GELIAT ORBAISME/SUHARTOISME HARUS DIWASPADAI

Oleh MD Kartaprawira

Perkembangan terakhir kehidupan politik di Indonesia telah membuka kotak pandora “reformasi”, sehingga tampak jelas bahwa reformasi yang telah berjalan selama 14 tahun ini tidak lain adalah orbaisme/suhartoisme gaya baru. Kiranya masih terngiang dalam telinga kita sorak sorai kegirangan para mahasiswa yang berhasil menduduki gedung MPR/DPR tahun 1998 ketika mendengar Suharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden RI. Tapi ternyata bukan sorak-sorai kemenangan. Sebab pengunduran diri Suharto dari kekuasaan dan kemudian diangkatnya Habibie sebagai presiden hanya merupakan taktik  internal Orde Baru untuk menyelamatkan rejim orde baru itu sendiri dari kehancuran total akibat gempuran gerakan mahasiswa kala itu. Seharusnya setelah lengsernya Suharto gerakan mahasiswa melanjutkan perjuangannya untuk membubarkan GOLKAR yang kala itu masih kental orbaismenya. Sebab organisasi Golkar merupakan salah satu tiang penyangga utama kekuasaan Orde Baru, di samping ABRI. Golkarlah yang melalui DPR bersama Presiden mencetak segala macam perundang-undangan sesuai kepentingan orde baru, yang menjerumuskan Indonesia di bawah cengkeraman neoliberalisme. Akibatnya selama 14 tahun era „reformasi“ peta politik Indonesia tidak mengalami perubahan mendasar, maka kebijakan-kebijakan orde baru tetap tak berobah juga, yang berobah hanya bajunya. Pendek kata: Orbaisme/Suhartoisme masih kuat bercokol di mana-mana. Maka tidak perlu heran, bahwa wabah KKN sebagai warisan budaya orde baru terus berkembang, tumpukan kasus korupsi tingkat kakap tidak pernah  terselesaikan, dan maraknya  bermacam-macam mafia: mafia hukum, mafia pajak, mafia anggaran dan lain-lainnya.

Geliat orbaisme/Suhartoisme yang paling mutakhir adalah timbulnya reaksi keras elit-elit penguasa dan kliknya berkaitan berita bahwa Presiden SBY akan meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dan berita tentang dilimpahkannya hasil penyelidikan Tim ad hoc Komnas HAM tentang kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 ke Jaksa Agung.  Mereka langsung beringas  mencak-mencak menentang kedua hal tersebut. Padahal berita SBY akan minta maaf tersebut semata-mata baru berita belaka  yang bersumber dari Albert Hasibuan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Kita tahu bahwa SBY selalu bertindak ragu dalam masalah besar, maka berita tersebut di atas pun tidak perlu ditunggu realitasnya. Tapi yang sangat tidak masuk akal sehat ialah reaksi keras mereka yang bernuansa intimidasi dan menghakimi para korban pelanggaran HAM 1965-66. Mereka justru menuntut agar para korban harus meminta maaf kepada para pelaku pelanggaran HAM. Nah, hal-hal tersebut di atas apakah bukan merupakan cerminan keinginan penerapan ulang kebijakan-kebijakan kediktatoran rejim orde baru? Seharusnya mereka tidak hanya mengandalkan dendam kesumat masa lalu dari konflik horisontal, tapi juga harus sedikit melek (tahu)  hukum dan murah maaf (jika mereka beragama). Sehingga dengan demikian mereka tahu bahwa „andaikan Partai Komunis Indonesia terbukti salah dalam peristiwa G30S, siapa pun tidak berhak membunuh orang-orang anggota PKI, apalagi yang hanya dituduh anggota PKI“. Bahkan TAP MPRS No.XXV/1966 pun tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan pembunuhan, penganiayaan penahanan dan lain-lainnya terhadap anggota PKI. Dalam TAP tersebut memuat pasal-pasal pelarangan PKI (organisasi) dan ideologi marxisme-leninisme, bukannya penghalalan pembasmian anggota PKI.  

Geliat orbaisme/suhartoisme tampak lebih jelas lagi dalam ucapan jenderal Djoko Suyanto ( Menko Polhukam) dan Pramono Edhie Wibowo  (Kepala Staf  Angkatan Darat) yang terus menyerukan agar PKI/Komunisme terus diwaspadai, sebab dianggap membahayakan negara dan bangsa. Indoktrinasi orde baru memang bertujuan untuk menghalalkan tindak kejahatan kemanusian/pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim orde baru. Maka tidak mengherankan kalau mereka berucap semacam itu. Padahal di Indonesia PKI (organisasi dan anggota-anggotanya) sudah dihancurkan. Sedang komunisme/marxisme-leninisme secara resmi telah dilarang melalui TAP MPRS No.XXV/1966. Toh masih terus dimunculkan “momok PKI/komunisme”. Tapi memang tindakan tersebut  tujuannya  hanya untuk menimbulkan rasa saling curiga antar masyarakat, supaya terjadi bentrokkan dan permusuhan antar mereka. Dengan demikian penguasa akan turun jadi juru selamat bagi salah satu pihak yang dikehendaki sesuai kepentingan penguasa. Maka untuk tujuan tersebut momok PKI/komunisme selalu dipelihara terus.

Tapi dengan Pancasila yang tetap sebagai Dasar Negara dan perkembangan nilai-nilai kemanusiaan yang terus maju, rakyat tidak akan mudah dibodohi dan diadu domba begitu saja. Apalagi rakyat Indonesia dewasa ini perlu menggalang persatuan untuk menghadapi perampok-perampok neoliberlis dari dalam dan luar. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah-limpah harus bisa memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Maka geliat orbaisme/suhartoisme –  harus terus menerus diwaspadai.