Jumat, 04 Oktober 2013

’65, Konflik Sumber Daya Alam, dan Agenda Gerakan

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/10/65-konflik-sumber-daya-alam-dan-agenda.html

’65, Konflik Sumber Daya Alam, dan Agenda Gerakan

Bosman Batubarainisiator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA)
Ada tiga macam sumber alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita…
Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Gus Dur
SEJARAH selalu berulang. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa ’65 selain sejarah itu sendiri dan kepentingan rekonsiliasi? Bagaimana menempatkan, sekaligus mengambil pelajaran dari, kasus ’65 dalam konteks konflik sumber daya alam (SDA) di Indonesia masa kini dan yang akan datang? Tulisan ini melihat beberapa kemiripan di antara keduanya, dan bertolak dari situ tulisan ini merumuskan agenda gerakan.
Asia Tenggara 1930-65
Dalam buku Moral Economy of Peasant Rebellion in South East Asia (Scott, 1976) disebutkan bahwa pada tahun 1930-an terjadi beberapa pemberontakan petani di Asia Tenggara seperti di Vietnam, Burma, Indonesia, dan Filipina. Prakondisi sosial-ekonomi yang melatarbelakangi pemberontakan petani adalah kolonialisasi dan krisis ekonomi di tahun 1930-an yang diikuti oleh kenaikan pajak yang diberlakukan kepada para petani.
Beberapa dekade kemudian, kaum pergerakan di masing-masing daerah di Asia Tenggara tersebut menemukan formula nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme, sekaligus berusaha merespon eksploitasi yang nyaris tanpa batas oleh para penjarah di kawasan ini. Indonesia sendiri merdeka sekitar satu setengah dekade sesudahnya.
Pasca kemerdekaan di tahun 1945, di bawah Soekarno, Republik Indonesia (RI) melakukan gerakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing antara tahun 1957-59. Politik nasionalisasi ini berhasil memindahtangankan kepemilikian 90% perkebunan ke tangan pemerintah RI, 62% nilai perdagangan luar negeri, dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank, perkapalan, dan sektor jasa (Kanumoyoso, 2001).
Zaman terus bergulir, pada tahun 1965, dalam kondisi perang dingin yang semakin memanas, melalui sebuah kudeta yang merangkak, Soekarno didongkel dari kursi kepresidenan dan diganti oleh Jenderal Soeharto yang disokong oleh Amerika Serikat (Klein, 2008). Dan sejak saat itulah, secara perlahan kekuatan kapital internasional semakin mencengkeramkan kuku-kukunya untuk menjarah hampir seluruh penjuru negeri. Sampai sekarang.
Peristiwa ’65 telah menyebabkan hilangnya pekerja-pekerja kebudayaan terbaik di masanya.  Lazimnya dalam semua peradaban, dimana para pekerja kebudayaan adalah  penantang terdepan setiap bentuk eksploitasi dan fasisme, maka kemusnahan mereka secara massal telah memuluskan rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru untuk berkuasa penuh selama 32 tahun (Supartono, 2000) dengan cara menumpuk hutang luar negeri dan melego kekayaan alam.
Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia pada tahun 2013
Konflik di bidang SDA adalah salah satu permasalahan besar di Indonesia Pasca-Reformasi. Sepanjang tahun 2013  saja,  telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik ini selalu yang diiring dengan jatuhnya korban yang sebagain besar dari kalangan kaum tani. Dari sebanyak 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69 persen di antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Kompas, 16/02/2013), dan sisa 5 persen lainnya tidak dijelaskan oleh Kompas.
Ada beberapa kemiripan antara apa yang terjadi dalam periode 1930-60-an dengan apa yang terjadi di Indonesia sejak Reformasi 1998 sampai sekarang. Kemiripan pertama, tengah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal tata kelola kenegaraan. Pada kurun 1930-60, gelombang nasionalisme berhasil meruntuhkan penjajahan yang telah bercokol selama berabad-abad. Kemerdekaan datang; Indonesia beralih dari sistem kolonial menjadi negara-bangsa. Rupanya, masa pergerakan dan transisi menuju kemerdekaan ini, seperti yang sudah disampaikan di atas, mempengaruhi kehidupan kaum tani dalam hal pajak yang meningkat di zaman kolonial.
Disadari atau tidak, semenjak Reformasi 1998, terjadi pula perubahan besar-besaran dalam hal tata kelola bernegara di Indonesia. Tonggak yang paling dapat dilihat adalah desentralisasi yang memberikan kekuasaan lebih besar terhadap pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, hal yang jarang disadari adalah bahwa konfigurasi triad lama ‘negara-korporasi-masyarakat’ secara perlahan juga mulai berubah menjadi ‘korporasi+negara-masyarakat.’ Negara Orde Baru yang otoriter telah tumbang, namun beralih rupa menjadi Negara Pasca-Reformasi yang tetap menjadi perpanjangan tangan kapital.
Hukum yang tadinya berfungsi untuk melayani warga negara dan melindunginya dari tindakan kesewenang-wenangan, telah berubah menjadi instrumen yang memuluskan penetrasi kapital secara lebih dalam lagi di sektor ekstraksi. Ada beberapa fakta pendukung untuk lahirnya konfigurasi baru ini.
Contoh pertama lahir dari kasus Lumpur Lapindo. Pada Agustus 2009, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan perkara (SP3) yang membuat penyelidikan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diproses lebih lanjut di pengadilan (Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini menafikan analisis yang menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi karena selubung pengeboran di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008; Batubara dan Utomo, 2012; Batubara 2013), sehingga  dengan demikian, kasus Lapindo adalah sebuah bencana industri, alias kejahatan korporasi.
Contoh kedua datang dari kasus ekspansi PT Semen Gresik (SG) ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), dimana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati dicoba disesuaikan dengan kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan PKU yang dalam RTRW 1993-2012 Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan pertanian dan pariwisata, mau diubah peruntukannya menjadi kawasan industri dan pertambangan dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029. Di sini kita melihat bahwa dokumen RTRW justru mau ‘disesuaikan’untuk kepentingan ekspansi PT SG ke PKU di Kabupaten Pati (Batubara, dkk. 2010). Adapun contoh ketiga adalah kemenangan korporasi dalam kasus uji materiil kasus Lumpur Lapindo dan Sorikmas Mining di Mahkamah Agung (Batubara, 2012).
Dari ketiga contoh di atas, orang harus menyimpulkan bahwa di bidang hukum, isu sudah bergerak dari ‘tidak adanya penegakan hukum’ ke ‘hukum yang sudah ditunggangi oleh kepentingan ekspansi kapital dan pada saat yang bersamaan mengabaikan kepentingan masyarakat.’ Lebih lanjut, negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai regulator dalam formasi konvensional triad ‘negara-korporasi-masyarakat,’ tetapi sudah berubah menjadi kacung dalam formasi yang sedang menjadi ‘korporasi+negara-masyarakat.’
Artinya, melihat kemiripan dengan peristiwa sejarah di tahun 1930-60-an, sekarang ini tengah terjadi perubahan tata kelola kenegaraan kita dari negara Orde Baru yang sentralistik dan sangat kuat, menjadi negara yang terdesentralisasi dan secara perlahan berubah menjadi perpanjangan tangan kapital. Rupanya hal ini bersinggungan juga dengan kepentingan kaum tani, sehingga memicu munculnya 232 konflik SDA di tahun 2013 yang hingga kini masih berlangsung. Mayoritas di antaranya (65%) adalah konflik petani versus korporasi (+negara).
Kemiripan kedua adalah menguatnya politik nasionalis. Pada zaman 1930-60-an, kecenderungan ini ditandai dengan keberhasilan kaum pergerakan kemerdekaan memformulasikan permasalahan mereka di dalam konsep nasionalisme—dan cara itu, mereka keluar dari kungkungan kolonial. Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kepala daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI), adalah salah satu bukti dari penguatan kelompok nasionalis. Jokowi—yang sebelumnya merangkak dari bahwa sebagai pengusaha mebel, lalu terpilih sebagai Walikota Solo dan seterusnya sebagai Gubernur DKI—sangat berpeluang besar memenangkan kursi presiden RI pada pemilu 2014 mendatang. Prediksi ini didukung oleh elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jokowi sebagai calon presiden yang sangat tinggi dari berbagai penelitian yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei dan menjadi berita di berbagai media.
Kenaikan Jokowi menjadi tonggak menguatnya ideologi nasionalisme, yang bahkan pada era Megawati Soekarnoputri pun kehilangan artikulasinya. Alih-alih melakukan politik nasionalisasi seperti halnya Soekarno pada tahun 1957-59 sebagaimana  yang disinggung di atas, Megawati malah melakukan hal sebaliknya: melego sejumlah BUMN ke pasar internasional. Sebaliknya, Jokowi, meskipun baru saja naik menjadi Gubernur DKI, langsung mencoba menemukan kembali artikulasi ideologi nasionalisme melalui upayanya mengambil alih perusahaan air minum yang melayani masyarakat di DKI, Palyja, dari tangan investor internasional asal Prancis (Hidayat, 2013).
Apabila Jokowi berhasil dengan percobaannya mengambil alih Palyja di DKI, maka skenario yang mungkin adalah, ketika Jokowi menjadi Presiden RI pada tahun 2014, ia akan lebih luas menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, secara terus-menerus mengartikulasikan kembali ideologi nasionalisme dalam ranah ekonomi-politik.
Skenario ini mengantarkan kita pada prediksi yang lain, bahwa kapital nasional dan internasional pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan bergerak memobilisasi segala sumber daya yang mereka miliki untuk menjaga kepentingan ekstraksinya di Indonesia. Dan, di titik ini, kasus ’65 bukan lagi sejarah, tetapi ia adalah hal yang di depan mata.
Kemiripan ketiga, dalam diskursus mengenai ’65 yang berkembang, kalangan Nahdliyin terlibat sangat jauh sebagai mesin penjagal kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun kelompok yang berafiliasi (secara struktural dan idelogis) dengannya. Tetapi cara pandang lain bisa juga ditampilkan, bahwa kaum NU (Nahdliyin) juga adalah korban dari peristiwa ini karena pada kenyataannya, bukan tidak ada korban ’65 dari kalangan santri. Lebih jauh, sebagian besar Nahdliyin pada waktu itu berasal dari kalangan petani desa yang sedikit sekali melek persoalan. Dengan demikian, agenda riset yang harus dirangsang pada titik ini adalah menempatkan kaum Nahdliyin sebagai korban dari skenario politik kalangan yang lebih melek, mereka yang mengambil untung dari peristiwa ’65.
Pola yang sama sudah memperlihat bentuknya dalam berbagai konflik SDA di basis Nahdlatul Ulama (NU). Kita dapat menyaksikan beberapa kasus seperti konflik pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, konflik rencana pembangunan pabrik semen di PKU Kabupaten Pati, konflik tambang pasir besi Urutsewu di Kebumen Selatan, dan konflik bahan galian C di Kabupaten Mojokerto (FN-KSDA, 2013). Dalam semua kasus yang disebutkan di atas, pola yang terjadi adalah perbedaan aspirasi (kepentingan) antara elit NU dengan kelompok akar rumput yang sebagian besar adalah petani.
Di satu sisi, elit NU merestui ekspansi kapital dan bahkan—dalam beberapa kasus—turut serta dalam proses ekspansi kapital itu sendiri dengan jalan mengambil posisi perantara. Di sisi lain, kelompok akar rumput bergerak menolak ekspansi kapital di bidang industri ekstraktif ini, karena mereka merasa penghidupannya terganggu. Pola seperti ini juga ditemukan dalam kasus tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi. Bahkan lebih jauh, dalam kasus eksplorasi beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) di Madura, Kiai bahkan mengambil posisi memuluskan jalan perusahaan migas untuk membebaskan lahan, lantas memastikan agar proses eksplorasi tidak mengalami gangguan. Tak pelak, hal ini kemudian memunculkan istilah ‘Kiai Migas’ di Madura (Hakim, 2010).
Untuk mengenali kemiripan dengan kasus ’65, maka dalam kasus konflik SDA sekarang seperti yang sudah diuraikan dalam paragraf sebelumnya, yang bisa kita lihat adalah polarisasi kepentingan di kalangan NU sendiri, yang (kira-kira) mengerucut ke konflik elit vs akar rumpur di kalangan santri. Jika skenario politik nasional di atas berjalan—dalam artian Jokowi naik menjadi presiden di 2014 dan konsisten dengan artikulasi ideologi nasionalismenya, namun harus berhadapan dengan kekuatan kapital di sektor ekstraktif yang bakal mengamankan asetnya—maka, kasus ’65 bukan sebuah sejarah masa lalu, melainkan hari esok yang harus siap diantisipasi. Asalkan ada satu gerakan yang aktif melakukan ideologisasi untuk memperuncing friksi elit vs akar rumput di kalangan santri, maka konflik berdarah akan terulang. Ini artinya, kelompok petani-santri di pedesaan akan kembali menjadi korban.
Gus Dur dan Sumber Daya Alam
Apakah pelajaran yang bisa diambil dari Gus Dur dalam hal tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia?
Gus Dur adalah seorang nasionalis tulen. Dalam sebuah orasi di hadapan massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Malang, sehubungan dengan SDA, Gus Dur menyatakan bahwa ‘Ada tiga macam sumber alam [yang] harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita… Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Pesan di atas sebenarnya terartikulasikan dalam sikap yang lebih konkret dalam kasus pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara. Waktu itu, Gus Dur mengancam akan mogok makan apabila PLTN didirikan di Jepara. Pernyataan ini kemudian memobilisasi kantong-kantong NU untuk mengadakan perlawanan yang lebih masif menolak pendirian PLTN di Jepara (Fauzan dan Schiller, 2011).
Dalam kontestasi akses dan kontrol terhadap sumber daya yang lebih sengit dalam kasus Lumpur Lapindo, Gus Dur meminta kepada salah satu kiai rakyat agar tidak menjual tanah mereka. Kelompok ini kemudian yang mengambil sikap paling radikal dalam kasus Lumpur Lapindo, dengan memilih tidak menjual tanahnya kepada PT Minarak Lapindo Jaya, kasir PT Lapindo Brantas Inc., seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Presiden 14/2007 (Batubara, 2010).
Terhadap gerakan petani internasional yang menyuarakan kedaulatan petani seperti organisasi petani se-dunia, La Via Campesina, Gus Dur sangat menghormati usaha para petani ini dalam membangun gerakan alternatif guna melawan pengaruh lembaga keuangan dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang sangat merugikan petani (–, 2006).
Dari beberapa nukilan sikap Gus Dur di atas, artikulasinya jelas tanpa tedeng aling-aling. Gus Dur berdiri di belakang Soekarno dalam hal tata kelola SDA.
Agenda Gerakan
Dari penjelasan di atas, maka Nahdliyin tidak punya pilihan lain kecuali bergerak. Miskinnya kontribusi Lesbumi dalam teks ’65 disebabkan oleh dua hal. Pertama, Lesbumi tidak terlalu aktif pada zaman itu. Kedua, pada zaman sekarang riset dengan mengambil kontribusi Lesbumi dalam kasus ’65 tidak terlalu banyak. Kedua argumen di atas pada dasarnya berujung pada satu titik yang sama: kelompok Lesbumi tidak secara aktif bergerak.
Analisis ini sangat masuk akal, karena, kalau kita lihat dokumen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pembukaannya disebut dengan ‘Muqaddimah.’ Dari pemilihan kata ‘Muqaddimah,’ secara logis sebenarnya lebih mudah ‘menarik’ Lekra untuk bergabung dengan kalangan agama (santri), daripada untuk menariknya merapat ke kalangan komunis. Sebaliknya, seandainya ia adalah ‘Manifesto,’ maka secara logis akan lebih mudah menariknya bergabung dengan PKI. Tetapi, karena kerja pengorganisasian dan pergerakan yang tidak jalan, Lesbumi dan Lekra kemudian menjadi sangat jauh, dan justru sebaliknya, Lekra semakin dekat dengan PKI. Artinya, pengalaman ’65 yang memperlihatkan secara telanjang kurangnya pergerakan di kalangan santri, seharusnya tidak boleh terulang lagi. Argumen ini tentu saja masih sangat terbuka untuk didiskusikan.
Dengan demikian, agenda gerakan yang paling mendesak adalah pengarusutamaan isu konflik SDA di kalangan santri. Pengarusutamaan (mainstreaming) akan membuat kalangan santri melek dengan persoalan ini, dan dengan itu diharapkan akan meminimalisir friksi kepentingan antara elit dengan akar rumput. Pengarusutamaan tidak boleh terpenjara di kalangan santri belaka, tetapi harus menjangkau kalangan yang lebih luas seperti kelompok-kelompok ‘nasionalis’ lainnya. Untuk kelompok nasionalis, isu ini sebenarnya bukan isu yang baru, yang belum dilakukan adalah keluar dari skema korporasi dan negara predatoris yang sudah menjadi perpanjangan tangan korporasi serta membangun sebuah anjungan yang dari situ agenda gerakan bersama difusikan.
Keluar dari skema korporasi bukanlah hal yang mudah, meski tentu saja bukan hal yang mustahil untuk dikerjakan. Kebangkrutan sistem korporasi datang dari dalam dirinya sendiri karena terlalu ekstraktif dalam memfasilitasi akumulasi kapital pada satu atau sekelompok kaum kapitalis. Kapitalisme di sini, mengikut yang disampaikan Marx (1982), mengambil pengertian yang paling mendasar sebagai proses yang melibatkan ‘uang yang bergerak’ (money in motion), dimana orang membeli bukan untuk mengonsumsi, tetapi untuk menjual kembali agar mendapatkan nilai lebih dari sebuah komoditas. Korporasi, melalui eksploitasi terhadap SDA dan pekerjanya sendiri untuk mendapatkan nilai lebih komoditas, telah menjalankan pola ini selama puluhan tahun. Ekstraksi SDA pada dasarnya adalah sebuah proses yang menceraikan para petani dari akses dan kontrol terhadap SDA seperti air dan tanah. Proses ini, dalam kajian kontemporer, lazim disebut sebagai ‘akumulasi lewat jalan perampasan/accumulation by dispossession (Harvey, 2003).
Jika pada zaman pergerakan kemerdekaan RI,  kaum pergerakan telah menemukan rumus gerakan dalam bentuk nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme—yang menjadi struktur tata kelola pada waktu itu—maka di era pasca-Reformasi, kita dapat mengajukan ‘kooperasi’ sebagai antitesis terhadap ‘korporasi’ yang melakukan akumulasi kapital dengan jalan merampas akses dan kontrol SDA dari tangan para pemiliknya yang sah: kaum tani. Kedaulatan petani dalam tata kelola SDA di sini diartikan sebagai kemerdekaan penuh di pihak petani untuk menentukan secara politis tata kelola yang layak bagi SDA yang mereka miliki.
Mengapa ‘kooperasi’? Pertama, kita mulai dari terminologi. Dalam Bahasa Indonesia, ‘kooperasi’ berarti ‘bekerjasama,’ sedangkan ‘koperasi’ berarti ‘perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah.’ Terma ‘kooperasi’ secara sadar dipilih sebagai antitesis terhadap ‘koperasi’ karena tiga alasan: (1) Dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikooptasi oleh rezim birokratik-militeristik otoriter, sehingga koperasi tidak lagi menjadi lembaga yang melayani anggotanya, tetapi menjadi lembaga ekonomi tempat korupsi bersimaharajalela sekaligus menjadi mesin ideologisasi Negara Orde Baru; (2) Pasca-Reformasi, Undang-undang nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian membonsai ‘kooperasi’ menjadi lembaga ekonomi semata dengan membaginya menjadi koperasi produsen, konsumen jasa, dan simpan pinjam. Pembonsaian ini menyebabkan koperasi kehilangan semangat gerakannya, menyimpang dari apa yang diharapkan DN. Aidit yang membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas (1963). Spesifikasi lewat UU nomor 17/2012 ini pada dasarnya diambil dari spirit kapitalisme, yang mengandaikan bahwa spesifikasi dalam berbagai bidang akan meningkatkan produktivitas sebuah sistem, dalam hal ini koperasi; (3) Dengan dua argumen di atas, istilah ‘kooperasi’ yang diadopsi dari tulisan Mohammad Hatta (1954) terasa lebih pas tinimbang ‘koperasi.’ Terlebih, dengan adanya usaha penegakkan kedaulatan pemilik yang sah SDA lewat pengambilan kebijakan peruntukkannya yang dimungkinkan melalui rapat tahunan anggota kooperasi, maka tata kelola yang tersentralisir—atau sekadar menjadi bagian dari usaha dakwah dalam bentuk kongsi dagang (Jarkom Fatwa, 2004)—dapat dihindari.
Kedua, kita dapat melihat argumentasi ideologis seperti yang ada dalam UUD ’45. UUD ’45 menyatakan bahwa seharusnya perekonomian negara dikelola dengan azas kekeluargaan, dalam hal ini kooperasi adalah bentuk yang paling memungkinkan. Kenyataannya, di era pasca-Reformasi yang menguat justru korporasi. Dengan demikian, inilah momen untuk mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke khittah-nya dengan memberikan ruang pengelolaan SDA lewat kooperasi.
Ketiga, apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi? Sangat mungkin, dan hal ini bukanlah tanpa preseden. Kota Santa Cruz, Bolivia, berpenduduk 1,2 juta jiwa. Pengelolaan suplai air minumnya dilakukan dengan pola kooperasi sejak tahun 1979, dan hingga saat ini merupakan salah satu penyedia air minum publik yang terbaik di Amerika Latin. Semua pelanggan adalah anggota dari Cooverativa de Servicios Publicos Santa Cruz Ltda (SAGUAPAC), dimana para anggota memiliki hak untuk memilih pengurus kooperasi mereka. Tata kelola popular seperti ini sudah muncul di beberapa tempat lain seperti Kemitraan Publik di Ghana, dan Kemitraan Publik-Pekerja di Dhaka (Brennan, et al. 2004). Di Cochabamba dan La Paz/El Alto, Bolivia, pasca ‘Perang Air’ awal tahun 2000-an, privatisasi sumber daya air ditolak kehadirannya di kedua kota itu dan memberikan alternatif berupa tata kelola Kemitraan Publik.\
Tak dapat dipungkiri, masih terdapat kelemahan di sana-sini, seperti efektivitas pelayanan dan pegawai yang tidak profesional (Spronk, 2007). Namun, kelemahan yang sama juga sangat mungkin dimiliki oleh sektor privat. Pertanyaan apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi pada dasarnya adalah pertanyaan yang menyingkap kemiskinan imajinasi. Sebegitu bebalnya imajinasi ini, sehingga yang muncul adalah ketidakpercayaan diri. Jangankan tata kelola sektor SDA dengan kooperasi; apa yang kita sebut sebagai NKRI sekarang ini adalah hasil dari imajinasi yang kemudian dirumuskan dalam aturan-aturan. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu merumuskan tata kelola SDA dengan struktur kooperasi.
Pengarusutamaan tata kelola SDA oleh kooperasi adalah langkah awal yang perlu dilakukan di tingkatan Nahdliyin untuk mewujudkan kedaulatan di bidang SDA. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengonsolidasikan berbagai elemen Nahdliyin yang sudah secara jelas menyatakan sikapnya seperti Pengurus Besar (PB) NU, PB PMII, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), dan FN-KSDA.
PB NU, pada 2012, melalui Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon, di bidang ekonomi merekomendasikan ‘renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi pemasukan Indonesia dan kesejahteraan warga’ (PB NU, 2012). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), malah memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Pada tahun 2012, PMII menuntut dilakukannya nasionalisasi terhadap aset pertambangan dan energi (Anam, 2013 dan Rasyid, 2013). Sementara, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), menyatakan bahwa tujuan akhir dari tata kelola energi adalah kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Bahkan lebih jauh, ISNU mendukung dilaksanakannya reforma agraria (Syeirazi, 2013). FN-KSDA sendiri menetapkan ‘tata kelola SDA yang berkedaulatan dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi rakyat Indonesia’ sebagai tujuannya (FN-KSDA, 2013). Akan tetapi secara organisasional, hampir tidak ada gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU terhadap warga yang mengalami persoalan konflik SDA. PB NU sendiri lebih banyak bermain di level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak mendorong pengurus untuk turun ke bawah.
Pola pengambilalihan perusahaan swasta seperti Palyja yang sedang dilakukan Jokowi-Ahok di DKI, mungkin tidak akan berarti banyak karena struktur negara di Indonesia yang masih predatoris, dimana negara lebih berposisi sebagai akumulator kapital yang menindas ketimbang distributor. Kalau sukses di internal Nahdliyin, maka dalam konteks NKRI, tantangan berikutnya adalah menaikkan yang ‘parsial’ ini menjadi sesuatu yang ‘universal.’ Persisnya, menggalang aliansi dengan berbagai kelompok ideologi yang lain, semisal kaum nasionalis, agar kelompok santri tidak bekerja sendiri dalam upayanya menerjemahkan ajaran-ajaran Gus Dur menegakkan kedaulatan di bidang tata kelola SDA. Sebaliknya, bagi kelompok nasionalis, pengalaman kehilangan artikulasi pasca tahun 1998, dimana terjadi banyak privatisasi perusahaan negara justru di bawah Megawati Soekarnoputri, harus dijadikan pelajaran agar tidak terjebak kembali dalam permasalahan yang sama: ketidaksiapan ideologis dalam mengelola kekuasaan (Ali, 2012).
Akhirnya, menguatnya artikulasi ideologi nasionalis belakangan ini yang sebenarnya bagus, justru malah mengundang kekhawatiran. Kekhawatiran muncul bukan karena takut atau ketidaksukaan atas fenomena ini. Kekhawatiran datang karena kemunculan pemimpin populis seperti Jokowi, tidak akan membawa Indonesia kemana-mana tanpa disokong oleh konsolidasi ideologi dan pengorganisasian politik yang kokoh di belakangnya. Setidaknya sampai sekarang, hal terakhir inilah yang terjadi.***
Tulisan ini ini sebelumnya sudah dimuat di gusdurian.net. Dimuat ulang untuk tujuan Pendidikan.
Rujukan
–, 2006. http://viacampesina.org/en/index.php/actions-and-events-mainmenu-26/world-bank-a-imf–out-mainmenu-58/208-social-movements-conference-in-jakarta-qwe-want-wb-and-imf-out-of-our-landsq, diakses pada tanggal 31 Juli 2013.
Aidit, D.N., 1963. Peranan Koperasi Dewasa Ini. Depagitprop CC PKI. Djakarta
Ali, A.S., 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan sosial-politik dalam tinjauan ideologis. LP3ES. Jakarta.
Anam, A.K. (redaktur), 23/05/2013. PMII Desak Menteri BUMN Nasionalisasi Tambang. Berita ini dapat dibaca di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,38069-lang,id-c,nasional-t,PMII+Desak+Menteri+BUMN+Nasionalisasi+Tambang-.phpx, diakses pada tanggal 26/07/2013.
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal bencana industri pengeboran migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., 2010. Gus Dur: Jangan jual tanahmu. Dapat dibuka di: http://lafadl.org/news/programme-report/gus-dur-jangan-jual-tanahmu-/. Pada tahun 2013 tulisan ini dimuat ulang di: http://gusdurian.org/2013/07/gus-dur-jangan-jual-tanahmu/, keduanya diakses terakhir pada tanggal 31 Juli 2013.
Batubara, B., 2011. When the Law Betrays, Literature Must Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep 2011. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/review-the-lapindo-titanic; terakhir dibuka 23 Februari 2013.
Batubara, B., 2012. Hukum Indonesia yang Memihak Korporasi: Studi kasus Lapindo dan Sorikmas.Artikel ini dapat diakses di: http://indoprogress.com/hukum-indonesia-yang-memihak-korporasi-dalam-kasus-lapindo-dan-sorikmas/, diakses pada tanggal 23/9/2013.
Batubara, B., 2013. ‘Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Lapindo,’ dalam A. Novenanto, (2013). Membingkai Lapindo: Pendekatan konstruksi sosial atas kasus Lapindo, (Sebuah Bunga Rampai).MedialinK dan Kanisius. Jogjakarta.
Batubara, B., Utomo, P.W. dan Sobirin, M. 2010. Integrasi Pengurangan Resiko Bencana ke Dalam Perencanaan Regional dalam Konteks Otonomi Daerah: Sebuah agenda dari pembelajaran terhadap kasus-kasus man-made disaster di Pulau Jawa. Makalah ini dipresentasikan pada ‘Seminar Internasional ke- 11: Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ada Apa dengan 10 Tahun Otonomi Daerah? Salatiga, Indonesia’.
Brennan, B., Hack., B., Hoedeman, O., Kishimoto, S., dan Terhorst, P., 2004. Reclaiming public water!: Participatory alternatives to privatization. Transnational Institute Corporate Europe Observatory. TNI Briefing Series No. 2004/7. Amsterdam.
Fauzan, A.U. and Schiler, J., 2011. After Fukushima: The rise of resistance to nuclear energy in Indonesia. German Asia Foundation. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.asienhaus.de/public/archiv/resistance-in-indonesia-after-fukushima.pdf, diakses pada tanggal 31 Juli 2013
FN-KSDA, 2013. Lembar Kerja Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FN-KSDA). Tidak dipublikasikan.
Gus Dur, –. Ceramah Gus Dur di Singosari, Malang. Rekaman ceramah ini dapat diunduh di Youtube. Diakses terakhir kali pada Juli 2013.
Hakim, E., L., 2010. Kiai Migas. Kompas Jawa Timur, edisi Selasa 19 Januari 2010. Hlm. D.
Harvey, D., 2003. The New Imperialism. Oxford University Press. Oxford. Hlm.: 137-82.
Hatta, M., 1954. Menindjau Masalah Kooperasi. P.T. Pembangunan. Djakarta.
Hidayat, A.R., 2013. Jokowi: pemprov DKI akan ambil alih Palyja. Dapat diakses di: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/06/04/17491641/Jokowi.Pemprov.DKI.Akan.Ambil.Alih.Palyja, diakses pada 23 September 2013.
Jarkom Fatwa (tim), 2004. Sekilas Nahdlatut Tujjar. Pustaka Pesantren. Yogyakarta.
Kanumoyoso, B., 2001. Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Klein, N., 2008. The shock doctrine: The rise of disaster capitalism. Penguin Book. Sydney.
Marx, K. , 1982. Capital I: A critique of political economy. Penguin Books. London.
PB NU, 2012. Rekomendasi Konbes NU Pondok Kempek Cirebon, 15-17 September 2012. Tidak dipublikasikan.
Rasyid, Y., 31/03/2013. Mahasiswa Yogya Tuntut Nasionalisasi Migas. Berita ini dapat dibaca di: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/03/31/m1qn2r-mahasiswa-yogya-tuntut-nasionalisasi-perusahaan-migas, diakses pada tanggal 26/07/2013.
Scott, J.C., 1976. The Moral Economy of the Peasant Rebellion and Subsistence in Southeast Asia.Yale University Press. New York. Hlm. 114-56.
Spronk, S.J., 2007. The Politics of Third World Water Privatization: Neoliberal reform and popular resistance in Cochabamba and El Alto, Bolivia (dissertation). Graduate Programme in Political Science, York University, Toronto, Ontario.
Supartono, A. 2000. Lekra vs manikebu: Perdebatan kebudayaan Indonesia 1950-1965. Skripsi STF Driyarkara. Jakarta.
Syeirazi, M.K. (editor), 2013. Kebangkitan Bangsa Indonesia 1945-2045: Pokok-pokok pikiran sarjana Nahdlatul Ulama. LP3ES, Jakarta, 51-79.
Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. drilling initiation. Geology, 36, p. 639-642.
Print Friendly

Sabtu, 28 September 2013

Suruh Mendagri Belajar Konstitusi, Ahok Kurang Ajar?

 http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/09/suruh-mendagri-belajar-konstitusi-ahok.html

Suruh Mendagri Belajar Konstitusi, Ahok Kurang Ajar?

HL | 27 September 2013 | 15:52 Dibaca: 20142    Komentar: 120    30

13802719112031360892
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bersama Asisten Pembangunan DKI Wiriyatmoko saat menghadiri Apel di Monas, Jakarta, Jumat (27/9/2013). | Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera bereaksi keras atas pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi yang mendukung aksi sebagian kecil warga Kelurahan Lenteng Agung yang memaksakan kehendak mereka agar Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli dicopot dari jabatannya dengan alasan lurah tersebut beragama Kristen.
Pada Kamis, 25 September kemarin, Mendagri Gamawan Fauzi meminta kepada Jokowi agar mengevaluasi kembali jabatan Lurah Susan karena adanya penolakan dari warga terhadapnya itu. Dengan kata lain, secara tak langsung, Gamawan meminta Jokowi tunduk kepada kemauan sekelompok warga yang intoleran terhadap perbedaan agama itu. Yang menganggap karena agamanya, Susan Jasmine Zulkifli tidak diperbolehkan menjadi lurah di sana. Padahal jumlah mereka hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah seluruh warga Lenteng Agung yang tidak mempersoalkan agama Lurah mereka itu.
Kepada wartawan, seusai mengikuti apel siaga, di Silang Monas, Jakarta, Jumat, 27 September 2013,  Ahok berkata kepada wartawan, “Kasih tahu Mendagri, dia harus belajar Konstitusi. Kasih tahu, yang bilang itu, Ahok!”  (Kompas.com).
Ahok pun menjelaskan alasannya, kenapa begitu berani “menyuruh” Mendagri, yang notabene atasannya itu, belajar Konstitusi (UUD 1945), katanya, Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Jadi, pemilihan pemimpin tidak didasarkan oleh keinginan warga untuk menolak atau tidak menolak.
Kemudian, ia justru balik mempertanyakan kepada Mendagri, apabila ada satu juta warga demo di Jakarta, apakah dengan aksi tersebut, berarti ia bersama Jokowi dapat diturunkan dari jabatan yang kini mereka emban?
Secara hitungan, kata dia, Jokowi dan dirinya tidak perlu turun dari posisi Gubernur dan Wakil Gubernur karena angka tersebut masih kurang dari sebagian jumlah warga Jakarta.
“Kalau kamu enggak suka kepada saya, turunkan saya di 2017. Bukan pakai demo-demo. Jadi, sampaikan kepada Mendagri seperti itu,” tegas Ahok lagi.
Apakah dengan demikian Ahok telah berlaku tidak sopan, atau kurang ajar kepada atasannya sendiri?
Jawabannya adalah tidak!
Yang namanya atasan tidak mesti selalu benar, dan yang namanya bawahan tidak harus berarti selalu mengikuti apa maunya atasan. Atasan yang tidak benar, tidak patut ditiru, dan permintaan/perintahnya yang tidak benar harus dilawan. Dilawan, dalam arti menolak permintaannya atau perintahnya itu. Apalagi kalau itu permintaan/perintah yang sama saja dengan melawan hukum. Lebih-lebih lagi kalau hukum itu adalah Konstitusi (UUD 1945), bahkan dasar negara (Pancasila)!
Bawahan yang tipe gila kuasa, penjilat, tidak punya pendirian, tidak punya prinsip, tidak punya ideologi, tidak punya integritas, atau  punya karakter yang sama dengan atasannya yang bobrok, biasanya pasti akan selalu mengikuti apa maunya atasannya itu. Jokowi dan Ahok sama sekali bukan tipe demikian. Oleh  karena itu pasti mereka akan melawan Mendagri, dengan tidak memenuhi permintaannya itu.
Telah berkali-kali Jokowi-Ahok mengingatkan bahwa mereka hanya tunduk kepada Konstitusi, setiap kehendak yang melawan Konstitusi, akan mereka lawan. Tidak terkecuali Mendagri Gamawan Fauzi. Jangankan Mendagri, saya yakin, sekalipun permintaan itu datang dari Presiden pun, pasti tidak akan dituruti oleh Jokowi-Ahok!
Ahok beberapa kali berseru, “Siap mati demi Konstitusi!” Inilah saatnya dia membutktikannya. Ironisnya, demi membela Konstitusi, kali ini dia harus melawan atasannya, seorang Mendagri!
Sekali pun Jokowi-Ahok tidak akan mundur demi membela Konstitusi, dan sekaligus demi pembelajaran kepada rakyat Indonesia, bagaimana kita harus bersikap tegas dan konsisten terhadap perintah Konstitusi.
Dalam Surat Edarannya yang mengecam Mendagri, sekaligus mendukung Jokowi-Ahok, Setara Institut menulis antara lain: “Sekali saja Jokowi-Ahok tunduk pada kehendak politik penyeragaman atas nama mayoritas dan agama, maka tuntutan serupa akan menular di berbagai wilayah lain di Jakarta dan di luar Jakarta. Perlu diingat bahwa Jakarta adalah barometer toleransi dan miniatur kebhinekaan Indonesia. Kekeliruan menyikapi aspirasi intoleran sebagaimana dalam kasus Lurah Susan sangat berpotensi memecah belah kohesi sosial dan tata sosial Indonesia yang bhineka.”
Seruan Mendagri Gamawan Fauzi itu sesunguhnya merupakan ancaman serius terhadap kesatuan negara Republik Indonesia ini. Konsekuensinya sangat bisa terjadi seperti yang disebut oleh Setara Institut itu. Satu kali saja Jokowi-Ahok menuruti kehendak kelompok intoleran di Lenteng Agung itu, berpotensi besar akan merebak tuntutan yang sama di daerah lain di Jakarta, kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Indonesia akan terkotak-kotak berdasarkan agamanya. Persatuan dan kesatuan di Republik Indonesia tinggal dongeng masa lalu.
Seharusnya Presiden SBY menjatuhkan sangsi kepada Mendagri atas pernyataannya itu. Minimal sebuah teguran keras. Tetapi, mengharapkan SBY bersikap tegas seperti ini, sama dengan mengharapkan berkah yang tiba-tiba jatuh dari langit.
*
Untungnya, meskipun secara sistem kepala daerah berada di bawah Kementerian Dalam negeri, mekanisme tata pemerintahan kepala daerah sekarang tidak memberi wewenang penuh kepada Mendagri untuk mencopot seorang kepala daerah, maupun wakilnya. Jika tidak demikian, Gamawan Fauzi yang oleh Setara Institut disebut dengan dengan ormas Islam tertentu (FPI?), mungkin akan melakukannya kepada Jokowi-Ahok, yang sudah pasti tidak akan memenuhi permintannya untuk mencopot Lurah Lenteng Agung (Lurah Susan) itu.
Sikap Mendagri seperti ini, membuat kita semakin tak heran lagi, kalau aksi-aksi intoleran semakin mendapat tempatnya di NKRI ini. Seperti yang pernah saya tulis, kenapa sampai kelompok radikal dan intoleran beragama bisa sedemikian bebas melancarkan aksi-aksi (anarkis)nya, yakni, karena pejabat-pejabat negara tertentu dari daerah sampai pusat sesungguhnya mempunyai pemahaman yang sama dengan kelompok intoleran itu. Sekarang, Mendagri Gamawan Fauzi telah menampilkan dirinya sebagai salah satu  contoh kongkritnya.
Sesuatu yang sangat kontradiksi dan sangat janggal, tetapi itulah faktanya yang terjadi di negara ini. Sekontradiksi Presiden SBY yang dalam kondisi demikian bisa-bisanya menerima penghargaan sebagai Negarawan Dunia yang sukses membangun semangat toleransi beragama di negaranya (World Stateman Award 2013).
*
Apa yang harus dipelajari oleh Mendagri Gamawan Fauzi dari Konstitusi, seperti yang dimaksud Ahok?
Pelajarannya sebenarnya sederhana saja, pasti Gamawan  juga tahu, tetapi karena aliran yang dianutnya dan integritasnya, maka melanggar Konstitusi bukan sesuatu yang serius baginya.
Gamawan pasti sudah pernah belajar, yang harus dia lakukan adalah melaksanakannya! Itulah yang tidak (mau) dia lakukan. Yang mau dia lakukan adalah mengikuti paham intoleransime.
UUD 1945 Pasal 27, ayat (1):
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (3) (amandemen Kedua):
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dua pasal inilah yang dimaksud Ahok, harus dipelajari oleh Gamawan Fauzi, karena telah meminta kepada Jokowi-Ahok untuk memenuhi kehendak warga intoleran di lenteng Agung untuk mencopot Lurahnya karena lurah itu beragama Kristen, sedangkan mereka mayoritas Islam.
UUD 1945 dibuat oleh para pendiri negara ini berdasarkan dasar negara yang sudah ada sebelumnya, yakni Pancasila. Pancasila disusun oleh para pendiri negara ini berdasarkan kenyataan bahwa negara Republik Indonesia terdiri dari sangat banyak suku-bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Syarat paling utama negara ini bisa terwujud, berdiri kokoh di atas kebhinekaan itu adalah negara harus bisa mengakomadasikan hak dan kewajiban dasar dari rakyatnya yang sangat plural itu, dengan memberi hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan tanpa melihat latar belakang suku bangsa, bahasa, budaya dan agamanya itu. Agar semua itu bisa berjalan dengan baik, negara menjadi aman dan tenteram, semua orang wajib menghormatinya.
Negara diberi kewenangan dan tugas untuk melindungi hak dan kewajiban setiap warga negaranya itu agar benar-benar dapat dilaksanakan. Yang menjalankan kewenangan dan tugas yang diberikan Konstitusi kepada negara itu adalah para aparatur negaranya. Mulai dari Presiden, menteri-menterinya, gubernur, walikota, dan seterusnya ke bawah.
Pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi tersebut di atas jelas bertentangan dengan Konstitusi itu. Maka, sangat benar, kalau Ahok memintanya untuk belajar Konstitusi.
Gamawan Fauzi tidak perlu merasa tersinggung, marah, atau terusik harga dirinya sebagai menteri karena disentil oleh Ahok seperti itu. Harga dirinya sebagai seorang menteri justru terusik kalau dia malah melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar Konstitusi. Seperti, meminta Jokowi memenuhi kelompok warga intoleran di Lenteng Agung itu untuk mencopot Lurah Susan karena dia seorang Kristen. ***
Artikel terkait:

Sabtu, 31 Agustus 2013

Bung Karno Di Mata SK Trimurti

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/08/bung-karno-di-mata-sk-trimurti.html

Bung Karno Di Mata SK Trimurti

BERDIKARIonline, Jumat, 21 Juni 2013 | 23:14 WIB   ·   
 sk-trimurti.jpg

21 Juni 1970, 43 tahun yang lalu, Bung Karno wafat. Meski kematiannya disembunyikan oleh rezim Orde Baru, ribuan rakyat Indonesia berjejer di pinggir jalan melepas Bung Karno. Di Blitar, Jawa Timur, lautan manusia menangis saat jenazah Bung Karno diturunkan ke liang lahat.
Hari itu juga, begitu mendengar kabar wafatnya Bung Karno, SK Trimurti pontang-panting ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Di rumah sakit itulah Bung Karno menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Namun, sampai di RSPAD, Trimurti baru tahu kalau jenazah Bung Karno sudah dipindahkan ke Wisma Yaso. Ia pun langsung meluncur ke Wisma Yaso. Lagi-lagi perjuangan Trimurti untuk melihat wajah Bung Karno untuk terakhir kalinya tidak gampang. Wisma Yaso sudah dipagar betis oleh tentara. Susah sekali untuk masuk. Tetapi Trimurti tidak kehabisan akal. Ia melihat seorang tentara berdiri dengan mengangkang. Tanpa berfikir lama, ia menerobos sela-sela kaki tentara itu dan berlari menghampir peti jenazah Bung Karno.

Bagi Trimurti, Bung Karno adalah gurunya. Tetapi justru Bung Karno menganggap Trimurti sebagai adiknya. Kalau bukan karena pengaruh Bung Karno, mungkin jalan hidup Trimurti bisa lain. Bung Karno-lah yang menginspirasi Trimurti untuk terjun dalam perjuangan politik.
Trimurti sendiri lahir di tengah keluarga Keraton Kasunanan Surakarta tanggal 11 Mei 1912. Ayahnya, R. Ng. Salim Mangunsuromo, hanya mengajari Trimurti bahwa perempuan pada akhirnya akan menjadi seorang istri. Karena itu, ajaran pertama yang didapatnya hanya: marak (setia pada suami), macak (pandai menghias diri), masak (pandai memasak), dan manak (bisa melahirkan anak).

Namun, pandangan itu mulai berubah setelah Trimurti menyelesaikan pendidikannya di Meisjes Normaal School (Sekolah Guru Perempuan). Saat itu, ia bekerja sebagai guru di sekolah khusus anak perempuan (Meisjesschool). “Selama mengajar, saya makin akrab dengan buku-buku. Tapi saat itu saya lebih memusatkan perhatian pada buku-buku politik,” ujar Trimurti.
Namun, situasi penjajahan saat itulah yang paling mendorong Trimurti untuk terlibat gerakan politik. Ia menjadi anggota Rukun Wanita dan beberapa kali mengikuti rapat-rapat Boedi Oetomo cabang Banyumas. Namun, saat itu langkah politik Trimurti masih moderat.

Pada tahun 1930, ia mulai berkenalan dengan tulisan-tulisan dan pidato Bung Karno. Ia juga sering mendengar pidato Bung Karno yang menggelegar dari radio. Sejak itulah pemikiran politik radikal mulai merasuki Trimurti. Begitu Bung Karno keluar dari penjara, tahun 1932, ia segera bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo)–pecahan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Saat itu Partindo hendak menggelar Rapat Umum di Purwokerto. Trimurti mendengar kabar itu. Dengan menumpangi dokar, ia pergi ke Purwokerto untuk menyimak pidato Bung Karno. Sayang, gedung tempat Rapat Umum sudah penuh sesak. Ia hanya kebagian tempat duduk paling belakang. Namun, kendati Bung Karno berpidato tanpa pengeras suara, suaranya tetap membahana ke seluruh ruangan.
Pidato Bung Karno langsung menohok kolonialisme. Ia menguliti kejahatan kolonialisme dan imperialisme ke akar-akarnya. Tak hanya itu, Ia lantang menyeruan kemerdekaan sebagai jalan keluar dari keterjajahan. Pidato Bung Karno sangat menggugah Trimurti. Sepulang dari Rapat Umum, ia merenung. Akhirnya, ia membulatkan tekad bergabung dengan Partindo. Pekerjaannya sebagai guru di Meisjesschool pun ditinggalkan.

Ia kemudian pindah ke Bandung. Di sana ia mengajar di sekolah pergerakan yang didirikan oleh tokoh nasionalis Sanusa Pane, yakni Perguruan Rakyat. Di sana pula Trimurti mulai bertemu langsung dengan Bung Karno. Ia mulai aktif dalam kursus-kursus politik yang digelar oleh Partindo. Bung Karno jadi pengajarnya.

Bung Karno pula yang memicu bakat jurnalisme Trimurti. Suatu hari Bung Karno mengajak Trimurti menulis di korannya, Fikiran Ra’jat. “Tri, ayolah nulis,” ujar Bung Karno. Karena Fikiran Ra’jat adalah majalah minggu politik populer, yang penulis-penulisnya adalah tokoh terkenal, Trimurti pun merasa segan. “Saya ndakbisa,” Jawab Trimurti. Tetapi Bung Karno bersikeras agar Trimurti bisa menulis.
Trimurti belajar keras. Ia belajar merangkai kalimat demi kalimat. Alhasil, dalam waktu singkat ia berhasil. Tulisan-tulisannya tajam dan garang. Tahun 1936, ketika ia bergabung dengan Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) di Jogjakarta, Trimurti menjadi pemimpin redaksi majalah “Soeara Marhaeni”. Sejak itulah, supaya aktivitas politiknya tidak tercium oleh orang tuanya, ia menggunakan nama pena: S.K. Trimurti. Belakangan orang lebih mengenal nama penanya, Trimurti, ketimbang nama aslinya, Surastri.

Selain terkenal tajam dengan goresan penanya, Trimurti juga menjelma menjadi ahli pidato. Ia belajar dari Bung Karno. Pidatonya selalu membakar semangat peserta Rapat Umum. Alhasil, ketika sedang berpidato di sebuah Rapat Umum Wanita, PID datang menghentikannya. Ia diinterogasi panjang lebar. “Pidatomu itu dibikinkan oleh Soekarno, ya?” kata Interogator itu.
Sejak terjun dalam gerakan anti-kolonial, Trimurti sering keluar-masuk penjara. Ia pernah dipenjara 9 bulan gara-gara famplet gelap. Bahkan, menjelang kedatangan fasisme Jepang, Trimurti dipenjara bersama anaknya yang masih balita. Meski sering menjadi langganan hotel Prodeo, Trimurti tidak pernah kapok. Ia sadar, itulah konsekuensi dari pilihan politiknya.

Tahun 1943, Trimurti diajak Bung Karno masuk ke Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Namun, tak lama berdiri, Putera dibubarkan Jepang. Mereka kemudian dipaksa masuk Jawa Hokokai. Trimurti tidak punya banyak pilihan. Bung Karno berusaha menyakinkan, “kereta yang dibuat Jepang itu hanya satu, ya naikilah. Yang penting kita tetap konsisten terhadap cita-cita.” Bagi Trimurti, bergabung dengan Jawa Hokokai bukan berarti kooperatif dengan Jepang. “Tapi justru sebagai taktik dan strategi untuk menggunakan “kereta” itu bagi perjuangan kami,” ujarnya.

Trimurti juga menyaksikan dari dekat detik-detik menuju Proklamasi Kemerdekaan. Tapi tak hanya menyaksikan, Ia bagian dari proses itu sendiri. Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur 56, Trimurti ditawari untuk menjadi salah satu pengerek bendera Merah-Putih. Namun, ia melimpahkan tawaran itu ke Latief Hendraningrat.
Usai Proklamasi Kemerdekaan, Trimurti menjadi tenaga penting bagi berjalannya roda pemerintahan Republik muda ini. Awalnya, ia menjadi pimpinan pusat Partai Buruh Indonesia (PBI). Ketika Kabinet Amir Sjarifuddin dibentuk, Ia diminta mengisi posisi Menteri Perburuhan. Akhirnya, sejarah mencatat: Trimurti adalah Menteri Perburuhan pertama di republik ini. Semasa menjadi Menteri, ia aktif memperjuangkan UU perburuhan baru sebagai ganti UU perburuhan kolonial.
Ketika Kabinet Amir berakhir di tengah jalan, Trimurti kembali ke Jakarta. Ia aktif mengorganisir gerakan perempuan. Akhirnya, pada tahun 1950-an, bersama sejumlah aktivis perempuan lainnya, Ia mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar atau Gerwis. Kelak, Gerwis ini berganti nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Tahun 1959, Trimurti diangkat Bung Karno menjadi Anggota Dewan Nasional. Tahun berikutnya ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas). Dan pada saat itu, ketika Kabinet jatuh-bangun, Bung Karno menunjuk Trimurti sebagai Menteri Sosial. Tetapi Trimurti menolak. Ia merasa tidak bisa mengembang banyak tugas sekaligus. Ia menyampaikan keberatannya Bung Karno. Bung Karno agak marah dengan penolakan itu. “Mukanya menjadi merah, tapi dia tidak menyemburkan kemarahannya seperti biasa,” kenang Trimurti.

Namun, meski dekat dengan Bung Karno, bukan berarti Trimurti tidak pernah mengeritik. Ketika Bung Karno memutuskan menikah lagi, Trimurti melancarkan kritik. Ia menentang poligami. Bung Karno marah. “Saya tak ditegurnya,” kata Trimurti. Bahkan, ketika Bung Karno menyematkan Bintang Mahaputra ke dada Trimurti, muka Bung Karno cemberut. Namun, ketika Trimurti lulus dari Fakultas Ekonomi UI dan ada acara Wisuda, Bung Karno justru hadir. Hubungan Trimurti dan Bung Karno pun mencair.

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1962, Bung Karno menugasi Trimurti ke Yugoslavia untuk belajar Worker’s Management. Di sana ia belajar tentang gerakan buruh dan bagaimana buruh menjalankan pabrik. Tahun 1965, Trimurti kembali ke Indonesia. Namun, ia kurang sreg dengan kedekatan Bung Karno dan PKI. Maklum, Ia kecewa dengan Gerwani yang terkesan underbouw PKI.
Namun, kendati secara agak renggang, tetapi Trimurti sering menemui Bung Karno di Istana Negara. Di situ Bung Karno sering curhat dari masalah politik hingga keluarga. Begitulah, hingga akhirnya Bung Karno memenuhi panggilan Tuhan pada tanggal 21 Juni 1970. Bagi Trimurti, terlepas dari kelemahannya, Bung Karno adalah gurunya.
Ulfa Ilyas
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/20130621/bung-karno-di-mata-sk-trimurti.html#ixzz2daiIL2Uo
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Senin, 19 Agustus 2013

"Anak Harto"

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/08/anak-harto.html
  •  Sabtu, 27 Juli 2013 | 17:32 WIB
Mantan Presiden Soeharto. | KOMPAS/WAWAN H PRABOWO






Oleh: 

KOMPAS.com - Belakangan ini wabah SRS (sindrom rindu Soeharto) kambuh lagi setelah meroketnya harga sembako akibat kenaikan harga BBM. Reformasi telah berusia 15 tahun, presiden sudah gonta-ganti, dan itu belum mengubah persepsi banyak tentang ”zaman Soeharto”.
Muncul pertanyaan serius: siapa kita sebenarnya? Kita sering bernostalgia mengenang masa lalu yang indah, meratapi masa kini yang susah, dan kurang paham merancang masa depan.
Kita terjebak dalam ”pembabakan zaman/orde” yang divisive. ”Zaman normal” lebih baik daripada setelah merdeka atau lihat Orde Baru yang dulu jaya, dicela, dan kini dipuja lagi.
Entah siapa yang menciptakan istilah ”Orde Baru". Tetapi, tak lupa dibuat pula identitas ”Orde Lama” sebagai pembanding yang konon lebih buruk dibandingkan dengan Orde Baru.
Jangan lupa, Orde Baru dilahirkan oleh peristiwa ”Gestapu” (Gerakan September 30). Ini mirip dengan ”Gestapo”, dinas intelijen kepolisian Jerman saat Adolf Hitler berkuasa.
Tak sampai lima tahun setelah lahir, sejumlah kalangan dan tokoh sudah mengkritik Orde Baru menyimpang dari cita-citanya. Demokrasi mulai ditinggalkan, pers dan oposisi dibungkam, dan korupsi pun merajalela.
Pemilu-pemilu Orde Baru sejak 1971 mulai direkayasa demi kemenangan Golkar. Rezim Orde Baru memaksakan pula fusi partai tahun 1973 sebagai cara untuk melakukan depolitisasi.
Mungkin Orde Baru dianggap ”sukses” karena Pak Harto lebih memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Ironisnya, pembangunan ekonomi inilah yang jadi sumber korupsi.
Korupsi yang gila-gilaan jelas merupakan warisan Orde Baru. Mungkin yang membedakan korupsi yang terjadi saat itu dengan sekarang ini hanya soal metode dan jumlahnya saja.
Kualitas korupsi tetap sama. Kalau di zaman Orde Baru korupsi terjadi di bawah meja, di zaman Orde Reformasi sampai meja-mejanya diangkut sekalian.
Namun, tidak ada yang membedakan antara presiden sejak era Orde Baru sampai sekarang. Mereka kurang peka menangkap aspirasi rakyat, malah cenderung tutup telinga dan mata terhadap kritik dan saran.
Kritik paling pedas terhadap Pak Harto ditujukan oleh Ali Sadikin bersama 49 tokoh yang menerbitkan ”Pernyataan Keprihatinan”. Isinya mengecam pidato Pak Harto dalam Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, dan HUT Kopassandha di Cijantung, 16 April 1980.
Petisi 50 terdiri dari beragam tokoh berbagai latar belakang. Jenderal-jenderal purnawirawan, selain Bang Ali, ada Jenderal Besar AH Nasution (mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata) dan Jenderal (Pol) Hoegeng (mantan Kepala Polri).
Politisi-politisi kawakan juga banyak, seperti tokoh Islam Mohammad Natsir, tokoh nasionalis Manai Sophiaan, sampai perempuan pejuang kita, SK Trimurti. Beberapa bekas aktivis perjuangan mahasiswa juga ada, seperti Judilherry Justam (angkatan Malari).
Isi pernyataan keprihatinan ditujukan pada kebiasaan Pak Harto yang tiap sebentar mengidentifikasikan dirinya dengan Pancasila. Jadi, menyerang Pak Harto berarti menyerang Pancasila dan itu subversif.
Begitu marahnya Pak Harto sampai anak Bang Ali dilarang meminjam uang ke bank. Mereka tak bisa datang ke pesta pernikahan jika Pak Harto hadir dalam kenduri tersebut.
Meski Pak Harto banyak kesalahannya, janganlah kita melupakan jasa dia. Lebih penting lagi, jangan kita lupa pada orang-orang di sekitar Pak Harto yang ikut menjerumuskan dia sekaligus memetik keuntungan.
”Anak-anak Harto” (anak-anak hasil didikan Pak Harto) sampai sekarang masih berkeliaran. Dalam bahasa Inggris mereka disebut men for all seasons atau, dalam bahasa Indonesia, petualang musiman.
Dalam bahasa politik mereka disebut ”cognoscenti” atau kelompok ”maha tahu” yang mondar-mandir di pusat-pusat kekuasaan Ibu Kota. Sampai kini mereka masih ada di sekeliling kita menyembunyikan identitas sebagai pengurus partai politik, anggota DPR, pakar dan ilmuwan, bankir dan wartawan, sampai pejabat.
Kelompok ”cognoscenti” cuma mengenal istilah kekuasaan, kekayaan, dan orang-orang peliharaan. Mereka jadi pusat perhatian, sangat menguasai ilmu ”pengibulan”, cepat menyabet kesempatan, dan secepat kilat kabur ke luar negeri menghindari penangkapan.
Mereka cepat berganti rupa, pindah-pindah afiliasi politik, ahli menjadi tukang tadah, dan lihai menyelesaikan aneka masalah. Di masa Orde Baru sebagian jadi menteri, di masa Orde Reformasi jadi anggota DPR, bisa juga jadi pemuka etnis, dan sampai kini dicurigai terlibat korupsi.
Dalam tiga kali pemilu, 1999, 2004, dan 2009, mereka mendanai sekaligus mengotaki partai-partai yang berganti-ganti nama dan ideologi. Dalam rangka menyelamatkan diri, mereka tampil sebagai pengurus olahraga, pembina ini-itu, sampai budayawan.
Mereka tahu persis berapa banyak anggaran pembangunan yang bisa ditilep, berapa hargamark-up proyek, dan berapa pula tarif sogok aparat. Mereka bisa menyelenggarakan korupsi secara solo atau bersama-sama.
Sebagian dari mereka sudah lama menyingkir bahkan ketika Pak Harto tak lagi berkuasa. Sebagian lagi sampai kini masih berkiprah dan kadang Anda bisa lihat mereka di media massa.
Selama sekitar 30 tahun, mereka menjalani peran sebagai anak Harto. Tatkala zaman berubah, mereka cepat-cepat ganti loyalitas kepada Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan SBY.
Sebagian besar dari capres yang sering disebut-sebut media massa juga anak-anak Harto. Ironisnya, popularitas dan elektabilitas mereka kini berada di bawah yang bukan anak Harto.
Mungkinkah ini pertanda era anak Harto segera berakhir? Saya tak tahu jawabannya.
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Hindra Liauw