Sabtu, 02 Juni 2012

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (II)

MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANSACSILA (2012)


PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA  (II)
Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958
di Istana Negara


Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis -- yang dapat mengumpulkan semua -- dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis -- yang dapat menjadi arah perjalanan-kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri dari elemen-elemen yang ada pada jiwa lndonesia. Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa lndonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.
Misalnya, kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie(12) dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan. Demikian pula elemen-elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati jiwa kita. Yang betul-­betul -- bahasa Inggrisnya -- appeal(13) kepada jiwa kita. Kalau kita kasih Leitstar yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada kita.
lni adalah satu soal yang susah, Saudara-saudara. Apalagi bagi Saudara-saudara pemimpin -- yang salah satu tugas dari pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap-tiap Saudara-saudara yang ada di sini ingin bisa menggerakkan rakyat, bisa menarik pengikut-­pengikut, tidak pandang Saudara dari partai apa. Yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, Saudara-saudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerakkan rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya.
Jikalau Saudara baca mengenai hal ini -- saya ini sedang mengupas hal Leitstar -- baca mengenai hal ini: bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi kadang-kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendeknya mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi kemauan untuk berjuang.
12 Sesuai (bhs. Belanda).
13 Memiliki daya tarik (bhs. Inggris).
120

Syarat-syaratnya ini apa? Kalau Saudara baca kitab-­kitab yang ditulis pernimpin-pemimpin yang berpengalaman tentang hal ini, Saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang.
Baru sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gampang sekali. Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang manis, tiap­-tiap orang bisa. Asal bisa meng-iming-imingi (membayang-­bayangkan). Tetapi untuk menggumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi kerelaan berkorban, that is another matter – lain hal. Kalau Saudara baca kitab-kitab yang menganalisa hal ini,maka Saudara akan menemui tiga syarat:
Pertama, memang Saudara harus bisa menggambarkan, meng­iming-iming: "Mari kita capai itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan." Pemimpin yang tidak bisa meng-gambarkan, melukiskan cita-cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. ia harus bisa melukiskan cita-cita.
Di dalam sejarah dunia Saudara akan melihat bahwa pemimpin­pemimpin besar yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin yang bisa melukiskan cita-cita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan.
Ambil contoh Nabi-nabi, yaitu pemimpin-pemimpin besar sekali. Semua Nabi itu pandai benar melukiskan cita-cita. Katakanlah meng-iming-iming. Misalnya Nabi Muhammad: "Kalau engkau berbuat baik, engkau masuk di sana." Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah -- Quran sendiri-di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya enak, ada sungai-sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan berkeliaran bidadari-­bidadari di situ. Sehingga betul ter-iming-iming umat Islam itu ingin masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia ini, bagai-mana pun bagusnya, kalah indahnya dari itu.
Ambil Nabi Isa: "Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagus-nya, kalah bagus dengan Kerajaan Langit". Het Koninkrijk der Hemelen -- Kerajaan Langit -- dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai lawan dari kerajaan yang ada di bumi ini.
121


Ambil pemimpin-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitier, misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat pengikut juta-jutaan dan pengikut yang fanatik-fanatik? Oleh karena ia pandai memasangkan Leitstar-nya.
Hitier berkata: "Jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebih hebat daripada sekarang, jangan kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus mengadakan kerajaan yang ketiga, das dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum. "
Zaman baheula,(14) zaman ceriteranya Nibelungen, yang di dalam puisi Jerman digambarkan sebagai zaman keemasan dari Germanentum, dengan pahlawan-pahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Sieg-fried jago yang tidak tedas(15 ) senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya yang tidak kebal. Pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas punggungnya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang lain-lain kena air kebal. Zaman itu digambarkan oleh Hitier, belum, kurang besar, kurang bagus.
"Kerajaan yang kedua -- di bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote -- zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak! Kita menghendaki kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang-orang yang berambut-jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang-orang yang murni Ariers.(16) Kerajaan ketiga inilah, yang di dalamnya tidak ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita-cita." Dengan jalan demikian ia meng-iming-iming kepada rakyat Jerman.
Ambil Marx -- tadi saya ceriterakan kepada Saudara-saudara­ia dapat betul menggambarkan satu -- bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij -- yang di situ tidak ada penindasan.
14 Zaman dahulu, zaman kuno (bhs. Sunda).  15.Mempan, mampu dilukai.
16 Bangsa Aria, yang di zaman prasejarah tinggal di Iran dan India Vtara, dianggap sebagai bangsa yang membawa kemajuan umat manusia. Menurut Hitler, bangsaAria yang paling mumi adalah orang Nordis atau J ermania.
122


Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu staatloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan kesejahteraan.
Demikianlah, Saudara-saudara, maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah harus dapat meng-iming-iming, tetapi jangan meng-iming-iming barang yang bohong. Itulah salah satu syarat. Perkataan saya saja meng-imng-iming, tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan Leitstar kepada rakyat.
Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikianlah, menganalisa hidup, cara bekerjanya pemimpin-pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa meng-iming-iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa mem­bangunkan rasa mampu di dalam rakyat bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming-iming-kan, ya, maka di dalam kalbu rakyat akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak, kemauan, satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak mampu.
Ibaratnya, engkau bisa meng-iming-imingi seseorang yang badan-nya lemah: "Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak." Si dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, dus, tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, wil untuk mencapai buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau iming-iming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah milyuner: "Bung lihat, bukan main cantiknya!" Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah sekali, "Aku anak orang miskin, ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama dia." Tidak akan timbul kehendak – wil -- untuk mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua.
Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan kemampuan yang sebenar-­benarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de werkelijke kracht,(17) dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh karena ter-iming-iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena Saudara bisa memberi kepada rakyat itu
17 Kekuatan atau yang sebenamya (bhs. Belanda).
123
rasa mampu, krachtsgevoeI(18). Krachtsgevoel ini dinaikkan setingkat lagi rnenjadi de werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau tiga ini Saudara-­saudara sudah bisa dijadikan Trimurti -- artinya diper-satukan di dalam tindakanmu sebagai pemimpin -- Saudara akan bisa menggerakkan massa.
Dus, Leitstar yang dinamis, Saudara-saudara, harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa "aku atau kita bisa mencapai", dua. Tiga, bukan saja rasa  mampu, tetapi memang mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat meng-iming-iming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi Saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, "He, buah itu enak betul, kepingin apa tidak?" Kepingin. "Mau apa ti dak?" Mau. Tetapi Saudara lupa melatih dia untuk memanjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan, tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini harus dipenuhi.
Leitstar dari negara harus bisa realiseren(19) tiga syarat ini. Dus, dasar  negara pertama harus bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara itu harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat yang dinamakan negara dapat benar-benar mencapai apa yang di-leitstar-kan itu. Maka berhubung dengan itu, elemen-elemen dari dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi bangsa lndonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis .
Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi­-kursi yang dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame; een natie is een ziel -- ­bangsa itu satujiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah dari manusia itu dengan manusia itu, seperti kursi-kursi dijajar. Benar bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, malahan apalagi bangsa-­bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, tetapi kecuali dari itu, bangsa itu
18 Perasaan mampu melakukan (bhs. Belanda). 19 19  Merealisir atau mewujudkan (bhs. Belanda).
124


mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het algemeen totaal(20)  dari si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu bangsa adalah satu jiwa.
Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita mernikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya, bisa menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. ltulah kepribadian. Tiap-tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen(21) dari luar. ltu harus latent(22) telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya mana ini elemen-elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis. Dicari­-cari, berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi dari jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering(23)  itu lima ini.
Ada orang berkata: Pada waktu Bung Karno mem-propageren(24) Pancasila, pada waktu ia menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-terangan yang berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila ? Kalau ia menggali dalam sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam. Saya ulangi, saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam.
20 Merupakan keseluruhan pada umumya (bhs. Belanda). 21 21 Memaksakan, mengambil (bhs. Belanda).
22 Terpendam (bbs. Belanda).
23 Terkelompok dalamjenis (bhs. Belanda). 24 24 Berusaha mencari (bhs. Belanda).
125

                     
Dan saya meno lak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata, penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu.
Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf­safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada zaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Profesor Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia sebelum kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah sekarang ini jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Tidak, pra-Hindu! Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh Profesor Dr. Brandes. Alfabet ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Profesor Brandes bukan pembawaan orang Hindu. Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakon, terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi belum dengan Mahabarata dan Ramayana. Sebagian dari restan(25) wayang kulit kita dari zaman pra-Hindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain-lain itu. Itu pra-Hindu! Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanan--kepahlawanan kita, sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakon-lakon itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan dari wayang kulit kita. Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu.
Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita
25 Sisa (bhs. Belanda).
126
(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal. 120-126)
DISIARKAN ULANG:  MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
Disiarkan ulang oleh INDONESIA BERJUANG, 01 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar