Sabtu, 28 September 2013

Suruh Mendagri Belajar Konstitusi, Ahok Kurang Ajar?

 http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/09/suruh-mendagri-belajar-konstitusi-ahok.html

Suruh Mendagri Belajar Konstitusi, Ahok Kurang Ajar?

HL | 27 September 2013 | 15:52 Dibaca: 20142    Komentar: 120    30

13802719112031360892
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bersama Asisten Pembangunan DKI Wiriyatmoko saat menghadiri Apel di Monas, Jakarta, Jumat (27/9/2013). | Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera bereaksi keras atas pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi yang mendukung aksi sebagian kecil warga Kelurahan Lenteng Agung yang memaksakan kehendak mereka agar Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli dicopot dari jabatannya dengan alasan lurah tersebut beragama Kristen.
Pada Kamis, 25 September kemarin, Mendagri Gamawan Fauzi meminta kepada Jokowi agar mengevaluasi kembali jabatan Lurah Susan karena adanya penolakan dari warga terhadapnya itu. Dengan kata lain, secara tak langsung, Gamawan meminta Jokowi tunduk kepada kemauan sekelompok warga yang intoleran terhadap perbedaan agama itu. Yang menganggap karena agamanya, Susan Jasmine Zulkifli tidak diperbolehkan menjadi lurah di sana. Padahal jumlah mereka hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah seluruh warga Lenteng Agung yang tidak mempersoalkan agama Lurah mereka itu.
Kepada wartawan, seusai mengikuti apel siaga, di Silang Monas, Jakarta, Jumat, 27 September 2013,  Ahok berkata kepada wartawan, “Kasih tahu Mendagri, dia harus belajar Konstitusi. Kasih tahu, yang bilang itu, Ahok!”  (Kompas.com).
Ahok pun menjelaskan alasannya, kenapa begitu berani “menyuruh” Mendagri, yang notabene atasannya itu, belajar Konstitusi (UUD 1945), katanya, Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Jadi, pemilihan pemimpin tidak didasarkan oleh keinginan warga untuk menolak atau tidak menolak.
Kemudian, ia justru balik mempertanyakan kepada Mendagri, apabila ada satu juta warga demo di Jakarta, apakah dengan aksi tersebut, berarti ia bersama Jokowi dapat diturunkan dari jabatan yang kini mereka emban?
Secara hitungan, kata dia, Jokowi dan dirinya tidak perlu turun dari posisi Gubernur dan Wakil Gubernur karena angka tersebut masih kurang dari sebagian jumlah warga Jakarta.
“Kalau kamu enggak suka kepada saya, turunkan saya di 2017. Bukan pakai demo-demo. Jadi, sampaikan kepada Mendagri seperti itu,” tegas Ahok lagi.
Apakah dengan demikian Ahok telah berlaku tidak sopan, atau kurang ajar kepada atasannya sendiri?
Jawabannya adalah tidak!
Yang namanya atasan tidak mesti selalu benar, dan yang namanya bawahan tidak harus berarti selalu mengikuti apa maunya atasan. Atasan yang tidak benar, tidak patut ditiru, dan permintaan/perintahnya yang tidak benar harus dilawan. Dilawan, dalam arti menolak permintaannya atau perintahnya itu. Apalagi kalau itu permintaan/perintah yang sama saja dengan melawan hukum. Lebih-lebih lagi kalau hukum itu adalah Konstitusi (UUD 1945), bahkan dasar negara (Pancasila)!
Bawahan yang tipe gila kuasa, penjilat, tidak punya pendirian, tidak punya prinsip, tidak punya ideologi, tidak punya integritas, atau  punya karakter yang sama dengan atasannya yang bobrok, biasanya pasti akan selalu mengikuti apa maunya atasannya itu. Jokowi dan Ahok sama sekali bukan tipe demikian. Oleh  karena itu pasti mereka akan melawan Mendagri, dengan tidak memenuhi permintaannya itu.
Telah berkali-kali Jokowi-Ahok mengingatkan bahwa mereka hanya tunduk kepada Konstitusi, setiap kehendak yang melawan Konstitusi, akan mereka lawan. Tidak terkecuali Mendagri Gamawan Fauzi. Jangankan Mendagri, saya yakin, sekalipun permintaan itu datang dari Presiden pun, pasti tidak akan dituruti oleh Jokowi-Ahok!
Ahok beberapa kali berseru, “Siap mati demi Konstitusi!” Inilah saatnya dia membutktikannya. Ironisnya, demi membela Konstitusi, kali ini dia harus melawan atasannya, seorang Mendagri!
Sekali pun Jokowi-Ahok tidak akan mundur demi membela Konstitusi, dan sekaligus demi pembelajaran kepada rakyat Indonesia, bagaimana kita harus bersikap tegas dan konsisten terhadap perintah Konstitusi.
Dalam Surat Edarannya yang mengecam Mendagri, sekaligus mendukung Jokowi-Ahok, Setara Institut menulis antara lain: “Sekali saja Jokowi-Ahok tunduk pada kehendak politik penyeragaman atas nama mayoritas dan agama, maka tuntutan serupa akan menular di berbagai wilayah lain di Jakarta dan di luar Jakarta. Perlu diingat bahwa Jakarta adalah barometer toleransi dan miniatur kebhinekaan Indonesia. Kekeliruan menyikapi aspirasi intoleran sebagaimana dalam kasus Lurah Susan sangat berpotensi memecah belah kohesi sosial dan tata sosial Indonesia yang bhineka.”
Seruan Mendagri Gamawan Fauzi itu sesunguhnya merupakan ancaman serius terhadap kesatuan negara Republik Indonesia ini. Konsekuensinya sangat bisa terjadi seperti yang disebut oleh Setara Institut itu. Satu kali saja Jokowi-Ahok menuruti kehendak kelompok intoleran di Lenteng Agung itu, berpotensi besar akan merebak tuntutan yang sama di daerah lain di Jakarta, kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Indonesia akan terkotak-kotak berdasarkan agamanya. Persatuan dan kesatuan di Republik Indonesia tinggal dongeng masa lalu.
Seharusnya Presiden SBY menjatuhkan sangsi kepada Mendagri atas pernyataannya itu. Minimal sebuah teguran keras. Tetapi, mengharapkan SBY bersikap tegas seperti ini, sama dengan mengharapkan berkah yang tiba-tiba jatuh dari langit.
*
Untungnya, meskipun secara sistem kepala daerah berada di bawah Kementerian Dalam negeri, mekanisme tata pemerintahan kepala daerah sekarang tidak memberi wewenang penuh kepada Mendagri untuk mencopot seorang kepala daerah, maupun wakilnya. Jika tidak demikian, Gamawan Fauzi yang oleh Setara Institut disebut dengan dengan ormas Islam tertentu (FPI?), mungkin akan melakukannya kepada Jokowi-Ahok, yang sudah pasti tidak akan memenuhi permintannya untuk mencopot Lurah Lenteng Agung (Lurah Susan) itu.
Sikap Mendagri seperti ini, membuat kita semakin tak heran lagi, kalau aksi-aksi intoleran semakin mendapat tempatnya di NKRI ini. Seperti yang pernah saya tulis, kenapa sampai kelompok radikal dan intoleran beragama bisa sedemikian bebas melancarkan aksi-aksi (anarkis)nya, yakni, karena pejabat-pejabat negara tertentu dari daerah sampai pusat sesungguhnya mempunyai pemahaman yang sama dengan kelompok intoleran itu. Sekarang, Mendagri Gamawan Fauzi telah menampilkan dirinya sebagai salah satu  contoh kongkritnya.
Sesuatu yang sangat kontradiksi dan sangat janggal, tetapi itulah faktanya yang terjadi di negara ini. Sekontradiksi Presiden SBY yang dalam kondisi demikian bisa-bisanya menerima penghargaan sebagai Negarawan Dunia yang sukses membangun semangat toleransi beragama di negaranya (World Stateman Award 2013).
*
Apa yang harus dipelajari oleh Mendagri Gamawan Fauzi dari Konstitusi, seperti yang dimaksud Ahok?
Pelajarannya sebenarnya sederhana saja, pasti Gamawan  juga tahu, tetapi karena aliran yang dianutnya dan integritasnya, maka melanggar Konstitusi bukan sesuatu yang serius baginya.
Gamawan pasti sudah pernah belajar, yang harus dia lakukan adalah melaksanakannya! Itulah yang tidak (mau) dia lakukan. Yang mau dia lakukan adalah mengikuti paham intoleransime.
UUD 1945 Pasal 27, ayat (1):
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (3) (amandemen Kedua):
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dua pasal inilah yang dimaksud Ahok, harus dipelajari oleh Gamawan Fauzi, karena telah meminta kepada Jokowi-Ahok untuk memenuhi kehendak warga intoleran di lenteng Agung untuk mencopot Lurahnya karena lurah itu beragama Kristen, sedangkan mereka mayoritas Islam.
UUD 1945 dibuat oleh para pendiri negara ini berdasarkan dasar negara yang sudah ada sebelumnya, yakni Pancasila. Pancasila disusun oleh para pendiri negara ini berdasarkan kenyataan bahwa negara Republik Indonesia terdiri dari sangat banyak suku-bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Syarat paling utama negara ini bisa terwujud, berdiri kokoh di atas kebhinekaan itu adalah negara harus bisa mengakomadasikan hak dan kewajiban dasar dari rakyatnya yang sangat plural itu, dengan memberi hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan tanpa melihat latar belakang suku bangsa, bahasa, budaya dan agamanya itu. Agar semua itu bisa berjalan dengan baik, negara menjadi aman dan tenteram, semua orang wajib menghormatinya.
Negara diberi kewenangan dan tugas untuk melindungi hak dan kewajiban setiap warga negaranya itu agar benar-benar dapat dilaksanakan. Yang menjalankan kewenangan dan tugas yang diberikan Konstitusi kepada negara itu adalah para aparatur negaranya. Mulai dari Presiden, menteri-menterinya, gubernur, walikota, dan seterusnya ke bawah.
Pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi tersebut di atas jelas bertentangan dengan Konstitusi itu. Maka, sangat benar, kalau Ahok memintanya untuk belajar Konstitusi.
Gamawan Fauzi tidak perlu merasa tersinggung, marah, atau terusik harga dirinya sebagai menteri karena disentil oleh Ahok seperti itu. Harga dirinya sebagai seorang menteri justru terusik kalau dia malah melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar Konstitusi. Seperti, meminta Jokowi memenuhi kelompok warga intoleran di Lenteng Agung itu untuk mencopot Lurah Susan karena dia seorang Kristen. ***
Artikel terkait: