dirinya sebagai “pelayan”, pemerintah kita sudah menggadaikan kedaulatan bangsa kita. Tak hanya itu, sebagai pelayan kepentingan asing, pemerintah Indonesia menggunakan aparatusnya (TNI/Polri) untuk mengamankan kepentingan asing itu. Karenanya, pemerintah Indonesia punya andil dalam “memelihara” pelanggaran HAM di tanah Papua.
Berdasarkan Kontrak Karya II yang diteken tahun 1991, kontrak Freeport masih akan berlangsung hingga 2021. Artinya, masih ada 8 tahun lagi. Namun, belakangan ini, pihak Freeport sudah mendesak perpanjangan kontrak dari tahun 2012 hingga 2041.

Mengapa Yudhoyono Ngotot Menerima ‘World Statesman Award?’ (Made Supriatma )


 
Diunggah IndoPROGRESS pada 24 Mei 2013 dalam Opini, Politik
 
Made Supriatma, Kontributor IndoPROGRESS
 
KONTROVERSI pemberian penghargaan kepada Presiden Yudhoyono semakin menunjukkan keganjilan. Semakin diamati, tampak semakin aneh dan semakin mengundang pertanyaan. Bisa dikatakan ganjil karena pertama, organisasi yang memberikan penghargaan tersebut the Appeal of Conscience Foundation, bukanlah sebuah organisasi ternama. Organisasi ini adalah sebuah organisasi kecil yang tidak jelas orientasinya. Dalam website-nya mereka mengklaim ingin menegakkan perdamaian dengan melibatkan tokoh-tokoh lintas agama dan tokoh-tokoh bisnis. Organisasi ini memberikan penghargaan kepada tokoh bisnis dan tokoh politik. Ada tiga kepala negara yang diberi penghargaan, yaitu mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Kanselor Jerman Angela Merkel, dan PM Kanada Stephen Harper. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan atau tidak, ketiga kepala negara penerima penghargaan ini berasal dari kalangan kanan-konservatif.
 
Pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh ini mungkin memperlihatkan kuatnya pengaruh Foundation ini, terutama pendirinya, Rabbi Arthur Schneier. Namun, tidak dengan serta merta menempatkan Foundation ini sebagai lembaga berwibawa, yang penghargaannya bisa dipergunakan oleh penerimanya untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh pemberinya. Misalnya, penerima Nobel Perdamaian jelas akan dihormati pendapatnya karena penerimanya itu membawa pesan dari Komite Nobel dalam hal perdamaian.
 
Kedua, tidak pernah ada kejelasan apa yang menjadi kriteria pemberian ‘World Statesman award’ ini. Walaupun hanya dalam lingkup Asia, hadiah Raymond Magsaysay rasanya lebih memberi bobot ketimbang ‘World Statesman Award’ ini. Itu karena pemberian Raymond Magsaysay dilakukan setelah melewati pertimbangan yang serius dan melibatkan orang-orang yang memiliki reputasi dan kapasitas untuk itu.
 
Ketiga, The Appeal of Conscience Foundation tampaknya menutup diri dari segala macam upaya untuk menggali informasi terhadap pemberian hadiah ini. Semua upaya wawancara atau dialog ditolak. Upaya Rev. Max Soerjadinata, seorang pendeta asal Indonesia yang berdomisili di New York, untuk bertemu dengan pihak Foundation ditolak. Padahal Pendeta Max hanya ingin menyampaikan keterangan tentang keadaan kehidupan beragama dan toleransi di Indonesia. Beliau hanya diijinkan menyampaikan surat lewat security (satpam) dari Foundation ini di pintu masuk. Penolakan untuk berdialog, memberikan informasi, dan menanggapi berbagai macam protes yang masuk, tentu mengundang tanda tanya besar.
***
Sementara pihak pemberi penghargaan diam seribu bahasa, pihak administrasi Presiden Yudhoyono dan pendukung-pendukungnya gencar melakukan serangan terhadap orang-orang yang keras bersuara terhadap pemberian penghargaan tersebut. Ini terlihat dari serangan Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada pastur Katolik Frans Magnis Suseno, SJ, yang keras mengritik pemberian penghargaan itu. Dipo Alam mengatakan bahwa Magnis berpikiran dangkal dengan mengangkat persoalan minoritas ke forum internasional. Dia mengatakan itu seraya mengecilkan soal Ahmadiyah, Syiah, GKI Yasmin dibandingkan dengan hidup 250 juta rakyat Indonesia.
 
Agak lucu juga melihat, di tengah demikian banyak kritik yang dilancarkan dari dalam dan luar negeri, hanya pastur Magnis-lah yang menjadi sasaran ‘coordinated attack’ dari kalangan dekat presiden Yudhoyono. Tapi ini bisa dimaklumi. Pastur Magnis adalah sasaran paling lemah. Seolah tidak menyadari, Dipo Alam dalam tweet-nya yang banyak dikutip oleh pers, berusaha menggiring persoalan menjadi Muslim-Non Muslim. Persis seperti yang terjadi di daerah-daerah dimana agama dipolitisasi sedemikian rupa dengan menciptakan politik pembilahan seperti yang dilakukan Dipo Alam. Dengan membikin dikotomi seperti itu, Dipo Alam sesungguhnya justru memperkuat dugaan banyak orang, bahwa administrasi pemerintahan Presiden Yudhoyono memang memakai politik mayoritas-minoritas untuk berkuasa.
Lapis kedua yang memberikan pembelaan berasal dari pendukung presiden Yudhoyono – atau paling tidak mendukung sementara untuk suatu kepentingan tertentu. Argumen yang disampaikan sebenarnya juga tidak kalah ganjil. Mereka mengatakan bahwa penghargaan ini diberikan tidak kepada presiden Yudhoyono pribadi, tetapi kepada bangsa Indonesia. Saya katakan agak ganjil karena penghargaan ini bertajuk ‘World Statesman Award.’ Para pelajar bahasa Inggris tingkat pemula akan segera mahfum bahwa penghargaan ini ditujukan kepada orang perorangan. Yakni dengan mengangkat atau memberikan pengakuan bahwa si penerimanya adalah ‘negarawan dunia’ (world statesman – singular!) Jadi ya mestinya ini kan ditujukan kepada pribadi presiden Yudhoyono.
***
Pembelaan yang kesannya sangat ngotot dari lingkaran dalam dan pendukung Yudhoyono serta sikap diam dari pihak the Appeal of Conscience, tentu membikin saya penasaran. Sampailah dua hari yang lalu, ada satu artikel muncul di majalah online Tablet. Pengarangnya adalah seorang akademisi dari Boston University, Jeremy Menchik. Dia bukan orang yang sama sekali buta tentang Indonesia. Sebaliknya, dia sangat well-informed, sangat tahu seluk beluk masyarakat Indonesia. Jeremy menulis disertasi tentang toleransi umuat beragama di Indonesia. Dia mengumpulkan data-data tentang tokoh-tokoh umat Islam. Dia juga mengumpukan ribuan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh ulama-ulama Indonesia.
Seperti saya, Jeremy Menchik juga dihinggapi teka-teki: Mengapa Rabbi Arthur Schneier memberikan penghargaan kepada presiden Yudhoyono? Dalam tulisan yang berjudul, New York Rabbi’s Awful Award, Menchik sempat menyinggung beberapa kemungkinan. Apakah presiden Yudhoyono mendapatkan penghargaan ini karena dia dipandang sebagai pemimpin dari negeri ‘Muslim yang moderat’ – yang dalam hal ini mungkin harus dipahami sebagai pemimpin yang tidak mencap Israel sebagai setan di forum Sidang Umum PBB? Ataukah pihak Rabbi Schneier sendiri sebenarnya tahu track record dari Yudhoyono, tetapi karena sadar bahwa pengaruhnya di dunia internasional makin membesar, maka Schneier mengesampingkan catatan HAM yang dimiliki oleh Yudhoyono?
Tablet adalah sebuah majalah online yang khusus mengulas kehidupan, seni, dan ide-ide dari etnik Yahudi. Majalah ini dua kali memenangkan hadiah ‘National Magazine Award,’ sebuah penghargaan prestisius khusus untuk majalah. Tulisan-tulisan yang muncul disini dikenal sangat berbobot. Pada bulan Juni, 2011, majalah ini menurunkan feature panjang tentang Rabbi Marc Schneier, anak dari Rabbi Arthur Schneier, yang dijuluki sebagai ‘rabbi to the stars’ itu.
Tulisan di majalah Tablet tersebut semakin membikin penasaran. Mengapa sebuah majalah etnik Yahudi terkemuka justru memuat tulisan yang bernada tidak setuju dengan penghargaan ‘World Statesman Award’ itu? Secara hampir bersamaan, sebuah artikel muncul di harian The Haaretz, sebuah suratkabar yang terbit di Israel dan berhaluan liberal-kiri. Artikel itu berjudul agak panjang, Jewish group gives tolerance award to Indonesian leader blamed for crackdown (Kelompok Yahudi memberikan hadiah toleransi kepada pemimpin Indonesia yang dipersalahkan karena tindak kekerasan). Tulisan di The Haaretz ini banyak bercerita tentang diskriminasi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Kita tahu bahwa etnik Yahudi juga terbagi-bagi atas berbagai macam aliran keagamaan, pandangan politik, dan kebudayaan. Dengan kata lain, mereka sangat majemuk. Dua media yang disebutkan di atas secara kebetulan adalah media yang berorientasi kiri-liberal. Tetapi, secara dalam tata politik Amerika, tampaknya Rabbi Arthur Shcneier lebih berorientasi pada partai Demokrat yang liberal. Dia dekat dengan Presiden Clinton.
***
Apakah yang menjadi motivasi orang-orang sekitar pemerintahan presiden Yudhoyono untuk menerima penghargaan ini? Itu yang menjadi pertanyaan besar saya yang lain. Apakah orang-orangnya presiden yang me-lobby the Appeal of Conscience Foundation untuk memberikan penghargaan itu? Pada website dari Foundation ini, memang disebutkan bahwa ada delegasi dari Indonesia pada 4 Februari 2013. Mungkinkah delegasi ini yang melakukan lobby? Atau ada pihak lain?
Sebaliknya, orang juga bisa berspekulasi bahwa ini semua berkaitan dengan habisnya masa kepresidenan Yudhoyono. Dari beberapa kawan wartawan (yang kebetulan koresponden asing), saya pernah mendengar bahwa presiden Yudhoyono sudah mulai melihat peluang di dunia internasional untuk mengisi waktu setelah tidak menjabat sebagai presiden. Adakah penghargaan ini terkait dengan usaha memasuki dunia internasional itu? Ada yang berspekulasi bahwa Yudhoyono membutuhkan ‘lobby Yahudi’ untuk masuk ke dunia internasional. Kalau iya, posisi apa yang diinginkan? Apakah presiden Yudhoyono mengincar kursi Sekjen PBB?
Saya sendiri cenderung untuk tidak yakin akan dugaan ini. Posisi Sekjen PBB sekarang dijabat oleh orang Asia, Ban Ki-Moon dari Korea Selatan. Jabatan ini biasanya digilir antar-benua. Jadi tertutup kemungkinan untuk menjadi Sekjen PBB. Tapi bagaimana dengan posisi badan-badan PBB yang lain? Itu mungkin saja. Tetapi perlu diingat bahwa yang memegang peranan dalam lembaga-lembaga PBB adalah negara-negara anggota, yang sebagian besar adalah negara berkembang itu. Yudhoyono dikenal lebih dekat dengan negara-negara maju ketimbang bergaul dan menggalang solidaritas sesama negara berkembang dan miskin.
Hal yang membikin saya sulit untuk memahami adalah mengapa Yudhoyono mau menerima penghargaan ini? Tidak ada keuntungan sedikit pun yang didapat oleh presiden dengan menerima penghargaan dari sebuah organisasi yang tidak dikenal ini. Organisasi ini tidak menawarkan akses apapun ke dunia internasional. Sebaliknya, karena expose media yang demikian besar, sampai-sampai media seperti Tablet dan The Haaretz pun meluangkan ruang mereka untuk membahasnya. Tentulah ini bisa menjadi public relations disaster untuk presiden Yudhoyono. Kalau seandainya media seperti The New York Times atau Wahsington Post ikut-ikutan mengulasnya, lengkaplah sudah bencana public relations itu. Untuk presiden yang sangat cermat menjaga citra dirinya, ini tentu bukan kabar yang menyenangkan.
Terakhir, siapa yang diuntungkan? Untuk saya, pemberian penghargaan ini kayaknya lebih untuk kepentingan the Appeal of Conscience Foundation ketimbang untuk presiden Yudhoyono. Seraya dihinggapi banyak teka-teki dalam soal pemberian penghargaan ini, tiba-tiba saya teringat akan cerita Hans Christian Andersen yang berjudul ‘The Emperor’s New Clothes’yang versi bahasa Indonesianya didongengkan kepada saya waktu saya kanak-kanak. Pemberian penghargaan ini setidaknya memungkinkan kita untuk melihat dan mendiskusikan kembali semua track record dari administrasi pemerintahan presiden Yudhoyono. Banyak hal harus dijelaskan kembali oleh Yudhoyono. Dengan menerima penghargaan dari organisasi yang memajukan toleransi, Presiden Yudhoyono akan dipaksa untuk menjelaskan semua track-record-nya. Jika itu dilakukan dengan cara seperti yang ditampilkan oleh pembantunya, Dipo Alam, maka orang akan semakin bertanya. Waktu semakin sempit untuk Pak Presiden.***