Minggu, 28 Juli 2013


Sosialisme Soekarno Bagaimana Dihayati Kini?

  • Sabtu, 30 Juni 2012 | 02:08 WIB
”Sejarah secara umum mencatat Orde Lama mengedepankan nation building. Padahal, Bung Karno juga menjadi peletak dasar ekonomi sosialis yang berdasar Pancasila,” kata Poppy dalam diskusi ”Bung Karno di Mata Dunia: Gagasan dan Tindakan tentang Kepemimpinan dan Sosiodemokrasi” yang diselenggarakan Megawati Institute, di Jakarta, Rabu (27/6).
Agenda nation building sangat penting sebagai langkah awal bernegara. Eropa Barat membutuhkan ratusan tahun untuk agenda ini. Bahkan, Jerman, lanjut Poppy, melalui proses ini sangat berdarah.
Bung Karno mampu menyatukan kesadaran bernegara, ideologi, menjaga keberagaman untuk mencapai tujuan bersama, yakni kedaulatan negara.
Poppy menerangkan, sejak 1932, Bung Karno sudah merumuskan sosiodemokrasi. Sistem ekonomi Pancasila yang dirumuskan Bung Karno mengakui hak individu sebagai penggerak ekonomi. Bung Karno juga menegaskan adanya toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan, penguasaan sumber daya strategis oleh negara, dan demokrasi ekonomi yang mengakui kekuatan serta potensi lokal. Bung Karno juga menggarisbawahi peran aktif negara dalam pembangunan dalam strategi dan kebijakan.
”Pancasila adalah solusi melawan globalisasi. Tidak anti pasar tetapi ada prinsip bangsa dalam berekonomi. Namun, Indonesia saat ini praktis berjalan tanpa ideologi,” ujar Poppy.
Terjebak formalisme
Menurut dia, Pancasila semasa Orde Baru dirusak karena terjebak pada formalisme peperti penataran, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan pertama Orde Baru lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang menggadaikan Indonesia kepada pemodal dan negara asing.
Semasa reformasi, Poppy mengingatkan, tidak ada yang mampu mendefinisikan ideologi ekonomi Indonesia. Secara nasionalisme ekonomi, lebih dari 90 persen dari 120 kontrak pertambangan strategis dikuasai asing dengan konsesi 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Dunia perbankan mencatat 6 dari 10 bank terbesar adalah bank asing.
Yang paling memprihatinkan, ujar Poppy, adalah daya beli rakyat kecil Indonesia dari tahun 1996 sebesar Rp 587.400 naik menjadi Rp 628.300. ”Kenaikan daya beli hanya sebesar Rp 40.000 dalam kurun 12 tahun. Sungguh tragis,” kata Poppy.
Tingkat pendidikan masyarakat dalam ekonomi yang meninggalkan ideologi sosialis Pancasila menghasilkan peningkatan kualitas tingkat pendidikan masyarakat di tahun 1996 di kelas V SD (enam tahun pendidikan dasar) naik dua tahun saja pada 2008. Setelah 12 tahun, ujar Poppy, tingkat pendidikan dasar masyarakat baru sampai di SMP kelas I saja.
Saat ini, 55,43 persen rakyat Indonesia tercatat hanya lulusan SD dan hanya 4,24 persen yang lulusan perguruan tinggi.
Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae mengingatkan pentingnya kembali ke perumusan Pancasila saat Bung Karno dibuang di Flores. ”Bung Karno berhasil merumuskan gagasan dan kritik atas Islam, Marxisme, dan Sosialisme. Bung Karno hanya bisa bergaul dengan lapis bawah masyarakat di Ende. Dia dilarang bergaul dengan masyarakat atas yang berpendidikan Eropa. Dalam kondisi itu, Bung Karno mengampanyekan Indonesia merdeka lewat kelompok tonil dan mengingatkan betapa buruh bisa menjadi tuan atas dunia politik tetapi menjadi budak sistem ekonomi.
Direktur Megawati Institute Arif Budimanta mengatakan, produk undang-undang pasca-1998 yang didikte IMF dan World Bank harus dirombak. Semua UU yang dibuat semasa Indonesia dikendalikan IMF dan World Bank membuka jalan bagi liberalisasi dan penjajahan ekonomi.
Pengamat politik Yudi Latif mengingatkan, sosok Soekarno sebagai sosialis yang jarang dibahas di Indonesia. Soekarno menggagas demokrasi yang benar adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial.
”Dunia mengalami Imperium Hispanica (Spanyol-Portugal) yang berkuasa secara ekonomi, Pax Neerlandica dengan Belanda menjadi pusat kekayaan Eropa abad ke-19, Pax Americana pada abad ke-20, dan saat ini era Pax Consortis yang dimotori negara G-20. Indonesia sebagai bagian G-20 harus memanfaatkan kesempatan ini,” kata Yudi.
Gagasan Soekarno tidak membiarkan mekanisme pasar liberal berkuasa. Marhaenisme yang digagas Soekarno adalah kesejahteraan yang tidak membiarkan kaum kapitalis merajalela. Prinsipnya semua orang cukup makan, pakaian, hidup dalam kesejahteraan, dan demokrasi parlemen tidak dikuasai kaum kapitalis.
Sekarang? Kita bisa merasakan dan berkaca. (Iwan Santosa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar