Jumat, 30 Desember 2011

BEBERAPA MASALAH KASUS CENTURY


Message body



Kebablasan Soal Century

Kamis, 29 Desember 2011 | 04:59 WIB
Semua orang tentu setuju kasus bailout Bank Century dibongkar tuntas. Tapi keinginan sebagian politikus Senayan menyewa auditor internasional amatlah berlebihan. Sikap ini sama saja dengan tidak mempercayai audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan pengusutan lembaga penegak hukum.
Manuver kebablasan itu muncul setelah BPK dianggap tidak serius mengungkap aliran dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun. Hasil audit forensik ini tidak berbeda jauh dengan hasil laporan investigasi BPK pada 2009. Hanya, kali ini audit lebih berfokus pada sejumlah sasaran, antara lain transaksi surat berharga, pemberian kredit, transaksi letter of credit, dan transaksi kas valas.
BPK memang mengungkap beberapa transaksi aneh. Misalnya aliran dana ke saudara ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama periode 2006-2009. Juga ada aliran dana Rp 100 miliar ke perusahaan yang menerbitkan sebuah harian nasional. Hanya, BPK belum menemukan hubungan antara aliran dana tersebut dan kasus Bank Century.
Bila hasil audit itu dinilai belum cukup, orang tak habis pikir temuan seperti apa yang dicari oleh politikus Senayan. DPR sendiri bahkan telah mengusut kasus Century lewat pembentukan panitia angket. Penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, juga telah menanganinya. Pemilik bank ini dan sejumlah orang yang terlibat dalam kejahatan perbankan pun sudah dihukum.
Boleh jadi, sebagian anggota DPR tetap mengincar Menteri Keuangan waktu itu, Sri Mulyani, dan Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono. Kita tahu kasus Bank Century ini bermula dari keputusan pemerintah memberikan dana talangan karena bank tersebut dinilai tidak sehat dan membahayakan dunia perbankan.
Politikus kemudian berupaya mengungkap kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang di balik keputusan ini karena banyak nasabah yang diuntungkan. Masalahnya, dalam penyelidikan kalangan Senayan itu tidak ditemukan bukti bahwa pejabat pembuat kebijakan tersebut mendapat keuntungan, apalagi menerima suap. Begitu pula dalam hasil penyelidikan KPK dan audit forensik BPK terbaru. 
Boleh saja politikus Senayan kecewa terhadap hasil audit BPK. Tapi mereka semestinya tetap menghargai hasil kerja lembaga tinggi ini. Lagi pula, bukankah DPR sendiri yang dulu memintanya melakukan audit forensik? Sikap tidak percaya kepada BPK juga tampak aneh lantaran DPR-lah yang selama ini menentukan para pemimpin lembaga ini. 
Begitu pula sikap politikus yang berlebihan dalam �menggoreng� kasus Century. Muncul kesan bahwa mereka tidak percaya kepada proses penegakan hukum, termasuk yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Manuver seperti ini menggelikan lantaran DPR pula yang selama ini memilih pemimpin KPK.
Kenapa anggota DPR sulit bersikap konsisten? Melakukan manuver politik tidaklah dilarang. Hanya, masyarakat justru sulit menerima jika politikus cenderung melecehkan akal sehat. Kalangan politikus seolah sengaja menjadikan kasus Century sebagai komoditas politik, dan bukan penyelesaian secara hukum.

29.12.2011 10:11

Kasus Century Bakal “Meledak” di 2012

Penulis : Bambang Soesatyo*  
Potret penegakan hukum 2011 masih sangat mengecewakan. Masih banyak terjadi penjungkirbalikan fakta untuk membantah kebenaran dalam setiap kasus hukum.
Tahap demi tahap penyidikan, penyelidikan, hingga peradilan bahkan identik sandiwara. Ini karena “kebenaran” dan “keadilan” versi kekuasaan dan uang suap sudah dirumuskan, bahkan sebelum peradilan itu dimulai.
Tengok saja kasus Century. Publik tentu merasa geli menyikapi kebuntuan proses hukum Skandal Bank Century. Ketua KSSK mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp 680 miliar lebih dana talangan.
Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp 6,7 triliun, bukankah angka itu sudah menunjukkan adanya penyimpangan dalam bailout dan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti, itu jelas kebohongan.
Hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengecewakan. Laporan audit forensik BPK yang akan diserahkan ke DPR, Jumat (23/12), tidak memuat hal baru dan jauh dari harapan. Tekanan kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut.
Laporan BPK tidak beda jauh dengan laporan audit investigasi BPK yang pertama. Tidak ada pengungkapan aliran data detail yang kita harapkan dengan berbagai alasan. BPK hanya mengungkap ada aliran dana ke PT MNP, penerbit koran partai tertentu pada periode 2006-2009 senilai Rp 100,95 miliar.
Auditor forensik yang menangani audit lanjutan kasus Bank Century juga diduga telah membohongi publik. Pemimpin BPK mengatakan penanggung jawab audit investigasi lanjutan mempunyai sertifikat CFE, ternyata tidak. Auditor Forensik BPK itu adalah I Nyoman Wara, Novy Gregory Antonius Palenkahu, dan Harry Purwaka.
Di kasus lain, publik dibuat tercengang ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin.
Dakwaan itu memperlihatkan adanya penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin. Nama elite partai politik dan seorang menteri yang keterlibatannya telah berulang kali diteriakkan Nazaruddin sama sekali tidak disebut-sebut dalam dakwaan itu.
Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi publik praktis gagal total. Eksistensi mafia pajak berawal dari pengungkapan oleh seorang pejabat tinggi Polri. Karena disebut mafia, publik langsung mendeskripsikan kasus ini sebagai organisasi kejahatan dengan spesialisasi penggelapan atau pencurian pajak negara.
Organisasi mafia mempunyai anggota banyak dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan akhirnya berhasil dibawa pulang ke Jakarta oleh (katanya) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), publik membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan menyebut sejumlah nama.
Gayus memang melakukannya. Tetapi dalam proses penanganan kasusnya kemudian, penyidikan dan penyelidikan hanya fokus pada kasus Gayus, tidak menyentuh kasus penggelapan pajak lainnya, seperti dugaan manipulasi restitusi Wilmar Group, Asian Agrie, Ramayana Group, dan lain-lain yang pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) DPR.
Lagi-lagi, penegak hukum menghindar dari kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang diduga terlibat kejahatan.
DPR kemudian menggagas Hak Angket mafia pajak. Aneh bin ajaib, justru pemerintah dan partai pemerintah berupaya menggagalkan Hak Angket tersebut, sehingga 151 perusahaan kakap yang diduga “bermain” pajak menjadi bebas.
Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) pun sama menggelikan. Fakta dijungkirbalikkan sehingga justru yang melaporkan menjadi tersangka. Mantan panitera pengganti MK Zaenal Arifin Hoesein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sementara Andi Nurpati yang diduga memalsukan justru dilindungi. Publik melihat ada kejanggalan.
Jangan Hanya “Perang-perangan”
Kasus yang menjadi perhatian publik hingga kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Tanpa pernah mendengar keterangan dari pihak yang melakukan suap, sejumlah orang divonis bersalah dan dipenjarakan.
Setiap kali ditanyakan siapa penyuap sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum hanya bisa berdalih. Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk mengungkap sosok pemberi suap dalam kasus ini. Pulangnya Nunun akan mengungkap kotak pandora itu.
Menjelang tutup tahun 2011 ini, Jakarta dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan di Mesuji. Proses penanganan tragedi Mesuji terasa janggal.
Kalau terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (pemerintah pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian? Tidakkah berarti ada SOP yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?
Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh segera setelah terjadinya peristiwa. Ini menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka ke Komisi III DPR.
Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, ada pihak yang berupaya menyederhanakan kasus. Ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.
Tragedi Mesuji terjadi pada April 2011. Kalau tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap tragedi kemanusiaan. Ini jelas tidak wajar.
Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak penyerang tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional. Dengan begitu, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini. Apalagi, warga setempat mengaku selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman.
Bagaimana dengan 2012? Menurut saya, ke depan hampir tidak ada celah untuk terjadinya situasi hukum yang kondusif. Imbas politik sandera yang diterapkan Pemerintahan SBY-Boediono sejak 2009 pasti akan terus mewarnai tahun depan. Tetap akan ada tarik-menarik kepentingan elite. Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sikap ambigu dari SBY yang selalu menggembor-gemborkan penegakan hukum, tetapi pada kenyataannya tidak memposisikan diri sebagai panglima untuk pemberantasan korupsi, akan terus terjadi. Dinamika hukum yang terkesan saling sandera tetap dibiarkan, sebagai bentuk usaha lari dari tanggung jawab.
Tak aneh bila kemudian kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di 2011 akan terus menjadi batu sandungan pemerintahan SBY di 2012. Menurut saya, kasus Century di tahun depan akan “meledak” menjadi lebih besar.
Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil audit forensik BPK yang jauh panggang dari api, akan berujung pada Hak Menyatakan Pendapat. Bila itu terjadi bukan tak mungkin kegaduhan politik akan mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.
Belum terlambat untuk memperbaiki penegakan hukum dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Itu dapat dimulai dengan mengungkap kasus-kasus besar yang hingga kini masih mengendap di institusi penegak hukum, termasuk di KPK. Jika penegak hukum berhasil mengungkap kasus itu, yang lainnya juga akan terungkap.
Kita berharap pemimpin KPK yang baru bisa menunjukkan keberanian melawan segala bentuk tekanan dan intervensi yang dilancarkan kekuatan-kekuatan tertentu. Jika harapan publik itu tidak direalisasikan, pemimpin KPK yang baru harus merealisasikan janjinya untuk mengundurkan diri.
SBY juga harus menunjukkan kemauan politik untuk tidak diskriminatif lagi dalam penegakan hukum. Kalau perilaku pemimpin masih tetap “sontoloyo”, agenda penegakan hukum pasti terus karut marut. Tekad presiden dalam perang melawan korupsi pun tetap dibaca publik sebagai “perang-perangan” melawan korupsi.
*Penulis adalah Inisiator Hak Angket Century, anggota Komisi III DPR.

BPK Klaim Audit Century Sudah MaksimalJumat, 30 Desember 2011 | 6:29
Ilustrasi Bank Century [google] Ilustrasi Bank Century [google] 


[JAKARTA] Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengklaim lembaganya sudah bekerja secara maksimal dalam pemeriksaan aliran dana kasus skandal dana talangan (bailout) Bank Century yang sekarang berganti nama menjadi Bank Mutiara. Bahkan, BPK pun berani menjamin tak ada intervensi dalam audit forensik kasus Century.   Untuk itu, Ketua BPK Hadi Poernomo meminta pihak DPR tidak meragukan kinerja BPK. 

“Bukan kami merasa maksimal, tapi memang sudah maksimal ini,” imbuhnya pada acara diskusi panel ”Mengupas Lebih Dalam Hasil Pemeriksaan Investigatif Lanjutan atas Kasus PT Bank Century Tbk” di gedung BPK, Jakarta, baru-baru ini. 

Tambahnya, BPK mengaku tidak mengetahui apa penyebab hingga DPR terkesan tidak puas dengan hasil pemeriksaan Bank Century . ”(DPR) Kasih tau donk kurangnya dimana. Saya tidak tahu. Kalau anda tidak puas, tidak puasnya dimana, apakah saya termasuk banyak omong atau apa. Ibaratnya, saya disuruh masak nasi kuning dengan berbagai perangkatnya diminta oleh DPR, lalu saya masakin nasi kuning dan apa yang kurang, apa kurang telur puyuh atau sambal goreng atinya kan kita tanya. Tapi, kalau dikatakan tidak puas yah kami jawabnya gimana,” tuturnya.   

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua BPK Hasan Bisri. Diakuinya, sejak awal BPK sudah menilai pasti akan ada pihak-pihak yang tidak puas akan hasil pemeriksaannya. ”Kami tidak bisa men-drive DPR akan puas atau tidak,” ungkapnya.   Padahal, BPK sudah bekerja keras dengan melakukan dua kali audit pemeriksaan. ”Sehingga kalau tidak ditemukan seperti yang dikehendaki. Jangan kami dituduh mengeliminir laporan yang kami buat,” tukasnya.   

Adapun, meski dua kali melakukan audit atas Century, namun BPK menganggap audit investigasi dan audit forensik itu sama. Di mana, dua hal itu, kata Hasan intinya adalah memastikan ada tidaknya pelanggaran hukum. Sehingga, hasil audit ini bisa dipakai oleh aparat hukum.  

Lebih lanjut Hadi mengatakan, jikalau DPR sudah mengatakan sumber tidak puasnya dimana maka pihaknya berjanji agar segera menindaklanjutinya. Menurutnya, BPK sudah menjalani tugasnya berdasarkan fakta yang terjadi. Kalaupun belum, sambungnya itu karena terhalang batasan, beda halnya dengan aparat penegak hukum. “BPK sebagai auditor sama seperti orang tunangan, kalau aparat penegak hukum itu sudah nikah jadi bisa bebas. Sedangkan kita ada batasan,” ucapnya.   

Dia pun mengakui mengalami sejumlah hambatan saat melakukan audit forensik Bank Century. Untuk itu, BPK meminta bantuan DPR untuk mendapatkan sejumlah data yang merupakan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK), dan Bank Indonesia (BI). 

”Ada surat resmi dari Bapepam yang membuat kita tidak dapat masuk kepenyimpanan data itu. Padahal di undang-undang dikatakan, kalau Bapepam bisa membuka data ketika dibutuhkan. Sekarang ini dibutuhkan. Tapi kenapa tetap tidak bisa dibuka?. Kalau  masuk ke BI ada undang-undang BI. BPK tidak bisa langsung, harus bekerja atas nama BI, makanya minta izin BI,” tuturnya.   

Meski menyatakan diri sudah maksimal di tengah keterbatasannya dalam melakukan audit Century, pihaknya mengatakan tidak bisa meminta lembaga pemeriksa internasional untuk melakukan peer review hanya karena skandal Century semata. Namun, secara keseluruhan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 33 UU BPK, pihaknya memang akan memakai jasa BPK internasional untuk melakukan peer review terhadap keseluruhan hasil pemeriksaan BPK.   

“Undang-undang memberikan kesempatan untuk menguji hasik BPK atau peer review dan ini pernah dilakuakan oleh dua BPK negara besar yakni Belanda (Algemene Rekenkamer) dan New Zealand (The Netherlands Court of Audit) terhadap hasil audit BPK. Pemeriksaan meliputi seluruh aspek kelembagaan. Namun, untuk ke depan negara mana maka akan dirapatkan dulu dan diserahkan ke DPR,” katanya. [O-2]

Apa Kabar Skandal Bailout Bank Century?

Oleh Rachmat Hidayat | TRIBUNnews.com –  39 menit yang lalu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus Bank Century menjadi gempar bersamaan dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pertama kali, tahun 2008. Hingga di penghujung tahun 2011, kasus ini terus menjadi isu panas dalam penegakan hukum yang dilakukan.
Lembaga hukum adhoc, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) para pimpinannya sudah berganti. Pimpinan yang baru dibawah komando Abraham Samad, DPR menaruh harapan besar agar kasus ini tuntas, memproses hukum mereka yang dinyatakan bersalah dalam skandal menghebohkan selama pemerintahan SBY-Boediono mulai berdiri.
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono--sekarang wapres--dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)--saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani--dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik perbankan yang tidak sehat.
Atas dasar laporan investigasi awal BPK inilah tak lama begitu DPR periode yang baru terbentuk periode 2009-2014, bergulir Hak Angket Skandal Bailout Bank Century Rp 6,7 triliun. Hiruk-pikuk kemudian terjadi. Saat itu, seluruh fraksi, termasuk fraksi Demokrat mendukung penuh Hak Angket Century. Pansus Angket Century itu sendiri, terbentuk setelah disetujui Paripurna DPR, pada 4 September 2009.
Satu persatu mereka yang dianggap relevan, baik keterangan para ahli, sampai mereka yang dituding terlibat dalam skandal bailout ini, dipanggil DPR. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di depan Pansus Angket Century, kemudian secara tegas mengatakan, bahwa pemberian suntikan dana ke Bank Century, adalah sebuah perampokan. Jusuf Kalla tegas mengatakan, Bank Century tidak berdampak sistemik terhadap bank-bank lain, jika ditutup.
Setahun kemudian, pada 3 Maret 2010, 6 fraksi (Golkar, PDI-P, Gerindra, Hanura, PKS, dan PPP) mendukung Opsi C yang setuju adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam mem-bailout Bank Century. Terjadi penyalahgunaan wewenang baik tindak pidana perbankan, tindak pidana umum, pencucian uang, sampai tindak pidana korupsi.
Jelang penghujung tahun, KPK sudah memeriksa sekitar 70 an saksi terkait kasus Bank Century ini. Mantan Menkeu Sri Mulyani, sampai Wakil Presiden Boediono, juga sudah diperiksa oleh KPK. Alhasil, Tim pengawas Kasus Century DPR yang terbentuk pasca keputusan kemenangan Opsi C, kecewa.
BPK, kemudian diminta untuk melalukan audit forensik untuk mendalami atas hasil audit investigasi yang dilakukan sebelumnya. Hasilnya, sudah diserahkan secara resmi oleh BPK kepada pimpinan DPR, pada 23 Desember lalu.
Fraksi-fraksi pendukung Opsi C tetap kecewa berat. Bahkan, memunculkan usulan agar audit forensik dilakukan oleh auditor independen. Muncul juga gagasan lain yang membuat kubu pemerintah sedikit was-was. Kasus Bank Century ini, lebih tepat diselesaikan secara politik melalui Hak Menyatakan Pendapat (HMP) oleh DPR.
Jelang pergantian tahun, kasus ini masih terus 'panas' menjadi pergunjingan para politisi di DPR mengiringi penantian aksi para pimpinan KPK yang baru, menuntaskan kasus skandal ini.
Fraksi-fraksi yang mendukung opsi C, samar-samar menyatakan dukungan bila HMP dilakukan. Kubu menolak opsi C, tentu bersikap sebaliknya.
"Tahun berganti, kasus hukum ini akan tetap menjadi 'bola liar', dan diyakini akan tetap heboh sampai kasus ini benar-benar tuntas. Tuntas diselesaikan secara hukum, mereka yang terlibat," kata politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, anggota timwas Century yang juga penggagas hak angket skandal perbankan ini.

SPI Desak Pemerintah Benahi UU Agraria


 

SPI Desak Pemerintah Benahi UU Agraria  

Rochmanuddin
29/12/2011 21:47
Liputan6.com, Jakarta: Carut-marutnya regulasi agraria dianggap sebagai biang keladi konflik agraria yang belakangan makin massif. Karenanya, Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah untuk segera membenahi berbagai undang-undang agraria.

"Pemerintah harus mempertahankan UU No. 5/1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan pembaruan agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Pasal 33 UUD 1945," ujar Ketua SPI Henry Saragih dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12).

SPI mendorong pemerintah segera menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan membentuk sebuah komite adhocpenyelesaian konflik agraria yang menjunjung nilai-nilai keadilan sosial. "Karena itu kami mendesak pemerintah segera mencabut berbagai UU yang merugikan dan melanggar hak petani," kata Henry.

"Pemerintah juga harus mengfungsikan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia dengan memastikan pendalian tata niaga distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia," katanya. 

Henry juga mendesak pemerintah agar menyusun visi pembangunan pertanian Indonesia menempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas juga harus dijadikan sebagai salah satu cara memberdayakan petani.

"Koperasi bagi petani dan usaha-usaha keluarga petani juga harus diberdayakan dan menempatkan BUMN untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk pertanian," tandasnya.

Lebih lanjut Henry juga mendesak pemerintah untuk memberikan peran yang lebih luas kepada petani dalam implementasi pembangunan dengan meninjau Permentan No. 273 Tahun 2007. "Pemerintah juga harus mencabut pembebasan impor bea masuk ke Indonesia, terutama impor bahan pangan, dan melarang impor pangan hasil rekayasa genetika," kata Henry. (YUS)

Kematian Demokrasi Kita


Opini - Hari ini Pkl. 00:54 WIB
 
Oleh : Umbu TW Pariangu.
Jika Soekarno menggugat Indonesia soal nasionalisme, Hatta dengan ekonomi berdikarinya serta Syahrir dengan filosofi ekonomi sosialis-nya. Mungkin kaum muda di era sekarang akan menggugat bangsa ini dengan fenomena kegagalan demokrasi yang sudah di titik meragukan. Apakah Indonesia bisa melanjutkan revolusi demokrasi hingga di titian akhir riwayatnya atau menjadi onggokan sejarah yang terkapar di tengah-tengah labirin perebutan kekuasaan.
Jared Diamond (Viking, 2005) pernah memotret salah satu indikator negara gagal yakni ketika parpol sudah terjebak dalam orientasi puritan, memperoleh kekuasaan politik (seize political power) semata ketimbang memberikan pendidikan budaya politik masyarakat. Senada dengan ini, ketiadaan kesadaran dan kritisisme parpol dalam menyingkap persoalan sosial mau tak mau telah mengekalkan doxa (ide absolute) parpol pada kekuasaan. Terkait ini, Paulo Freire mengutip Fransisco Weffers (2000) telah menggugat, bahwa kekuasaan tanpa kesadaran kritis mengungkap tabir penindasan yang dialami rakyat merupakan pertanda kematian sebuah bangsa.

Indonesia, merupakan sebuah etalase kekhawatiran paling telak untuk menjelaskan feneomena di atas ketika revolusi demokrasi sejak tumbangnya Orde Baru justeru menuai paradoks lanjutan. Kematian rezim Soeharto di satu sisi memberikan kepastian pada jalan baru demokrasi namun di sisi lain kapasitas untuk itu tidak tersedia bahkan kian meretas pesimisme baru berikut, apakah konsolidasi demokrasi yang ditempuh lewat pemilu yang sudah tiga kali di era reformasi bisa memberikan sebuah perubahan politik?

Kekecewaaan publik pada demokrasi yang dijalankan tidak secara matang memang bukan monopoli Indonesia. Negara-negara di Amerika Latin (Kolombia, Equador, Venezuela, Argentina) bahkan dengan politisi sayap kirinya pun, mempraktekkan demokrasi yang masih amat superficial (Ellen Wood, 1996; Hollinger, 1996; Bowles & Gintis, 1987). Demokrasi yang mempopulerkan keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan cumalah sloganisme siang bolong yang mengisi ruang hampa fatalisme rakyat setelah dilibas krisis sebelumnya.

Politik Titular

Apa pun bentuk dan kekurangannya, demokrasi dalam perspektif konsolidasi yang sedang kita jalani setidaknya diharapkan memberi solusi bagi kedangkalan demokrasi yang menempatkan siprit dan visi bangsa sebagai kekuatan moral. Hanya saja sebelum itu tercapai, kita sekonyong-konyong diperhadapkan musim semi pengelolaan politik-kekuasaan titular. 

Istilah ini penulis pakai untuk disandangkan di bahu elit-elit politik kita yang pintar memanfaatkan kata demokrasi dan kebebasan untuk membereskan kepentingan pribadinya dan kelompoknya, jauh dari langgam demokrat tulen.

Bayangkan, dalam dalam satu dekade lebih otonomi daerah ini, kita asyik mengisi kognisi publik dengan logika, kita tak kekurangan demokrat. Dengan desentralisasi kekuasaan diniscayakan munculnya para elit lokal yang memahami dan mampu menjelaskan otonomi politik secara nyata ke tengah masyarakat. Nyatanya sejumlah friksilah yang dituai baik itu dalam rupa otonomi yang kebablasan dan makin banalnya praktek korupsi. 

Kita menyaksikan bagaimana NKRI ini perlahan-lahan dikoyaki hasrat binal korupsi yang melanda hampir seluruh pejabat di berbagai institusi yang gagal menempatkan aspirasi masyarakat sebagai dasar konstitusi. Belum lagi ritual kekerasan bertameng etnis, agama, bisnis-kepentingan di daerah yang mengangkangi prinsip Indonesia yang satu. 

Pada dasarnya, demokrasi bukan saja dijadikan sebagai sesuatu yang bebas nilai namun juga telah diterjemahkan menjadi proyek pragmatis yang bisa mematikan seluruh harapan substansial berdemokrasi di tangan para politisi titular tersebut.

Pada kerisauan ini, kita patut menyesalkan bahwa ada yang terpenggal dan tertunggak dari pelaksanaan tahap dua revolusi demokrasi ini. Meminjam istilah Fadjroel Rachman, tahap pertama revolusi demokrasi adalah saat tumbangnya kekuatan orde baru dan tahap revolusi kedua merupakan momentum paling strategis dalam mengonsolidasikan politik kekuasaan ke dalam agenda dan praksis yang terinternalisasi sebagai budaya kekuasaan yang terukur. Baik dalam komitmen maupun cita-cita hingga kinerja nyata.

Defisit Demokrasi

Sayangnya di revolusi terakhir ini, pelaksanaan demokrasi telah melewatkan koridor penting dalam institusionalisasi kepemimpinan nasional yakni, Pertama, tidak terakomodirnya alternatif kepemimpinan menjelang pemilu 2014 selain diisi wajah-wajah politisi lama yang terbebani sejarah silam yang pahit. 

Ini sama fenomenanya dengan pemilu 2009 lalu di mana Mahkamah Konsitusi menetapkan parpol sebagai satu-satunya embrio organik politisi. Itu sebabnya out put pemilu 2009 gagal menunjukkan profetisme politiknya, di mana pemain-pemain politik hanyalah hasil political laundry dari sisa-sisa elit lama yang mereinkarnasi dirinya secara lebih populis. Termasuk diuntungkan oleh modernya pencitraan politik yang dikemas dengan berbagai survei.

Kedua, gagalnya bagi kepemimpinan muda (main political leadhersihip) untuk mengisi kognisi kepemimpinan nasional yang ditandai maraknya korupsi seperti kasus gayus, Nazaruddin maupun rekening gendut PNS Muda yang setidaknya didukung oleh dua kekuatan konspiratif-pragmatis yakni jaringan dan finansial. Ironisnya kekuatan tersebut terinstitusionalisasi dalam riwayat partai politik yang dis-orientasi dan mengalami kelumpuhan ideologi. 

Maka meski Indonesia sudah berada di panggung demokrasi terbuka selama belasan tahun namun karakter ideologi demokrasi kita masih tertutup (closed ideology) sehingga gagal membuka kemungkinan dan alternatif mengelola sirkulasi kepemimpinan yang bertanggung jawab. 

Dua hal inilah yang mendefisitkan seluruh pekerjaan demokrasi bangsa ini di tengah maraknya para politisi mencari dan menumpang ‘gelar dan identitasnya’.

Semoga gugatan itu terus menginspirasi kepemimpinan saat ini untuk memelihara komitmen dan pengorbanan memajukan kepentingan rakyat yang salah satunya dengan berani mati untuk melawan musuh bersama: korupsi.***

Penulis, Dosen FISIP, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
 
Baca Juga Artikel Berita Terkait
Senin, 05 Des 2011 07:55 WIB
Kamis, 01 Des 2011 16:31 WIB
Selasa, 25 Okt 2011 00:49 WIB
Minggu, 09 Okt 2011 04:00 WIB
Sabtu, 17 Sep 2011 06:46 WIB

Jumat, 23 Desember 2011

KORUPTOR ITU ADALAH PENGKHIANAT BANGSA, PENGKHIANAT HATI NURANINYA SENDIRI


Pesan Bung Karno Kepada Bangsa Indonesia:

KORUPTOR ITU ADALAH PENGKHIANAT BANGSA, PENGKHIANAT HATI NURANINYA SENDIRI

Saya pernah berpidato, pernah mengatakan, apa yang membuat manusia itu berharga? Apa ia punya kedudukan? Tidak sama sekali tidak! Kedudukan, tidak. Huuh, malahan pada waktu saya masih kecil “ngelesot” di kotaknya Ki Dalang,
wah, saya perhatikan benar apa yang menjadi perdebatan antara Arjuna dan Karna. Arjuna itu pernah, berhadap-hadapan dengan Karna, sebab dia menghina kepada Karna.

"Aku orang bangsawan, aku anak raja, aku tidak mau berjuang dengan engkau turunan orang kecil, turunan orang rendah".

Karna berkata, he, yang menjadi ukuran besar atau kecilnja manusia, ukuran tinggi atau rendahnya manusia, bukan ia punya keturunan, sama sekali tidak.Yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat manusia ialah budi pekerti yang bersemayam
didalam dada manusia itu.

Demikian pula, demikian pula, Saudara-saudara, dengan pekerjaan, jangan kira cuma pekerjaan yang tinggi-tinggi di atas kursi yang mentul-mentul, duduk di dalam auto Impala, Saudara-saudara, bahwa itulah kedudukan yang baik, sama-sekali tidak. Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Impala, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul, Saudara-saudara. Tiap-tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan ratna mutu manikam, kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah. Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat .Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh karena korupsi (bold - K.Prawira). Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan Yang Maha Esa, adalah orang yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah!

Sebaliknya, kataku dalam pidato itu, ambil seorang penjapu jalan. Penjapu jalan di sana, di Jalan Thamrin atau Jalan Sudirman atau jalan-jalan lain, nyapu jalan, Saudara-saudara. Pada waktu kita enak-enak tidur waktu malam, dia menyapu jalan, tangannya menjadi kotor oleh karena dia menyapu segala ciri-ciri dan kotor-kotor dari jalan itu, tetapi Saudara-saudara, dia mendapat nafkah dari kerjanya itu dengan jalan yang halal dan baik. Dia dengan uang jang sedikit yang dia dapat dari Kotapraja, Pak Gubernur Sumarno, Saudara-saudara, ya mendapat gaji daripada Kotapraja uang jang sedikit, dia belikan beras, dan dia tanak itu beras, dan dia makan itu nasi dengan istri dan anak-anaknya, bukan diatas kursi yang mentul-mentul, bukan di atas permadani jang tebal, bukan dari piring yang terbuat daripada emas, tidak dengan sendok dan garpu, dia makan makanan yang amat sederhana sekali, dan dia mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT: “Ya Allah ya Rabbi, terima kasih, bahwa Engkau telah memberiku cukup makan bagiku, bagi istriku, bagi anak-anakku. ya Allah ya Rabbi, aku terima kasih kepada Mu”. Orang jang demikian ini, menyapu jalan, dia adalah orang mulia dihadapan Allah SWT.

Ir. Soekarno, Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) di Istana Negara, Jakarta, 12 Mei 1964
Pernyataan Menteri Marty Natalegawa Menyesatkan!
RMOL Kamis, 22 Desember 2011 , 07:18:00 WIB
http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/22/49725/Pernyataan-Menteri-Marty-Natalegawa-Menyesatkan


MARTY NATALEGAWA/IST

  

Kepada Yth.
Dr. RM Marty Natalegawa
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Di
Jakarta

Dengan hormat.
Pada peringatan peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2011, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan  secara resmi atas nama pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947.

Sehubungan dengan hal ini, sebagaiman adikutip oleh Tempo.Co(9/12), Anda mengatakan: "peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949."

Interpretasi Anda terhadap langkah pemerintah Belanda ini tidak tepat, dan bahkan sangat menyesatkan.

Pertama, langkah pemerintah Belanda ini adalah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, yang memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dan mengharuskan memberi kompensasi kepada 8 janda korban dan satu orang korban selamat terakhir. Dengan demikian, ini bukan tindakan sukarela dari pemerintah Belanda.

Namun dalam putusan Pengadilan Belanda, pada butir dua, sebagai "fakta-fakta" (bahasa belanda: feiten)  tertera:

2. De feiten (fakta-fakta)

2.1. Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden (Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)

Dengan demikian, juga bagi pengadilan di Belanda, Republik Indonesia baru ada pada 27 Desmber 1949. Oleh karena itu yang harus dibaca dari putusan ini adalah:

1. Tentara Belanda tahun 1947 telah membunuh warganya sendiri, bukan warga Indonesia.

2. Meminta maaf kepada mantan warganya.

Pengadilan Belanda, walaupun mengabulkan sebagian tuntutan warga Rawagede, namun masih sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah pada 17 Agustus 1945.

Kedua, dari berbagai pernyataan pemerintah Belanda sampai sekarang, tidak pernah menyatakan mengakui de jure (De Jure Acknowledgement/ recognition), melainkan menerima (accept).

Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, dalam acara peringatan pembebasan para interniran yang ditahan oleh Jepang di Indonesia antara tahun 1942-945 Ben Bot mengatakan dengan jelas, akan menerima 17 Agustus1945 sebagai de facto awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Sehari kemudian, pada 16 Agustus 2005 di Gedung Kementerian Luar Negeri RI di Jalan. Pejambon, Ben Bor mengatakan: "…Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…" 

Kemudian pada 18 Agutus 2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta ketika ditanya mengapa dia hanya mengatakan acceptance (menerima), dan bukan Acknowledgement(Pengakuan) terhadap proklamasi 17 Agustus1945, dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya diberikan satu kali, yaitu tahun 1949. (Saya memiliki rekaman wawancara tersebut).

Demikian juga jawabannya di parlemen Belanda pada 28 Juni 2006 terhadap petisi dari KUKB yang dikirim tanggal 20 Mei 2005. Tuntutan KUKB disampaikan oleh Bert Koender ke sidang pleno parlemen Belanda, sesuai janjinya ketika menerima pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005. 

Pernyataan Ben Bot ini seharusnya sangat mengejutkan bagi bangsa Indonesia, dan sekaligus merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat sebagai Negara merdeka yang berdaulat, karena ini berarti bagi pemerintah Belanda, sampai 16 Agustus 2005, Republik Indonesia secara yuridis tidak eksis sama sekali, dan baru sejak tanggal 16 Agustus 2005 diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia adalah anak haram!

Memang tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda sampai detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika "penyerahan wewenang" (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia hanya satu negara dari 16 Negara Bagian RIS. Oleh karena RIS dianggap sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), maka RIS harus membayar utang pemerintah India Belanda kepada induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar gulden (setara dengan 1,2 milyar dolar AS)

Sejarah mencatat, Presiden RIS Sukarno pada 16 Agustus 1950 menyatakan dibubarkannya RIS, dan pada 17 Agustus 1950, Soekarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus1945. Proklamasi kerdekaan ini dipandang dari sudut manapun sah, baik dari hukum internasional (Konvensi Montevideo), maupun dari segi hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Lihat 18 butir konsep perdamaian dari Presiden Woodrow Wilson, Januari 1918 dan Piagam Atlantik yang dicetuskan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, yang juga tercantum dalam Preambel PBB tahun 1945.

Proklamasi 17 Agutus1945 bukan merupakan suatu revolusi, atau pemberontakan, dan periode antara tahun 1945-1950 juga bukan perang kemerdekaan.

Memang kita ketahui dilema yang dihadapi oleh pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus1945. Hal ini kami ketahui dari anggota parlemen Belanda Angelien Eisjink yang membidangi masalah veteran Belanda, ketika kami bertemu di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005, kemudian dari Ad van Liempt, jurnalis senior di Hilversum. Mereka mengatakan, apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka akibatnya adalah:

1. Yang Belanda namakan "aksi polisional" tak lain adalah agresi militer terhadap satu negara merdeka dan berdaulat.

2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda, antara lain, di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dan lain-lian., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusian.

3. Republik Indonesia berhak menuntut rampasan perang, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.

4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 miliar dolar AS, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950-1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 miliar dolar AS). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 miliar dolar AS! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak persetujuan KMB.

Sangat disayangkan, bahwa walaupun mengetahui bahwa pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus1945, namun pemerintah Indonesia membiarkan sikap ini.

Dalam kesempatan ini, kami meminta Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengenai masalah ini, yaitu mengapa pemerintah Indonesia tetap membiarkan pemerintah Belanda dengan sikapnya ini.

Kami sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak-hak Palestina untuk diakui sebagai Negara, namun sangatlah aneh apabila pemerintah Indonesia mengabaikan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia terhadap Negara yang pernah menjajah Bumi Nusantara, yang di beberapa daerah berlangsung selama lebih dari tiga ratus tahun. Juga tidak membantu memperjuangkan hak-hak korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Kami juga masih menantikan jawaban surat kami tertanggal 28 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, mengenai permohonan untuk bertemu. Surat tersebut kami sampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Abdurrahman M. Fachir pada 28 Oktober 2011.

Atas perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima kasih.

Hormat kami,
 
Ttd.
 
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum KNPMBI/ Ketua KUKB


Sabtu, 17 Desember 2011

KASUS RAWAGEDE DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA


KASUS RAWAGEDE DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA

(Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63)

Oleh MD Kartaprawira*

# Kasus Rawagede yang terlantar 64 tahun

Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63 tahun ini bertepatan dengan peristiwa penting sehubungan dengan Putusan Pengadilan Den Haag tanggal 14 September 2011 yang memenangkan gugatan para korban kejahatan kemanusiaan oleh tentara Belanda tahun 1947 atas 431 orang penduduk Rawagede dan pernyataan maaf Pemerintah Belanda secara resmi kepada para korban penduduk Rawagede, yang dilakukan oleh Tjeerd de Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia pada tanggal 9 Desember 2011. Siapapun tidak mungkin bisa menyangkal kenyataan adanya peristiwa kejahatan kemanusiaan terhadap bangsa Indonesia di Rawagede. Yang masih bisa diperdebatkan hanya masalah jumlah korban, yang menurut versi Indonesia 431 orang, sedang versi Belanda kira-kira 150 orang.

Selama 64 tahun pemerintah Belanda tidak punya kepedulian serius atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentaranya di Rawagede. Pada hal dalam hubungan internasional Belanda (dan Negara-negara Barat lainnya) selalu teriak keras mengkritisi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara lain. Apakah hal tersebut bukan kemunafikan? Yang lebih memalukan lagi adalah tidak-adanya usaha dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Rawagede tersebut demi kebenaran dan keadilan bagi para korban, yang notabene adalah warganegaranya sendiri.

Dari tahun 1947 sampai 1965 memang Indonesia selain berjuang untuk pembangunan negara di segala lapangan, tapi juga menghadapi banyak masalah berat, yang tidak hanya menjadi penghalang perjuangan pembangunan Negara, tapi juga mengakibatkan tidak adanya kesempatan menangani kasus Rawagede. Masalah-masalah berat yang dimaksud adalah: 1. Konfrontasi dengan Belanda setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai th. 1962 (kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI), 2. Perjuangan menumpas pemberontakan-pemberontakan RMS, DI-TII-Batalion 426, PRRI-Permesta, 3. Pertentangan antara parpol-parpol akibat diberlakukannya sistem parlementer sejak Oktober 1945, yang hanya menciptakan kabinet-kabinet „seumur jagung“, yang berakibat tidak pernah bisa melaksanakan plan pembangunan negara (terutama dalam bidang ekonomi), 4. Perjuangan menghadapi politik intrig kaum nekolim yang mengancam kedaulatan RI di bidang politik dan ekonomi.

Tapi ketika jenderal Suharto berhasil melakukan kudeta (merangkak) melawan Pemerintahan Soekarno, rejim tersebut hanya sibuk membabati musuh-musuh politiknya (kaum komunis dan kaum nasionalis-Soekarnoist) demi melindungi kekuasaannya yang mengabdi kepada kepentingan kaum neoliberalis. Juga pada jaman „reformasi“ para penguasa negara sibuk mengurusi kepentingan pribadi, baik dengan cara2 KKN maupun sibuk memafaatkan „aji mumpung berkuasa“ untuk menyukseskan bisnis pribadinya. Sehingga kebijakan politik pemerintah di era reformasi dalam hal penegakan hak asasi manusia tidak bisa dibanggakan hasilnya, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-66). Begitu pula kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede, Makasar dan lain-lainnya.
Pemerintaah hanya menonjol-nonjolkan ke mana-mana bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menghormati hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam UUD, UU beserta peraturan-peraturan organiknya, konvensi-konvensi yang telah diratifikasi dll. Tapi pelaksanaannya ternyata minim sekali. Dapat dikatakan bahwa norma-norma hukum hak asasi manusia tersebut hanya jadi pajangan saja untuk menghiasi negara Indonesia agar disebut negara hukum.

Ketidak pedulian pemerintah Indonesia menangani dan membela korban pelanggaran HAM/kejahatan kemanusiaan atas penduduk Rawagede suatu hal yang tak mengherankan karenanya. Maka salut sebesar-besarnya harus diberikan kepada Sdr. Jeffry Pondaag bersama koleganya di yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang dengan gigih memperjuangkan digelarnya kasus Rawagede di Pengadilan Negeri Den Haag dengan sukses kemenangan bagi para korban. Seandainya Pemerintah Belanda tidak mau menerima putusan Hakim Pengadilan Den Haag, bisa naik banding. Tetapi kalau naik banding Pemerintah Belanda akan tambah tidak terhormat lagi di mata internasional, sebab ngotot membela tindak kriminal (kejahatan perang/kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat) yang merupakan aib di mata dunia internasional. Dan Pengadilan Banding pun kemungkinan besar akan membenarkan putusan Pengadilan Den Haag. Sebab sulit sekali untuk membenarkan tindak kejahatan kemanusiaan – pembantaian 431 pendudk Rawagede tersebut, yang tidak dapat dibedakan dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang diadili di Mahkamah pengadilan PBB bagi bekas Yugoslavia, Mahkamah Kejahatan Ininternasional di Den Haag, Mahkamah Pengadilan PBB di Ruanda dan lain-lainnya. Jadi logislah sikap pemerintah Belanda yang tidak mengajukan naik banding atas putusan Pengadilan Den Haag.

# Kasus Rawagede dan Pernyataan Maaf Pemerintah Belanda

Pernyataan permintaan maaf Pemerintah Belanda memang selayaknya dinilai positif secara wajar, tidak perlu berlebih-lebihan. Sebab permintaan maaf tersebut bukan tindakan suka rela, melainkan karena Pemerintah Belanda kalah dalam perkara perdata atas gugatan para korban yg jumlahnya 7 orang. Artinya, mau atau tidak mau harus mengakui kesalahannya. Tentang pernyataan minta maaf hanyalah masalah moral, yang sepatutnya diberikan oleh mereka yang melakukan kesalahan, terutama bagi mereka yang menamakan dirinya bangsa beradab. Lain halnya kalau tanpa gugatan di Pengadilan Pemerintah Belanda dengan sukarela dan ketulusan hati meminta maaf dan kemudian membayar ganti rugi, meskipun sudah terlambat 64 tahun. Langkah Pemerintah Belanda yang demikianlah yang bisa disebut langkah besar dan terpuji.

Tentu saja setiap permintaan maaf dari siapa saja yang merasa berbuat salah harus diterima dengan baik. Berkaitan dengan permintaan maaf pemerintah Belanda kepada para korban pembantaian di Rawagede kita harus tidak kehilangan obyektifitas historis dan yuridis. Pembantaian di Rawagede tersebut tidak bisa dikatakan bukan kejahatan kemanusiaan, apalagi dari sudut peradaban Eropa yang dianggap tinggi. Tetapi kenyataannya pernyataan maaf atas pembantaian tersebut, yang berarti juga pengakuan kesalahan atas tindak kejahatan kemanusiaan, baru dilakukan secara resmi tahun ini (09 Desember 2011), sesudah selama 64 tahun tidak digubris. Jelasnya, seperti telah disinggung di atas permintaan maaf tersebut adalah akibat adanya putusan Pengadilan Den Haag yang memenangkan kasus perdata para korban Rawagede yang menuntut ganti kerugian kepada pemerintah Belanda.

Kalau tidak ada putusan Pengadilan Den Haag tentu saja tidak jelas sampai kapan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut diakui dan permintaan maaf dinyatakan oleh pemerintah Belanda. Maka dari itu, penulis sama sekali tidak setuju atas pendapat bahwa sikap pemerintah Belanda tersebut harus dicontoh sebagai pelajaran bagi pemerintah Indonesia (SBY dan lain-lainnya) dalam menangani kasus korban pelanggaran HAM di Indonesia. Tetapi pemerintah Indonesia siapapun presidennya harus tegas, jujur dan adil melaksanakan hukum tentang hak asasi manusia tanpa ditunda-tunda (apalagi sampai puluhan tahun), tanpa manipulasi dan diskriminasi.

# Masalah ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede

Perlu dicatat bahwa ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede hanya diberikan kepada 7 orang penggugat (keluarganya) masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per keluarga. Karena kasus tersebut adalah kasus perdata, maka yang bukan penggugat tentu saja tidak masuk hitungan dalam daftar yang berhak menerima ganti rugi. Mungkin dalam kasus tersebut pihak KUKB kurang teliti dalam membicarakannya dengan DR Liesbeth Zegveld (advokat). Padahal jumlah korban di Rawagede sebanyak 431 orang, yang semuanya (keluarganya) berdasarkan keadilan seharusnya berhak juga menerima ganti rugi. Adalah suatu langkah terpuji apabila Pemerintah Belanda berinisiatif sendiri untuk memberikan ganti rugi tidak hanya kepada 7 orang penggugat saja, tetapi kepada semua korban di Rawagede lainnya, tanpa melalui proses pengadilan. Barulah hal tersebut bisa dikatakan langkah besar.

Ada baiknya kita ketahui, bahwa dalam kasus ganti rugi kepada para korban pemboman oleh teroris terhadap pesawat Pan Am di Lockerbie, Scotland pada 1988 yang membawa korban 270 orang, Ghadafi (yang tersangkut dengan kasus tersebut) diwajibkan membayar ganti rugi kepada setiap keluarga korban sebanyak 10 juta US Dollar (Rp.90 milyar). Sungguh jumlah ganti rugi yang sangat luar biasa besarnya, jika dibandingkan dengan ganti rugi yang akan diterima setiap keluarga korban Rawagede hanya sejumlah 20.000 Ero (Rp. 220 juta). Meskipun demikian, kalau pemerintah Belanda dengan sukarela tanpa melalui pengadilan bersedia memberikan ganti rugi kepada seluruh korban Rawagede (431 keluarga) yang jumlahnya hanya kurang lebih 7 milyun Ero (Rp.75 milyar) saja, bangsa Indonesia akan memberi apresiasi tinggi.

Bagi pemerintah Belanda dengan putusan Pengadilan Den Haag tersebut masih ada kesempatan untuk memperbaiki citranya atas kejahatan kemanusiaan lainnya yang telah dilakukan di daerah-daerah Indonesia lainnya setelah berdirinya Republik Indonesia (a.l. pembantaian ribuan penduduk di Makasar oleh tentara Belanda yang dipimpin kapten Westerling). , yaitu tanpa melalui pengadilan mengakui tindak kejahatan kemanusiaan tersebut, meminta maaf kepada para korban dan kemudian memberikan ganti rugi. Hal itu satu-satunya jalan untuk mengembalikan nama baik Belanda sesuai norme dan warde (norma dan nilai) hak asasi manusia yang beradab.

Tentu saja masih banyak masalah hubungan Indonesia-Belanda yang harus diselesaikan, misalnya masalah pengakuan kedaulataan Republik Indonesia, di mana Belanda tetap tidak mengakui de jure pada 17 Agustus 1945. Tapi ini adalah masalah perselisihan hukum antara dua negara yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Untuk itu harus maju ke Mahkamah Pengadilan Internasional PBB (The International Court of Justice) di Den Haag. Apakah Indonesia cukup siap berhadapan dengan Belanda di Mahkamah tersebut, mengingat dalam sengketa dengan Malaysia mengenai kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (tahun 2003) saja Indonesia kalah. Tampaknya pemerintah Indonesia tidak berniat untuk mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah PBB, sebab tidak mau berisiko kalah dalam pengadilan atau rusaknya hubungan Indonesia-Belanda dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya yang sudah berjalan lancar. Misalnya dalam bidang pendidikan ribuan mahasiswa Indonesia mendapatkan fasilitas belajar di Negeri Belanda. Tapi yang pasti, baik Indonesia mau pun Belanda berusaha memelihara baik-baik hubungan bilateral yang saling menguntungkan dewasa ini.

# Penegak hukum Indonesia, belajarlah meski ke Argentina!!!

Harus diakui bahwa putusan pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede ini menunjukkan keobyektifan para hakim dalam memproses kasus tersebut. Mereka tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (pemerintah Belanda) yang selama ini masih berat untuk melepaskan tekanan-tekanan psikologis dari para veteran KNIL yang tidak mau disebut penjahat dalam kasus Rawagede dan daerah-daerah lainnya ketika melakukan agresi ke Indonesia. Dalam kasus Rawagede tersebut asas trias politica betul-betul ditegakkan: kekuasaan yudikatif membuktikan fungsinya yang tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif. Dalam kaitan inilah Institusi Yudikatif di Indonesia masih harus kerja keras untuk membuktikan bahwa tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif, tidak menjadi kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif dan bersih dari kendali mafia hukum.

Dengan dimenangkannya para penggugat terbukti juga bahwa Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede tidak menempuh arus yang bertentangan dengan praktek-praktek di mahkamah-mahkamah Internasional (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan International Criminal Court) yang telah atau sedang berjalan di Den Haag, yang mengadili kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat di Yugoslavia, Sera Leon dan lain-lainnya. Sayangnya kasus Rawagede di Pengadilan Den Haag tersebut hanya diproses dalam bingkai kasus perdata, yang menuntut ganti rugi bagi 7 korban. Maka dari itu bobotnya terlalu ringan, tidak sebanding dengan korban jiwa 431 orang penduduk Rawagede, yang seharusnya diproses dalam bingkai kasus pidana internasional.

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional kita perlu prihatin atas ketidak-berdayaan dan ketidak-pedulian penegak hukum atau institusi yudikatif Indonesia menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara serius, terutama kasus-kasus masa lalu, dengan jujur dan adil. Kalau benar-benar institusi yudikatif/penegak hukum Indonesia mau menegakkan kebenaran dan keadilan seharusnya belajar dari kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Argentina, Peru dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne (yang terpilih dalam pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html).Beranikah para penegak hukum di Indonesia mengambil pelajaran dari pengalaman penegakan kebenaran dan keadilan di Argentina? Belajarlah, meski ke Argentina!!!

Nederland, 10 Desember 2011

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland.