Rabu, 31 Juli 2013

Surat Ahok: "Ayo Berpolitik"

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/surat-ahok-ayo-berpolitik.html

Surat Ahok: "Ayo Berpolitik"

July 31, 2013 at 5:03pm
 Anak muda harus berani berpolitik. Lebih jelasnya, generasi muda harus berani menjadi politisi. Politisi seperti apa? Politisi yang jujur, bersih, dan melayani. Politisi yang berjuang untuk Keadilan Sosial bukan untuk kekuasaan dan kekayaan. Ada banyak orang yang tidak suka berpolitik tapi suka mengkritisi dari luar. Harus diingat bahwa di Negara yang sedang mencari jati diri dan berkembang seperti Indonesia politik adalah pilar utama perubahan.

Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa berpolitik itu adalah suatu keharusan. Mengkritisi dari luar sangat baik, tetapi masuk dan berjuang di dalam sangatlah penting dan krusial bahkan sudah menjadi keharusan. Hari ini kita tahu ada bahwa pada umumnya politisi yang seharusnya menjadi pelayan sudah “budek”(tuli). Mereka bukannya tidak tahu soal kesusahan rakyat tetapi TIDAK PEDULI UNTUK TAHU.

Maka sudah saatnya kita yang tidak nyaman dan marah akan situasi ini masuk dan melawan. Juga ada banyak orang yang sudah berpikir untuk berpolitik bahkan sudah masuk di dalam. Sayangnya kebanyakan dari mereka hanyut terbawa arus budaya politik. Untuk itu kita memerlukan orang-orang yang punya nurani untuk masuk berpolitik di dalam. Memang betul politik Indonesia hari ini hanya semata-mata untuk kekuasaan dan bukan untuk rakyat. Ini karena orang yang punya nurani dan keberanian di dalam sangatlah sedikit. Jadi politik Indonesia butuh generasi muda yang punya nurani dan berani mempertahankan nuraninya apapun harganya.Bagi saya pilihannya sangat sederhana.

Masa depan Negara ini dan nasib ratusan juta rakyatnya ada di tangan anda-anda semua. Jika teman-teman generasi muda tidak berani dan tidak bersedia berpolitik; tidak berani dan tidak bersedia mempertahankan nurani dan kejujuran apapun harganya, maka mimpi tentang Indonesia yang ada dalam visi para pendiri Negara ini hanya akan jadi mimpi belaka.

Sebaliknya jika teman-teman berani mengambil langkah radikal, berani berpolitik dengan nurani dan kejujuran, maka Indonesia ke depan akan menjadi bangsa yang besar dan disegani dengan rakyatnya yang makmur dan sejahtera. Berpolitik dengan nurani dan kejujuran tentunya susah-susah gampang. Akan ada banyak godaan, tantangan, dan ancaman. Tetapi suara nurani adalah modal utama dan sulit digoyah. Pilihan ada di tangan anda. Semoga anda memilih dengan bijaksana. Tuhan memberkati.

Jakarta, 17 November 2012

Basuki Tjahaja Purnama (AHOK)

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/07/31/231501236/Berselisih-dengan-Lulung-Ini-Ideologi-Ahok

Senin, 29 Juli 2013

NU Dukung Pembubaran FPI

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/nu-dukung-pembubaran-fpi-penulis-indra.html

NU Dukung Pembubaran FPI

  • Penulis :
  • Indra Akuntono
  • Senin, 29 Juli 2013 | 03:05 WIB
Ketua Umum Pengurus Besat Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj | KOMPAS.com/Indra Akuntono

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengapresiasi pernyataan tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menanggapi kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Bahkan, lebih jauh, ia mendukung organisasi masyarakat itu untuk segera dibubarkan.

Said menjelaskan, dalam agama Islam, tak ada toleransi untuk semua tindak kekerasan atau tindakan lain yang membuat masyarakat merasa terancam. Ia menegaskan, Islam harus membawa manfaat baik untuk seisi alam semesta.

"Saya dukung sikap tegas SBY, saya setuju FPI dibubarkan, dan kelompok lain yang memberi rasa takut untuk dibubarkan juga," kata Said seusai meresmikan Pondok Pesantren dan Madrasah Aliyah Al-Tsaqafah, di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (28/7/2013) malam.

Said menyampaikan, pihaknya telah beberapa kali memberi rekomendasi kepada pemerintah agar FPI dan ormas lain yang anarkistis untuk segera dibubarkan.

Namun, kata Said, pemerintah baru mengeluarkan sikap tegasnya kepada FPI setelah bentrok antara FPI dan masyarakat terjadi di Kendal beberapa hari lalu. "Rekomendasi sudah lama, tapi dulu kan (pemerintah) diam saja," ujarnya.

Seperti diketahui, FPI kembali menimbulkan polemik setelah terlibat bentrok dengan masyarakat Kendal, Jawa Tengah. Bentrokan saat itu terjadi karena massa FPI mendapat perlawanan dari masyarakat yang menolak aksi sweeping FPI.

Menyikapi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sikap tegasnya agar FPI tak mengulangi perbuatan anarkistisnya. Pernyataan SBY mendapat perlawanan dari Ketua FPI Rizieq Shihab yang menilai SBY sebagai seorang pecundang.

Minggu, 28 Juli 2013

Salvador Allende Dan Sosialisme Dengan Jalan Demokrasi

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/salvador-allende-dan-sosialisme-dengan.html

