Rabu, 22 Februari 2012

Pancasila, NKRI dan Pengkhianatan



 
KabarIndonesia  OPINI

Pancasila, NKRI dan Pengkhianatan
Oleh : Janu Wijayanto | 10-Feb-2012, 14:37:26 WIB 
KabarIndonesia - Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa hancur jika dominasi permasalahan privat seperti gosip perselingkuhan, korupsi, gaya hidup mewah, hedonisme elite, kerakusan korporasi, ketiadaan hukuman, terabaikannya hajat hidup rakyat. Di samping itu, rusaknya toleransi kehidupan publik, mahalnya pendidikan dan ketidakmampuan berobat masyarakat miskin yang kesemuanya ini berujung pada persoalan ketidakmampuan negara menjamin penyelenggaraan kebutuhan publik. 

Rusaknya Republik 
Masih dapat diingat kembali tentunya bahwa pada saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia hendak mendirikan negara ini apakah berbentuk Kerajaan atau Republik seluruh tokoh pendiri bangsa bermunajat kepada Tuhan, dan bentuk Republik akhirnya dipilih oleh para founding fathers, bahkan Ki Bagus Hadikusumo memimpin doa ketika itu (AB Kusuma, 2004). 

Ironis jika saat kehidupan bernegara menjadi begitu liar mengikuti konsep-konsep asing yang jauh dari semangat para pendiri negara sebagaimana dalam Pancasila sebagai pedoman bernegara dan UUD 1945. 

Ini tentu bukan hal remeh tetapi menjurus kepada pengingkaran amanah penderitaan rakyat dari sebuah negara yang dilahirkan melalui revolusi nasional dan untuk mewujudkan revolusi sosial guna mencapai masyarakat berdaulat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 

Persoalan terus berlarut akibat minus ketegasan penyelesaian persoalan yang meyakinkan publik bahwa Indonesia adalah sebuah negara republik yang bertujuan menyelenggarakan kepentingan, kesejahteraan, kebahagiaan publik diatas persoalan privat.

Bukankah sudah jelas bahwa Indonesia merupakan negara bangsa yang berdiri diatas dasar negara Pancasila guna menjamin kemajuan, kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan seluruh bangsa Indonesia. Ketegasan sikap elit untuk menjalankan ideologi dan dasar negara merupakan jawaban atas persoalan yang sedang terjadi di negara ini.

Sayang jika negara dijalankan liar seperti tanpa arah tujuan dan itu bisa dimaknai sebagai penghianatan kepada dasar negara dan ideologi negara yang mengatur semua penyelenggaraan negara.

Hingga detik ini misalnya masih minus kritik publik sebagai pemilik sah kedaulatan rakyat terkait merajalelanya korupsi tanpa kepastian sanksi dan kesetaraan dimata hukum yang menyatakan bahwa hal itu adalah penghianatan riil terhadap Pancasila. Penghianatan riil terhadap amanat penderitaan rakyat. Tidak ada yang bilang korupsi anti Pancasila. Anti amanah penderitaan rakyat dan merusak kehidupan republik demi kepentingan privat segelintir tikus pengerat bangunan negara. 

Dengan begitu Pancasila semestinya dikembalikan sebagai dasar dan ideologi negara tidak semata dibonsai dalam kaidah moral Pancasila yang pada gilirannya justru mengecilkan perannya sebagai state fundamental norm atau norma dasar bernegara yang harus dipatuhi rakyat sekaligus yang lebih penting adalah ditaati oleh elit penyelenggara negara (pemerintah) dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagai hakim pengawasnya. Masih adakah patriot-patriot Indonesia? Masih adakah penjaga eksistensi NKRI? 

Kebangunan Negara Bangsa 
Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) jelas salah satunya memiliki dasar kebangsaan. Dasar kebangsaan ini sebagaimana disampaikan Soekarno presiden pertama Republik Indonesia sebagai sebuah kombinasi dari keinginan untuk bersatu sebagaimana definisi Ernest Renan dan persamaan watak akibat persamaan nasib sebagaimana yang disampaikan Otto Bauer sekaligus ditambahkan oleh Soekarno yaitu geo politik atau hubungan antara letak geografis tanah air dengan rasa kehidupan politiknya. Indonesia dengan geopolitik diantara dua samudra dan dua benua adalah satu-satunya letak tanah air yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia dan hendaknya hal itu menjadikan corak tersendiri sebagai sebuah bangsa yaitu bangsa Indonesia. 

Komposisi kebangsaan Soekarno ini bisa dibilang utuh sebagai sebuah ide yang memiliki supremasi gagasan yang kuat dan berpijak pada kondisi obyektif dan basis materiil yang jelas.

Kendati demikian harus diakui bahwa bangunan yang diharapkan Soekarno memang belum paripurna dalam arti belum dilaksanakan dengan menyeluruh dan tuntas. 

Kebangsaan Indonesia seperti sebuah proyek besar yang belum sempurna dilaksanakan. Kebangsaan Indonesia belumlah selesai. Indikasinya terlihat dimana bangsa Indonesia belum sempurna merasa menjadi satu bangsa Indonesia sebagaimana nampak dalam fenomena munculnya persoalan akhir-akhir ini yaitu dengan masih menonjolnya identitas-identitas agama tertentu terhadap yang lain, kelompok-kelompok tertentu terhadap yang lain dan tuntutan kepentingan daerah-daerah tertentu terhadap NKRI. 

Terlebih seakan belum utuh adanya sikap satu bangsa yang kokoh. Belum hadir utuh keberpihakan individu-individu yang merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia terhadap individu lain yang mengalami kesusahan hidup dan penderitaan. Alhasil, tidak heran jika masih terjadi banyak persinggungan antar individu dalam banyak persoalan dan tak heran jika muncul kesenjangan antara individu super kaya dan individu yang sangat miskin di negara ini semakin meluas. 

Terjadi disparitas antara kaya dan miskin yang semakin tinggi adalah bukti belum utuhnya kebangsaan Indonesia. Kesenjangan antara intelektual dan publik semakin tidak terjembatani dimana kaum cendekiawannya belum serentak terjun ke masyarakat guna menyelesaikan secara bersama-sama kepentingan masyarakatnya. Belum tergugah untuk memperjuangkan amanat penderitaan rakyat.

Tak heran jika lulusan-lulusan perguruan tinggi masih kehilangan empati sosial terhadap penderitaan masyarakatnya dan cenderung berpikir hidup pribadi setelah lulus itupun dengan beberapa catatan kesulitan mendapatkan pekerjaan tanpa berpikir yang dihadapinya adalah sebuah persoalan nasional yang terintegrasi bukan berdiri sendiri. Sebaiknya hal tersebut segera menjadi cermin bagi pemimpin negara untuk sesegera mungkin membenahinya. 

Terjadi kemiskinan negarawan di Indonesia. Pancasila harus segera diajarkan sebagai ideologi dan dasar negara bukan sebatas acuan moral warga negara. Paska reformasi bangsa ini seperti mencari-cari rujukan tanpa dangau persinggahan. Sudah cukup, kembalilah kepada dasar negara dan ideologi negara. 

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang gandrung akan kebaikan hidup bersama. Bangsa yang menghuni pulau-pulau dengan kekayaan alam maha besar namun tetap dengan kesalehan dalam menjaga agar tidak terjadi kerusakan alam. Jauh dari kerakusan privat yang kehausan akan penumpukan keuntungan yang melupakan hak sesamanya. 

Kebangsaan Indonesia menjadi kunci pencapaian tujuan nasional Indonesia. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menjadi tanda yang jelas bahwa negara ini didirikan dengan mengedepankan pemenuhan tujuan publik, bukan konsepsi asing yang khas privat liberal. 

Kembalilah kepada dasar negara Pancasila sekaligus ideologi untuk menjadi bintang yang menunjukkan arah bagi pemerintah untuk mencapai tujuan negara kebangsaan Indonesia. Berkiblatlah kepada amanah penderitaan rakyat. Prinsip kedaulatan rakyat adalah salah satu dasar dalam Pancasila untuk itu rakyatlah yang bisa memberi sanksi kepada elit dan oknum-oknum yang menghianati Pancasila dengan mengedepankan kerakusan privat. (*)

Janu Wijayanto (Pemerhati Masalah Kebangsaan)

Selasa, 21 Februari 2012

MD Kartaprawira - IN MEMORIAM SDR. ACHMAD SUPARDI ADIWIJAYA


IN MEMORIAM SDR. ACHMAD SUPARDI ADIWIJAYA
(Sambutan pada upacara pemakaman, Zaandam. Nederland, 16-02-2012)

Assalamualaikum Wr. Wb.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun

Sdr/Sdri semuanya yang terhormat,

Berita  tentang  musibah  yang menimpa  Sdr. Achmad Supardi Adiwijaya, bagi kita semua sangat mengejutkan sekali. Pada hari minggu , 5 Februari, Bung Supardi ketika sedang main badminton sekonyong-konyong  jantungnya berhenti bekerja. Dalam keadaan koma Sdr. Achmad Supardi dibawa dengan ambulan ke rumah sakit. Tetapi, perawatan di rumah sakit ternyata tidak berhasil menyelamatkan jiwanya.  Kejadian tersebut sangat tidak dinyana, sebab Sdr. Supardi senantiasa kelihatan segar bugar, sehat kuat dan selalu ke mana-mana necis pakai jas dan dasi. Memang sdr. Achmad Supardi sejak belajar di Uni Soviet sampai di Negeri Belanda tidak menanggalkan hobinya main baminton. Pada tanggal 10 Februari, hari Jumat kira2 jam 11.00 jantung saudara Achmad Supardi tidak berdetak lagi. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun – Semua datang dari Allah dan kembali kepadaNya lagi.

Sdr. Achmad Supardi Adiwijaya lahir di Tambun (Jawa Barat) 26 Maret 1941, meninggalkan istri tercinta Tatiana Bagdanova, dan putra-putrinya: Iman, Agustina, Saleh dan Hani. Almarhum adalah salah satu mahasiswa yang bahagia, karena pada tahun 1962 dikirim oleh Pemerintah Soekarno ke Moscow (Uni Soviet) untuk tugas belajar di Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa di fakultas Ekonomi, yang oleh negara diandalkan bisa menjadi spesialis patriotik untuk pembangunan Indonesia.  Tetapi setelah pecahnya peristiwa G30S dan disusul timbulnya kekuasaan rejim militer Suharto, yang dengan semena-mena melakukan pelanggaran  hukum dan HAM terhadap  jutaan orang tak bersalah dan melakukan kudeta terhadap pemerintah sah Soekarno yang anti NEKOLIM (Neokolonialisme, Kolonialisme, Imperialisme), menyebabkan Sdr. Achmad Supardi , seperti halnya ratusan mahasiswa lainnya, tidak bisa pulang ke tanah air untuk mengabdikan ilmu yang telah diperolehnya setelah tamat belajar.  Sebab paspornya dicabut oleh pemerintah Orde Baru Suharto melalui kedutaan Besar RI di Moscow. Maka sejak itu Sdr. Achmad Supardi menjadi salah satu dari mereka yang dinamakan “Orang Terhalang Pulang”, atau orang eksil. Karena pemerintah Uni Soviet memberi kesempatan melanjutkan studi, maka  sdr. Achmad Supardi setelah tamat dari Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa melanjutkan studinya ke Universitas Negara Lomonosov di Moscow sampai berhasil mendapatkan  gelar kesarjanaan Ph.D. jur. ilmu Sejarah. Kemudian dia bekerja di Institut Ilmu Ketimuran sampai tahun 1989.

Sebagai seorang nasionalis, semenjak pecahnya peristiwa 1965 Sdr. Achmad Supardi telah bergabung dalam organisasi Gerakan Pembela Ajaran Soekarno (GEPAS), di mana berhimpun mahasiswa-mahasiswa nasionalis  pendukung Soekarno dan ajaran-ajarannya di Uni Soviet. Ketika pada tahun 1969 terbentuk GERPINDO (Gerakan Patriot Indonesia) di luar negeri yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi kaum nasionalis-patriotik di Uni Soviet, Cekoslovakia, Bulgaria, Rumania, Berlin Barat, dan Perancis,   Sdr. Achmad Supardi juga termasuk dalam barisan GERPINDO, yang berjuang bersama organisasi-organisasi progresif Indonesia lainnya melawan rejim Orde Baru Suharto, dengan menyebarkan buletin INDONESIA BERJUANG ke  mana saja termasuk  ke Indonesia.

Perjalanan hidup Sdr. Achmad Supardi sebagai Orang Terhalang Pulang akhirnya pada tahun 1989 sampailah  di Negeri Belanda, yang dicita-citakan sebagai persinggahan untuk kembali ke tanah air. Di tempat domisili baru tersebut Sdr. Achmad Supardi aktif dalam bidang jurnalistik. Pertama-tama menjadi wartawan Sk. MERDEKA, kemudian menjadi wartawan RAKYAT MERDEKA. Sdr. Achmad Supardi banyak meliput kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Belanda, di mana banyak bergabung orang-orang terhalang pulang. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya: peringatan Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, 100 Tahun Bung Karno, Peringatan Tragedi Nasional/Kemanusiaan 1965 dan lain-lainnya. Siaran-siaran liputan Sdr. Achmad Supardi membuka mata rakyat Indonesia, bahwa orang-orang terhalang pulang di luar negeri tetap mantap keindonesiaannya dan patriotismenya, tetap berjuang untuk tegaknya Demokrasi, Pancasila dan NKRI .

Dalam perjuangan politik Sdr. Achmad Supardi adalah Pendukung berat PDI Perjuangan. Maka ketika di Negeri Belanda terbentuk KORWIL PDIP,  Sdr. Achmad  Supardi  aktif membantu pelaksanaan tugas-tugas KORWIL PDIP Negeri Belanda, dan sempat menghadiri Kongres-Kongres PDIP di Semarang dan Bali sebagai peninjau.
Demikianlah liku-liku jalan panjang kehidupan Sdr. Supardi yang dengan gigih dilaluinya dengan jiwa nasionalis-patriotismenya.

Atas nama kawan-kawan lama seperjungan dan seorganisasi  yang berada di Rusia, Cekoslovakia, Jerman, Swedia, Indonesia dan lain-lainnya, yang tidak bisa hadir disini, kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga besar Sdr.Achmad Supardi Adiwijaya baik yang di Eropah, maupun di Indonesia. Semoga arwah Sdr. Achmad Supardi diterima Allah dengan limpahan kasih sayangNya dan semoga keluarga besar yang ditinggalkan  dianugerahi ketabahan dan kesabaran dalam situasi duka tersebut. Amien.

Selamat jalan Sdr. Achmad Supardi Adiwijaya, selamat beristirahat di kedamain abadi.

Nederland, 16 Februari 2012,

MD Kartaprawira
(Sahabat lama seorganisasi-perjuangan, Sekretaris Korwil PDI Perjuangan  Nederland). 


OBITUARI
In Memoriam Ahmad Supardi Adiwijaya

Oleh Bonnie Triyana                Minggu, 12 Februari 2012 , 07:02:00 WIB
A. SUPARDI ADIWIJAYA/RMOL
  

Sukarno memberangkatkannya, Soeharto menghalanginya. Kini dia berpulang untuk selamanya.
INGATAN saya melayang kembali ke empat tahun lampau, pada suatu hari di bulan Februari. Seorang pria tua bertopi menjemput di stasiun Hoofddorp. Tak sepadan dengan usianya, dia tampak masih enerjik. “Buat apa bapak jemput saya di sini? Saya bisa ke Zaandam sendiri,” kata saya. “Ah.. Bung kan tamu, harus saya layani,” balas pria itu sambil menepuk pundak saya seraya menggiring masuk ke ruang tunggu peron. Berlindung dari terpaan angin musim semi yang masih dingin menusuk. Tak lama, kereta datang. Kami duduk saling berhadapan. Dia bicara tentang masa lalunya yang tak putus sampai kereta tiba di stasiun tujuan.
“Biar bung saya bonceng. Biar gini-gini juga saya masih kuat balap lari dengan bung,” kata dia mempersilahkan saya menaiki sepeda jengkinya. Setahun kemudian dia cerita sepeda itu hilang dicuri kendati sudah digembok dobel. Lelaki itu mulai menggenjot sepedanya dengan barang muatan seorang pemuda plus tas ransel di punggungnya. Mungkin setara empat karung beras, tapi sepeda terus melesat.
Ahmad Supardi Adiwijaya, demikian nama lelaki yang selalu berdandan necis itu. Keberadaannya di Belanda punya riwayat panjang. Sebuah riwayat yang baru saja ditutup seiring kematiannya kemarin, Jumat (10/2) di Belanda. Pak Pardi, demikian saya memanggilnya, terkena serangan jantung saat bermain bulutangkis pada Minggu (5/2). Sempat dirawat dalam keadaan koma selama sepekan namun fisiknya tak lagi sekuat empat tahun lalu, saat memboceng “empat karung beras” tiba selamat sampai di rumahnya.
Supardi tak pernah bermimpi hidup di luar negeri. Tapi jalan hidup berkata lain. Dia, bersama banyak pemuda Indonesia terpilih lainnya, berangkat ke Uni Soviet sebagai mahasiswa ikatan dinas (Mahid) pada Agustus 1962. Sebelum berangkat, Supardi masih berstatus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Moskow yang dingin bersalju tak menurunkan elannya. Menjadi sarjana ekonomi dan bekerja di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) adalah cita-cita Supardi kelak. Dalam benaknya terbayang bahwa Indonesia adalah seumpama lahan subur yang terbentang luas dan memerlukan tenaga pemuda untuk menggarapnya.
Sebagai mahid, Supardi menerima tunjangan sebesar 90 rubel per bulan. Berdasarkan perjanjian dengan Kementerian PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) yang memberangkatkannya, setiap mahid (sejak tahun 1962) diberi tunjangan oleh pemerintah Indonesia setiap tahun untuk “uang pakaian” sebesar 125 US Dollar. Sedangkan beasiswa lainnya diberikan oleh pemerintah Uni Soviet sebagai wujud persahabatan. Berbekal uang itu Supardi bisa hidup sederhana dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Biaya kamar, kegiatan olahraga, buku-buku dan semua keperluan studi sepenuhnya ditanggung universitas alias gratis.
Pada saat kuliah, Supardi aktif mengikuti banyak kegiatan, mulai musik sampai olahraga. Dia belajar main drum agar bisa aktif dalam pertunjukan kesenian. Dalam bidang olahraga dia pun lihai bermain bulutangkis. Di luar kuliah, Supardi tergabung sebagai anggota Gerakan Pembela Ajaran Soekarno (Gepas). Organisasi mahasiswa nasional Indonesia yang berada di Uni Soviet itu menahbiskan diri sebagai pengikut ajaran Soekarno.
Pada 1 Oktober 1965, saat Supardi berada di pengujung masa studinya, dia mendengar berita dari radio tentang gerakan Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol. Untung di Jakarta. Supardi mengambil sikap mengutuk gerakan itu seraya tetap mendukung kepemimpinan Presiden Soekarno. Prinsip yang dipegangnya adalah perjanjian sebagai Mahid sebelum berangkat: akan tetap setia kepada Kepala Negara Republik Indonesia.
Keyakinan Supardi ternyata berpengaruh pada jalan hidupnya di kemudian hari. Soekarno dilengserkan secara perlahan oleh Soeharto. Seketika pula semua hal yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarno ditetapkan musuh utama Orde Baru. Tidak ada tempat bagi pendukung Soekarno.
Soeharto yang perlahan tapi pasti menduduki kekuasaan mulai melakukan konsolidasi. Kepada mereka yang berada di luar negeri, baik yang menduduki kedutaan besar maupun mahasiswa diberikan dua pilihan: mendukung Soeharto atau tidak. Bagi mereka yang mendukung selalu tersedia “tiket” untuk kembali pulang dengan aman. Sedangkan yang tak memberikan pilihannya pada kekuasaan Soeharto, tak ada pilihan lain kecuali bertahan di negeri rantau.
Supardi, seperti yang ia yakini sejak awal, tetap mendukung Soekarno. Bagi dia presiden Republik Indonesia yang resmi tetaplah Soekarno. Konsekuensi logis yang harus diterimanya adalah hidup jauh dari tanah air, tanpa mengetahui kapan bisa kembali menjejakkan kaki di tanah air.
Waktu terus bergulir. Harapan pulang dan kerinduan pada keluarga di kampung halaman tetap ada dalam benak Supardi. Sekali pun belakangan, disadarinya kalau itu ilusi belaka. Namun Supardi harus tetap bertahan pada keadaan yang dihadapinya. Layar telah terkembang, pantang perahu berlabuh pulang sebelum hasil boleh didulang. Pada 1967 Supardi berhasil meraih gelar master ekonomi dari Universitas Lumumba dan melanjutkan studinya ke jenjang doktoral di Universitas Negara Lomonosov. Pada masa kuliah doktor, dia memutuskan menikahi gadis Rusia, Tatiana, 25 Maret 1971.
“Saya melanjutkan pendidikan doktoral saya dalam bidang sejarah di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negara Lomonosov. Jadi saya ini pemegang gelar Ph.D sejarah lho,” ujarnya sembari menunjukkan ijazah doktornya kepada saya saat bertandang ke rumahnya empat tahun lalu.
Pada 1975 Supardi berhasil jadi doktor. Bidangnya masih jarang ditemui di Indonesia: sejarah ekonomi. Disertasinya pun “mengerikan” untuk zamannya: “Persatuan Kaum Progresif Indonesia- Syarat Penting (untuk) Pencapaian Demokrasi dan Kemerdekaan Penuh (1959-1965)”. Berbekal doktor dalam kajian sejarah, Supardi melamar pekerjaan di Institute Oriental Studies, Moskow. Di sana dia bekerja sebagai pegawai bagian informasi ilmiah sejak tahun 1976 sampai dengan 1990.
Pada akhir tahun 1970-an, Supardi datang ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow untuk mengajukan permintaan mendapatkan izin pulang ke tanah air. Sesuai dengan prosedur yang ada di KBRI, Supardi mengisi formulir pendaftaran. Izin tak berbalas. Sepuluh tahun masa penantian sia-sia belaka. Supardi gagal pulang dan berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesia.
Pada 1989 ribuan rakyat Jerman Timur dan Barat berbondong-bondong menghancurkan tembok yang memisahkan mereka selama bertahun-tahun. Hancurnya tembok Berlin lambang keruntuhan komunisme di dunia. Perubahan yang diawali dari runtuhnya tembok Berlin menjalar ke Eropa Timur. Lambat laun gelombang perubahan pun menerpa Uni Soviet.
Mikhail Gorbachev mengumumkan kebijakan Glasnost dan Prestroika, dentang awal hadirnya kebebasan keterbukaan di seantero jagad Uni Soviet. Peluru kendali berhulu ledak nuklir milik Uni Soviet tak lagi diarahkan ke Amerika Serikat. Usai sudah perang dingin yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Sementara keadaan di Uni Soviet berubah dengan cepatnya, pada Mei 1990 Supardi bersama keluarganya memutuskan meninggalkan Uni Soviet menuju Belanda sebagai pencari suaka politik.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pada 1991 pemerintah Belanda menolak memberikan suaka politik kepadanya dengan alasan bukan orang komunis yang dikejar-kejar pemerintah Orde Baru. Berkat kegigihan dan bantuan “Stichting Vluchtelingen Werk” dan juga bantuan Rita Jongelingen, seorang Indonesianis yang humanis, Supardi dan keluarganya mendapat status A (kategori yang disandangkan kepada para pelarian politik).
Akhir tahun 1993, Supardi dan keluarganya memperoleh izin tinggal dari pemerintah Belanda. Untuk menopang hidup seorang istri dan empat anaknya, pada 1994 hingga 1997 Supardi bekerja di Holland Parcel Express, sebuah perusahan kurir di Amsterdam. Meski tak dapat uang pensiun (mengingat masa kerja yang sangat singkat), Supardi tetap bisa menikmati masa pensiunnya sebagai warganegara Belanda dengan jaminan sosial dari pemerintah.
Untuk mengisi masa pensiun dan menyalurkan hobi menulisnya, Supardi menjadi koresponden untuk situ berita Rakyat Merdeka Onlinedi Jakarta. Status sebagai wartawan membuatnya luwes bergerak dan menjangkau berbagai tokoh. Seringkali flat Supardi yang sederhana itu menjadi tempat persinggahan kolega Indonesianya yang datang dari berbagai latar belakang profesi: mulai diplomat sampai dengan wartawan. Satu hal yang terus diperjuangkan olehnya saat itu adalah mendapatkan kembali status warganegara Indonesia. “Paling tidak untuk anak-anak saya,” kata dia.
Supardi mencintai Indonesia sepenuh hati dan dia ingin keempat anaknya memiliki kecintaan yang sama pada negeri asal ayah mereka. “Agustina anak saya, itu pandai menari Bali lho,” katanya sembari menunjukkan foto anaknya. Untuk berkomunikasi dengan keempat anaknya Supardi menggunakan tiga bahasa sekaligus: Rusia, Indonesia dan Belanda.
Pada 2007, sepulangnya dari Belanda, saya sempat menulis sebuah feature panjang mengenai kehidupan warga Indonesia yang mendapat suaka politik di Belanda. Salah satunya tentang Supardi. Lucunya, ternyata dia pun menulis dua serial artikel mengenai diri saya yang dimuat di koran Rakyat Merdeka. Mungkin begitulah kalau dua wartawan bertemu, saling bicara, saling mendengar, saling mencatat dan hasilnya: sebuah kisah. Berbulan kemudian Supardi mengabarkan kepada saya kalau salah seorang anaknya telah memperoleh paspor Indonesia. Belakangan saya dapat kabar kalau Supardi pun sudah kembali punya paspor berlambang garuda.
Pada Oktober 2010, saya masih sempat bertemu dengannya di Amsterdam. Saat itu saya diundang untuk bicara pada sebuah diskusi mengenai sejarah Indonesia di rumah Mintardjo di Oestgeest, Leiden. Sama seperti Supardi, Mintardjo pun orang Indonesia yang jadi eksil. Waktu itu Supardi menawarkan agar kami, yang mau pergi ke Leiden, tak perlu naik kereta. “Naik mobil saya saja, saya ke Zaandam dulu. Ambil mobil. Kalian tunggu di sini,” kata dia sambil berlari gesit. Tak lama kemudian sebuah mobil sedan tua datang. Kami bersama pergi ke Leiden. Supardi menyetir mobil. Saya dan tiga kawan, menumpang. Tak dinyana itu pertemuan terakhir. Dia wafat pada sebuah laga, menyerah pada takdir hidup untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Pak Pardi. Selamat jalan, sahabat!! [***]
Penulis adalah sejarawan tinggal di Jakarta

Ketua MPR Dukung Masyarakat Kalteng Usir FPI


BeritaSatu – Sel, 14 Feb 2012

Ketua MPR Dukung Masyarakat Kalteng Usir FPI


BERITASATU.COM - Kearifan lokal harus dihormati setiap orang siapapun tanpa kecuali
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufik Kiemas membela tindakan masyarakat adat Dayak, di Kalimantan Tengah, Sabtu (11/2) lalu, yang mendemo rencana pendirian Forum Pembela Islam (FPI) di wilayah itu.
Menurut Taufik, tindakan masyarakat adat Dayak itu harus dilihat dalam kerangka kearifan budaya dan pilihan masyarakat lokal.
"Kearifan lokal harus dihormati setiap orang siapapun tanpa kecuali," kata Taufik Kiemas dalam acara puncak "Perayaan Kerukunan Umat Beragama" di gedung DPR, Jakarta, hari ini.
Dia melanjutkan bahwa menghargai kearifan lokal itu sangat penting karena hanya dengan itulah kekerasan yang terkait budaya dan adat bisa dihentikan.
Dengan demikian, sebuah organisasi tertentu seharusnya juga bisa menghargai suara masyarakat lokal yang hendak didatanginya. Tanpa adanya penghormatan itu, kata Taufik, maka konflik dan kekerasan yang akan terjadi.
"Kalau kearifan lokalnya kayak begitu, ya begitu," tegas dia.
Sebelumnya, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah menolak kehadiran FPI di wilayah mereka karena dianggap tak menghargai kebhinekaan. Tindakan masyarakat lokal itu didukung oleh Pemerintah daerah setempat.

Megawati instruksikan FPDIP kembalikan RUU Kamnas


Megawati instruksikan FPDIP kembalikan RUU Kamnas

Selasa, 14 Februari 2012 20:22 WIB | 1202 Views

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri meminta Fraksi PDIP DPR untuk mengembalikan draft RUU Keamanan Nasional kepada pemerintah untuk disempurnakan lagi karena sejumlah substansi RUU itu banyak mengurangi hak warga negara.

"Perlakuan RUU Keamanan Nasional ini (kepada warga negara) seperti Orde Baru saja," ujar Megawati kepada pers seusai memberi pengarahan kepada FPDIP DPR RI di Gedung DPR Jakarta, Selasa.

Dijelaskannya bahwa ada sejumlah substansi dalam RUU tersebut yang akan mengurangi hak warga negara sipil, seperti adanya penyadapan dan peluang-peluang penangkapan.

Oleh karena itu, menurut Megawati, DPR harus mengembalikan naskah RUU tersebut kepada pemerintah dan tidak perlu ada batas waktu bagi pemerintah mengembalikannya lagi ke DPR RI.

"Baiknya RUU ini dikembalikan dulu kepada pemerintah. Selesaikan dulu hal-hal yang lebih urgent bagi masyarakat," ujarnya.

RUU Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah terdiri dari 60 pasal dan 7 bab. RUU tersebut telah diajukan pemerintah ke DPR untuk dibahas di Komisi I beberapa waktu lalu.

Sementara itu Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Puan Maharani mengatakan bahwa lebih dari separuh pasal-pasal RUU Kamnas mengontrol penuh keamanan pada wilayah internasional, wilayah nasional, daerah bahkan privat alias individu rakyat. 

"Inilah yang membuat PDIP khawatir akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah kerja Polri dengan TNI. Selain itu, ada trend kembali ke masa orde baru pula. Sementara PDI Perjuangan punya pengalaman yang menyakitkan dikala orde baru," ujarnya.

Jadi, Puan menambahkan, pihaknya tidak ingin mengalami kembali masa-masa suram saat rezim orde baru berkuasa dan untuk itu Fraksi PDIP berjuang untuk mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah dengan tanpa batas waktu.

Dalam kesempatan itu, Megawati tampak di dampingi Ketua Fraksi PDIP DPR RI Puan Maharani dan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo.

(T.D011/M009)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2012

Megawati: Tak Ada Alasan KPK Tak Tuntaskan Century




Megawati: Tak Ada Alasan KPK Tak Tuntaskan CenturySelasa, 14 Februari 2012 | 23:23
Megawati Soekarnoputri. [google] Megawati Soekarnoputri. [google]
[JAKARTA] Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri menilai, tidak ada alasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak menuntaskan kasus Bank Century, yang telah merugikan uang negara hingga triliunan rupiah.

Kepada pers seusai memberi pengarahan kepada Fraksi PDI-P DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/2), Megawati menuturkan bahwa DPR RI melalui rapat paripurna telah memutuskan sikap terkait kasus Century serta merekomendasikan KPK menuntaskannya.

"Jadi berdasarkan keputusan paripurna DPR sendiri, ya, kasus itu harus dituntaskan," ujar Megawati yang juga mantan Presiden RI itu. Menurut Megawati, KPK sebagai institusi penegak hukum tentunya harus menjalankan amanat itu dengan mengusut secara tuntas kasus Century.  

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa sebagaimana produk hukum lainnya, keputusan yang telah diambil DPR RI melalui rapat paripurna juga mempunyai berbagai implikasi, apabila KPK ternyata tidak menjalankan tugasnya mengusut tuntas kasus Century.

"Sudah ada penyelidikan DPR bahwa hasilnya ada kerugian negara di sana. Itu sudah diputuskan dan KPK tinggal menjalankan penegakan hukum saja," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Megawati yang didampingi Ketua Fraksi PDIP DPR RI Puan Maharani dan Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo juga ditanya seputar capres 2014 dan bagaimana komentarnya tentang tokoh-tokoh muda yang diharapkan tampil.

Menurut Megawati, siapapun tokoh muda yang akan maju dalam kompetisi Pilpres 2014 harus benar-benar siap menjadi pemimpin bangsa, dan tidak sekadar pernyataan di mulut saja. "Lihat dulu generasi muda itu, apakah sudah benar-benar siap," ujarnya.

Selain itu, Megawati menambahkan, hal yang juga penting dicermati adalah apakah sudah bisa dijamin bahwa pilpres itu benar-benar dilaksanakan secara jujur dan adil. Demikian pula harus dipikirkan bagaimana sistem pemilu yang diselenggarakan tersebut bisa meminimalisasi politik uang di masyarakat pemilih. [Ant/L-8]  

Mega: Mau Diterima, FPI Harus Dapat Simpati


Mega: Mau Diterima, FPI Harus Dapat Simpati

"Kita mesti punya toleransi. Tidak bisa kita memaksakan kehendak kita," ujar Megawati.

Selasa, 14 Februari 2012, 19:42 WIB
Aries Setiawan, Mohammad Adam
VIVAnews - Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri mencermati penolakan Front Pembela Islam oleh masyarakat di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Menurut putri mantan Presiden Soekarno itu, simpati publik sangat penting agar keberadaan organisasi apapun dapat diterima.

"Kita mesti punya toleransi. Tidak bisa kita memaksakan kehendak. Saya kira dari FPI sendiri tentu harus melihat bagaimana caranya supaya mereka paling tidak mendapat simpati dari masyarakat itu sendiri," kata Megawati di gedung DPR, Selasa 14 Februari 2012.

Namun dia tak mau mengomentari wacana pembubaran FPI yang kembali marak disuarakan beberapa elemen masyarakat. 

"Itu bukan masalah saya. Tanyakan kepada pemerintah pusat. Karena pemerintah pusat lah sebenarnya yang harus melakukan suatu tindakan melalui tata pemerintahan yang ada," tuturnya.

Tapi yang pasti, katanya, organisasi apapun tidak boleh melakukan tindakan kekerasan apapun terhadap orang lain, menjunjung tinggi aturan hukum, dan menghormati hak-hak orang lain. 

"Jadi, kalau ada suatu hal yang dilakukan dengan tindak kekerasan, saya kira juga semuanya tidak akan setuju," ucapnya.