Sabtu, 09 Juni 2012

Menegakkan Kembali Pancasila


Pidato ketua umum pbnu pada peringatan hari lahir pancasila

Menegakkan Kembali Pancasila

Oleh Dr. KH Said Aqil Siroj

Sumpah Pemuda 1928 yang terdiri dari Satu Nusa (Negara), Satu Bangsa dan Satu Bahasa: Indonesia, telah menegaskan menjadi satu kesatuan politik dan kebangsaan yang solid. Maka ditemukan dan dirumuskannya Pancasila 1 Juni 1945 merupakan tonggak bersejarah kedua yang menandai lahirnya negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan penemuan paling penting dan paling mendasar bangsa Indonesia dalam memberikan landasan bagi hidup bermasyarakat dan bernegara.
 Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi lebih dari itu Pancasila merupakan falsafah hidup bagi seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.

Peringatan hari lahir Pancasila ini merupakan momentum penting untuk penegasan kembali komitmen kita pada Pancasila. Penegasan Pancasila ini merupakan langkah strategis, karena dengan sendirinya merupakan penegasan pada UUD 1945 dan komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI baik secara geografis, secara politik, secara ekonomi dan secara budaya.
 Penegasan Pancasila juga merupakan penegasan untuk menjaga semangat Bhinneka Tungal Ika sebagai pilar bangsa ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan: 

Pertama saya ingin menegaskan: Bahwa Pancasila jangan hanya dipahami secara instrumental, sebagai alat pemersatu bangsa belaka. Tetapi lebih dari itu Pancasila harus dipahami secara substansi, sebagai sumber tata nilai, yang merupakan falsafah dalam berbangsa dan bernegara, sehingga perlu terus-menerus dihayati dan dirujuk dalam setiap menata kehidupan. Banyaknya Konvensi Internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun belum diratifikasi oleh Pemerintah RI,
 sama sekali tidak boleh menggeser sedikitpun kedudukan Pancasila sebagai sumber tertinggi hukum dan tata nilai bangsa Indonesia.

Kedua, saya mengingatkan: Bahwa untuk mengatasi ikhtilaf atau polemik mengenai hari lahir Pancasila yang sengaja dimunculkan kembali belakangan ini, sangat membahayakan karena pengaburan sejarah Pancasila ini akan mengarah pada pengaburan nilai dan ideologi Pancasila. Dalam hal ini para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara terutama Pemerintah harus tegas berketetapan bahwa Pancasila lahir 1 Juni 1945. Ini dinyatakan oleh penggalinya sendiri yaitu Bung Karno, serta dibenarkan Para Ulama seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri.
 Dengan penegasan ini diharapkan tidak akan terjadi penggeseran terhadap sejarah dan status Pancasila sebagai dasar negara Republik Indponesia. 

Ketiga, saya perlu menegaskan pendirian kami: Bahwa Bagi NU, sebagaimana dirumuskan dalam Munas Situbondo 1983 bahwa Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai akidah, syariah dan akhlaq Islam Ahlusunnah wal Jamaah, maka pengamalan Pancasila dengan sendirinya telah merupakan pelaksanaan syariat Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Oleh sebab itu, pada Muktamar Ke-27 di Asembagus Situbondo pada 1984, NU tak ragu menegaskan bahwa Pancasila merupakan hasil final perjuangan umat Islam. Suatu keputusan monumental yang meneguhkan Pancasila sebagai ideology Negara dan falsafah bangsa Indonesia.Sebagai konsekuensi dari sikap politik tersebut maka NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya secara murni dan konsekwen oleh semua pihak.
 Dengan demikian tidak perlu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam, karena nilai-nilai dan aspirasi Islam telah diejawantahkan dalam Pancasila. 

Keempat: Bahwa mengingat pentingnya Pancasila ini dan mengingat keputusan yang telah ditetapakan oleh para pendiri bangsa ini yang mewakili seluruh elemen masyarakat, elemen agama dan elemen golongan, sebagai dasar dan falsafah dalam bernegara,
 maka siapa saja dan organisasi apa saja yang terang-terangan bertentangan, apalagi melawan ideologi Pancasila, haruslah ditetapkan sebagai organisasi kriminal bahkan subversif yang tidak boleh leluasa hidup mengembangkan ajarannya di negara Pancasila ini. 

Kelima: Untuk menjaga posisi Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara dan merupakan sumber hukum tertinggi, maka segala bentuk hukum dan perundang-undangan yang ada di Republik Indonesia baik UUD 1945 ataupun undang-undang lainnya haruslah merujuk pada Pancasila. Segala bentuk hukum yang tidak sejalan dengan Pancasila apalagi bertentangan, maka harus dinyatakan batal demi hukum itu sendiri karena berlawanan norma dasar kita bernegara.Saat ini banyak hukum dan Undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila karena itu harus segera direview karena ini jelas-jelas telah merugikan bangsa ini, merusak negara, dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Padahal jelas tujuan Pancasila adalah untuk menciptakan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan penegasan ini diharapkan Pancasila kembali ditempatkan pada posisinya semula yaitu: sebagai dasar dan ideologi negara serta falsafat bagi seluruh masyarakat dan bangsa,
 sehingga akan melahirkan masyarakat Pancasila yang hidup guyub bergotong royong, bersatu padu dalam membangun bangsa dan Negara Indonesia. Dalam konteks itu saya tidak ragu lagi, sistem kemasyarakatan dan nilai-nilai hidup kekeluargaan sebagaimana diajarkan dalam Pancasila itulah yang semestinya diterapkan saat ini untuk mengembalikan solidaritas sosial dan untuk menghindarkan terjadinya berbagai konflik kepentingan yang sangat tajam berkembang di masyarakat kita dewasa ini. Jamainan kerukunan sosial dan keamanan nasional merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan Pancasila. 


Jakarta, 1 Juni 2012

sumber :
 http://www.nu.or.id/a,public-m,dinam...ancasila-.phpx

video :
 http://www.mpr.go.id/video/read/2012...tua-umum-pb-nu

Note : Hari Lahir Pancasila, 1 Juni. Saya tahu banyak yg lelah dengan kata itu. Tapi yg dirumuskan Bung Karno hari itu, 1945, belum bisa diabaikan. Bung Karno: 'Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.' Bung Karno: 'Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama" Bung Karno: 'Ketuhanan yg berkebudayaan, Ketuhanan yg berbudi pekerti yg luhur, Ketuhanan yg hormat-menghormati satu sama lain.'

Minggu, 03 Juni 2012


Pancasila Sumber dari Segala Sumber Hukum
Jumat, 01 Juni 2012 | 09:08 WIB
  MAHKAMAH KONSTITUSI R.I.
Yogyakarta, (31/05) - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjadikeynote speaker dalam acara Kongres Pancasila IV, yang bertajuk “Strategi Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia”, kerjasama Mahkamah Konstitusi, MPR RI, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang diselenggarakan di Gedung Balai Senat UGM.
Dalam pidatonya Mahfud menegaskan bahwa pelembagaan nilai-nilai Pancasila itu penting, karena bangsa ini telah terjadi gejala inkonstitusionalitas, yang berarti bertentangan dengan, "Bangsa Indonesia perlu mengembalikan Pancasila sebagai fundamental atau sumber dari segala sumber hukum dan didukung dengan kepemimpinan yang kuat," tegasnya.
Menurut Mahfud, strategi pelembagaan nilai-nilai Pancasila perlu dilakukan, karena Pancasila sebagai dasar negara yang terdiri dari konsep dan gagasan sebenarnya sudah selesai, sehingga saat ini hanya tinggal pengembalian Pancasila sebagai fitroh bangsa Indonesia, "Fitroh Pancasila adalah bagian terpenting dari jiwa bangsa, pandangan, cara hidup bangsa, ideologi negara, serta kesepakatan tentang cara penyelesaian bersama oleh berbagai subideologi yang berbeda, dan menjadi cita hukum," katanya.
Lebih lanjut dikatakan mantan menteri pertahanan itu bahwa strategi pelembagaan nilai-nilai Pancasila perlu diterapkan dalam menegakkan konstitusionalitas di Indonesia. "Hal ini penting mengingat saat ini Pancasila telah kehilangan orientasi, dan tujuan yang menjadikan ketidakpercayaan warga negara terhadap penyelenggara negara," jelas Mahfud.
Di akhir pernyataannya Mahfud menegaskan bahwa terjadinya disorientasi terhadap nilai-nilai Pancasila menjadikan generasi Indonesia tidak lagi menyadari dan mengetahui nilai-nilai penting dalam Pancasila. Ketidakpercayaan terhadap penyelenggara negara yang bermula dari disorientasi Pancasila menyebabkan negara tidak mengetahui penegakan hukum akan dibawa ke mana termasuk arah pembangunan. “Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh bingung untuk menegakkan hukum, karena arahnya sudah jelas harus sesuai dengan konstitusi, padahal jika dibandingkan dengan masa lalu, tantangan Pancasila saat ini sebenarnya lebih kecil. Pada masa lalu, Pancasila harus menghadapi serangan bersenjata untuk mempertahankannya," tandas Mahfud.
Kegiatan ini diselenggarakan selama 2 hari, yang dihadiri oleh 400 orang dari berbagai elemen masyarakat yang mengikuti Kongres Pancasila  ini. Diharapkan dari kegiatan ini, akan mampu merusmuskan hal-hal baru untuk kepentin

http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8410115549703276999#editor/target=post;postID=5706835388985130997

Sabtu, 02 Juni 2012

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (IV)

MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA (2012)


BUNG KARNO:
PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA  (IV)
Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara
Tadi saya menandaskan kepada Saudara-saudara, cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mempengaruhi alam persembahannya -- kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam gua-gua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. la melihat bulan dan bintang-bintang. la sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambamya. la menyembah pada petir. la menyembah kepada sungai, yang memberi ikan kepadanya. la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bemaung di bawahnya. la menyembah kepada awan yang berarak. la menyembah kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang hari. la menyembah kepada barang-barang yang demikian itu. Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan.
Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? "0, itu Thor, yang turun dari satu mega ke lain mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara." Kalau ia mendengar guntur menggeledek itu, "Thor sedang berjalan" --"Thor sedang naik kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan". Ia menyembah sungai yang memberi makan kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga misalnya -- Bengawan Silu­gangga, kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari zaman baheula.
Ia menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu. Di dalam Bhagawad Gita diceriterakan, pada hakekatnya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bhagawad Gita, Kresna berkata kepada Arjuna: "Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah
 angin. Aku tiada mula tiada akhir, aku ada di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai." Itu juga disembah.
Sang manusia zaman dulu -- fase pertama itu -- kalau samudra sedang menggelora, membanting di pantai, menekukkan lututnya,
133
menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu kalau mendengarkan Lautan Kidul sedang menggelora, berkata: 'Lampor(33), lampor!" Manusia Jawa zaman dahulu, menyembah Lautan Selatan.
Saya kembali kepada Bhagawad Gita. Bhagawad Gita berkata: "Aku ada di dalam geloranya air laut yang membanting di pantai. Aku ada di dalam sepoinya angin yang sedang meniup. Aku ada di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinamya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir."
Bhagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubah­ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai, sampai dimaterialisir: Thor, dewa dari donder. (34)
Notabene,(35) Saudara-saudara, kita punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, Saudara-saudara. Di daerah Skandi-navia dewa langit dinamakan Thor. Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, Raja Thor. Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one­ -- manusia itu satu sebetul-nya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya. The same under the skin -- kata orang Amerika -- di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.
Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenamya, yang tepat. Dia punya begrip itu, manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari restan-restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah Sungai Gangga. Di Jawa, lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup: "Lampor, lampor, lainpor!" Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah.
33 Suara gaduh dari angin, menurut kepercayaan suara orang halus (bhs. Jawa). 34 Guntur (bhs. Belanda).
35 Perhatikan (bhs. Belanda).
134

Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu: "Masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. lni Tuhan yang betul, berupa binatang."
Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan penyembahan binatang. Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika Saudara mengganggu seekor sapi, Saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko, masuk di mana-mana. Orang India yang masih kolot sakit, misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Ya, oleh karena dia anggap ini keramat, pagar penolak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.
Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, Saudara­saudara, dia punya begrip dari Tuhan itu kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi-dewi yang memberkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekerefactor,(36) tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, tergantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup di dalam alam -- kata-karilah keagamaan, ketuhanan, religius -- tiap-tiap bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian: Dewi Sri, Dewi Laksmi,
36 Faktor yang tak pasti (bhs. Belanda).
135
Saripohaci, godinnen van de landbouw.(37) Malahan dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentukkan manusia: pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua, peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi, buaya ya buaya. Buaya disembah di alam Mesir yang dulu, coba lihat lukisan-Iukisan Mesir dulu! Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular.
Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk "Tuhan" -- yang manusia sembah -- dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph -- anthropus adalah manusia, morph adalah bentuk --berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi-dewi ini, manis, anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia dari- Tuhan-nya. Batu pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.
Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu dari alam pembuatan alam itu? Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen(38) yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding dari akal.
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bersarang -- di sini -- di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba: batu bisa diraba, sungai bisa, sapi bisa, dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun, siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alim--ulama zaman itu -- ini dewi! Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite, buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite -- Dewi Asmara -- yang sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, "Bukan main!" Tetapi ia membuat patung itu dari apa? Modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak.
37 Oewi-dewi pertanian (bhs. Belanda 38 Penemuan (bhs. Belanda).
136

Betul--betulan. Pada satu hari di tempatnya itu ada pemilihan Dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan menjadi Dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar-benar wanita itu, materi, zuiver mens(39) dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib.
Tuhan di mana? Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu dari hidup manusia.
Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih dari digaibkan. Karena di situ manusia merasa dirinya -- atau sebagian dari manusia -- merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir? Aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit(40) sekian milyun volt, aku buka dia punya stroom­ -- petir! Aku bisa membuat petir.
Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa membuatnya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat-pesawat pembikin hujan. Mau outer-space,(41) keluar dari alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan! Tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ! Sebagian dari manusia berkata: "Tuhan tidak ada!" Saudara-saudara bisa mengikuti analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan, tetapi tidak bisa dilihat, gaib. Nomor lima, sebagian dari manusia ­de heersers van de industrie, de geleerden(42) -- banyak yang berkata:
"Tidak ada Tuhan!" Hilang sama sekali begrip itu.
Nah, ini bagaimana? Saya menyelami rnasyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya -- grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud -- saya melihat, bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tetapi -- sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud -- bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat  Indonesia pada
39 Benar.benar orang (bbs. Belanda). 40 Listrik (bhs. Belanda).
41 Angkasa lu ar (bhs. Inggris).
42 Orang yang rnenguasai industri, ka urn ilrnuwan.
137
dewasa ini sampai kepada penggalian-penggalian ke dalam, terutama sekali masih hidup di dalam alam perpindahan keempat --- tiga keempat, dan empat kelima -- sebagian besar masih agraris, dan tiap-tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan. Tadi pun saya terangkan, rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil telah hidup di dalam alam industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak dari keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, ter-utama sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam industrialisme.
Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen, dari meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau membuang satu elemen yang bindend(43), bahkan masuk betul-betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia.
Kalau Saudara tanya kepada saya persoonlijk,(44)  apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan? Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho lha kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib, apa Tuhan itu berubah--ubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat ini tidak berubah-ubah, tetapi yang berubah­-ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah-ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya.
Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi. Átau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi Sri. Di dalam  alam nijverheid,
43 Terikat (bhs. Belanda).
" Secara pribadi (bhs. Belanda).


orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: Nonsens(45) Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhan-nya tetap.
Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada lima orang -- kelima-limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah: "He, kami lima orang kepingin tahu gajah." Boleh. Gajahnya besar dikeluarkan dari kandangnya. "Nah, ini gajah yang berdiri di muka Saudara-saudara. Coba Saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu!" Si A maju ke muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: "Bung, bagaimana bentuk gajah?" Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah. "Gajah itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon kelapa. " C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang-pegang, dapat telinga gajah. "Ya, gajah itu seperti daun keladi, Pak." Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor gajah. "Seperti pecut, cemeti." Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apa-apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah. "0, gajah itu seperti hawa".
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda-beda.
Nah, Saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets(46)Di dalam tiap-tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. lni cerita persoonlijk: Saya sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi -- dan mimpi itu saya rasa, ini mimpi-mimpi betul -- biasanya keesokan harinya teljadi. Bagi lain orang, lain barangkàli terjadinya itu, lain bulan dan sebagainya. Bagi
45 Omong kosong (bbs. Belanda).
46 Sesuatu yang sungguh-sungguh (bhs. Belanda).
139

saya -- praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi-impian -- kontan keesokan harinya terjadi. Hal-hal yang semacam itu memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.
Bagaimana seluruh rakyat lndonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya -- telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan -- pada garis besamya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering (47) Tuhan Yang Maha Esa, bisa diterima oleh semua golongan agama di lndonesia ini.
Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa lndonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasukkan.
Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.

47  Rumusan (bhs. Belanda). 
140

(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal.133-140)
Disiarkan ulang:  MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
Disiarkan ulang oleh INDONESIA BERJUANG, 01 Juni 2012

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (III)

MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA (III)


BUNG KARNO:
PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA  (III)
Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara
Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintara, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur-leburnya negara kita, hancur-leburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd.
Jadi empat saf: saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo - gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting -- sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu.
Jadi, saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Saya lantas berkata, kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, insya Allah, seluruh rakyat lndonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu-padu.
Ambil misalnya hal sila yang per-tama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek(26) bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa lndonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan dari sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya -- saya ulang-­ulangi pada umumnya -- sebab sila-sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud (27)
Jadi jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa ber­Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaan-nya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia menyala-nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai
26 Tabiat khas. (bhs. Belanda).
27 Istilah bhs. Belanda untuk Pembagi Persekutuan Terbesar dan Kelipatan Persekutuan Terkecil.
Maksudnya: Hasil garis besar, sebagai keseluruhan
127
Keseluruhan -- grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud ­saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, groot-ste gemene deler itulah. Het kan niet anders(28) daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.
Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders --  tidak bisa lain -- bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannya, tempat kepercayaan.
Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua­gua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase dari kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab -- dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut -- apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil dari evolusi. Saya cuma menceriterakan saja ada satu cabang ilmu pengetahuan, bahwa manusia itu adalah hasil dari evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bemama Adam dan satu manusia bemama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusia-manusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan. Mungkin uga dulu berupa een cellige wezens -- sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren.(29) Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap, tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki.
Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini.
Mula-mula hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi, evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus ribu tahun:
28 Tidak bisa la in (bhs. Belanda).
29 Hewan tidak bertulang punggung (bhs. Belanda).
1?R

PANCASILA BUNG KARNO
Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti dari teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi, di desa Trinil, terdapat tulang-tulang dari makhluk yang demikian ini.
Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet, tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang itu. Sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam -- entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa -- katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhimya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih dari setengah juta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini berasal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.
Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. ltu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senjata Màuser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling(30) ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mempertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mempengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-­gua, di bawah pohon-pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.
Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua.
Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyong-konyong. Tidak. lni adalah satu pertumbuhan yang evolusioner: Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari perburuan dan mencari ikan,
30 Pendirian (bhs. Belanda).
129
mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu­memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa berkembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali -- garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud --hidup dari peternakan, memelihara binatang.
Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini -- setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian menjadi peternak -- ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama-lama ia tahu bahwa inakanan yang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah-buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui -- biasa baginya -- bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. Tetapi lambat-laun ia berpengalaman, bahwa tanaman pun bisa ditanam. Tumbuh­tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buah-buahan bisa ditanam.
Dan terutama sekali, Saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi salut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. la melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek, menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa dari wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang
130
PANCASILA BUNG KARNO
yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain -- barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar. Dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah -- zaman dahulu itu orang masih makan darah -- harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek-korek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip(31)   wadah. Bahkan -- karena barangkali tidak ada buah labu -- wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat primitif, akhirnya menjadi semacam periuk.
Wanita yang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belum rumah seperti sekarang, meskipun rumah desa pun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama dari atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapatkan apa yang di-namakan civilization, peradaban.
Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar, wanita yang bercocok tanam mula-mula.
Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi, bisa ditanam. Lama-lama si laki pun mening­galkan cara hidup beternak, capek selalu mencari tempat penggem­balaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindah-pindah, nomade. Tatkala ia beternak pun -- tingkat yang kedua -- tidak mene­tap, berpindah-pindah mencari makanan untuk ternaknya, nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki­ dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian -- manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch, menjadi orang-orang yang menetap.
Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi. Pertanian, lama-lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-lama timbul pikiran akan
31 Pengertian, paham.
131
semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat; aku membuat bajak; aku membuat cangkul; aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa menggelinding. Lama-lama menjadi begrip gerobak. Geiobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari-hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpulkan serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari-hari mengumpulkan serat-serat untuk menenun -- kelas penenun.
Demikianlah seterusnya timbul golongan-golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. "Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu." Begrip ruilhandel,(32)  tukar-menukar timbul.
Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup dari apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul, membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian -- ruilhandel.
Evolusi lagi. Akhimya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan dari nijverheid ini, membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya mesin uap dan lain-lain -- industrialisme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalarni, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia Barat, di Amerika dan di Eropa.
Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa mahusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Bertemak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. lndustrialisme, lima.
Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum dari masyarakat manusia.
32 Perdagangan secara tukar-menukar (bhs. Belanda).
132

(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal.127-132)
Disiarkan ulang: MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
Disiarkan ulang oleh INDONESIA BERJUAMG, 01 Juni 2012

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (II)

MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANSACSILA (2012)


PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA  (II)
Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958
di Istana Negara


Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis -- yang dapat mengumpulkan semua -- dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis -- yang dapat menjadi arah perjalanan-kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri dari elemen-elemen yang ada pada jiwa lndonesia. Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa lndonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.
Misalnya, kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie(12) dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan. Demikian pula elemen-elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati jiwa kita. Yang betul-­betul -- bahasa Inggrisnya -- appeal(13) kepada jiwa kita. Kalau kita kasih Leitstar yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada kita.
lni adalah satu soal yang susah, Saudara-saudara. Apalagi bagi Saudara-saudara pemimpin -- yang salah satu tugas dari pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap-tiap Saudara-saudara yang ada di sini ingin bisa menggerakkan rakyat, bisa menarik pengikut-­pengikut, tidak pandang Saudara dari partai apa. Yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, Saudara-saudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerakkan rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya.
Jikalau Saudara baca mengenai hal ini -- saya ini sedang mengupas hal Leitstar -- baca mengenai hal ini: bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi kadang-kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendeknya mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi kemauan untuk berjuang.
12 Sesuai (bhs. Belanda).
13 Memiliki daya tarik (bhs. Inggris).
120

Syarat-syaratnya ini apa? Kalau Saudara baca kitab-­kitab yang ditulis pernimpin-pemimpin yang berpengalaman tentang hal ini, Saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang.
Baru sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gampang sekali. Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang manis, tiap­-tiap orang bisa. Asal bisa meng-iming-imingi (membayang-­bayangkan). Tetapi untuk menggumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi kerelaan berkorban, that is another matter – lain hal. Kalau Saudara baca kitab-kitab yang menganalisa hal ini,maka Saudara akan menemui tiga syarat:
Pertama, memang Saudara harus bisa menggambarkan, meng­iming-iming: "Mari kita capai itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan." Pemimpin yang tidak bisa meng-gambarkan, melukiskan cita-cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. ia harus bisa melukiskan cita-cita.
Di dalam sejarah dunia Saudara akan melihat bahwa pemimpin­pemimpin besar yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin yang bisa melukiskan cita-cita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan.
Ambil contoh Nabi-nabi, yaitu pemimpin-pemimpin besar sekali. Semua Nabi itu pandai benar melukiskan cita-cita. Katakanlah meng-iming-iming. Misalnya Nabi Muhammad: "Kalau engkau berbuat baik, engkau masuk di sana." Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah -- Quran sendiri-di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya enak, ada sungai-sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan berkeliaran bidadari-­bidadari di situ. Sehingga betul ter-iming-iming umat Islam itu ingin masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia ini, bagai-mana pun bagusnya, kalah indahnya dari itu.
Ambil Nabi Isa: "Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagus-nya, kalah bagus dengan Kerajaan Langit". Het Koninkrijk der Hemelen -- Kerajaan Langit -- dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai lawan dari kerajaan yang ada di bumi ini.
121


Ambil pemimpin-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitier, misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat pengikut juta-jutaan dan pengikut yang fanatik-fanatik? Oleh karena ia pandai memasangkan Leitstar-nya.
Hitier berkata: "Jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebih hebat daripada sekarang, jangan kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus mengadakan kerajaan yang ketiga, das dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum. "
Zaman baheula,(14) zaman ceriteranya Nibelungen, yang di dalam puisi Jerman digambarkan sebagai zaman keemasan dari Germanentum, dengan pahlawan-pahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Sieg-fried jago yang tidak tedas(15 ) senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya yang tidak kebal. Pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas punggungnya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang lain-lain kena air kebal. Zaman itu digambarkan oleh Hitier, belum, kurang besar, kurang bagus.
"Kerajaan yang kedua -- di bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote -- zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak! Kita menghendaki kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang-orang yang berambut-jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang-orang yang murni Ariers.(16) Kerajaan ketiga inilah, yang di dalamnya tidak ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita-cita." Dengan jalan demikian ia meng-iming-iming kepada rakyat Jerman.
Ambil Marx -- tadi saya ceriterakan kepada Saudara-saudara­ia dapat betul menggambarkan satu -- bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij -- yang di situ tidak ada penindasan.
14 Zaman dahulu, zaman kuno (bhs. Sunda).  15.Mempan, mampu dilukai.
16 Bangsa Aria, yang di zaman prasejarah tinggal di Iran dan India Vtara, dianggap sebagai bangsa yang membawa kemajuan umat manusia. Menurut Hitler, bangsaAria yang paling mumi adalah orang Nordis atau J ermania.
122


Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu staatloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan kesejahteraan.
Demikianlah, Saudara-saudara, maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah harus dapat meng-iming-iming, tetapi jangan meng-iming-iming barang yang bohong. Itulah salah satu syarat. Perkataan saya saja meng-imng-iming, tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan Leitstar kepada rakyat.
Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikianlah, menganalisa hidup, cara bekerjanya pemimpin-pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa meng-iming-iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa mem­bangunkan rasa mampu di dalam rakyat bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming-iming-kan, ya, maka di dalam kalbu rakyat akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak, kemauan, satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak mampu.
Ibaratnya, engkau bisa meng-iming-imingi seseorang yang badan-nya lemah: "Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak." Si dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, dus, tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, wil untuk mencapai buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau iming-iming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah milyuner: "Bung lihat, bukan main cantiknya!" Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah sekali, "Aku anak orang miskin, ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama dia." Tidak akan timbul kehendak – wil -- untuk mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua.
Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan kemampuan yang sebenar-­benarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de werkelijke kracht,(17) dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh karena ter-iming-iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena Saudara bisa memberi kepada rakyat itu
17 Kekuatan atau yang sebenamya (bhs. Belanda).
123
rasa mampu, krachtsgevoeI(18). Krachtsgevoel ini dinaikkan setingkat lagi rnenjadi de werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau tiga ini Saudara-­saudara sudah bisa dijadikan Trimurti -- artinya diper-satukan di dalam tindakanmu sebagai pemimpin -- Saudara akan bisa menggerakkan massa.
Dus, Leitstar yang dinamis, Saudara-saudara, harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa "aku atau kita bisa mencapai", dua. Tiga, bukan saja rasa  mampu, tetapi memang mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat meng-iming-iming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi Saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, "He, buah itu enak betul, kepingin apa tidak?" Kepingin. "Mau apa ti dak?" Mau. Tetapi Saudara lupa melatih dia untuk memanjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan, tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini harus dipenuhi.
Leitstar dari negara harus bisa realiseren(19) tiga syarat ini. Dus, dasar  negara pertama harus bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara itu harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat yang dinamakan negara dapat benar-benar mencapai apa yang di-leitstar-kan itu. Maka berhubung dengan itu, elemen-elemen dari dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi bangsa lndonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis .
Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi­-kursi yang dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame; een natie is een ziel -- ­bangsa itu satujiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah dari manusia itu dengan manusia itu, seperti kursi-kursi dijajar. Benar bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, malahan apalagi bangsa-­bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, tetapi kecuali dari itu, bangsa itu
18 Perasaan mampu melakukan (bhs. Belanda). 19 19  Merealisir atau mewujudkan (bhs. Belanda).
124


mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het algemeen totaal(20)  dari si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu bangsa adalah satu jiwa.
Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita mernikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya, bisa menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. ltulah kepribadian. Tiap-tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen(21) dari luar. ltu harus latent(22) telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya mana ini elemen-elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis. Dicari­-cari, berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi dari jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering(23)  itu lima ini.
Ada orang berkata: Pada waktu Bung Karno mem-propageren(24) Pancasila, pada waktu ia menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-terangan yang berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila ? Kalau ia menggali dalam sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam. Saya ulangi, saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam.
20 Merupakan keseluruhan pada umumya (bhs. Belanda). 21 21 Memaksakan, mengambil (bhs. Belanda).
22 Terpendam (bbs. Belanda).
23 Terkelompok dalamjenis (bhs. Belanda). 24 24 Berusaha mencari (bhs. Belanda).
125

                     
Dan saya meno lak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata, penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu.
Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf­safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada zaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Profesor Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia sebelum kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah sekarang ini jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Tidak, pra-Hindu! Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh Profesor Dr. Brandes. Alfabet ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Profesor Brandes bukan pembawaan orang Hindu. Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakon, terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi belum dengan Mahabarata dan Ramayana. Sebagian dari restan(25) wayang kulit kita dari zaman pra-Hindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain-lain itu. Itu pra-Hindu! Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanan--kepahlawanan kita, sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakon-lakon itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan dari wayang kulit kita. Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu.
Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita
25 Sisa (bhs. Belanda).
126
(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal. 120-126)
DISIARKAN ULANG:  MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
Disiarkan ulang oleh INDONESIA BERJUANG, 01 Juni 2012