Salvador Allende Dan Sosialisme Dengan Jalan Demokrasi

BERDIKARIonline, Senin, 1 Juli 2013 | 10:26 WIB   ·   

salvador-allende-2.jpg

4 September 1970. Sebuah peristiwa luar biasa terjadi di Amerika Latin: seorang kandidat marxis, Salvador Allende, berhasil memenangkan pemilu Presiden di Chile. Inilah pertama kalinya dalam sejarah benua itu, bahkan di seluruh dunia, seorang marxis menjadi Presiden melalui pertarungan di kotak suara.
Bagi sebagian kaum marxis, jalan yang ditempuh Allende adalah hanyalah sebuah ilusi berbahaya. Maklum, seperti diperingatkan Marx, “tidak ada klas penguasa yang mau menyerahkan kekuasaannya kepada klas lain dengan cara sukarela.” Namun, Allende punya keyakinan sendiri, bahwa jalan membangun sosialisme, terutama di Chile, hanya mungkin melalui jalan demokrasi.
Memang, kekuasaan Allende berlangsung sangat singkat: 1970-1973. Namun demikian, saya pikir, adalah sebuah cara pandang yang tidak adil apabila hanya melihat proyek sosialisme Allende sebagai sebuah kegagalan semata. Bagi saya, proyek sosialisme Allende mengandung banyak pelajaran berharga bagi kaum sosialis hari ini.
Sutradara film dokumenter Chile, Patricio Guzmán, menggali pelajaran-pelajaran berharga dari proyek sosialisme Allende tersebut melalui film bertajuk “Salvador Allende” (2004). Melalui film berdurasi 100 menit itu, Guzmán memperlihatkan bagaimana perjalanan Allende menapaki jalan kekuasaan dan kontradiksi-kontradiksi di dalam proyek sosialisme-nya.
Salvador Allende, yang juga seorang dokter, tumbuh sebagai seorang marxis yang banyak dipengaruhi banyak ide: Marx, Lenin, Revolusi Perancis, Anarkisme, dan lain-lain. Dalam hal ini, Allende bukanlah seorang “marxis ortodoks”, yang berpegang pada satu kitab suci saja. Saya kira, cakrawala berfikir yang luas ini cukup mempengaruhi strategi politik Allende.
Pada usia yang masih sangat muda, 29 tahun, Allende sudah menjadi seorang senator dari tanah kelahirannya, Valparaíso. Ia sekaligus menjadi salah satu pendiri Partai Sosialis, sebuah partai pekerja yang tidak sehaluan dengan garis Moskow. Pada usia 30 tahun, Allende sudah ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan di pemerintahan reformis Pedro Aguirre Cerda.
Perjalanan Allende menapaki jalan kekuasaan memang berliku. Dia tiga kali mencalonkan diri sebagai Presiden (1952, 1958, dan 1968). Tetapi semuanya gagal. Namun, Allende tidak menyerah begitu saja. Baginya, kendati gagal, pemilu itu menjadi ajang untuk mengukur kekutannya. Namun, pelan-pelan tapi pasti, Allende terus membangun kekuatannya.
Tahun 1952, dengan menumpangi kereta api, Allende berkeliling ke seluruh pelosok Chile. Ia melakukan Turba (turun ke bawah): mendatangi setiap kota, berkunjung dari rumah ke rumah, untuk bertemu dan berdiskusi dengan rakyat. Di situ ia melihat realitas Chile yang sebenarnya.
Dengan pengalaman itu, Ia mulai berbicara jalan keluar. Ia berkampanye dan membangun kesadaran rakyat. Selebaran-selebarannya bertebaran di sepanjang jalur yang dilaluinya. Allende tidak kenal lelah untuk membangun gerakan rakyat. Alhasil, rakyat mulai jatuh cinta padanya. Di sepanjang jalur kereta api, rakyat menunggunya dan mengelu-elukannya.
Begitulah, hingga pada pemilu September 1970, Allende tampil sebagai pemenang. Kendaraan elektoral yang dibangunnya, Unidad Popular (UP), meraih suara 36%. Namun, perolehan suara itu gagal mengantarkan Allende meraih kekuatan mayoritas. UP sendiri mewakili spektrum yang luas: marxis, sosial-demokrat, dan Kristen.
Namun, kendati menang secara demokratis, bukan berarti jalan kekuasaan Allende cukup lapang. Saat itu kekuatan sayap kanan berusaha menggagalkan kemenangannya. Kongres Chile, yang didominasi sayap kanan, berusaha menunjuk Jorge Alessandri–pemenang kedua–menjadi Presiden. Rakyat Chile marah. Mereka turun ke jalan-jalan. Akhirnya, Kristen Demokrat mendukung Allende di parlemen. Allende pun dilantik menjadi Presiden. Percobaan kudeta pertama gagal!
Namun, dukungan Kristen Demokrat terhadap Allende tidak gratis. Allende dipaksa membuat jaminan konstitusional, bahwa pemerintahannya tidak akan pernah menyentuh tiga hal: Angkatan Bersenjata, Lembaga Pendidikan, dan Media. Padahal, tiga perangkat ini pula yang digunakan sayap kanan untuk merongrong pemerintahan Allende.
Yang menarik, kendati bekerja dalam ruang yang sangat terbatas, pemerintahan Allende tetap mengambil langkah radikal. Segera setelah ia berkuasa, ia mulai merealisasikan janji kampanyenya: land-reform, nasionalisasi perusahaan swasta (bank, batubara, baja, dan tembaga), dan membangun kekuasaan rakyat (kekuasaan kerakyatan, komando komunal, dan dewan industri). Ia menciptakan lompatan besar dalam sejarah perkembangan Chile.
Tetapi, pada saat yang bersamaan, AS juga melakukan berbagai upaya untuk melengserkan Allende: mengucurkan jutaan dollar untuk mendanai aksi-aksi oposisi, melakukan sabotase ekonomi, melarikan semua kapital ke luar negeri, memboikot impor bahan baku ke pabrik-pabrik di Chile, dan kampanye negatif melalui media massa.
Di dalam negeri, oposisi Chile mulai melancarkan kontra-revolusi melalui berbagai cara. Satu, memecah belah koalisi UP dengan menciptakan distingsi antara “marxis” dan “demokrat”. Sayap kanan gencar mempropagandakan anti-komunisme untuk menarik keluar kaum sosial-demokrat dan Kristen dari UP. Dua, memainkan kontrol terhadap media massa untuk menjelek-jelekkan pemerintahan Allende. Di Chile, 70 persen media cetak dikuasai oposisi. Tiga, menarik dukungan tentara agar menjauh dari Allende. Caranya, mereka menakut-nakuti tentara dengan ancaman “chaos”, “perang sipil”, “kekosongan kekuasaan”, dan lain-lain.Empat, menciptakan kepanikan klas menengah melalui pemogokan sopir truk, boikot produksi tembaga, bahaya komunisme, dan lain-lain. Lima, menciptakan kekacauan ekonomi. Maklum, senjata ini efektif untuk menjelek-jelekkan pemerintahan Allende.
Di sisi lain, seperti diungkap oleh Patricio Guzmán di film ini, kekuatan politik pendukung Allende punya problem internal. Satu, kendati suara Allende didengar oleh rakyat, tetapi hal itu tidak berbuah: organisasi. Dua, masing-masing partai kiri di dalam UP–komunis, sosialis, MIR, dll–sibuk dengan taktiknya masing-masing.
Padahal, Allende berkali-kali menegaskan, bahwa proyek sosialismenya ditempuh dengan jalan demokratis, yang mengisyaratkan penolakan terhadap partai tunggal yang berkuasa secara monolitik. Seperti dikemukakan Allende pada pidatonya di tahun 1973: “Perjuangan rakyat untuk merebut martabatnya, untuk mencapai sosialisme, dengan kebebasan yang majemuk dan toleransi terhadap semua ide-ide dan kepercayaan. Inilah perjuangan rakyat untuk mengalahkan kekerasan internal dan agresi eksternal. Aku akan memenuhi kewajibanku dan menggunakan setiap sumber daya negara. Tetapi tidak akan terjadi perang sipil di negeri ini.”
Proyek sosialisme Allende bukannya tidak teruji. Seperti ditunjukkan oleh Patricio Guzmán, kendati AS mengguyur oposisi jutaan dollar, semua proyeknya diblokade parlemen, sabotase ekonomi, kepanikan klas menengah, provokasi media sayap kanan, namun dukungan rakyat Allende justru meningkat pesat. Terbukti, pada pemilu tahun 1973, Allende berhasil menaikkan suara: 43,4% suara. Alhasil, sayap kanan gagal meraih suara ⅔ yang dibutuhkan untuk memakzulkan Allende. Upaya kudeta kembali menemui kegagalan.
Justru, saya pikir, tumbuhnya dukungan rakyat terhadap Allende, baik melalui elektoral maupun mobilisasi di jalanan, membuat sayap kanan frustasi. Kenyataan inilah yang membuat oposisi, termasuk imperialisme AS di belakangnya, sampai pada kesimpulan: Allende tidak mungkin bisa digulingkan dengan jalan legal/konstituisional. Dengan demikian, oposisi sayap kanan pun beralih kepada opsi terakhir: kudeta militer!
Setelah menyimak film Patricio Guzmán di atas, saya punya beberapa catatan. Pertama, Allende hanya memenangkan suara 36% dalam pemilu. Hal tersebut menyulitkannya melakukan perubahan yang sifatnya mendalam dalam batas-batas sistem perwakilan demokratik borjuis. Parlemen (kongres) dikuasai sayap kanan. Alhasil, banyak agenda perubahan Allende diblokir oleh parlemen. Banyak proyek sosial Allende, seperti distribusi susu, rencana kesehatan, program perumahan, dan lain-lain, terhambat karena dananya ditahan parlemen. Hal itu berbeda dengan kemenangan elektoral Chavez di Venezuela, tahun 1998, yang meraih 68% suara. Dengan dukungan yang besar itu, Chavez meraih kekuatan mayoritas di Majelis Nasional. Bahkan, proyeknya untuk membuat UU baru, yakni UU Bolivarian, yang dimaksudkan untuk memberi jalur legalitas bagi proyek revolusioner, berjalan tanpa hambatan berarti.
Kedua, meskipun Allende didukung oleh banyak kaum militan, yakni komunis, sosialis, dan kiri-radikal lainnya, tetapi mereka–seperti diungkapkan oleh Patricio Guzmán di filmnya–berjalan sendiri-sendiri dengan taktik masing-masing. Ini yang menghambat upaya Allende untuk mengorganisasikan dukungan rakyat yang terus meningkat ke dalam organisasi-organisasi. Lain halnya dengan Chavez, yang pada pemilu 1998, justru tidak mendapat dukungan dari kiri radikal: komunis, trotskys, sosialis revolusioner, dan lain-lain. Menariknya, Chavez berhasil mengubah dukungan rakyat yang besar kepada dirinya menjadi organisasi melalui Lingkaran Bolivarian.
Ketiga, Di satu sisi, Allende gagal meraih loyalitas atau dukungan penuh angkatan bersenjata. Di sisi lain, Allende terlalu percaya bahwa angkatan bersenjata selalu setia pada konstitusi. Pada kenyataannya, pada tahun 1973, militer menginjak-injak konstitusi dan demokrasi. Sementara Chavez meraih dukungan cukup kuat dari militer Venezuela. Meskipun, harus pula diakui, bahwa ada perbedaan karakter yang mencolok antara militer Chile dan Venezuela.
Keempat, sementara Allende sibuk menyerukan “persatuan” untuk merangkul sektor luas guna mematahkan isolasi sayap kanan, kelompok kiri radikal pendukung Allende justru menyerukan perang klas. Mereka menulis ditembok-tembok: “Hidup Kediktatoran Proletariat”. Sementara Allende berusaha mengkonsolidasikan ekonomi melalui nasionalisasi secara hati-hati terhadap sejumlah sektor strategis, sektor kiri radikal menuntut nasionalisasi semua sektor swasta.
Akhirnya, tanggal 11 September 1973, militer Chile di bawah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet melancarkan kudeta. Tentara dengan peralatan perangnya, seperti tank, artileri, dan lain-lain, menguasai jalanan dan melarang rakyat keluar rumah. Lalu, mereka menggempur Istana Kepresidenan, La Moneda Palace, tempat Allende berada. Tak hanya itu, pesawat tempur turut menggempur Istana Kepresidenan.
Allende tidak menyerah. Di tengah kepungan dan gempuran, Allende memilih bertempur hingga akhir. Dalam pidato terakhirnya ia tegas mengatakan: Inilah kata-kata terakhirku dan aku yakin pengorbananku tidak akan sia-sia.
Proyek sosialisme Allende sendiri memberi pelajaran penting. Allende berkali-kali menyebut sosialisme-nya dengan perumpamaan: sosialisme dengan anggur merah dan empanada (kue mirip pastel) Chile. Maksudnya, sosialisme Chile haruslah berkarakter demokratik dan berakar pada tradisi nasional rakyat Chile.
Keyakinan itulah yang membuat Allende mengambil jalan sendiri. Kendati di seantero Amerika Latin perjuangan bersenjata berkibar-kibar dan menjadi metode umum hampir semua gerakan kiri, Allende tidak mau latah. Ia dengan sabar (empat kali pencalonan) menjalankan strateginya sendiri.
Dan Allende memang tidak mati. Seperti dikatakan Patricio Guzmán: meski kekuasaan (diktator Pinochet) berusaha memupuk pelupaan, namun dibalik selimut amnesia yang menutupi negeri, ingatan muncul bahkan lebih bersemangat. Kekuasaan Pinochet selama 18 tahun gagal menghapus Allende dari ingatan rakyat Chile. Dan hari ini, melalui mural di tembok-tembok dan jalanan, Salvador Allende terus hidup.
Dan, resensi ini didedikasikan untuk mengenang Allende (26 Juli 1908- 11 September 1973). A Luta Continua!
Kusnoanggota redaksi Berdikari Online
————————————————————
Salvador Allende (2004)
Judul Film: Salvador Allende
Sutradara: Patricio Guzmán
Tahun Produksi: 2004
Durasi: 100 menit


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/20130701/salvador-allende-dan-sosialisme-dengan-jalan-damai.html#ixzz2aQB3vnIs
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Tiga Syarat Partai Marhaenis Sejati Ala Bung Karno


Tiga Syarat Partai Marhaenis Sejati Ala Bung Karno

BERDIKARIonline, Jumat, 6 Januari 2012 | 6:04 WIB   ·  Bung Karno Di Tugu Semarang


Dahulu, jaman kolonialisme, orang bikin partai sebagai alat perjuangan. Hampir semua partai punya embel-embel “pergerakan”. Ringkasnya, kalau partai  tidak menjadi alat pergerakan, ya, tidak keren.  Lengkap dengan ideologi pergerakannya.
Tetapi jaman sudah berubah. Sekarang, orang bikin partai murni untuk proyek memperkaya diri. Rumusnya pun gampang: dirikan partai, ikut pemilu, beli suara, dapat kursi, mainkan anggaran dan proyek.
Kembali ke jaman pergerakan itu. Saat itu, salah satu partai yang ditakuti penguasa kolonial adalah PNI (Partai Nasional Indonesia), yang didirikan Bung Karno dan kawan-kawannya di Bandung, 4 Juli 1927. Praktis, setelah PKI dihancurkan oleh penguasa kolonial tahun 1926/27, PNI menjelma menjadi partai revolusioner baru.
PKI banyak mewarisi semangat dan watak revolusioner PKI. Tentang itu, Soekarno sendiri mengakuinya: “…untuk meneruskan perjuangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia”.
PNI pun menjelma menjadi partai massa revolusioner. Begitu takutnya penguasa kolonial terhadap perkembangan PNI, maka pemimpin utamanya pun ditangkap dan dipenjarakan. Bung Karno sendiri harus keluar masuk penjara karena gerakan politiknya. Boleh dikatakan, PNI saat itu benar-benar partai kaum marhaen.
Sekarang, masih ada partai yang bernama PNI, tapi tak lagi “segarang” PNI-nya Bung Karno. PNI sekarang tidak begitu “dihitung” oleh penguasa. Maklum, meski masih berazaskan marhaenisme, tapi hanya sedikit sekali kaum marhaen yang mau bergabung. Sudah begitu, PNI sekarang cuma kontestan pemilu, bukan lagi sebagai partai perjuangan massa rakyat.
Untuk menjadi partai kaum marhaen, seperti PNI-nya Bung Karno dulu, memang bukan perkara gampang. Bung Karno punya tiga syarat agar sebuah partai bisa  menjelma sebagai partainya kaum marhaen.
Syarat pertama, setiap partai kaum marhaen harus menjalankan machtvorming: pembuatan tenaga, pembuatan kuasa. Machtvorming penting, kata Bung Karno, karena adanya pertentangan kepentingan antara sana dan sini (kita dan musuh).
Soekarno sangat setuju dengan Marx: “tidak ada suatu kelas yang mau melepaskan hak-hak istimewanya dengan kemauan sendiri.” Dengan demikian, macth dapat diartikan sebagai alat paksaan kaum marhaen untuk menjalankan kepentingannya.
Bagaimana “macht” ini dibentuk? Soekarno, yang banyak belajar dari pengalaman SDAP di Belanda, menganjurkan pengorganisiran rakyat yang berjuta-juta, dengan mendirikan serikat-serikat, dengan mengadakan koperasi-koperasi, dan dengan mengeluarkan berpuluh-puluh surat kabar.
Selain itu, suatu machtvorming harus disertai azas atau prinsip.  Ini untuk membedakannya dengan machtvorming yang oportunistik, yaitu machtvorming yang sekedar untuk tujuan tawar-menawar dengan pihak musuh.
Oleh karena itu, machtvorming kaum marhaen haruslah machtvorming yang berdasarkan azas: antitesa antara sana dan sini, suatu perlawanan tanpa damai antara kaum marhaen melawan kapitalisme-imperialisme. Sebab, bagi Bung Karno, kepentingan kaum marhaen adalah suatu masyarakat baru, yang didalamnya tidak ada lagi kapitalisme-imperialisme: masyarakat sama-rasa sama rata.
Syarat kedua, Dalam menjalankan pertentangan (antitesa) antara  sana dan sini, partai kaum marhaen haruslah menjalankan radikalisme: perjuangan yang tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan yang hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya.
Jadinya, bagi Bung Karno, perjuangan macthvorming kaum marhaen bukan untuk perubahan kecil-kecilan, melainkan untuk perubahan mendasar: menggantikan susunan suatu masyarakat. Kalaupun harus menerima kemenangan kecil-kecil, maka itu hanyalah sekedar taktik untuk menuju kemenangan besar atau mutlak.
Di sini, Bung Karno sangat setuju dengan pendapat seorang komunis Jerman, Karl Liebknecht, yang berkata: “perdamaian antara rakyat jelata dengan kaum atasan adalah berarti mengorbankan rakyat jelata itu sendiri.”
Semangat radikalisme ini yang membuat partainya kaum marhaen berwatak revolusioner. Ini yang membedakan dengan partai kaum marhaen dengan partai-partai moderat dan reformis. Bahwa partai kaum marhaen ingin perubahan selekas-lekasnya, dengan memperjuangkannya, tanpa menunggu. Inilah semangat kaum kepala banteng!
Syarat ketiga, untuk menjelmakan machtvorming yang berazaskan radikalisme itu, maka partai kaum marhaen haruslah menjalankan massa aksi . Di sini, massa aksi diartikan sebagai aksinya rakyat jelata yang sudah tersadarkan: marhaen yang sadar bahwa untuk mengakhiri ketertindasan, maka harus menjebol masyarakat lama dan membangun masyarakat yang baru.
Di sini, Soekarno, yang belajar dari Massa-Aksinya Tan Malaka, berusaha membedakan antara massa aksi dan massal aksi (massale actie).  Massa aksi adalah aksinya rakyat jelata yang karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru yang radikal, dan bermaksud “memarayikan” terlahirnya masyarakat baru.
Sementara massale actie adalah pergerakan rakyat yang orangnya bisa ribuan, bahkan jutaan, tapi tidak radikal dan tidak revolusioner: tidak bermaksud membongkarnya akarnya masyarakat tua dan menggantinya dengan masyarakat baru.
Oleh karena itu, partai marhaen yang hendak menjadi partai pelopornya massa aksi haruslah punya program perjuangan yang 100% radikal: suatu perjuangan tanpa damai untuk mengubur masyarakat lama dan membangun masyarakat baru.
Soekarno bukan seorang yang berfikir mekanis. Ia sangat menolak ide-ide spontanisme: gaya politik yang membatasi aksinya dalam kerangka situasi yang ada. Soekarno dengan tegas mengatakan, kesengsaraan saja tidak cukup untuk menghasilkan radikalisme massa.
“Hanya jikalau kesengsaraan itu dibarengi dengan pendidikan massa, dibarengi dengan perjuangan massa, dengan perlawanan massa, dengan aksi massa menentang kesengsaraan itu, maka kesengsaraan bisa melahirkan radikalisme di kalangan massa.” kata Soekarno.
Oleh karena itu, Bung Karno juga punya konsep soal partai pelopor. Tapi, saya belum akan membahas partai pelopor itu di sini. Saya akan mengusahakan untuk menguraikan konsep partai pelopor ala Bung Karno itu pada satu artikel tersendiri.
Yang jelas, dari pemaparan di atas, untuk menjadi sebuah partai marhaen, anda tidak boleh sekedar mencaplok azas marhanisme, memasang lambang kepala banteng, dan berteriak “Merdeka!”.
Ringkasnya, yang disebut partai kaum marhaen adalah partai yang menjalankan machtvorming yang berazaskan radikalisme dengan massa aksi.
KUSNO


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/pemikiran-ekonomi/20120106/tiga-syarat-partai-marhaenis-sejati-ala-bung-karno.html#ixzz2aPSlI1cM
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook


Sosialisme Soekarno Bagaimana Dihayati Kini?

  • Sabtu, 30 Juni 2012 | 02:08 WIB
”Sejarah secara umum mencatat Orde Lama mengedepankan nation building. Padahal, Bung Karno juga menjadi peletak dasar ekonomi sosialis yang berdasar Pancasila,” kata Poppy dalam diskusi ”Bung Karno di Mata Dunia: Gagasan dan Tindakan tentang Kepemimpinan dan Sosiodemokrasi” yang diselenggarakan Megawati Institute, di Jakarta, Rabu (27/6).
Agenda nation building sangat penting sebagai langkah awal bernegara. Eropa Barat membutuhkan ratusan tahun untuk agenda ini. Bahkan, Jerman, lanjut Poppy, melalui proses ini sangat berdarah.
Bung Karno mampu menyatukan kesadaran bernegara, ideologi, menjaga keberagaman untuk mencapai tujuan bersama, yakni kedaulatan negara.
Poppy menerangkan, sejak 1932, Bung Karno sudah merumuskan sosiodemokrasi. Sistem ekonomi Pancasila yang dirumuskan Bung Karno mengakui hak individu sebagai penggerak ekonomi. Bung Karno juga menegaskan adanya toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan, penguasaan sumber daya strategis oleh negara, dan demokrasi ekonomi yang mengakui kekuatan serta potensi lokal. Bung Karno juga menggarisbawahi peran aktif negara dalam pembangunan dalam strategi dan kebijakan.
”Pancasila adalah solusi melawan globalisasi. Tidak anti pasar tetapi ada prinsip bangsa dalam berekonomi. Namun, Indonesia saat ini praktis berjalan tanpa ideologi,” ujar Poppy.
Terjebak formalisme
Menurut dia, Pancasila semasa Orde Baru dirusak karena terjebak pada formalisme peperti penataran, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan pertama Orde Baru lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang menggadaikan Indonesia kepada pemodal dan negara asing.
Semasa reformasi, Poppy mengingatkan, tidak ada yang mampu mendefinisikan ideologi ekonomi Indonesia. Secara nasionalisme ekonomi, lebih dari 90 persen dari 120 kontrak pertambangan strategis dikuasai asing dengan konsesi 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Dunia perbankan mencatat 6 dari 10 bank terbesar adalah bank asing.
Yang paling memprihatinkan, ujar Poppy, adalah daya beli rakyat kecil Indonesia dari tahun 1996 sebesar Rp 587.400 naik menjadi Rp 628.300. ”Kenaikan daya beli hanya sebesar Rp 40.000 dalam kurun 12 tahun. Sungguh tragis,” kata Poppy.
Tingkat pendidikan masyarakat dalam ekonomi yang meninggalkan ideologi sosialis Pancasila menghasilkan peningkatan kualitas tingkat pendidikan masyarakat di tahun 1996 di kelas V SD (enam tahun pendidikan dasar) naik dua tahun saja pada 2008. Setelah 12 tahun, ujar Poppy, tingkat pendidikan dasar masyarakat baru sampai di SMP kelas I saja.
Saat ini, 55,43 persen rakyat Indonesia tercatat hanya lulusan SD dan hanya 4,24 persen yang lulusan perguruan tinggi.
Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae mengingatkan pentingnya kembali ke perumusan Pancasila saat Bung Karno dibuang di Flores. ”Bung Karno berhasil merumuskan gagasan dan kritik atas Islam, Marxisme, dan Sosialisme. Bung Karno hanya bisa bergaul dengan lapis bawah masyarakat di Ende. Dia dilarang bergaul dengan masyarakat atas yang berpendidikan Eropa. Dalam kondisi itu, Bung Karno mengampanyekan Indonesia merdeka lewat kelompok tonil dan mengingatkan betapa buruh bisa menjadi tuan atas dunia politik tetapi menjadi budak sistem ekonomi.
Direktur Megawati Institute Arif Budimanta mengatakan, produk undang-undang pasca-1998 yang didikte IMF dan World Bank harus dirombak. Semua UU yang dibuat semasa Indonesia dikendalikan IMF dan World Bank membuka jalan bagi liberalisasi dan penjajahan ekonomi.
Pengamat politik Yudi Latif mengingatkan, sosok Soekarno sebagai sosialis yang jarang dibahas di Indonesia. Soekarno menggagas demokrasi yang benar adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial.
”Dunia mengalami Imperium Hispanica (Spanyol-Portugal) yang berkuasa secara ekonomi, Pax Neerlandica dengan Belanda menjadi pusat kekayaan Eropa abad ke-19, Pax Americana pada abad ke-20, dan saat ini era Pax Consortis yang dimotori negara G-20. Indonesia sebagai bagian G-20 harus memanfaatkan kesempatan ini,” kata Yudi.
Gagasan Soekarno tidak membiarkan mekanisme pasar liberal berkuasa. Marhaenisme yang digagas Soekarno adalah kesejahteraan yang tidak membiarkan kaum kapitalis merajalela. Prinsipnya semua orang cukup makan, pakaian, hidup dalam kesejahteraan, dan demokrasi parlemen tidak dikuasai kaum kapitalis.
Sekarang? Kita bisa merasakan dan berkaca. (Iwan Santosa)

Senin, 22 Juli 2013

Bung Karno Dan Negara Res Publica

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/bung-karno-dan-negara-res-publica.html

Bung Karno Dan Negara Res Publica

Minggu, 2 Oktober 2011 | 11:20 WIB   ·   4 Komentar
Soekarno-wawancara
Pada tahun 1956, pertarungan politik dan gagasan di Indonesia mengarah kepada satu kesimpulan: demokrasi liberal harus segera diakhiri. Bung Karno, yang sejak awal menyatakan ketidaksukaannya terhadap model demokrasi ini, semakin menegaskan sikapnya dalam sebuah pidato di hadapan Majelis Konstituante.
Kepada para calon pembuat konstitusi baru itu, Bung Karno telah menganjurkan agar konstitusi baru disusun berdasarkan realitas yang hidup di Indonesia. “Jangan meniru atau menyadur konstitusi orang lain,” kata Bung Karno. Ia menyerukan agar Konstituante membuat konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
>>>
Di tengah-tengah pidato itu, Bung Karno mengajak anggota Konstituante merenungkan arti kata Republik. Pasalnya, banyak yang memahami republik dari bentuk luarnya saja, tetapi belum memahami isinya.
Istilah “Republik”, kata Bung Karno, berasal dari kata “Res Publica”, yang berarti kepentingan umum. Ia merupakan negasi dari bentuk negara yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan satu individu ataupun kepentingan satu klas.
Sekalipun banyak negara yang menganut sistim republik, kata Soekarno, tetapi mereka tidak konsisten menerapkan makna “kepentingan umum” itu. Lagi-lagi Bung Karno merujuk ke eropa. Di sana, katanya, mereka ber-res-publica hanya di lapangan politik saja, tetapi tidak melakukannya di lapangan ekonomi.
“Kekuasaan ekonomi tidak mau  mereka akui sebagai hak bersama. Jangankan di dalam praktek, di dalam teori pun tidak,” kata Bung Karno.
Demikian pula dengan lapangan sosial dan budaya, terkadang res-publica juga tidak menyentuh wilayah ini. Sehingga pintu kehidupan sosial dan kebudayaan sering terutup bagi mereka yang tidak berkuasa.
Tetapi gagasan Republiken ala Bung Karno jelas berbeda dengan gagasan Republiken yang diadopsi oleh sebuah Partai Sarekat Rakyat Independen (SRI). Rocky Gerung, seorang ideolog partai SRI, mengidentifikasi republikanisme sebagai pengaktifan warga negara dalam kehidupan politik, dimana warga negara bukan penerima pasif. Ide republikanisme ala SRI adalah mirip dengan res-publica yang dikritik habis-habisan oleh Bung Karno, yaitu res publica yang hanya diselenggarakan di lapangan politik.
Melihat uraian Bung Karno itu, kita melihat adanya konsistensi dalam teori-teori dan keinginan-keinginan politiknya: ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), Soekarno dengan tegas mengatakan Indonesia merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Dan melalui pidato itu, Bung Karno kembali menegaskan bahwa Indonesia merdeka bukanlah negara untuk satu golongan, bukan pula negara borjuis, melainkan sebuah negara yang dimiliki seluruh rakyat. “Maka res-publica pun dijalankan di semua lapangan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. “Harus menjadi republiken 100%,” begitu kata Bung Karno.
Sayang sekali, Konstituante gagal menghasilkan konstitusi baru.
Akhirnya, pada 22 April 1959, melalui pidato berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, Soekarno telah mengajak untuk kembali ke UUD 1945. Lalu pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit. Maka bubarlah Konstituante itu dan bangsa Indonesia pun kembali ke UUD 1945.
>>>
Tetapi, untuk mencapai cita-cita res-publica yang dimimpikan Soekarno, ia perlu faktor pendukung: lingkungan politik yang stabil, persatuan nasional yang kuat, dan semangat rakyat yang berjuang.
Tetapi demokrasi liberal telah menjadi halangan untuk itu. Pertama, demokrasi parlementer menyebabkan pemerintahan tidak stabil, sehingga pemerintahan tidak bisa bekerja secara maksimal.
Sejak penerapan demokrasi parlementer, terhitung ada tujuh kali pergantian kabinet: Natsir (1950-1951), Sukiman, 10 bulan (April 1951-Februari 1952), Wilopo 14 bulan (April 1952-Juni 1953), Ali Sastroamidjojo 24 bulan (Juli 1953-Juli 1955), Burhanuddin Harahap 7 bulan (Agustus 1955-Maret 1956), lalu kembali Ali Sastroamidjojo 12 bulan (Maret 1956-Maret 1957).
Kedua, demokrasi parlementer membawa bangsa Indonesia yang masih muda ke dalam sebuah krisis; friksi antar partai politik, saling jegal antar golongan politik, menurunnya semangat juang, dan lain sebagainya.
Hal itu, dalam bayangan Bung Karno, sangat terang melemahkan persatuan nasional. Padahal, di satu sisi, masih ada tugas nasional yang belum selesai, yaitu menghancurkan sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme.
Ketiga, Demokrasi itu juga dianggap oleh Bung Karno telah meracuni rakyat: munculnya ego-sentrisme. Ego-sentrisme telah memicu gerakan separatism di daerah, baik yang bersifat kedaerahan maupun keagamaan.
Bagi sebagian pengamat politik, seperti Ignas Kleden, pengalaman demokrasi parlementer memberikan pencapaian positif: perdebatan yang tekun dan bermutu tinggi telah membuka jalan ke arah konstitusionalisme, sebagai suatu cita-cita yang hendak dijadikan tradisi dalam masyarakat baru.
Bung Karno sangat tegas menolak demokrasi liberal ataupun ‘diktatur’.
Demokrasi liberal, seperti berulang-ulang dikatakannya, hanya mengejar persamaan di lapangan politik, tetapi mengabaikan persamaan sosial atau ekonomi.
“Seperti juga dalam perdagangan, jika kesempatan yang sama itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang sama, maka golongan yang lemah akan tertindas oleh golongan yang kuat,” ujarnya Soekarno, seraya menyakinkan anggota konstituante.
Oleh karena itu, muncul ide Soekarno untuk mendesakkan sebuah tipe demokrasi yang terbimbing atau terpimpin, yakni sebuah demokrasi mencegah terjadinya eksploitasi oleh si kuat terhadap si lemah.
Tetapi perlu dicatat, terkait penerapan model demokrasi terpimpin itu, Soekarno menggaris-bawahi bahwa hal itu hanya dilakukan dalam masa transisi. Transisi yang dimaksud adalah peralihan dari alam kolonialisme ke nasional; peralihan dari perbudakan ke alam kemerdekaan politis-ekonomis.
Periode transisi sendiri akan berakhir pada satu titik: saat dimana emansipasi ekonomi dan sosial sudah merata.
Tetapi, dimata banyak pengamat politik, demokrasi terpimpin dianggap menciptakan benih otoritarianisme; ada pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, ada pula pelarangan terhadap karya-karya seniman yang tak sejalan dengan pemerintah, ada pembredelan sejumlah surat kabar.
Tetapi, perlu dicatat di sini, bahwa “pelarangan” tidak berarti penghancuran secara fisik terhadap partai atau kegiatan politik dimaksud. Kita jangan membayangkan “pelarangan” di sini seperti ketika Soeharto melarang PKI dan ajarannya. Soe Hok Gie, yang aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis—dekat dengan PSI, masih beraktivitas dan aktif berhubungan dengan orang-orang PSI.
Soekarno sendiri menolak menjadi diktatur, sekalipun kesempatan itu berkali-kali datang kepadanya. Pada tanggal 17 Oktober 1952, misalnya, ketika militer melancarkan kudeta dan memintanya membubarkan parlemen, Soekarno menjawab, “Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan sebagai diktator.”
*) Staff Redaksi Berdikari Online dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20111002/bung-karno-dan-negara-res-publica.html#ixzz2Zqoks5qI
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Minggu, 21 Juli 2013

Inilah Dugaan Kuat, SBY Agen Amerika



    20 Juli 2013 - 02:09:25 WIB
    Inilah Dugaan Kuat, SBY Agen Amerika
    Diposting oleh : www.asatunews.com
    Kategori: POLITIK - Dibaca: 14047 kali


    ASATUNEWS - “Despite a smear campaign that includes allegations he is a CIA agent, polls show that Yudhoyono's personal approval ratings. Asked who was their second choice to become president should their candidate not win, electors unanimously backed Yudhoyono. 

    A career soldier, Yudhoyono and graduate of US military training programmes at Fort Benning, Columbus (1976 & 1982) and the Command and General Staff College at Fort Leavenworth, Texas (1991), Yudhoyono has fond memories of the US.

    Informasi di atas dipaparkan Aljazeera, secara tegas menempatkan sosok Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden binaan Amerika.  Tentu saja ini bermula dari  jejak SBY dalam lajur militer. Ia, seorang prajurit karir, dan lulusan program pelatihan militer AS di Fort Benning, Columbus.

    Jejak rekam SBY ini dibongkar akun twitter @TrioMacan2000.  Dalam kicauannnya, Sabtu, (20/7) di jejaring sosial itu, ia membongkar siapa sosok SBY dan menunjukkan beberapa bukti faktual tentang keterlibatannya dalam missi rahasia Amerika Serikat. 

    Seperti dilansir Aljazeera, SBY adalah agen Amerika yang sangat loyal bahkan dengan bangga SBY berharap bisa menjadi bagian dari Amerika. Inilah bukti keterlibatan SBY dalam aksi AS apapun di Indonesia, termasuk pembiaran pangkalan militer dan penempatan pasukan AS di Darwin.

    Kondisi ini, diperoleh SBY dengan dukungan penuh Presiden George Bush pada SBY. Fakta ini makin terkuak ketika koran terbitan Singapura, Business Times edisi 10 April 2004. Koran itu mengutip sumber di pemerintahan Bush yang menyatakan bahwa AS mendukung SBY untuk membentuk koalisi yang tidak terkalahkan. 

    Di mata Bush, SBY adalah sosok yang kredibel mendukung kebijakan Bush soal perang melawan terorisme Islam. Koran The Asian Wall Street  Journal (AWSJ) juga menulis tajuk yang isinya senada. AWSJ menilai SBY sebagai tokoh loyalis No. 1 AS.

    Kembali kepada Aljaeer, dalam situs Al http://Jazeera.Net , 4 Juli 2004, terdapat profil SBY dengan tulisan Paul Dillon bahwa SBY adalah seorang yang sangat pro AS.  

    Gambaran itu semakin terang benderang, ketika Paul Rowland, pimpinan National Democratic Institute for International Affairs (NDI) yangg selalu membuat jajak pendapat memenangkan SBY. Rowland mengatakan bahwa SBY "firm leader, but not an iron fist" (pemimpin yang tegas dan tidak bertangan besi). 

    “Pujian ini tentu berlebihan jika melihat sikap SBY yang peragu, cari aman dan tak mampu mengambil keputusan. Sikap Washington sangat hangat terhadap SBY terjadi sejak lama dan hal itu terbukti ketika ia melakukan kunjungan kerja ke AS ,” begitu kicauan @TrioMacan2000.
    Fakta lain

    Pada September 2003, kendati badai Isabel di ibukota AS, kunjungan kerja SBY tetap jalan. Pertemuan para petinggi AS dgn SBY tetap dilakukan. Pada kunjungan SBY ke AS tersebut, SBY mendapat perlakuan istimewa terutama oleh Asosiasi Persahabatan AS-RI  (USINDO Society). 

    Pada Jumat, 19 September 2003, SBY disambut meriah. Para petinggi AS seperti  Menlu Powell, Wkl Menhan Wolfowitz dan Direktur FBI Robert S. Mueller. Wolfowitz,  arsitek penjajahan AS di Irak, mengajak seluruh hadirin melakukan toast utk SBY. Capres RI dukungan dan loyalis AS sejati. 

    Ratusan undangan tamu VIP dan VVIP AS berdiri bersulang dengan mengangkat gelas berisi minuman beralkohol anggur dan sampanye. SBY tampak terharu  menerima penghormatan ini dengan anggukan kepala tanda terima kasih. Hatinya berbunga2 penuh bahagia ... . "Saya berada di sini hari ini utk menegaskan lg solidaritas Indonesia - USA dalam koalisi global melawan terorisme Islam dunia,” tutur SBY

    Seperti kita tahu, komitmen pemerintahan Bush yang pro Israel, dilanjutkan Obama terhadap SBY itu ternyata tak sebatas retorika belaka. Menurut Senator Paul Findley, kedua organisasi ini merupakan dua organisasi lobi Yahudi yang paling berpengaruh di Gedung Putih. Sumbangan dana seperti ini memang diumumkan di AS sehingga  sebagian mahasiswa Indonesia di sana dengan mudah mendapatkan informasi.

    Di Jakarta, kini telah berdiri pula Indonesian-Israeli Public Affairs Committee (IIPAC) yang dipimpin agen Mossad, Benjamin Ketang. Benjamin Ketang adalah mantan aktivis PMII yang mendapatkan beasiwa ke Israel atas jasa Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Dan Benjamin Ketang jadi WN Israel. Padahal sebelumnya dia adalah WNI. 

    Kantor IIPAC pimpinan agen Mossad, Benjamin Ketang yang sebelumnya di ITC cempaka putih kini pindah ke Jl Sudirman. Mossad juga yang diduga memberikan jaminan kepada SBY untuk membantu menangkan kembali PD di pemilu dan Pilpres 2014.

    “Kalau besok akun twitter ini lenyap atau disuspend selama2nya, kami harap Anda dapat mengerti siapa pelakunya,” celoteh @TrioMacan2000. 

    Apa kompensasi yang diminta Mossad terhadap jaminan bantuan kemenangan PD di pilpres dan pemilu 2014 itu ? Papua Merdeka ? PKS ? Islam ?

    “Akankah kita ucapkan selamat datang Papua Merdeka? Aceh Merdeka? Melayu Raya? Semoga tidak. Semoga Allah melindungi NKRI. Aamiin Ya Robbal ‘Alamin,” ungkap akun yang penuh kontroversi mengakhiri celotehannya.
    Pada titik yang lain, Profesor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Jeffrey Winters mengatakan bahwa SBY Tak Bikin AS Pusing. Adalah fakta bahwa Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyukai SBY karena selama berkuasa SBY tak pernah membuat pusing mereka dan memainkan agenda barat dengan sangat baik.
    .
    “Saya rasa AS dan negara Barat senang pada SBY justru karena dia mediocre. Dia tidak membuat Amerika pusing dan dia itu good boy,” ujarnya kepada wartawan. Sementara itu menurut beberapa sumber SBY dengan kebijakan pencitraannya berusaha menampilkan kewarganegaraan dan rasa nasionalismenya terhadap rakyat Indonesia. Padahal sangat bertolak belakang dengan pernyataannya ketika Hal itu dikaitkan dengan SBY saat bertandang ke Negeri Paman Sam pada 2004 lalu. 
    Entahlah, yang pasti jika media luar menulis perihal jejak SBY, mereka menulis tak mungkin dengan data fiksi. Kenapa? Karena kredibilitas media sebagai jaringan informasi publik, sangat mereka jaga.

    Berita Terkait

Sabtu, 20 Juli 2013

Mouloudji

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/mouloudji.html

Mouloudji

Untuk kawan-kawan saya, F.S., M.F., dan R.K.
Windu W. Jusuf
SAYA bayangkan laki-laki Arab berwajah murung itu duduk di pojok sebuah kamar siaran radio. Hari itu Dien Bien Phu, satu daerah di Indochina, diserbu oleh militer Prancis dari segala penjuru.  Dalam waktu yang berdekatan, Prancis mengirim pasukannya ke Aljazair untuk ‘membersihkan ekstremis’—dan kita pun tahu, negeri-negeri yang diserbu ini di kemudian hari merdeka melalui perjuangan yang berdarah-darah. Dua agresi tersebut menuai protes dari sejumlah kalangan, yang awalnya terdengar sayup-sayup karena sensor pers.
Marcel Mouloudji nama pria Arab itu. Di radio nasional Prancis, ia menyanyikan satu lagu protes yang kemudian tersohor, ‘Desertir’ (‘Le Déserteur’) yang ditulis oleh Boris Vian, karibnya sesama musisi. Tak lama setelah diputar ‘Desertir’ pun kena cekal, tidak boleh dimainkan di radio maupun di muka khalayak hingga sepuluh tahun kemudian. Karir Mouloudji sendiri sempat mandeg. Apa lacur, di kalangan musisi ‘Desertir’ telah tersebar. Pada biduan dan biduanita dunia yang membenci perang lekas-lekas menyadurnya ke dalam bahasa masing-masing.
Lirik ‘Desertir’ sebenarnya sederhana saja.
Tuan Presiden
Kukirimkan sepucuk surat
Mungkin Anda akan membacanya
Di saat senggang.
Baru saja kuterima
Surat panggilan tugas
Untuk bersiap ke garis depan
Sebelum Rabu malam
Mouloudji, penyanyi blasteran Prancis-Aljazair, memang tidak tinggal di tanah jajahan. Ia lahir dan besar di Paris. Karirnya mencuat dari pengamen di kedai-kedai minum di distrik mesum Belleville ke dapur rekaman.  Ia, yang juga anggota Partai Komunis, boleh jadi tak sempat menyaksikan kemelaratan, rasisme, dan kebrutalan polisi  di tanah kelahiran bapaknya. Namun tiap orang Aljazair agaknya tahu peristiwa bulan Mei 1945:  ketika warga Paris tengah merayakan kekalahan Jerman, ratusan orang yang berpawai merayakan peristiwa yang sama di koloni dibantai militer Prancis. Alasannya: mereka membawa bendera nasionalis Aljazair.
Dalam ‘Desertir’: Aku tak sudi membantai orang-orang miskin itu/kuputuskan untuk desersi.
Barangkali yang membuat lagu itu kuat bukan liriknya yang menyebut-nyebut kekejian terhadap kaum papa, mungkin juga bukan karena ‘Desertir’ keluar dari mulut Mouloudji, yang sebagai keturunan orang jajahan seringkali dianggap warga kelas dua. Memang ada baris-baris eksplisit seperti: ‘Sejak aku lahir/tlah kusaksikan ayahku mati/kusaksikan abang-abangku minggat/anak-anakku menangis’ atau ‘Dalam kuburnya/ibuku menertawai bom/menertawai cacing-cacing.’ Tapi bukan itu intinya.
Khalayak luas mengenal ‘Desertir’ sebagai bagian dari tradisi complainte, tembang keluhan, lagu cengeng. Lain dari ‘Desertir,’ ada banyak sekali keluhan yang dilantunkan Mouloudji: ‘Keluhan dari bukit,’ ‘Keluhan si Kafir,’ ‘Keluhan si Partisan.’ Dalam sejarahnya, complainte lahir dari syair-syair lisan para trubadur yang mengiringi prajurit-prajurit rendahan zaman kuno. Tema liriknya seputar jauh dari rumah, rindu istri, keinginan cepat pulang dan kembali berladang, kesepian, kebosanan di barak, dan seterusnya. Melodinya mirip-mirip. Mungkin inilah yang membuat ‘Desertir’ begitu sensitif di telinga penguasa: ia berbicara dari kacamata seorang tentara rendahan yang sehari-harinya diplonco para komandan-kariris. Malah, martabat sang desertir justru nampak ketika ia menampik perintah dan rela menebusnya dengan nyawa.
Kalau kau memburuku
beri tahu polisi-polisimu
‘Aku tak bersenjata’
biar mereka gampang membedilku.
Protes kecil Mouloudji di radio nasional tidak percuma. Di tahun-tahun setelahnya ada banyak tentara yang desersi, melawan atasan yang memerintahkan penyiksaan atas tahanan, atau sekadar memberikan ransumnya ke laskar musuh. Jumlahnya kian bertambah. Beberapa merasa bahwa perang ini sia-sia; orang Aljazair sudah saatnya merdeka. Beberapa yang lainnya mulai menyamakan serbuan ke koloni, ke Aljazir dan Indochina, dengan invasi Nazi ke tanah air mereka.
Di zaman perang yang sama, sutradara kiri Jean-Luc Godard merilis Serdadu Kecil, yang sempat juga dilarang beredar. Serdadu Kecil menuturkan kisah Bruno, agen rahasia Prancis yang ditugaskan memata-matai FLN, organisasi pro-kemerdekaan Aljazair di Swiss. Di tengah cerita, ia jatuh hati pada Veronica, seorang perempuan muda yang ternyata adalah simpatisan FLN. Jatuh ke kandang macan, Bruno disiksa habis oleh militan FLN. Konon Serdadu Kecil tidak dilarang karena memuat adegan-adegan kekerasan yang eksplisit. Ia dilarang karena menampilkan sosok aparat negara yang lemah, yang hatinya gampang luluh oleh gadis di kubu musuh dan—di akhir cerita—kecewa berat lantaran sang gadis disiksa sampai mati oleh kawan-kawannya sendiri.
Jauh sebelum tahun-tahun itu, agaknya orang kiri di sana paham benar cara menangkap keresahan sehari-hari tentara rendahan, lalu memanfaatkannya sebagai bahan kampanye anti-militeris. Roman Perjalanan ke Ujung Malam terbit di tahun 1930-an, ketika Hitler merebut kekuasaan di Jerman. Jangan kira karya ini ditulis orang kiri; sebaliknya, ia lahir dari pengalaman Louis Ferdinand Céline, seorang penulis ultra-kanan dan anti-semit. Dalam roman biografis tersebut, tokoh utamanya, Ferdinand Bardamu, dikisahkan masuk militer bukan karena ‘nurani kebangsaan’ dan hal-hal semacamnya. Ia mendaftar karena ingin membuat orangtuanya kesal, karena darah muda. Bardamu harus menunggu agak lama untuk turun ke parit-parit Perang Dunia I yang legendaris itu. Namun begitu terjun ke garis depan dan menyaksikan kolonelnya mati dengan usus terburai, Bardamu langsung kecut hati. Ia mundur teratur dan akhirnya desersi. Orang kiri—juga banyak veteran perang—menyambut baik Perjalanan ke Ujung Malam,‘mengkooptasinya’ sebagai sastra anti-militeris, untuk membendung sentimen fasis yang mulai tumbuh di Prancis. Ironisnya, kaum ultra-kanan menyambut dingin novel ini. Bagi mereka, Céline melangkah terlalu jauh: bahasanya jauh dari sastra adilihung, jorok, karakter-karakternya bejat, dan akhirnya bunuh-membunuh di medan perang jadi perkara yang murni banal—bukan demi negara.
Barangkali ‘Jiwa Korsa’—dan segala mitos ksatria yang senantiasa dihembus-hembuskan para Mafia Magelang—bisa ditampik dengan cara yang sama. Saya pesimis, tapi sudah adakah yang mencobanya?***

Selasa, 16 Juli 2013

Bung Karno Dan Konsep Partai Pelopor


http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/bung-karno-dan-konsep-partai-pelopor.html

Bung Karno Dan Konsep Partai Pelopor

Berdikarionline.com. Jumat, 10 Februari 2012 | 5:16 WIB  

14

Pada Agustus 2002, Rachmawati Soekarno Putri, anak ketiga Bung Karno, mendirikan Partai Pelopor. Konon, nama ‘pelopor’ itu dimaksudkan untuk mengabulkan cita-cita Bung Karno. Rupanya, di mata Rachmawati, Bung Karno pernah punya keinginan mendirikan partai pelopor. Tetapi Partai Pelopor ala Rachmawati itu jauh dari konsep Partai Pelopor-nya Bung Karno. Partai Pelopor ala Rachmawati itu tidak berbeda dengan partai-partai borjuis pada umumnya.

Namun, seperti kita ketahui dari sejarah, Bung Karno gagal mewujudkan cita-cita itu. Pada tahun 1927, di Bandung, ia dan kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kendati muncul sebagai organisasi politik yang disegani, tetapi PNI gagal menjelma menjadi partai pelopor ala seperti yang diidam-idamkannya.

Pada tahun 1930-an, muncul polemik antara Bung Karno dan Bung Hatta. Di mata banyak orang, inti polemik itu adalah soal konsep partai politik: Bung Hatta mengusulkan partai kader, sedangkan Bung Karno mengusung partai massa.

Kesimpulan itu sering membuat orang salah kaprah: Bung Karno dianggap meremehkan perlunya kaderisasi dan pendidikan massa. Catatan Jakob Oetama, Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001, menempatkan Bung Karno, sebagai seorang orator, mengutamakan pentingnya membangkitkan massa rakyat. Sebaliknya, di mata Jakob Oetama, Hatta yang seorang pemikir dipandang mengutamakan kaderisasi.

Jika kita menelusuri pemikiran Bung Karno, maka diketahui bahwa Bung Karno sebetulnya adalah pengusung gagasan partai pelopor. Di salah satu tulisannya yang sangat lengkap, Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno berbicara tentang partai pelopor.

Sebelum menggeledah konsep Bung Karno soal partai pelopor, saya akan berusaha menjelaskan soal “Massa-Aksi”-nya.  Konsep “Massa Aksi” Bung Karno banyak dipengaruhi oleh tulisan serupa dari Tan Malaka, ditambah pengalaman partai Sosialis Demokrat di Belanda dan Jerman. Tan Malaka misalnya mengatakan: “Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner.”

Apa massa itu? Menurut Bung Karno, massa bukanlah cuma “rakyat jelata yang berjuta-juta” saja. Melainkan, kata Bung Karno, rakyat jelata yang sudah meleburkan semangatnya menjadi satu, kemauan satu, dan tekad yang satu.

Lalu, Bung Karno membedakan antara “Massa Aksi” dan “Massal Aksi”. Massa aksi adalah aksinya rakyat jelata yang, karena timpukan penindasan yang sudah tak tertahankan, menjadi sadar dan berkehendak membuat perubahan radikal.

Suatu massa aksi, kata Bung Karno, baru benar-benar menjadi massa aksi jikalau rakyat jelata sudah berniat membongkar sama sekali keadaan tua (sistem sosial lama) dan menggantinya dengan keadaan baru (sistem sosial baru).

Oleh karena itu, suatu massa aksi mesti dipandu oleh cita-cita: idealisme masyarakat baru. Ini pula yang membedakan massa aksi dengan ‘massa yang radikal tapi hanya sesaat saja’. Bung Karno menegaskan: “memang massa aksi itu selamanya radikal; selamanya berjuang menjebol keadaan lama dan membangun masyarakat baru.

Sementara massale actie adalah pergerakan rakyat yang orangnya bisa ribuan, bahkan jutaan, tapi tidak radikal dan tidak revolusioner: tidak bermaksud membongkarnya akarnya masyarakat tua dan menggantinya dengan masyarakat baru.

Bung Karno mengambil pengalaman Sarekat Islam sebagai contoh “massal aksi”: anggotanya banyak, cabangnya banyak, badan koperasinya banyak, serikat-serikat sekerja (serikat buruh) banyak, segala-galanya banyak, tetapi pendiriannya tidak radikal—tidak bermaksud merombak struktur sosial masyarakat.

Partai Pelopor

Bagaimana partai pelopor di mata Bung Karno?
Partai pelopor, kata Bung Karno, haruslah partai yang punya azas perjuangan dan program yang 100% radikal: berjuang melenyapkan susunan masyarakat lama dan berjuang mewujudkan susunan masyarakat baru.

Akan tetapi, bagi Bung Karno—ini inti pemikirannya: sebuah azas perjuangan dan program yang radikal akan menjadi ‘omong kosong’ belaka, hanya akan menjadi aksara mati, jikalau partai tersebut ‘tidak membanting tulang membangkitkan massa aksi dan mengomando massa aksi ke arah surganya kemenangan’.

Dengan demikian, sebuah partai pelopor harus punya dua kriteria: pertama, partai pelopor harus punya azas perjuangan dan program yang radikal, dan kedua, partai pelopor harus aktif berjuang di tengah massa, membangkitkannya menjadi massa aksi, dan memimpin perjuangan massa aksi.
Bagaimana membangun partai pelopor?

Pertama, partai pelopor harus menyempurnakan diri: partai pelopor harus sempurna dalam keyakinan (ideologi), di dalam kedisiplinan, dan di dalam organisasinya. Ia harus mencetak kader yang teguh dan kokoh seperti baja. Disiplin partai pelopor meliputi tiga hal: disiplin teori, disiplin taktik, dan disiplin propaganda.

Oleh karena itu, kata Bung Karno, sebuah partai pelopor harus dipandu oleh sebuah teori revolusioner. “Tanpa teori revolusioner maka tidak ada pergerakan revolusioner,” kata Bung Karno mengutip Lenin.
Teori revolusioner ini, kata Bung Karno, harus dipasokkan kepada seluruh kader dan anggota melalui pendidikan reguler, kursus-kursus politik partai, majalah dan bacaaan-bacaan partai, dan lain sebagainya.

Kedua, sebuah partai pelopor, kata Bung Karno, haruslah dibimbing oleh sebuah prinsip yang disebut “democratisch centralisme” (sentralisme demokrasi): sebuah prinsip kepemimpinan di dalam partai yang mengisyaratkan adanya kesatuan dalam aksi (tindakan).

Menurut Bung Karno, prinsip sentralisme-demokrasi ini yang memberi ruang kepada kepemimpinan partai untuk memerangi setiap bentuk penyelewengan terhadap strijdpositie (posisi perjuangan) partai. Penyelewengan yang dimaksud Bung Karno adalah: reformisme, amuk-amukan zonder (tanpa) fikiran, anarcho syndikalisme, dan penyelewengan ke arah perbuatan atau fikiran cap mata gelap.

Partai pelopor juga harus memerangi sikap kekirian desosial, yaitu sikap kekiri-kirian yang didasarkan pada nafsu dan amarah belaka, bukan pada pertimbangan analisa dan perhitungan yang tepat terhadap keadaan. Ini mirip dengan konsep Lenin tentang “kiri kekanak-kanakan”.
Apa pekerjaan Partai Pelopor?

Pertama, mengolah kemauan massa dari onbewust (belum sadar) menjadi kemauan massa yang bewust (sadar). Bentukan dan konstruksi perjuangan, kata Bung Karno, harus diajarkan kepada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan mudah masuk dalam alam fikiran dan akal semangatnya.

Partai pelopor harus memberi keinsyafan kepada massa rakyat tentang apa sebabnya mereka sengsara, apa sebabnya kapitalisme dan imperialisme bisa merajalela, apa sebabnya harus menuju jembatan Indonesia merdeka, bagaimana jembatan itu dicapai, dan bagaimana membongkar akar-akarnya kapitalisme.

Untuk itu, kata Bung Karno, selain menjalankan pendidikan dan kursus politik kepada massa, partai pelopor juga harus punya majalah dan selebaran yang bertebaran seperti daun jati di musim kemarau. Selain itu, lanjut Soekarno, aksi massa harus dibuat beruntun-runtun seperti ombak samudera.

Kedua, partai pelopor harus mengobarkan keberanian massa untuk bangkit berjuang; memerangi segala bentuk reformisme yang menipu massa.
Untuk itu, kata Bung Karno, partai pelopor mendidik massa dengan keinsyafan yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman langsung (ervaringen). Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membuka mata massa mengenai kebohongan-kebohongan dan kekosongan taktik reformisme.

Oleh karena itu, partai pelopor harus mampu mengolah dan memperkaya pengalaman perjuangan massa dari hari ke hari; menyuluhi massa sambil berjuang di tengah-tengah massa. Dalam perjuangan itu, partai pelopor harus selalu mengarahkan pandangan massa pada tujuan: melikuidasi imperialisme dan kapitalisme via jembatan Indonesia merdeka.

Lantas bagaimana dengan perjuangan kecil-kecil (ekonomisme)? Menurut Bung Karno, perjuangan untuk aksi dan hasil kecil-kecilan tidak boleh ditinggalkan. Perjuangan kecil-kecilan, atau perjuangan sehari-hari, harus diletakkan dalam kerangka mengolah stridjvaardigheid (kemahiran berjuang) massa.
Perjuangan sehari-hari, kata Soekarno, adalah suatu schooling, suatu training, suatu gemblengan tenaga menuju perjuangan yang lebih besar.

Bung Karno mengutuk keras sikap pemimpin pergerakan yang mengatakan: biarkanlah marhaen sengsara dulu, biarkan mereka sampai megap-megap, supaya gampang diagitasi dan digerakkan! Bung Karno menyebut pemimpin semacam ini sebagai pemimpin bejat alias penghianat.
Bung Karno mengatakan: “radikalisme massa tidak bisa lahir dengan kesengsaraan saja, tidak bisa subur dengan kemelaratan saja. Radikalisme massa lahir dari perkawinannya kemelaratan massa dengan didikan massa; perkawinannya kemelaratan massa dengan perjuangan massa!”

Karena itu lahirlah pekerjaan partai pelopor yang ketiga: mengadakan propaganda dimana-mana, mengadakan perlawanan dimana-mana, mendirikan anak organisasi di mana-mana, mendirikan vakbond-vakbond (serikat buruh) dimana-mana, mendirikan serikat tani dimana-mana.

Bung Karno, yang banyak belajar dari partai sosial demokrat di Jerman, tidak menolak pembangunan badan ekonomi dan sosial, seperti pembangunan koperasi, warung, rumah anak yatim piatu, dan lain-lain. Asalkan: pekerjaan badan ekonomi dan sosial itu tidak sekedar pekerjaan sosial ansich. Oleh karena itu, badan ekonomi dan sosial semacam itu harus menjadi pusat pendidikan kaum radikal, alat untuk mendorong lahirnya politik massa aksi.

Demikianlah pokok-pokok pemikiran Bung Karno mengenai partai pelopor, yang jika ditelusuri dengan mendalam, banyak mengambil juga konsep Vladimir Illich Lenin, Marxis yang besar itu.

KUSNO
Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20120210/bung-karno-dan-konsep-partai-pelopor.html#ixzz2ZFdfqa7N