Selasa, 31 Mei 2011

SOEKARNO: LAHIRNYA PANCASILA


Lahirnya Pancasila

Oleh : Soekarno

Pendahuluan

Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma'af, beribu ma'af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: "Philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka". Merdeka buat saya ialah: "political independence", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. "Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- "njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun '33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah "jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka diseberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff [1], dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan "INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu "meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka-kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. "Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak?

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka", maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu "Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu "Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas "national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu yang dinamakan "Tennoo Koodoo Seishin". Diatas "Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah "Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, "Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam "Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan""Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: "Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:"Ten days that shook the world", "sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi "Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas "Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 "Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu "dicobakan", di "generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri "generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, "Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas "Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya "Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, "Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya "Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar"Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah "Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi "Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku "The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas "Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas "Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau "Weltanschauung' apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophischegrondslag, mencari satu "Weltanschauung" yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita ber-sama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.

Prinsip pertama

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan "kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionalestaat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: "le desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: "Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: "verouderd", "sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah "verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang "Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, "l'ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana"kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai"golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup "le desir d'etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer "aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada "desir d'entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa "le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan "le desir d'etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi "Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan "golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: KebangsaanIndonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: "Saya tidak mau akan kebangsaan".
TUAN LIM KOEN HIAN : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya "menschheid", "peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya "San Min Chu I" atau "The Three People's Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh "The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur.

Prinsip kedua

Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham "Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan "My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan"Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, "bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan "internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.

Prinsip ketiga

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan

Prinsip keempat

Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politie-kedemocratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. "Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan ma-syarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie "vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.

Prinsip kelima

apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
  1. Kebangsaan Indonesia.
  2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
  3. Mufakat, - atau demukrasi.
  4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!

Pancasila

"Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Gotong royong

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus men-dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!

Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch", -- manusia! --, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!

Catatan:
  1. Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - MD Kartaprawira, LSSPI)  

APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA?


APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA?

Amanat di Depan Kongres Rakyat Jawa Timur Tanggal 24 September 1955 
Di Surabaya

Saudara -saudaraku sekalian,

Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik Indonesia.

Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada Saudara-saudara
sekalian: Assalamu 'alaikum wr. wb!

Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada
Saudara-saudara sekalian -- baik yang beragama Islam, baik yang beragama
Hindu-Bali, baik yang beragama lain -- kepada Saudara­saudara sekalian saya
menyampaikan salam nasional: "Merdeka!"

Tahukah Saudara-saudara arti perkataan "salam" sebagai bagian dari perkataan
assalamu 'alaikum wr.. wb? Salam artinya damai, sejahtera. Jikalau kita
menyebutkan assalamu 'alaikum wr. wb, berarti damai dan sejahteralah
sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam
berarti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu saya minta kepada kita
sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan assalamu'
alaikum.

Salam -- damai -- sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia -­- terutama
sekalian yang beragama Islam -- hidup damai dan sejahtera satu sama lain.
Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai memba­hayakan persatuan bangsa.
Bahkan jangan kita sebagai gerombolan­-gerombolan yang menyebutkan assalamu
'alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.

Salam -- damai! Damai -- sejahtera! Rukun -- bersatu! Terutama sekali di
dalam revolusi nasional kita belum selesai ini.

Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik “Merdeka!"
bersama-sama dengan kamu. Kamu yang ber-agama Islam,kamu yang beragama
Kristen, kamu yang beragama Syiwa Budha,


PANCASILA BUNG KARNO


Hindu-Bali atau agama lain. Pekik "Merdeka!" adalah pekik yang membuat
rakyat Indonesia itu -- walau-punjumlahnya 80 juta – menjadi : bersatu
tekad, memenuhi sumpahnya, "Sekali merdeka, tetap merdeka!”.

Pekik "Merdeka!", Saudara-saudara, adalah "pekik pengikat". Dan bukan saja
pekik pengikat, melainkan adalah cetusan dari bangsa yang berkuasa sendiri,
dengan tiada ikatan imperialisme, dengan tiada ikatan penjajahan sedikit
pun. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, ­terutama sekali fase revolusi
nasional kita sekarang ini -- fase revolusi nasional yang belum selesai --
jangan lupa kepada pekik Merdeka! Tiap-­tiap kali kita berjumpa satu sama
lain, pekikkanlah pekik "Merdeka!”.

Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang lalu,
aku telah diminta oleh khalayak Indonesia di kota Singapura untuk mengadakan
amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu
orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republik-nya
lewat di Singapura. Mereka menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia
itu dengan gegap-gempita, dan minta kepada Presiden Republik Indonesia untuk
memberikan amanat kepadanya. Di dalam amanat itu beberapa kali dipekikkan
pekik "Merdeka!"

Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke Rangoon, ke
New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke negara

Saudi Arabia -- sesudah Bapak meninggalkan kota Singapura -- geger pers
imperialisme Singapura, Saudara-saudara. Mereka berkata:"Presiden Sukarno
kurang ajar". Presiden Sukarno menjalanka Ill behaviour, katanya.
Ill-behaviour itu artinya tidak tahu kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan
Bapak menjalankan ill behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu
Singapura ini bukan negeri merdeka -- toh tahu, bahwa di sini masih di dalam
kekuasaan asing -- kok memekikkan pekik "Merdeka"?

Tatkala Bapak kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, -- Bapak
dikeroyok oleh wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada Bapak: "Tahukah
Paduka Yang Mulia Presiden bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota
Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, PYM dituduh kurang
ajar, kurang sopan, ill-behaviour, oleh karena PYM memekikkan pekik
Merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan pekik
Merdeka? Apa jawab PYM atas tuduhan itu?"


PANCASILA BUNG KARNO


Bapak menjawab: "Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia,
warga negara Republik Indonesia, berjumpa dengan warga negara Republik
Indonesia -- pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang
Indonesia -- selalu memekikkan pekik "Merdeka"! Jangankan di sorga, di dalam
neraka -pun!"

Nah, Saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik
Merdeka itu. Gegap-gempitakan tiap-tiap kali pekik Merdeka itu. Apalagi --
sebagai Bapak katakan tadi -- dalam fase revolusi nasional kita yang belum
selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama Islam, aku
menyampaikan kepadamu salam "assalamu 'alaikum!" Sebagai warga negara
Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu "Merdeka!"

Saudara-saudara, aku pulang dari Bali -- beristirahat beberapa hari di sana.
Diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan
sedikit ceramah, wejangan, amanat, terutama sekali yang mengenai hal, "Apa
sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Pancasila?" Dan
memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.

Tadi, tatkala aku baru masuk gèdung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa
sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah,
Saudara-saudaraku dan anak--anakku sekalian, maka Bapak minta kepada
pimpinan agar supaya Saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab
Saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini -- isi hati Presiden, isi hati Bung
Karno -- kalau jauh dari rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat
dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.

Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada Saudara-saudara,
insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan
sekadar sebagai Sukarno. Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar
sebagai Pak Karno.-- Aku berpidato di sini sebagai Presiden Republik
Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk memberi
penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia
didasarkan atas Pancasila?

Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah
kuanjurkan dengan resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dan permintaan


49


PANCASILA BUNG KARNO


itu, insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik lndonesia. Justru
oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik lndonesia,
maka dengan gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan untuk memberi
penjelasan tentang Pancasila.

Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden
Republik lndonesia disumpah atas Undang-Undang Dasar kita. Saya tadi
berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur dengan
penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik
disumpah atas dasar Undang-Undang Dasar kita. Disumpah harus setia kepada
Undang-Undang Dasar kita. Di dalam Undang-Undang Dasar kita, dicantumkan
satu Mukaddimah, kata pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan
tegas disebutkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan lndonesia
yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.

Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan di dalam Undang-Undang
Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk
menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali
naskah.

Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah. Kemudian
pada 17 Agustus 1945, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu
naskah lagi. Kemudian sesudah itu -- tatkala kita kembali kepada zaman
Republik Indonesia Kesatuan -- satu naskah lagi. Empat kali naskah,
Saudara-saudara. Dan di dalam ke-empat naskah itu dengan tegas disebutkan
Pancasila.

Pertama, tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah berkemas­kemas di
dalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah
disusunlah satu naskah yang di-namakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta
Charter itu telah disebutkan dengan tegas lima asas yang hendak kita pakai
sebagai pegangan untuk negara yang akan datang: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kebangsaan. Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.

Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada 17
Agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya. Saudara-saudara, kukatakan
Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini --yaitu Undang-Undang Dasar yang
kita rencanakan pada waktu zaman Jepang di bawah ancaman bayonet Jepang --
kita rencanakan

50

PANCASILA BUNG KARNO


satu Undang-Undang Dasar dari Negara Republik Indonesia yang kita
proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan di dalam Undang­Undang Dasar
itu dengan tegas dikatakan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan,
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial!.

Tatkala -- berhubung dengan jalannya politik -- Negara Republik Indonesia
Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibuatlah Undang­Undang Dasar RIS.
Dan di dalam Mukaddimah Undang- Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan
tegas Pancasila.

Kita tidak senang akan federal-federalan. Segenap rakyat mem­protes akan
adanya susunan federal iui. Delapan bulan susunan RIS berdiri, hancur-lebur
RIS, berdirilah Negara Republik Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar
yang dipakai RIS ini diubah lagi menjadi Undang-Undang Dasar Sementara dari
Negara Re-publik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang
mengandung Pancasila.

Jadi dengan tegas, Saudara-saudara, -- jelas! Empat kali di dalam sepuluh
tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah me­nyebutkan
Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Allah s. w. t. dinobatkan menjadi
Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain ialah setia kepada
Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah, Saudara-saudara, rasa sebagai
kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu golongan akan keterangan tentang
Pancasila-memenuhi permintaan itu.

Dan pada ini malam dengan mengucap suka-syukur ke hadirat Allah s.w.t. aku
berdiri di hadapan Saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh,
dengan pegawai, rakyat jelata, dengan pihak Angkatan Laut Republik Indonesia
dan pihak Tentara, dengan pihak Mobrig, pihak Polisi, pihak Perintis, dengan
pemuda, dengan pemudi --berdiri di hadapan Saudara-saudara dan anak--anak
sekalian yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air
hujan-aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah,
Saudara­saudara, aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab Negara Republik
didasarkan atas dasar Pancasila.

Saudara-saudara, ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!.Ya, jikalau
diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan
saja Pancasila adalah sementara, bahkan


51


PANCASILA BUNG KARNO


misalnya ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar kita -- bahwa Sang Merah
Putih, bendera kita -- itu pun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita
sekarang ini adalah sementara.

Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai
sekarang ini, malahan disebutkan Undang-Undang Dasar Sementara dari Negara
Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Ya, oleh karena akhimya nanti
yang akan menentukan segala sesuatu ialah Konstituante. Maka itu,
Saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada
tanggal 29 September nanti, insya Allah S.W.T. untuk memilih DPR.

Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituante.

Konstituante adalah Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang­-Undang
Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi
berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi Negara Republik
Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-galanya masih sementara.

Tetapi, Saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku, "Apa yang berisi kalbu
Bapak ini akan permohonan kepada Allah s. w. t. ?" Terus terang aku berkata,
jikalau Saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini, Saudara-saudara bisa
membaca di dalam dada Bung Karno memohon kepada Allah s. w. t. supaya Negara
Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.

Ya benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata,
bahwa Sang Merah Putih adalah sementara-bendera Republik Indonesia-pun
sementara! Dan jikalau nanti Konstituante bersidang, insya Allah s.w.t.,
Saudara-saudara-ku, siang dan malam Bapak akan memohon kepada Allah s. w. t.
agar supaya Konstituante tetap menetapkan Bendera Sang Merah Putih sebagai
bendera Negara Republik Indonesia.

Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ini.
Jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik
Indonesia.

Tahukah Saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik
Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apa lagi bukan
buatan Bung Karno, bukan buatan Bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita
mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan seribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan
tiga ribu tahun, bukan

52

PANCASILA BUNG KARNO


empat ribu tahun, bukan lima ribu tahun!-Enam ribu tahun kita telah mengenal
wama Merah Putih!

Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada
agama Hindu, bangsa Indonesia telah meng-agungkan war­na Merah Putih. Pada
waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang
ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah Matahari dan Bulan. Pada waktu
itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu Matahari.

Siang Matahari - malam Bulan. Matahari merah- Bulan putih.

Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih. Kemu­dian
bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di dalam
alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu di dalam alam ini dan kita
melihat, - 0, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada
manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan
yang tidak bisa bergerak. Manusia dan binatang itu darahnya merah.
Tumbuh-tumbuhan darahnya putih. Getih - Getah.

Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih - Getah.

Cuma *i * diganti dengan *a* Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan yang
di dalam alam Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita mengagungkan Getih
- Getah. Merah - Putih. Saudara-saudara, itu adalah fase kedua.

Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa
kejadian manusia ini adalah dari perhubungan laki dan perempuan, perempuan
dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih. Dan
itulah sebabnya maka kita turun-temurun mengagungkan Merah-Putih. Apa yang
dinamakan "gula-kelapa", mengagungkan bubur"bang-putih". Itulah sebabnya
maka kita kemudian-tatkala kita mempunyai negara-negara setelah
mempunyaikerajaan-kerajaan- memakai warna Merah-Putih itu sebagai bendera
negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singasari, Merah-Putih te1ah
berkibar, terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di dalam dada kita
tetap hidup kecintaan kepada Merah-Putih ..

Dan tatkala kita mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908 dengan
lahirnya Budi Utomo-dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP *(Nationaal
Indische Partij), oleh ISDP, oleh PKI, oleh Sarekat Rakyat, oleh PPPK, oleh
PBI, oleh Parindra, dan lain-lain-maka rakyat


53


PANCASILA BUNG KARNO


lndonesia tetap mencintai Merah-Putih sebagai warna benderanya. Dantatkala
kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan
resmi kita menyatakan Sang Merah Putih adalah bendera kemerdekaan kIta.

Itu smua jika dikatakan sementara, ya sementara! Sebab Konstituante belum
bersidang. Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau menurut
haknya, boleh saja. Sebab Konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi.
Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi kalau Konstituante, misalnya, hendak
menentukan wama bendera negara Republik lndonesia bukan Merah-Putih, ya mau
dikatakan apa? Tetapi Bapak berkata, Bapak memohon kepadaAllah s. w. t. agar
supaya warna merah-putih tetap menjadi wama bendera Negara Republik
lndonesia.

Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, ya semen­tara! Lagi-lagi
Bapak ini berkata: Allah S.w.t. Dan Bapak pun bersyu­kur ke hadiratAllah
s.w.t., bahwa cita-cita Bapak yang sudah bertahun­tahun untuk naik Haji
dikabulkan olehAllah s. w.t. Lagi-Iagi Allah s.w. t

Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti-ini hanya Tuhan yang
mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang-jikalau ditanya oleh
Malaikat: "Hai, Sukamo, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah
mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa yang paling engkau cintai?
Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang engkau paling
ucapkan syukur kepada Allah s. w. t.?"

Moga-moga, Saudara-saudara, aku bisa menjawabnya bisa menjawab demikian atau
tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s. w. 1.: "Tatkala aku hidup di
dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara Republik lndonesia. Aku telah
ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat lndonesia".

Sebagai sering kukatakan, Saudara-saudara, negara adalah wadah.

Jikalau diberi karunia oleh Allah s. w. t. mengerjakan pekerjaan satu ini
saja-Allahu'akbar!-aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk
pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya­wadahnya saja-yang bemama
Negara ini. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Wad ah yang dinamakan
negara ini adalah wadah untuk masyarakat.

Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk
wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenamya-wadah yang bernama
Negara itu.


54


PANCASILA BUNG KARNO


Tidakkah Saudara-saudara dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa
oleh suatu konferensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara
ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahu­lu sesudah peperangan dunia yang
pertama, tidakkah negara Ceko­slovakia sekadar dengan coretan pena dari
suatu konferensi kecil. Membentuk negara, gampang! Dulu di sini juga pernah
dibentuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van
Mook, Saudara-saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah!

Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun,
berpuluh-puluh tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat
apa pun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus-menerus.
Baik masyarakat Islam, maupun masyarakat Kristen, maupun masyarakat
sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit, Saudara-saudara, dengan
satu tulisan, dengan satu unjal napas manusia. Membentuk masyarakat makan
waktu! Ya, aku bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut membentuk
masyarakat pula.

Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur
kepada Tuhan, jikalau aku nanti bisa menjawab kepada Malaikat itu, bahwa
hidupku di dunia ini ialah antara lain-lain telah ikut membentuk wadah ini
saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat satu masyarakat
yang besar. Walaupun rapat ini lebih dari satu juta manusia,
Saudara-saudara, wadah itu bukan kok cuma buat satu juta manusia ini saja.
Tidak! Wadah yang bernama negara, negara yang bernama Republik Indonesia itu
adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari Sabang sampai ke
Merauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka agama, beraneka
adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun--tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti
jikalau Allah S.W.T. memberikan kemerdekaan kepada kita-dulu Bapak
berpikiran yang demikian-lah-jikalau Nega­ra Republik Indonesia telah bisa
berdiri, negara ini agar supaya selamat, agar bisa menjadi wadah bagi
segenap rakyat Indonesia yang 80 juta, Negara harus didasarkan apa?

Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala
aku aktif di dalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memi­kirkan hal ini.
Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha
kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan


55


PANCASILA BUNG KARNO


kita sendiri-tatkala fajar telah menyingsing-lebih-lebih lagi kupikirkan hal
ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh
sekuat-kuatnya. Wadah untuk segenap rakyat lndo­nesia, dari Sabang sampai ke
Merauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.

Sekarang aku menjadi Presiden Republik lndonesia adalah karunia Tuhan. Aku
tidak menyesal, bahwa aku dulu bertahun-tahun memikirkan hal ini. Dan aku
tidak menyesal. bahwa aku telah memformulir Pancasila. Apa sebab?
Barangkali lebih dari siapa pun di lndonesia ini, aku mengetahui akan
keanekaaan bangsa lndonesia ini. Sebagai Presiden Republik lndonesia aku
berkesempatan sering-sering untuk melawat ke daerah-daerah.

Sering-sering aku naik kapal udara. Malahanjikalau di dalam kapal udara aku
sering-sering-katakanlah-main gil a dengan pilot. Pilot terbang tinggi, aku
tanya kepadanya: Saudara pilot, berapa tinggi? 12.000 kaki, Paduka Yang
Mulia." - Kurang tinggi, naikkan lagi!
"13.000 kaki." - Hahaa, kurang tinggi, Bung! "14.000 kaki." - Kurang
tinggi!

"15.000 kaki." - Kurang tinggi!

"16.000 kaki." - Kurang tinggi!

"17.000 kaki. " - Kurang tinggi!

"Sudah tidak bisa lagi, Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah
mencapai plafon".


Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu. Aku
terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan,
dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahuakbar, cantiknya
bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh
Multatuli di dalam kitab Max Havelaar, bahwa lndonesia ini adalah demikian
cantiknya, sehingga ia sebutkan, "Insulinde de zich daar slingert om den
evenaar als een gordel van smaragd-Indonesia yang laksana ikat pinggang
terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa!" lndahnya
demikian.

Ya memang, Saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki di angkasa
dan melihat ke bawah. kelihatan betul-betul lndonesia ini adalah sebagai
ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa.
Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu--ribu


56


PANCASILA BUNG KARNO


pulau Saudara lihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna--warna. Ada yang hijau
kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini,
Saudara-saudara. Lebih dari 3000 pulau. Bahkan kalau dihitung dengan yang
kecil-kecil, 10.000 pulau-pulau.

Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut
kedatangan Presiden-rakyat beragama Islam. Terbang lag i kapal udaraku,
turun di Siborong-borong, daerah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan
gegap-gempita keda-tangan Presiden Repu-blik Indonesia-agamanya Kristen.

Terbang lagi, Saudara-saudara, ke dekat Sibolga-agama Kris-ten.

Terbang lagi ke selatan, ke Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan­agama
Islam. Demikianlah pula di Jawa. Kebanyakan ber-agama Islam, di sana
Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin-kebanyakan
Islam. Tetapi di Banjar-masin itu aku berjumpa utusan-utusan dari suku
Dayak, Saudara-saudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan
utusan--utusan, bahkan rakyat

Dayak yang 9 hari 9 malam turun dari gunung-gunung untuk menjum­pai
Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama
agamanya sendiri.

Aku ber - ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan akujikalau
beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebutkan
aku-kecuali Bung Karno, Pak Karno-menyebutkan Ida Bagus Made Karno. Aku
melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu-Bali. Di
Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam
sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa-Islam. Terbang kapal udaraku
ke Sumbawa-Kristen Pro-testan. Terbang kapal udaraku ke Flores, pulau di
mana aku dulu diinternir-rakyat Flores kenal akan Bung Karno, Bung Karno
kenal akan rakyat Flores-sebagian besar rakyat Flores itu beragama Rooms
Katholik (Kristen). Terbang lag i kapal udaraku ke Timor-sebagian besar
rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon-Kristen.
Sekitar Ambon itu adalah masyarakat Kristen. Terbang lagi ke utara, ke
Ternate-Islam di Ternate. Dari Ternate terbang ke Manado, Minahasa
sekeliling-nya-Kristen. Ke selatan, Makasar-Islam. Di tengah Sulawesi,
Toraja-sebagian besar Kristen, sebagian belum ber-agama.

Benar apa tidak perkataanku, Saudara-saudara, bahwa bangsa


57


PANCASILA BUNG KARNO


lndonesia adalah beraneka agama? Dernikian pula aku berkata, bahwa bangsa
lndonesia ini beraneka adat-istiadat, beraneka suku pula. Beraneka suku,
beraneka agama, beraneka adat-istiadat: lni yang menjadi pikiran Bapak
berpuluh-puluh tahun.

Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan lndonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, aku ingin bersama-sama dengan pe-juang­pejuang lain membentuk satu
wadah. Wadah yang bernama negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat
yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat!

Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau
menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka-aneka itu dan yang
masyarakat lndonesia mau duduk pula di dalamnya­yang diterima oleh
Saudara-saudara yang ber-agama Islam, yang beragama Kristen Katolik, yang
beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh
Saudara-saudara yang beragama lain­yang bisa diterima oleh Saudara-saudara
yang adat-istiadatnya begitu, dan yang bisa diterima sekalian Saudara.

Aku ti dak mencipta Pancasila, Saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara
ciptaan tidak akan tahan lama. lni adalah satu ajaran yang dari mula-mulanya
kupegang teguh: "Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu
negara, das ar untuk sesuatu wadah, jangan bikin sendiri, jangan
nganggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan
dari sejarah! Gali sedalam­dalamnya bumi dari sejarah!"

Aku melihat masyarakat lndonesia, sejarah rakyat lndonesia. Dan aku menggali
lima mutiara yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu
cemerlang, tetapi oleh karena penjajahan asing yang 350 tahun lamanya,
terbenam kembali di dalam bumi bangsa lndonesia.

Aku oleh Universitas Gajah Mada dianugerahi titel Doctor Honoris Causa dalam
ilmu keta-tanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonegoro mengucapkan
pidatonya pada upacara pemberian titel Doctor Honoris Causa, pada waktu itu
beliau berkata: "Saudara Sukarno, kami meng-hadiahkan kepada Saudara titel
kehormatan Doctor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan, oleh karena
Saudara pencipta Pancasila".

Di dalam jawaban itu aku berkata: "Dengan terharu aku menerima


PANCASILA BUNG KARNO


titel Doctor Honoris Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah
Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Profesor Notonegoro, bahwa aku
adalah pencipta Pancasila".

Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia.
Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya, aku
gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa
Indonesia kembali.

Tidakkah benar, Saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum
ada Republik Indonesia, sebenarnya telah mengenal akan Pancasila? Tidakkah
benar kita-dari dahulu mula-telah mengenal Tuhan, - hidup di dalam alam
Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pemah menguraikan hal ini panjang
lebar. Bukan anggitan baru, bukan karangan baru. Tetapi sudah sejak dari
dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan.
Ya, kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agama-agama. Disempurnakan
oleh Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula
kita memang adalah satu bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah
benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan
Bangsa? Hidup di dalam alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil,
tetapi kebangsaan Indonesia. Hai, engkau pemuda-pemuda, pemah engkau
mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candi­candi
Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2 di waktu itu di bawah
pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo? Tahukah Saudara-saudara akan arti
perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu,
Mataram berarti Ibu. Masih ada persamaan perkataan Mataram itu, misalnya
perkataan mufter di dalam bahasa Jerman: Ibu; mother dalam bahasa
Inggris: Ibu; moeder dalam bahasa Belanda: Ibu; mater dalam bahasa
Latin: Ibu. Mataram berarti Ibu.

Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula,
sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan-Mataram.

Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai
kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak
mempunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam dada kita?

Ya, kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha


59


PANCASILA BUNG KARNO


Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar
pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali "tidak akan makan palapa,
jikalau belum segenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara
yang besar". Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah
pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta dari kesatuan kerajaan Majapahit?
Tidak!

Permimpin besar sekadar adalah sambungan lidah dari rasanya rakyat jelata.
Tidak ada satu orang pemimpin besar-walaupun besarnya bagaimana pun
juga-bisa membentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara
yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke. Bahkan sampai ke
daerah Filipina sekarang.

Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil ­pemimpin gurem atau
pemimpin yang bagaimana pun. Tetapi jikalau ada orang yang berkata, "Bung
Karno yang meng-adakan negara Repu­blik Indonesia"-tidak benar! !! Jangan
pun satu Sukarno-sepuluh Sukarno, seratus Sukarno, seribu Sukarno-tidak akan
bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata
Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!

Kemerdekaan adalah hasil dari perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula
menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu
golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik
sesuatu golongan adat-istiadat,-tetapi milik kita semua dari Sabang sampai
ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan oleh semua
bangsa Indonesia.

Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi-di mana pun aku datang,
aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama
Islam, tetapi juga di bagian--bagian yang beragama Kristen. Aku melihat
Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di sini di Surabaya-pada tanggal l0
November tahun 1945-siapa yang berjuang di sini? Segenap pemuda-pemudi,
kiai, kaum buruh, kaum tani-segenap rakyat Surabaya-berjuang dengan tiada
perbedaan agama, adat-istiadat, golongan atau suku.

Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu, demikian pula rasa
perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya

1 (Bhs. Jawa) Kutu ayam yang sangat kecil. Di sini dipakai dalam arti
kiasan.


60


PANCASILA BUNG KARNO


bangsa di dalam sejarah dunia ini, satu-satunya bangsa yang tidak pernah
menjajah bangsa lain. Aku tentang orang-orang ahli sejarah , yang bisa
mem-buktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah bangsa lain. Apa sebab?
Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak
dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu kita sudah mengenal perikemanusiaan.
Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agama-agama yang
kemudian.

Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan "Tat -twam asi'. Apa
artinya Tat twam asi? Tat twam asi berarti "Aku adalah dia, dia adalah
aku". Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang,
dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat twam asi perikemanusiaan.

Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada kita
perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan
ajaran-ajaran
fardhu kifayah-kewajiban-kewa-jiban yang dipikulkan kepada seluruh
masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau orang
mati itu tidak terkubur-siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan
berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan dari dosa itu? Bukan sekadar
kerabat famili dari sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut
tanggungjawab.

Demikian pula bagi agama Kristen. Tidakkah di dalam agama Kristen itu kita
diajarkan cinta kepada Tuhan, lebih dari segala sesuatu dan cinta kepada
sesama manusia, sama dengan cinta kepada diri kita sendiri? "Hebs U naasten
lief gelijk U zelve. God boven alles"2. Jadi rasa kemanusiaan, bukan barang
baru bagi kita.

Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan nasional
Indonesia laksana api mencetus dan meledakkan segenap rasa kebangsaan
Indonesia? Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri di atas
dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita gandrung
kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena
engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.

Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di
dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang

2 Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Cintailah
Tuhan di atas segala hal. (bhs. Belanda).


61


PANCASILA BUNG KARNO


baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan sosial-bukan cita­cita baru
bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung
Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis.
Tidak!

Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial.

Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan - Saudara-saudara berhadapan
dengan pemerintah Belanda -semboyannya selalu "Ratu Adil". Ratu adil
paramarta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi gandrung-nya
jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di
dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena
itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa mau-pun Kebangsaan, maupun
Perikemanusiaan, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku
yang mencip-takan. Aku sekadar menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku
persembahkan kembali kepada bangsa lndonesia untuk dipakai sebagai dasar
daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku,
beraneka adat-istiadat. Inilah, Saudara-saudara, maka di dalam sidang
Dokuritzu Zunbi Tyoosakai di dalam zaman Jepang-pertengahan tahun 1945-
telah'diadakan satu sidang dari pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam
sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal-hal ini.

Pertama, apakah negara yang akan datang itu harus berdasar satu falsafah
ataukah tidak? Semua berkata, "Harus berdasarkan satu falsafah!" Harus
memakai dasar. Sebab kita melihat di dalam sejarah dunia ini banyak sekali
negara-negara yang tidak berdasar, lantas berbuat jahat, oleh karena tidak
mempunyai ancer-ancer hidup bagi rakyatnya.

Kita melihat negara-negara yang besar. Tetapi oleh karena tidak
mempunyai ancer-ancer
hidup, tidak mempunyai dasar hidup, dengan sedih kita melihat bahwa
negara-negara itu berbuat sesuatu yang sebenarnya melanggar kepada
kedaulatan dan perikemanusiaan.

Di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai itu diputuskan akan memberi
dasar kepada negara. Akhirnya saya mempersembahkan Pancasila. Dan syukur
alhamdulillah sidang menerimanya. Dan tatkala kita memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dasar ini yang dipakai.
Dan aku berkata, oleh karena dasar ini segenap rakyat Indonesia dari Sabang
sampai ke Merauke menyambut


62


PANCASILA BUNG KARNO


kemerdekaan. Hanya persatuan inilah yang bisa membawa kita kepada cita-cita
kita sekalian!

Di dalam Kongres Rakyat Indonesia kuanjurkan persatuan ini. Di dalam Kongres
Partai Nasional Indonesia di Bandung 10 bulan yang lalu kuanjurkan persatuan
ini. Oleh karena aku melihat gejala-gejala perpecahan makin lama makin
meningkat, makin lama makin menampak. Bersatulah kembali, Saudara-saudara,
ber-satulah rakyat Indonesia, bersatu kembali di dalam persatuan nasional
revolusioner yang sebulat-bulatnya. Sebab kita duduk di dalam alam revolusi
nasional. Kalau kita mengadakan persatuan yang bukan persatuan nasional
revolusioner, tidak bisa kita menyelesaikan revolusi nasional kita itu. Aku
hidup di dalam alam persatuan ini, aku gandrung kepada persatuan ini, maka
oleh karena itulah, jikalau aku sekarang sebagai Presiden Republik lndonesia
berbicara di hadapan Saudara-saudara, resmi sebagai Presiden Republik
lndonesia yang membentangkan kepada Saudara-saudara dasar negara, yang aku
sumpah di atasnya seba-gai Presiden. Di samping itu aku bergembira hati
diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. sebagai warga negara biasa membicarakan
hal dasar--dasar negara mI.

Di dalam pidato 17 Agustus 1955 aku menganjurkan pula Panca Dharma. Apa inti
dari Panca Dharma? Tak lain dan tak bukan ialah inti itu keluar dari jiwa
Pancasila. Tidakkah Panca Dharma lima?

Pertama, persatuan. Kedua, yang merusak persatuan yaitu yang mengacau-ngacau
keamanan ini harus kita lenyapkan. Nomor tiga, pembangunan, pembangunan,
pemba-ngunan! Keempat, lrian Barat. Kelima, pemilihan umum. Pemilihan umum
pada intinya ialah persatuan. Segenap bangsa Indonesia yang 80 juta ini-yang
sudah dewasa 43 juta-diminta mengeluarkan suaranya dengan cara bebas, dalam
alam suasana persaudaraan. Mari kita sekarang dengan tenang dalam suasana
persaudaraan bangsa mengemukakan suara kita. Jiwa dari pemilihan umum adalah
persatuan!

Pembangunan juga tidak bisa selesai zonder persatuan. Dapatkah engkau
membangun ekonomi Indonesia dengan tidak persatuan? Tahukah engkau bahwa
Indonesia ini ekonomi yang sebenarnya satu unit, satu kesatuan yang
besar-yang jikalau satu daerah dikeluarkan, kocar-kacir ekonomi kita itu.
Dan kita menyusun satu ekonomi kolonial, ekonomi imperialis? Tidak! Di dalam
Undang-Undang Dasar kita


PANCASILA BUNG KARNO


sebutkan dengan tegas bukan ekonomi untuk membikin gendutnya perutnya satu
dua orang. Tetapi ekonomi yang membikin sejahteranya segenap rakyat. Inilah
dasar, inti jiwa daripada Undang-Undang Dasar kita, meskipun Undang-Undang
Dasar yang dinamakan sementara.

Satu ekonomi nasional yang menjamin semua bangsa Indonesia, hidup sejahtera,
layak, makmur. Bukan ekonomi yang membikin gendut orang satu. Tetapi ekonomi
sama-rata, sama-rasa. Satu ekonomi yang mengandung jaminan kehidupan yang
baik buat semua, di dalam suasana kesatuan dan persatuan.

Pengacau keamanan -bahwa itu memecah kepada persatuan, merugikan kepada
rakyat- perlukan masih kuuraikan? Tidak!

Irian Barat. Sebab apa Saudara-saudara menuntut Irian Barat?

Mungkin Saudara beragama Islam, di sana rakyatnya bukan Islam, lho! Kenapa
Saudara menuntut Irian Barat supaya masuk di dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia? Saudara akan menjawab: "Aku menuntut lrian Barat kembali
ke dalam wilayah Republik Indonesia oleh karena Irian Barat adalah sebagian
dari tanah air Indonesia, oleh karena suku Irian Barat adalah sebagian dari
bangsa Indonesia seluruhnya. "

Lho, kenapa saudara menuntut lrian Barat kembali kepada kekuasaan
Republik? Saudara akan menjawab: "Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam
wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh karena bangsa kita adalah satu
dari Sabang sampai ke Merauke".

Jadi dasarnya ialah persatuan bangsa. Maka oleh karena itu -aku sekali lagi
menganjurkan kepada segenap rakyat Indonesia, terutama sekali di hadapan
pemilihan umum ini- ingat kepada persatuan. Ingat kepada persatuan! Bangsa
Indonesia adalah selalu kukatakan bukan bangsa yang kecil, jumlahnya 80
juta. Lebih besar daripada bangsa yang lain-lainnya.

Aku telah-alhamduli11ah-me1awat ke Mesir, keArabia, ke India, ke Karachi, ke
Pakistan, ke Sailan, ke Rangoon dan sebagainya, kecuali ke Eropa dan
Amerika. Aku melihat bangsa kita potensinya hebat-hebat. Tidak ada satu
tanah air dari sesuatu bangsa yang lebih hebat daripada tanah air Indonesia.
Tidak ada satu bangsa yang lebih seragam ­sebenamya jikalau mau-dari bangsa
Indonesia. Tidak ada satu tanah air yang lebih indah dari bangsa Indonesia.
Jumlahnya pun tidak sedikit 80 juta. Lebih dari bangsa yang lain!


65


PANCASILA BUNG KARNO


Ya, kita kalah dengan Amerika Serikat jumlah bangsa kita ini.

Kalah dengan USSR (Sovyet Uni) jumlahnya bangsa kita ini. Kalah dengan
Tiongkok jumlah bangsa kita. Kalah dengan India jumlah bangsa kita. Tetapi
di samping yang empat ini, Saudara-saudara, tidak ada lagi yang mengalahkan
kita. Ada yang memadai kita jumlah rakyatnya, yaitu Jepang. Tetapi yang
lain-lain, semuanya kurang dari kita. Mesir yang Bapak tempo hari kunjungi
dan yang Bapak melihat semangatnya meluap-luap, berapa jumlah mereka? Mesir
yang Bapak lihat-mereka membangun, membuat dam--dam yang besar, membuat
jalan-jalan yang besar-jumlah mereka berapa? Mesir-yang membangun pula
tentara, tentara yang hebat, membangun angkatan udara yang aku melihat
pesawat-pesawat udara yang terbang di angkasa, Saudara-saudara ­berapa
jumlah mereka? Duapuluh tiga juta - kita 80 juta. Aku datang di Saudi
Arabia, berapa jumlah rakyat Saudi Arabia? Enam juta - kita 80 juta!

Aku datang di Bangkok, disambut oleh Perdana Menteri Phibul Songgram.
Tahukah engkau rakyat Thailand jumlahnya? Duapuluh juta-kita 80 juta. Kita
bangsa yang 80 juta bukan bangsa yang kecil. Kalau kita bersatu-kataku
berkali-kali-jikalau kita 80 juta bersatu­padu di dalam kesatuan nasional
revolusioner, tidak ada satu cita-cita yang tidak terlaksana oleh kita.


Sekian sajalah, amanat Bapak.


Sumber: PANCASILA BUNG KARNO, (Himpunan pidato, ceramah, kursus dan
kuliah), Penerbit PAKSI BHINEKA TUNGGAL IKA, Jakarta, 2005.*

DISIARKAN ULANG:  MD Kartaprawira, Nederland 01 Juni 2009.*
                                      INDONESIA BERJUANG, 01 Juni 2011