Minggu, 26 Mei 2013

Dari Bung Karno Aku Belajar Sejarah

UNTUK MENYONGSONG HARI ULTAH LAHIRNYA PANCASILA DAN BUNG KARNO TAHUN 2013 "INDONESIA BERJUANG" AKAN MENAYANGKAN ARTIKEL-ARTIKEL BERKAITANNYA (2)
http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/05/dari-bung-karno-aku-belajar-sejarah.html

Dari Bung Karno Aku Belajar Sejarah
by Hersri Setiawan (Notes) on Wednesday, May 22, 2013 at 5:01am

Dari Bung Karno Aku Belajar Sejarah
Bung Karno pencipta banyak kosakata
Bung Karno penggagas poster ‘Ajo Boeng!’


KETIKA di sekolah menengah atas dulu, aku mempunyai banyak guru-guru yang
hebat -- dalam arti bukan pandai menjejali dan mencetak pikiranku, tapi pandai
membukakan kesadaran dan mengasah  pikiranku. Seorang dari mereka itu guruku
Sejarah Indonesia, Pak Joodkali Padmapuspita, yang juga pamong senior Taman
Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Pak Padma, kami semua biasa menyapa.
          Pada hari pertama memperkenalkan diri, sekaligus sebenarnya
memperkenalkan masalah situasi dan kondisi kesejarahan Indonesia, antara lain
dikemukakan bahwa sumber sejarah Indonesia berbagai-bagai, termasuk juga apa
yang dikenal sebagai "babad". Tetapi karena babad memang ditulis sebagai
sanjungan dan puja-puji, maka segala "Wahrheit" pun sengaja diselimuti dengan
serba "Dichtung" yang indah-indah. Tugas kitalah, kata Pak Padma, untuk
menyiangi "Dichtung" agar "Wahrheit" menjadi tersingkap.
          Suatu ketika sampailah kami pada tiga prasasti Batu Tulis di Bogor, dari
sekitar tahun 450, sejaman dengan yang satu lagi yang ditemukan di timur Tanjung
Priok Jakarta. Selain bertorehkan telapak kaki Purnawarman, sang raja pendeta
negeri Taruma, dan telapak kaki gajahnya, prasasti juga memberitakan tentang
pembuatan saluran air sepanjang kira-kira limabelas kilometer dalam duapuluh
satu hari - -menurut Stutterheim inilah bangunan irigasi tertua di Jawa. Dalam
berita tentang penggalian saluran air ini disebut sepatah nama yang, karena
terselubung "Dichtung" kehinduan atau ke-sanskerta-an, lama menjadi teka-teki
para sejarawan Indonesia Purbakala. Nama itu ialah "Candrabhaga".
          Adalah Pak Purbatjaraka, menurut Pak Padma, yang kemudian tampil dan
berhasil mengurai teka-teki Stutterheim ini. "Candrabhaga" adalah bangunan kata
yang tersusun menurut kaidah kebahasaan Indo Jerman, termasuk di dalam rumpun
bahasa ini ialah bahasa Sanskerta. Untuk mengindonesiakannya susunan bangunan
kata itu harus dibalik: Bhaga - Candra. Kata "bhaga" tidak ada di kamus mana pun,
tapi  "candra" ialah kata Sanskerta untuk "bulan", sinonim dengan "sasi". Lalu
yang terdapat ialah sepatah kata "B(h)aga Sasi". Itulah "Bagasi" atau "Bekasi"
sekarang!
          Masih satu "teka-teki Stutterheim" lagi dituturkan Pak Padma, yang
juga telah dibukakan oleh Pak Purba. Teka-teki ini tentang piagam dari jaman
Syailendra, yang ditemukan di Canggal  Jawa Tengah, di arah tenggara candi
Barabudur. Seperti kata "candrabhaga" pada prasasti Batu Tulis yang menjadi
teka-teki, pada piagam Canggal dari tahun 732 ini terdapat kata "kunjara
kunjadesa". Di manakah gerangan "desa" itu terletak? Pak Purba tampil kembali
dengan cara yang sama: "kunjara kunjadesa" dibalik menjadi "kunjadesa kunjara".
Dua patah kata Sanskerta itu, sesudah diindonesiakan susunannya, lalu
diindonesiakan juga artinya: "kunjara" ialah "gajah" atau "liman"; "kunjadesa"
ialah "semak belukar" atau "hutan" atau "alas". Alas Liman, yaitu  Sleman
sekarang!
          Bekal kesejarahan kritis begitulah yang kujadikan pedoman, ketika
dua-tiga tahun kemudian aku berdiri di depan kelas-kelas sejarah di beberapa
sekolah. Tiba pada jaman Mataram, di bawah Sultan Agung Anyakrakusum (1613-
45),  yang tidak kuingkari kegagah-beraniannya dua kali menyerbu VOC di
Batavia, tapi kupertanyakan "kebesaran" pribadinya, ke-"lohjinawi"-an negeri dan
ke-"tata tenteram kerta raharja"-an hidup kaulanya. Mengapa? Aku merujuk ke
panggung ketoprak dalam lakon "Pranacitra - Lara Mendut",  roman Jawa "Serat
Pranatjitra" (1953), H.J. van Mook  "Kuta Gede" (1948), dan J.C. van Leur
"Indonesian Trade and  Society, Essays in Asian Social and Economic History"
(1955). Maka sampailah aku pada kesimpulan: Sultan Agung Anyakrakusuma
memang gagah berani.
          Tapi ia bukan raja binatara yang besar, melainkan sebaliknyalah: justru lalim. Dua kali ia memerangi Surabaya dan berhasil menundukkannya (1620) dengan siasat "perang kuman": membendung Brantas dan membusukkannya dengan bangkai; negeri dan kaulanya bukan "lohjinawi tata tenteram kerta raharja", tapi penuh penindasan  dan pemberontakan -- pajak perdagangan rokok klobot kretek Lara Mendut dinaikkan setiap senja hari, gudang perbekalan lasykar Mataram di pantai utara Jawa dibakar penduduk, dan suatu malam ibukota Karta gelap gelita karena "empat puluh maling dan kecu" menyerbu dan mengamuk!
          Di sini aku bertentangan dengan Bung Karno yang, jika dalam pidatonya
menyinggung Sultan Agung Mataram Anyakrakusuma, selalu disebutnya dengan
segala puja-puji kebesaran dan kegagah-beranian. Tapi aku mengerti alasan Bung
Karno: demi "nation building" rasa percaya pada diri sendiri sebagai bangsa perlu
ditanam dan dikukuhkan. Pada saat demikian Bung Karno tidak bicara sebagai
sejarawan, tapi sebagai kepala negara dan lebih khusus lagi sebagai bapak
bangsa. Ia tidak bicara tentang sisi politik, tapi tentang sisi kebudayaan dari
kejadian sejarah.
          Pada suatu hari Bung Karno pidato di bangsal utama Universitas Gadjah
Mada, di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Bung Karno satu-satunya presiden dari satu negara muda yang menerima dua puluh tujuh (27) gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan) dari berbagai universitas bergengsi di seluruh dunia. Universitas Gadjah Mada, salah satunya, ketika itu mewisuda Bung Karno sebagai doktor ilmupengetahuan sejarah. Inti dan jiwa pidato wisuda Bung Karno tetap masalah besar dan tunggal: "Nation Building".
          Berabad-abad Indonesia atau Nusantara di bawah pengaruh kebudayaan
Hindu. Sebutan "Indonesia" atau "Nusantara" itu sendiri sudah memberi petunjuk.  Kemudian memasuki sejarah modern, tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Hindu, berabad-abad pula Indonesia ditindis oleh  pengaruh kebudayaan Barat - dalam hal ini khususnya Belanda. Sebutan "Hindia Belanda" atau "Nederlands-Indie" juga sudah menunjukkan. Indonesia dianggap tidak ada di atas peta dunia. Indonesia bukan subjek di tengah-tengah bangsa-bangsa sedunia. Tapi sekedar objek. Objek sejarah! Dunia lalu punya istilah misalnya, dan kita tanpa pikir mengikuti, "Timur Tengah" dan "Timur Jauh". Begitu juga kita ikut menamai samudera perairan kita sendiri "Samudera Hindia". Bandingkanlah luas perairan India dengan Indonesia di lautan selatan kita ini! Kata Bung Karno. Oleh karena itu dan pada waktu itulah Bung Karno menggugat kemapanan istilah tua "Samudera Hindia", dan menuntut pemakaian istilah baru "Samudera Indonesia".
          Bukan hanya itu Bung Karno memberi contoh.  Pada pidato wisuda itu,
untuk kesekian kalinya ia menggugat dunia barat, yang mendominasi segala bidang
kehidupan. Kali ini dilontarkannya  hipotesis tentang siapa penemu benua
Amerika. Mengapa kita ikut mengiyakan saja nama seorang Amerigo Vespucci,
penjelajah Italia, yang hidup baru pada pertengahan abad ke-15 dan awal abad
ke-16? Padahal, gugat Bung Karno, sudah sejak jaman bahari pelaut-pelaut
Polinesia berkiprah di bentangan laut antara Pulau Madagaskar di barat sampai
pulau-pulau Paskah di timur? Di tengah mengarungi Lautan Teduh, para pelaut ini
terkadang mengalami angin mati. Anak-anak gembala di Jawa menyeru Gareng dan Petruk, bila angin mati, dan sendharèn layangan mereka tidak berbunyi. Tapi para pelaut Polinesia yang mati angin di tengah Lautan Teduh berseru-seru
menghidupkannya kembali dengan sepatah kata seruan: "Amukiriiiki! Amukiriiiki!" Dari situlah kata "Amerika" berasal, kata Bung Karno.
          Isi pokok pidato wisuda Sejarawan Soekarno di Universitas Gadjah Mada
ialah pesan, pertama: sebagai bangsa muda yang baru merdeka, harus menulis ulang sejarah sendiri; kedua, dalam menulis ulang sejarah sendiri itu, orientasi
kesejarahan harus dibalik, tidak ke barat tapi ke timur, tidak ke India atau
Belanda tapi ke Indonesia sendiri!

Sumbangan Bung Karno dalam kebahasaan
 Pada tahun 1966 dan sedikit tahun sesudah itu orang-orang bertampik sorak --
kata majemuk "tampik sorak" diintrodusir Bung Karno sebagai pengganti "tempik
sorak", yang oleh telinga Jawa pribadi Soekarno tentu terdengar saru. Mereka meniup terompet kemenangan  bagi "orde baru", sambil memukul genderang kematian bagi "orde lama", khususnya bagi Soekarno penanggung-jawab pertama dan utama "orde lama".
Sejak itu dari ujung rambut di kepala, sampai ke ujung kaki, Soekarno diceritakan sebagai serba hitam belaka! Sementara kaum budayawan ikut-ikut pula bersuara, di tengah gegap gempitanya "coup de grace" itu, ramai-ramai menuding Soekarno sebagai telah membikin kata-kata menjadi miskin makna dan bahkan kehilangan makna, sehingga akibatnya berarti telah membikin rusak bahasa.
Jaman itu, jaman orde para jenderal tentara, adalah jaman ketika hak
jawab tidak ada. Karena bahasa militer hanya kenal dua kosakata: "lapor!" dan
"siap!", yang harus selalu diteriakkan dengan nada dan langgam yang sama. Sejak
ketika itu "bhineka" yang "tunggal ika", semangat persatuan dan kesatuan
Indonesia serta wujud entitas budaya nusantara, sesungguhnya dalam proses
ditumpas. Ke-bhineka-an di dalam ke-ika-an dibasmi, untuk digantikan dengan
"tinggal ika" belaka, sejalan dengan "Pancasila" -- bukan "Pantja Sila" yang
versi Bung Karno -- dikukuhkan sebagai azas tunggal.
          Di tengah hiruk-pikuk melaknat Soekarno itu, aku pun tidak berbuat lain, selain sebisa-bisa menahan suara sendiri. Dalam anganku terkadang muncul bayangan dua sahabat-sahabatku, penyair kulit hitam yang selalu tersenyum dan penuh semangat. Khair Ahmad Khair dari Sudan yang selalu membuka dan menutup pidatonya dari mimbar pengarang Asia-Afrika, dengan pekik "Merdeka!" sambil mengacungkan tinju kanannya ke udara; dan penyair Kenya Kamwithi Munyi, yang selalu berbangga-bangga dengan sebutan "Bung" di depan namanya. Kata "merdeka" diserukan ganti-berganti dengan kata "uhuru", sebutan "bung" mendesak sebutan "comrade in arms", "Panca Sila" Bung Karno telah mengilhami "Consciencism" Kwame Nkrumah, demikian juga sumber acuan kritik keras Theja Gunawardhana , pemimpin gerakan perempuan Srilangka, terhadap "Kruschevism".
          Pada paroh pertama dasawarsa enampuluhan kata-kata "bung", "merdeka", "panca sila", "dasa sila" telah menjadi lema-lema baru di dalam kamus politik Asia-Afrika yang bangkit dan bergerak.
          Sebutan egaliter "bung" itu sendiri, siapakah penciptanya, dan sejak
kapan masuk dalam perbendaharaan kata bahasa kita, dan menjadi lazim dipakai?
Barangkali tidak satu orang bisa menjawab dengan pasti. Tapi sepatah kata simbol
pergerakan kebangsaan ini memang belum dikenal oleh para pendekar kebangsaan
angkatan Budi Utomo, juga belum lazim pada masa "Janget Tinatelon"
Suwardi-Tjipto-Douwes Dekker, dan bahkan tidak pernah tertulis di depan nama
para pemimpin komunis seperti  Semaun, Darsono dan Tan Malaka. Juga Marco
Kartodikromo, yang menuliskan bunyi "ko" pada namanya  tidak dengan "ko", tapi
menggantinya  dengan "co" (agar terkesan sebagai Jawa yang "maju"?), masih
tampil di depan publik sebagai "Mas Marco" bukan "Bung Marco".
          Menurut Nursyamsu, penyair Angkatan '45, guruku Bahasa Indonesia di
SMP, sebutan "bung" berasal dari Batak. Menurut Anton Timur Jaelani, guruku
Bahasa Indonesia di SMA, berasal dari Bali. Tapi ada lagi dugaan mengatakan,
berasal dari kosakata bahasa Betawi. Pendek kata asal-usul "bung" tidak
diketahui dengan pasti. Tapi yang pasti, kata sebutan ini sudah dikenal
berpasangan dengan nama "Karno", lekat satu sama lain ibarat dua sisi dari
sebuah mata uang yang sama, sudah sejak Soekarno muda terjun di gelanggang
politik. Kalaupun bukan Soekarno muda yang menggali dan menemukan kata "bung" ini dari haribaan perbendaharaan kata nenek moyang, seperti halnya lima butir mutiara-mutiara Panca Sila, tapi pastilah ia dan karena ia telah mengangkat dan meluaskan penggunaannya sebagai kata penyapa yang sarat arti dan semangat.
          Di dalam kata "bung" terkandung arti dan seruan semangat persaudaraan,
persamaan, dan kemerdekaan. Dengan tampil sebagai "bung" ia menjembatani jarak yang terentang antara Soekarno yang insinyur dengan "Marhaen" yang "petani gurem".
          Istilah "Marhaen", seperti diketahui, adalah "ciptaan" Bung Karno,
ketika ia hendak merumuskan cita-cita perjuangan dan menjabarkan cita-cita
perjuangannya itu di dalam ajaran. Juga istilah "petani gurem". "Gurem" ialah
kutu ayam, binatang unggas piaraan rakyat kecil. Istilah dunia hewan, yang hanya
akrab bagi golongan bawah masyarakat ini, dipungut Soekarno, dijadikannya
penyebut untuk membentuk sepatah kata majemuk baru Indonesia: "petani gurem",
yaitu "petani tak bertanah dan petani miskin". "Gurem" sepatah kata dari dunia
hewan yang hanya mengandung arti tunggal ini, oleh Soekarno diangkat menjadi
sepatah kata yang bernuansa baru, nuansa sosial dan politik sekaligus.
          Peristilahan baru Indonesia sumbangan Bung Karno, selalu diciptakan
dengan cara yang sama seperti ketika ia "menciptakan" Panca Sila. Yaitu dengan
cara menggali dan mengangkatnya dari guagarba kebahasaan nenek moyang. Bukan nenek moyang kaum elite, tapi nenek moyang rakyat kecil. Di sinilah bedanya peristilahan baru sumbangan Soekarno dan "Orde Lama", yang memperkaya kebahasaan dan menerangi makna kata-kata, dibanding dengan sumbangan Suharto, kaum militeris dan "Orde Baru", yang menciptakan peristilahan baru dengan akibat mempermiskin kebahasaan dan dengan sengaja untuk menggelapkan makna kata-kata.
Peristilahan dari "jaman Suharto" dikais dan dipunguti dari kamus bahasa Sanskerta, bahasa kaum elite Jawa Kuno yang bukan saja tidak populis tapi juga sudah mati; peristilahan dari "jaman  Soekarno" ialah peristilahan yang hidup di dalam denyut jantung rakyat jelata. Adakalanya beberapa istilah bahkan dibangun oleh Bung Karno dari kata-kata yang "belum jadi", sehingga  menjadi peristilahan yang onomatopeik. Tapi justru karena itu selalu mengandung daya hidup, selain tentu saja akrab bagi kehidupan rakyat sehari-hari.
          Sementara budayawan "Orde Baru" menuding Soekarno dan "jaman Soekarno" telah merampas kata-kata dari maknanya. Dalam hubungan ini barangkali bisa diajukan sebagai satu contoh, misalnya, tentang kata "rakyat".  Arti harfiah kata "rakyat" ialah penduduk suatu wilayah, masyarakat awam, atau orang kebanyakan. Tetapi di "jaman Soekarno" arti kata ini telah diberi nuansa baru yang bersifat sosial politis, yaitu "golongan bangsa yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme", atau golongan bangsa yang berjuang untuk emansipasi politik dan sosial. Untuk membedakan antara dua aspek nuansa itu, antara yang harfiah dan yang sosial politis, bahasa Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) lalu mengeja untuk yang berpengertian akhir sebagai "Rakyat" (dengan "R" kapital), seperti halnya dalam kalangan Keluarga Besar PKI yang biasa membedakan antara "kawan", yaitu sahabat, dengan "Kawan" (dengan "K" kapital), yaitu saudara seideologi.
          Contoh lagi istilah "ganyang". Kata ini tidak dikenal dalam kamus orang gedongan, yang untuk "makan" pun perlu diperhalus menjadi "santap". Tapi dalam kehidupan wong cilik di kampung dan petani di desa, kata "ganyang" adalah varian kata "makan", yang berarti mengunyah atau makan langsung mentah-mentah dan habis-habis. Soekarno mengangkatnya  ke panggung wacana politik, sehingga kata "ganyang" memperoleh nuansa makna baru yang sosial-politis: "menghancurkan" atau "melikuidasi".
          Bung Karno menamai pidato tujuhbelasan kenegaraannya sekali setiap
tahun sebagai dialog antara Soekarno dan Rakyat, antara Ego dan Alter-Ego
pribadinya. Ia, karenanya, tidak bicara berlama-lama "dari pikiran ke pikiran",
tapi memilih langsung "dari hati ke hati". Pada pandangan Soekarno rakyat
bukanlah para pemimpin dan pembesar yang duduk di kursi-kursi kenegaraan, tapi
mereka yang dari dalam sorot matanya masih tertangkap amanat penderitaan. Di
depan rakyat kecil yang serba sederhana itu kata-kata "ganyang ngak-ngik-ngok",
misalnya,  lebih gampang diterima ketimbang "hancurkan rock-'n-roll". Istilah
“ngak-ngik-ngok” itulah istilah baru berdasar peniruan bunyi: ngak, ngik, dan
ngok. Istilah-istilah onomatope.
          Setiap kata selalu mempunyai dua arti, arti harfiah dan arti sosial.
Demikian pula halnya setiap mata uang selalu mempunyai dua nilai, nilai
intrinsik seperti yang tertulis di atasnya, dan nilai riil seperti yang berlaku
di pasar pertukaran barang-barang. Nilai intrinsik tetap adanya, seperti halnya
arti harfiah kata-kata, nilai riil selalu berubah-ubah menurut ruang dan waktu.
          Bung Karno telah meluaskan "daerah pengaruh" bahasa Indonesia, jauh
melampaui batas-batas wilayah negerinya. Bung Karno telah menciptakan banyak
peristilahan baru yang populis, sehingga karenanya sejalan dengan watak egaliter
bahasa Indonesia sendiri yang bahasa pembebas dan bahasa pemersatu. Bung Karno juga telah memperkaya nuansa makna pada banyak kata-kata yang lazim diucapkan sehari-hari.
 “Ajo Boeng!”
 "Ajo Boeng!" seruan sebuah poster terkenal dari masa awal "Revolusi Pemuda". Kalau benar apa yang pernah dituturkan Basuki Resobowo kepadaku, tentang asal-usul dua patah kata seruan itu sehingga menjadi tajuk (caption) poster, maka secara kebetulan di sini pun terkandung wawasan dan sepak terjang Soekarno yang populis. Menurut Resobowo "Ayo, Bung!" dua patah kata perempuan lampu merah bilangan Pasar Senen, yang mereka serukan sambil berdiri di depan pintu, dalam nada bergenit-genit, ketika mengundang calon tamu di antara laki-laki yang lalu lalang di depan rumah bordil mereka.
          "Djon!" Kata Bung Karno suatu hari pada S.Sudjojono. "Buatlah satu
poster yang sederhana tapi kuat, untuk membangkitkan semangat Pemuda."
          Sudjojono lalu membawa gagasan Bung Karno yang dipesankannya padanya
itu kepada Affandi, yang segera pula menerjemahkannya di atas kanvas. Beberapa hari kemudian jadilah poster itu: lukisan satu tinju mengacung ke atas. Sudjojono dan Affandi puas memandangi hasil karya mereka. Tapi masih satu hal yang kurang. Kata-kata apa yang patut dibubuhkan di poster, yang tidak kalah sederhana tapi juga sarat dengan pesan yang kuat.
          Sedang mereka berdua berpikir keras, mencari kata-kata untuk caption,
masuklah ke studio Chairil Anwar dan Basuki Resobowo. Mereka baru pulang
kluyuran di Pasar Senen.
                   "Ril, ini dia!" Seru Sudjojono selagi mereka masih di ambang pintu.
          "Poster sudah siap. Tapi belum ada caption. Tugasmu sekarang!"
                   Chairil memandangi poster itu sebentar.
                   "Ayo Bung!" Suara Chairil ringan, tapi bernada sungguh-sungguh.
                   Sudjojono dan Affandi saling pandang sejurus. Kemudian semua sepakat.
Kata-kata "Ajo, Boeng!" dibubuhkan di sana dalam gaya tulisan tangan Bung Karno. Karena itu tentu saja tidak dilafalkan dalam nada-nada bergenit-genit, tapi dalam nada mengguntur seperti suara Bung Karno dari atas mimbar pidato. Maka Sudjojono, dalam salah satu artikelnya mengatakan, poster "Ajo, Boeng!" diciptakan berempat: Bung Karno pemberi ide, Affandi penerjemah ide di kanvas, Chairil Anwar pemberi teks, Sudjojono penata letak.
Memperingati peristiwa dan tokoh sejarah, pesan Bung Karno, bukan
untuk mencari abunya. Tapi untuk menangkap apinya, dan kemudian menyalakan
apinya itu. Demikianlah tulisan pendek ini bermaksud. Untuk menangkap "Api Bung Karno", dan menyalakan terus Api itu.
          Apakah "Api Bung Karno" itu? Tidak ada lain melainkan harkat dan hakikat
sepatah kata "Bung" itu sendiri. Kata yang bernuansa kemanusiaan, sekaligus "battle cry" perjuangan kemanusiaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar