Sabtu, 21 Januari 2012

Komite: Kejaksaan Harus Tindak Pelaku Rawagede (+ Komentar MD Kartaprawira)


                                                                               ==========

Komite: Kejaksaan Harus Tindak Pelaku Rawagede (+ Komentar MD Kartaprawira)

Diterbitkan 19 Januari 2012 - 10:40am
HEEMSKERK (ANP) - Yayasan Komite Hutang Kehormatan Belanda (De Stichting Comité Nederlandse Ereschulden) dalam suratnya meminta Kejaksaaan Belanda mengambil tindakan terhadap para tentara yang terlibat dalam pembantaian berdarah di desa Rawagede tahun 1947. Demikian pernyataan yang dikeluarkan Rabu malam (18/01).
"Inti pernyataan adalah jaksa penuntut umum harus mengambil tindakan. Mereka selalu menggunakan argumen bahwa tak ada tuntutan yang diajukan. Nah ini yang kita lakukan sekarang,'' kata Jeffrey Pondaag, presiden yayasan.
Pondaag mengacu terhadap kesaksian dalam dua siaran televisi baru-baru ini. Siaran TV membahas tidak hanya tentang pembantaian 9 Desember saja, tetapi juga insiden lain dengan eksekusi 120 orang. Sebelumnya, pengacara Liesbeth Zegveld, yang mewakili sepuluh korban pembantaian, mengatakan Kejaksaan harus melakukan penelitian atas eksekusi. Kejaksaan mengatakan akan meninjau kasus, namun terus tertunda.
Meninjau Tuntutan
Menurut Pondaag, pihak Kejaksaan di Arnhem sudah mengatakan akan mempelajari surat tuntutan dan mengambil langkah lebih lanjut.
Desember 2011 pemerintah Belanda mengajukan permintaan maaf atas pembantaian yang dilakukan tentara Belanda 9 Desember 1947 di Rawagede. Ratusan pria tewas. Sebuah penyelidikan PBB menyebut aksi militer Belanda itu sebagai tindakan 'yang disengaja dan kejam.' Para prajurit Belanda yang bertanggung jawab tidak pernah dituntut.
Permintaan maaf adalah bagian dari penyelesaian kasus antara negara Belanda dengan keluarga korban. Para janda korban diberi kompensasi sebesar 20 ribu euro per orang.
                     

1 komentar: 

  1. IBJan 21, 2012 05:13 AM  KOMENTAR MD Kartaprawira
    Memang pembantaian di Rawagede oleh tentara Belanda pada tahun 1947 adalah jelas tindak kriminal yang sangat kejam baik dalam kategori kejahatan perang, maupun kejahatan kemanusiaan. Di era bersemaraknya dan gencarnya tuntutan pelaksanaan norma-norma hukum hak asasi manusia di dunia dewasa ini, tidak mungkin orang akan mengatakan bahwa tindakan tentara Belanda di Rawagede th 1947 yang membantai 431 penduduk bukan kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan. Dan kasus tersebut tidak sekedar kasus perdata (apalagi hanya bagi 10 orang korban dari keseluruhan 431 korban), tapi kasus pidana besar yang penyelesaiannya setarap dengan kasus kejahatan perang di Yugoslavia pasca runtuhnya negara-negara sosialis di Eropa.

    Persoalannya sekarang kasus Rawagede tersebut akan ditangani secara serius oleh penegak hukum Negeri Belanda dan Republik Indonesia atau tidak. Sebab kasus tersebut menyangkut kompetensi dan yurisdiksi ke dua negara bersangkutan. Misalnya, tidak mungkin jaksa Belanda mengadakan penyelidikan begitu saja datang ke Indonesia tanpa kerjasama dengan Indonesia.
    Sesungguhnya yang sangat berkepentingan atas penyelesaian kasus Rawagede (pidana/perdata) adalah pihak Indonesia. Tetapi kenyaataannya sampai berlalu 64 tahun penguasa Indonesia tetap membisu seribu kata.

    Bagaimana pun sulitnya proses penyelesaian kasus pidana "Pembantaian di Rawagede 1947", tapi kalau sudah berhasil diajukan ke Kejaksaan Belanda, dapat dikatakan satu langkah bagus. Sebagai masukan kritis bagi Yayasan Komite Hutang Kehormatan Belanda (De Stichting Comité Nederlandse Ereschulden) berkaitan dengan suratnya yang ditujukan ke kejaksaan Belanda, menurut pendapat saya dalam pembantaian di Rawagede tersebut yang bertanggung jawab adalah perwira (opsir) kesatuan yang memerintahkan eksekusi/pembantaian, bukannya para prajurit. Sebab mereka hanya menjalankan perintah atasan. Kita tahu bahwa dalam kemiliteran disiplin sangat keras dan ketat. Maka kesalahan formulasi dalam proses hukum akan bisa berakibat fatal. Jadi, membuat formulasi tidak boleh sembarangan.

    Dimunculkannya kasus pidana tentang "Pembantaian di Rawagede 1947" mempunyai arti positif sekali. Sebab dengan demikian publik di Belanda dan Indonesia akan terbuka matanya, bahwa kejahatan kemanusiaan ternyata telah pernah dilakukan oleh bangsa Belanda yang menganggap punya sivilisasi dan budaya tinggi. Dan publik di Indonesia akan terbuka matanya bahwa penguasa negara tidak punya kepedulian sedikit pun atas kasus pembantaian di Rawagede (juga di Sulawesi Selatan oleh Westerling, dan di daerah-daerah lainnya) yang telah mengorbankan dan menyengsarakan ratusan penduduk.

    Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan!!!

    MD Kartaprawira
    (Ketum Lembaga Pembela Korban 1965)
    Nederland, 21 Januari 2012
    BalasHapus

Kamis, 19 Januari 2012

Zaman Bersiap Pemicu Peristiwa Rawagede


 
Indisch Monument
Avatar Yunita Rovroy
Hilversum, Belanda
Hilversum, Belanda

Zaman Bersiap Pemicu Peristiwa Rawagede

Diterbitkan : 19 Januari 2012 - 12:45pm | Oleh yunita rovroy (Foto: JAGO/Wikimedia)
Diarsip dalam:
“Kekerasan yang terjadi pada zaman Bersiap memicu kekerasan di Rawagede,” ungkap Sjef Franken dari organisasi veteran Belanda VOMI, menanggapi tuntutan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) agar Kejaksaan Belanda menyelidiki pelaku pembantaian di desa yang kini bernama Balongsari itu.
K.U.K.B. berharap Kejaksaan Belanda menyelidiki kesaksian pelaku kasus Rawagede yang ditayangkan televisi Belanda tahun silam. “Ada seorang militer yang mengatakan dia membunuh warga desa tapi tidak menyesal. Kemudian ada yang menyatakan mengeksekusi 120 orang,” kata Jeffry Pondaag, Ketua K.U.K.B.
Aneh
Setelah acara ini ditayangkan di televisi Belanda, pihak Kejaksaan menyatakan tidak menyelidiki kasus ini karena tidak ada yang melaporkan. “Kami merasa agak aneh. Kan jaksa sebenarnya harus menyelidiki apa yang terjadi,” tutur Jeffry Pondaag kepada Radio Nederland.
Ketua K.U.K.B. pernah mendengar masih ada delapan pelaku kasus Rawagede 9 Desember 1947, yang masih hidup. Walaupun demikian, ia juga mengakui tidak punya bukti akan hal itu. “Belum tentu delapan orang itu yang menembak. Itu harus dibuktikan dulu. Itu pekerjaan Jaksa untuk menyelidiki.”
Tidak tepat
Langkah yang diambil K.U.K.B., menurut Sjef Franken dari organisasi veteran Belanda VOMI, tidak tepat. “Semua pelanggaran HAM yang terjadi zaman itu ada penyebabnya. Siapa yang harus diminta pertanggungjawaban setelah sekian lama? Ini hanya upaya mengejar untung saja.”
Pembunuhan di Rawagede memang tidak bisa dibenarkan. Tapi orang juga tidak boleh melupakan apa yang terjadi pada zaman Bersiap, mulai 17 Agustus 1945 hingga awal 1946.
“Setelah tahun 1945 angkatan bersenjata Indonesia dan kelompok-kelompok gerilyawan membunuh secara massal setiap orang Belanda yang mereka temukan, apakah itu perempuan, laki-laki atau anak-anak. Itu pun tidak bisa dibenarkan,” tutur Franken kepada Radio Nederland.
Menurutnya, satu peristiwa terkait dengan peristiwa lain. “Ada aksi dan reaksi.”
Permintaan maaf Belanda
Sjef Franken juga mengkritik permintaan maaf Belanda 9 Desember 1947 kepada para keluarga korban kasus Rawagede. “Saya tidak setuju.”
Menurut Franken pemerintah Indonesia pun harus meminta maaf atas kekerasan yang dilakukan pada zaman Bersiap.
Sementara itu pihak Kejaksaan Belanda di Arnhem, Belanda tengah, telah memberikan tanggapan dan menyatakan akan mempelajari permohonan K.U.K.B.

Diskusi

indonesia van eropa 19 Januari 2012 - 6:45pm / traveller
Kita harus tahu masalah basis mengapa hal itu terjadi. Belanda mau membuat usaha di negeri orang tetapi melakukan beberapa pembunuhan terhadap orang lokal. Itu terjadi diseluruh dunia oleh bangsa eropa baik di amerika, australia. Peristiwa itu sangat menyakitkan karena orang asli dibunuh, diperbudak, diperkosa, dirampas hak mereka. Dan peristiwa itu terjadi ratusan tahun. Setelah 1945 indonesia mereka mau kembali lagi untuk melanjutkan peristiwa diatas. Pada saat yang sama orang belanda mengatakan mereka mau mengambil hak-hak mereka kembali yang ada di Indonesia. Padahal mereka harus mengerti pada saat itu bangsa Indonesia mau meminta hak-hak mereka kembali yang sudah dirampas ratusan tahun. Tentu akan ada pertengkaran diantara mereka. Revolusi itu terjadi karena ada hak-hak yang mau diminta. Alangkah klise jika orang belanda pada waktu itu mengatakan tanah disana milik mereka. Orang belanda tidak menerima kenyataan dan meminta bantuan dari negerinya dan eropa untuk merampas kembali tanah yang pernah mereka kuasai. Apa mungkin Indonesia akan memberikan kembali ? Itu berarti memasukan penjajahan kembali. Lawan terdekat pada itu adalah orang belanda yang ada disana sebelum tentara datang. Maka logislah mereka akan menjadi sasaran pertama oleh rakyat Indonesia. Dan mereka tidak mau pergi disaat kenyataan bahwa si empunya tanah meminta hak-hak mereka. !!!(Sekarang juga terjadi di Indonesia antara pengusaha dengan orang asli). Karena dasar mereka itu sudah terbiasa mengambil hak-hak orang sehingga mereka lupa bahwa ada akibat dari perbuatan itu. Mereka harus menerima secara langsung kemerdekaan iIndonesia 17 agustus 1945 itu adalah hari pengambil alihan hak-hak rakyat. Tetapi belanda tidak menerimanya dan masih berusaha untuk menjajah kembali. Kontek disini adalah ingin merampok kembali karena adanya banyak keuntungan disana dimana secara logisnya itu bukan hak orang belanda. Jika system yang sama mereka pertahankan , mengapa tidak tanah orang Jerman, Skandinavia yang harus mereka kuasai.??? Jika kita coba bandingkan cerita ini maka si lemah akan selalu dikuasai sikuat. Begitulah aku rasa cara orang belanda yang masih ingin memutar balikkan cerita diatas dengan menyuruh Indonesia minta maaf. Di belanda saja pada saat ini dengan apa yang dilakukan oleh Wilders mempunyai cara yang sama yaitu mengusir orang asing dari tanah belanda.
                                                                                    ==========

Komite: Kejaksaan Harus Tindak Pelaku Rawagede

Diterbitkan 19 Januari 2012 - 10:40am
HEEMSKERK (ANP) - Yayasan Komite Hutang Kehormatan Belanda (De Stichting Comité Nederlandse Ereschulden) dalam suratnya meminta Kejaksaaan Belanda mengambil tindakan terhadap para tentara yang terlibat dalam pembantaian berdarah di desa Rawagede tahun 1947. Demikian pernyataan yang dikeluarkan Rabu malam (18/01).
"Inti pernyataan adalah jaksa penuntut umum harus mengambil tindakan. Mereka selalu menggunakan argumen bahwa tak ada tuntutan yang diajukan. Nah ini yang kita lakukan sekarang,'' kata Jeffrey Pondaag, presiden yayasan.
Pondaag mengacu terhadap kesaksian dalam dua siaran televisi baru-baru ini. Siaran TV membahas tidak hanya tentang pembantaian 9 Desember saja, tetapi juga insiden lain dengan eksekusi 120 orang. Sebelumnya, pengacara Liesbeth Zegveld, yang mewakili sepuluh korban pembantaian, mengatakan Kejaksaan harus melakukan penelitian atas eksekusi. Kejaksaan mengatakan akan meninjau kasus, namun terus tertunda.
Meninjau Tuntutan
Menurut Pondaag, pihak Kejaksaan di Arnhem sudah mengatakan akan mempelajari surat tuntutan dan mengambil langkah lebih lanjut.
Desember 2011 pemerintah Belanda mengajukan permintaan maaf atas pembantaian yang dilakukan tentara Belanda 9 Desember 1947 di Rawagede. Ratusan pria tewas. Sebuah penyelidikan PBB menyebut aksi militer Belanda itu sebagai tindakan 'yang disengaja dan kejam.' Para prajurit Belanda yang bertanggung jawab tidak pernah dituntut.
Permintaan maaf adalah bagian dari penyelesaian kasus antara negara Belanda dengan keluarga korban. Para janda korban diberi kompensasi sebesar 20 ribu euro per orang.
                     

Tokoh nasional minta Presiden mampu selesaikan masalah


Tokoh nasional minta Presiden mampu selesaikan masalah

Kamis, 19 Januari 2012 21:14 WIB | 858 Views

Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah tokoh nasional meminta Presiden mampu menyelesaikan berbagai masalah bangsa sehingga dapat menjadi teladan.

"Pemimpin hendaknya menjadi teladan," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang menyimpulkan hasil diskusi Silaturahmi Tokoh Bangsa ke-3 bertema "Problematika Bangsa dan Solusinya" di Jakarta, Kamis.

Turut hadir pada acara itu mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua Partai Hanura Wiranto, mantan Ketua MK Jimly Ashhiddiqie, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia Martinus Situmorang, tokoh agama Frans Magnis Suseno, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, politisi Nasdem Harry Tanoe, aktivis senior Harry Tjan, serta mantan menteri Fahmi Idris.

Sementara itu, Jusuf Kalla mengatakan semua permasalahan bangsa tentunya dapat diatasi. "Tidak ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan," kata Kalla.

"Rakyat bisa marah jika harapannya tidak tercapai. Intinya bagaimana keadilan itu tercapai. Tidak harus sama-sama senang, bisa saja sama-sama susah," katanya.

Senada dengan Kalla, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung, juga mempertanyakan penyebab konflik yang terjadi di Indonesia belakangan ini.

"Masih ada sikap yang belum menghormati kemajemukan, padahal hal itu merupakan salah satu dari empat pilar bangsa," kata Akbar.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto mengatakan keteladanan pemimpin bisa ditunjukkan dengan pemisahan kepentingan partai dan rakyat dalam roda pemerintahan.

"Jika hal itu dilakukan dan diikuti oleh pejabat negara lain di berbagai tingkatan, maka banyak kepentingan rakyat yang akan terselamatkan," katanya.
(T.P012/U002)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2012

Perubahan Strategi Umum AS dan RRT di Asia Pasifik
dan Sikap Indonesia

 Pertarungan AS dan RRT di Asia Pasifik.

               Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012 telah mengumumkan Strategi Baru AS abad ke-21, diantaranya :  merampingkan angkatan bersenjata AS sehingga dapat mengurangi anggaran belanja militer, menitik-beratkan hubungan politik, militer dan ekonomi dengan kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi motor penggerak ekonomi dunia. Oleh karena itu, AS akan mengubah cara mencapai tujuannya dengan apa yang disebut “smart power” yang memadukan “soft power” dengan “hard power”. Strategi baru ini merupakan penyesuaian terhadap strategi luar negeri AS sebelumnya yang dikenal juga dikenal sebagai “Dokrin Bush” yang menekankan “hak AS melakukan penghacuran terhadap sumber bahaya yang mungkin datang mengancam rakyat dan kepentingan Amerika.”
               Hal yang menimbulkan kekuatiran Republik Rayat Tiongkok (RRT) adalah rencana AS memperkuat kehadiran di Asia-Pasifik dan tidak akan mengurangi anggaran belanja militer AS di kawasan tersebut. Sebagai bagian dari pelaksanaan strategi baru ini, Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk menempatkan 2.500 pasukan marinir di Darwin, Australia dan disana akan dibangun tempat pelatihan militer AS.  Panglima Operasi Angkatan Laut AS, Laksamana Jonathan Greenert menambahkan bahwa “Kami berencana menempatkan beberapa kapal tempur pantai (littoral combat ship-LCS) di fasilitas angkatan laut Singapura. Semua ini merupakan bagian dari strategi keseluruhan Amerika Serikat di Asia Pasifik yang baru-baru ini diumumkan oleh presiden AS Obama.
Kantor Berita Pemerintah RRT, Xin Hua, tanggal 10 Januari 2012 menulis : ….fokus AS yang kembali ke Asia Pasifik telah membawa pengaruh paling mendalam. ….. Atau dengan kata lain, AS berusaha mewujudkan keseimbangan dalam pertarungan dengan Tiongkok di kawasan Asia Pasifik, dengan titik beratnya mencegah keseimbangan strategis kawasan semakin condong ke Tiongkok, agar AS jangan sampai tersisih dari kawasan ini. AS melaksanakan strategi baru di Asia Pasifik dengan mengutamakan smart power dan menggunakan perselisihan Tiongkok dengan negara-negara sekitarnya. Dalam kondisi itu, negara-negara lainnya berusaha melakukan keseimbangan diplomatik di tengah pertarungan Tiongkok dan AS. Mereka juga khawatir menimbulkan kemarahan Tiongkok kalau memihak AS, sehingga tidak bisa berbagi keuntungan perkembangan ekonomi Tiongkok. Ini menunjukkan lingkungan sekitar Tiongkok masih belum memburuk sepenuhnya,.... “.
CRI (China Radio International) tanggal 13 Januari 2012 yang lalu menyiarkan bahwa tujuan utama pengalihan titik berat strategi AS ke kawasan Asia-Pasifik adalah untuk mengekang Tiongkok melalui " pengekangan lunak.”  Berkenaan dengan itu, Tiongkok perlu melawannya dengan " pengekangan lunak” juga.
Selanjutnya mengenai strategi apa yang akan diambil RRT menghadapi strategi baru AS tersebut, Xin Hua menulis “Tiongkok perlu memasukkan Asia Barat dalam lingkungan eksternal, merumuskan strategi dengan mempertimbangkan perpaduan kondisi laut dan darat, barat dan timur, selatan dan utara, khususnya mempertimbangkan kekuatan AS, Rusia, Jepang, India, Australia dan lain-lain dalam tatanan yang sama. Tiongkok hendaknya menggunakan kekuatannya di bidang ekonomi, militer dan diplomasi secara terpadu untuk menghadapi krisis, mendorong terbentuknya kerangka interaksi positif antara Tiongkok, AS, dan negara-negara di sekitar Tiongkok.” 




Bagaimana Sikap Indonesia Menghadapi Perubahan Lingkungan Sekitar ini ?

            Politik luar negeri bebas aktif pemerintah RI telah memainkan peranan penting dalam usaha mencapai pengakuan kemerdekaan tahun 1949, pembentukan kekuatan Non-Blok dan perjuangan pembebasan Irian Barat awal tahun 60-an. Sayang politik luarnegeri bebas aktif ini telah diselewengkan oleh pemerintah Orde Baru Suharto.
               Politik luar negeri bebas aktif tersebut terbentuk pada masa perjuangan kemerdekaan sebagai jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan kaum kiri yang meminta kepada pemerintah RI agar menyatakan Indonesia berdiri di blok Uni Sovyet. Dalam menjelaskan politik pemerintah RI ketika itu, perdana menteri Hatta mengatakan bahwa “…..dasar politik pemerintah dapat dibulatkan sebagai berikut :  Pemerintah berpendapat pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” (Hatta: “Jawaban Pemerintah Kepada BP KNIP”, 16 September 1948).
               Ada 2 alasan yang menjadi dasar politik bebas aktif RI yaitu: (1) tujuan perjuangan bangsa Indonesia; dan(2) memelihara kebebasan sebagai subjek, jangan sampai menjadi objek kekuatan asing. Tujuan yang harus menjadi landasan kebijakan dalam dan luar negeri RI telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
* melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
* memajukan kesejahteraan umum;
* mencerdaskan kehidupan bangsa dan
* ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
   keadilan sosial.
Yang menarik adalah munculnya ide “a Million Friends, Zero Enemies” yang menjadi visi politik luar negeri presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan ada pula yang menyebutnya  sebagai pembaruan penafsiran dari prinsip “diplomasi bebas aktif”.  Kali ini kita tidak akan membahasnya lebih jauh, cukup hanya melihat praktek kebijakan luar negeri SBY saja.
SBY membiarkan pencaplokan  wilayah perbatasan RI oleh Malaysia demi menciptakan “zero enemies”. Karenanya kita kehilangan wilayah tanah air yang seharusnya kita bela dengan sekuat tenaga. Membela seluruh tumpah darah Indonesia adalah kewajiban sakral kita sebagai bangsa berdaulat! Terhadap rencana Amerika Serikat menempatkan 2500 marinir  AS di Darwin Australia, demi menciptakan “zero enemies” SBY  hanya mengamini saja apa yang disampaikan oleh presiden AS Obama dan perdana menteri Australia Julia Gillard: ..” bahwa hal itu (maksudnya : penempatan marinir AS) dilakukan hanya untuk keperluan pelatihan militer serta untuk menghadapi ancaman non tradisional, seperti bencana. Bahwa tidak ada niatan apapun untuk mengganggu negara-negara di luar Australia. Tidak ada niat untuk mengganggu siapapun," kata SBY kepada pers di Bali, Sabtu 19/11/2011 yang lalu. Lebih jauh SBY membela kebijakan AS tersebut dengan mengatakan , baik Amerika maupun Australia juga memiliki peran untuk menjaga stabilitas kawasan.” 
RI mempunyai pengalaman buruk dengan AS. Ketika pemerintah RI yang dipimpin oleh presiden Sukarno tidak mau mengikuti komando AS, Amerika menggunakan pangkalan militernya di Filipina guna melatih anggota-anggota militer PRRI/Permesta, mengirimkan senjata ke Permesta di Sulawesi Utara dan PRRI di Sumatera Barat guna menumbangkan pemerintah RI yang sah. Bukankah sejarah dapat terulang lagi dengan adanya pangkalan AS di Darwin, bila pemerintah RI tidak bersedia mengikuti strategi baru AS di Asia Pasifik dalam membendung pengaruh RRT ? Apakah RI bersedia menjadi objek/pion AS di Asia Pasifik ? Sesuatu yang pasti akan ditentang oleh rakyat Indonesia !
Berbeda dengan visi luar negeri SBY, menteri luar negeri RI Marty Natalegawa menafsirkan politik bebas aktif Indonesia dengan apa yang disebut “dynamic  equilibrium.”. “Keseimbangan dinamis” berbagai kekuatan disatu kawasan, tidak sama dengan seluruh kebijakan politik luar negeri “bebas aktif” Indonesia. Ia hanya dapat dipandang sebagai satu keinginan tentang bagaimana persaingan berbagai kekuatan disuatu kawasan dikelola agar tidak berubah menjadi konflik terbuka yang menjurus ke peperangan. “Keseimbangan dinamis” dapat kita perjuangkan, tetapi apakah dapat dipertahankan dalam jangka panjang, lebih banyak tergantung kepada perimbangan kekuatan besar di suatu kawasan. Situasi ketidak-seimbangan --- keseimbangan --- ketidak-seimbangan baru, akan selalu ada dalam kenyataan. Walaupun demikian, dilihat dari reaksi Marty terhadap penempatan pasukan AS di Darwin,  ia berbeda dengan SBY. Bila SBY menerima saja penjelasan AS, Marty menganggap hal itu dapat menimbulkan “a vicious circle or tensions and mistrust or distrust” (lingkaran setan berupa ketegangan dan kecurigaan atau  ketidakpercayaan) dikawasan Asia Pasifik. Marty ada keberanian menyatakan sikapnya secara terbuka terhadap kebijakan AS.
Baik dokrin luar negeri SBY “a million friends, zero enemies” maupun dokrin luar negeri Marty “dynamic equilibrium” berpusat kepada “penciptaan suatu kondisi lingkungan ekternal” Indonesia. Tidak tergambar apa yang menjadi tujuan perjuangan bangsa Indonesia. Sebaliknya dokrin politik luar negeri “bebas aktif” seperti yang diuraikan Hatta mencakup dua isi, yaitu : tujuan perjuangan bangsa serta menjaga kebebasan kita dalam setiap usaha mencapai tujuan tersebut.
Kita hendaknya meninggalkan dokrin luar negeri “a million friends, zero enemies” yang telah membuat Indonesia menjadi “the good boy” yang penurut terhadap kebijakan AS ! Kita dapat menggunakan kebijakan Marty “dynamic equilibrium” sebagai salah satu usaha menciptakan lingkungan sekitar kita, tetapi bukan menjadikannya sebagai suatu dokrin kebijakan luarnegeri kita secara keseluruhan. Dokrin kebijakan luarnegeri RI tetap harus bebas aktif ! 
Menjalankan “politik bebas aktif” berarti membina hubungan baik dengan semua negara termasuk dengan negara-negara besar yang bertarung di Asia Pasifik. Tidak terjerumus kedalam keberpihakkan pada salah satu negara besar yang berebut pengaruh, menentang pemaksaan kehendak negara-negara besar kepada Indonesia, pandai menjaga keseimbangan kekuatan negara-negara besar yang bertarung disekitarnya demi mempertahankan eksistensi, kebebasan, kedaulatan, dan kemandirian bangsa demi kemajuan Indonesia.

Amsterdam, 18 Januari 2012
Burhan Azis
Ketua Korwil PDIP di Negeri Belanda

Jumat, 13 Januari 2012

Kepada YTH Dr. Susilo Bambang Yudhoyono - Presiden RI

Bogor, 13.01.2012

Kepada YTH 
Dr. Susilo Bambang Yudhoyono - Presiden RI, 
di Jakarta

Semoga surat elektronik ini menjumpai anda dalam keadaan sehat, dan tidak sedang dirundung resah dengan keadaan negeri ini, seperti saya sedang resah oleh karenanya.

YTH Presiden RI, pekan-pekan ini negeri ini menyaksikan gejolak gerakan anarkhis yang tak terhitung jumlahnya di desa-desa dan aras bawah lapisan sosial negeri ini. Sekiranya anda dulu saat belajar di IPB sempat mempelajari ilmu-ilmu sosiologi pedesaan, maka anda akan segera paham bahwa akar persoalan itu sesungguhnya bukan kekerasan biasa. Gejolak ini berakar kuat pada krisis pedesaan di pelosok-pelosok negeri yang bertali-temali dengan krisis penguasaan sumber-sumber penghidupan (tanah, air, hutan, dsb). Sayangnya, waktu terlalu cepat dan anda tidak sempat berkenalan dengan sosiologi pedesaan. Dengan ini, hendak dikatakan bahwa krisis yang terjadi bukanlah krisis ekonomi biasa, tetapi krisis itu berkaitan erat dengan suasana kebatinan sosiologis rakyat Indonesia di pedesaan yang penghidupannya merasa terancam. 

Krisis pedesaan itu sebenarnya bertali-temali dengan krisis kependudukan dan krisis ekologi yang menambah warna krisis pedesaan semakin kelam. Dalam suasana krisis yang kelam tersebut, rakyat menghadapi jalan buntu kemana mereka hendak memastikan jaminan hak-hak hidup mereka. Jalan buntu yang lebih membuat frustrasi adalah tak ada jalan kemana mereka mengadu, karena negara [dengan seluruh perangkatnya] menjadi terlalu asing bagi mereka. Negara menjadi asing karena negara lebih suka mendengar bukan suara orang-orang desa, melainkan suara lain dari pihak yang selama ini berseberangan dengan orang-orang desa (suara pemodal yang berselingkuh dengan para rent-seeker negeri ini).

YTH Presiden RI, bila rakyat menjadikan anarkhisme dan radikalisme sebagai habitus/cara-hidup (terlebih dibumbui dengan kekerasan dan perilaku kriminal) seperti yang mereka tunjukkan hari-hari ini pada laporan media TV-TV nasional, itu tentu bukanlah sifat orang-orang negeri ini yang sebenar-benarnya yang dikenal santun dan penuh harmoni. Kekerasan dan anarkhi juga bukan cita-cita moral para founding fathers kita tatkala mereka menyusun Pembukaan UUD 1945 yang masih kita junjung tinggi bersama. 

Namun, kekerasan demi kekerasan yang mereka tunjukkan adalah sekedar reaksi atas kekerasan demi kekerasan yang menghampiri mereka setiap hari, yang telah dilakukan oleh pihak lain yang seharusnya justru melindungi mereka. Kekerasan oleh rakyat menjadi absah, karena negara mendahului melakukan kekerasan dan anarkhisme melalui keputusan-keputusan yang menekan orang-orang desa. Eksklusi yang menyebabkan eliminasi sumber-sumber penghidupan orang desa (betapapun lemahnya legitimasi mereka berada di suatu kawasan) tak pernah dicarikan solusi hukum yang memadai. Bahkan keputusan hukum semakin meminggirkan mereka. Sesungguhnya mereka (orang-orang desa itu) hanya ingin bisa hidup cukup, tak berlebihan.

YTH Presiden RI, kita boleh berbeda pendapat, tetapi saya memandang bahwa negara telah lebih dahulu melakukan kekerasan bergelombang dari waktu ke waktu yang sistemik dan sistematis melalui Undang-Undang sektoral yang banyak melukai hati anak-anak negeri ini [sebut saja UU investasi, UU Perkebunan, UU Minerba, UU sumberdaya air dsb] dan keputusaan-keputusan regulatif turunannya yang muaranya adalah pemberian legitimasi dan hak-hak khusus kepada sektor swasta (kapitalis) yang sudah lama dikenal sebagai pihak yang sering berseberangan dengan orang desa (petani, nelayan, dan pelaku ekonomi kecil). Saya menyebut kekerasan negara yang dilegitimasi oleh UU (undang-undang) dan regulasi turunan (yang sering dihasilkan secara konspiratif-terselubung oleh para pihak kepentingan ekonomki-kapital) sebagai pemicu penting kekerasan oleh rakyat yang saat ini berlangsung di negeri ini.

YTH Presiden RI, mohon anda memahami pandangan saya bahwa sektor swasta-kapitalis (terutama skala raksasa dan trans-national corporation) sebagai "anak-emas" negeri ini telah juga lebih dahulu melakukan kekerasan dengan mengakumulasi material berlebihan dari tanah air akibat pengagungan etika-etika moral yang sebenarnya kurang cocok bagi negeri penuh harmoni ini. Moral ekonomi berintikan etika yang dibangun sektor kapitalis adalah maksimisasi profit, akumulasi modal, ekspansi usaha (tak peduli meminggirkan ekonomi rakyat kecil yang telah ada lebih dahulu ada ataupun menghancurkan lingkungan hidup) tanpa pandang bulu, pengagungan terhadap individualisme dan greediness. Keangkuhan serta ketamakan para kapitalis dalam menguasai sumberdaya alam dan merusakkan materi-materi yang ada di negeri ini (kehancuran hutan dan masyarakat di dalamnya oleh ekspansi modal adalah salah satu contohnya) adalah kekerasan yang nyata dan tidak terbantahkan.

YTH Presiden RI, dengan demikian saya menyebut situasi krisis di Indonesia tercinta yang terjadi hari-hari ini adalah KEKERASAN NEGARA, KEKERASAN KAPITALIS, dan KEKERASAN RAKYAT yang bersatu padu mewarnai peradaban negeri yang katanya dipenuhi oleh rasa kasih-sayang ini. Hulu dari segala kekerasan itu sebenarnya sangat sederhana, karena kekerasan-kekerasan itu adalah cara untuk mendapatkan sejumput kesempatan bertahan hidup di negeri ini, secara wajar. Namun kewajaran itu tak pernah tercapai, maka KEBERTAHANAN HIDUP HARUS DIREBUT DENGAN CARA KEKERASAN nan SADISTIS yang dilakukan baik oleh NEGARA, SWASTA maupun kini oleh RAKYAT. Sebuah situasi yang sangat mengenaskan bila hal ini terjadi di negeri ini.

YTH Presiden RI..marilah kita merenung, tidakkah situasi ini representasi sebuah PELURUHAN PERADABAN yang mengkhawatirkan bagi bumi-nusantara yang dikenal sangat beretika santun, penuh keadilan, dan tata-krama? Ataukah, anda melihat hal-hal ini sebagai kewajaran sehingga anda sekedar mengutus tim ini dan tim itu sekedar untuk "mengobati luka permukaan"? YTH Presiden RI, daku sangat berharap anda melakukan langkah konkrit mendasar dengan mengubah keadaan ini dari akar-akar persoalannya, bukan dari gejala yang tampak di permukaan saja. Daku sangat berharap anda menunjukkan keberpihakan kepada orang-orang desa dan rakyat kecil yang jumlahnya jauh lebih banyak dari segelintir pemodal di negeri ini.  

YTH Presiden RI, sebagai anak-bangsa, daku mengajak anda berpikir dan bertindak lebih nyata dan lebih dalam lagi untuk menyikapi persoalan krisis bangsa ini. Sengaja kutulis surat
elektronik ini dalam kalimat yang egaliter, bukan berarti daku tak menghormati anda. Daku menghormati anda sebagai presiden RI, karenanya kutulis surat ini kepada anda, bukan kepada yang lain, karena kutahu hanya Presiden RI yang bisa menangani ini semua. Surat elektronik ini kubuat dalam suasana kebatinan sebagai sesama anak bangsa yang memikirkan dan merasakan keresahan secara bersama-sama, dan prihatin kemana sebenarnya negeri ini akan dibawa. 

Marilah kita berpikir lebih adil dan seimbang, mari kita ciptakan kedamaian dan suasana kebatinan yang menyejukkan seluruh komponen anak bangsa. Semoga anda diberkahi kekuatan untuk bertindak lebih jauh bagi negeri ini oleh Allah SWT..amien.

Salam negeri tercinta,
Arya Hadi Dharmawan
Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB
Warga Negara RI - tinggal di Bogor Jawa Barat
 
Tembusan: kepada rakyat Indonesia melalui jaringan beberapa milis.

Senin, 02 Januari 2012

Merangkai Kembali Budaya Kemanusiaan


Merangkai Kembali Budaya Kemanusiaan
Penulis : Albertus Patty*  


(foto:dok/ist)
Rentetan kekerasan di negara ini terus berlanjut, seperti lupa kapan akan berhenti. Hukum menjadi macet. Komunikasi berhenti total. Kekerasan adalah bukti adanya “komunikasi bisu paling nyata,” kata Hannah Arendt.
Seperti semburan muntah, kekerasan meluah tak tertahan. Ia semakin melonjak kuantitas dan kualitasnya. Ironisnya, kekerasan dilantaskan bukan saja oleh sebagian warga, tetapi bahkan juga oleh aparat keamanan. 
Kekerasan pun, meminjam istilah Anthony Giddens, distrukturasikan. Kekerasan diproduksi terus-menerus. Ia menjadi sesuatu yang biasa saja. Ada banalitas kekerasan! Tidak jarang kekerasan dilegitimasi oleh agama dan dibiarkan oleh aparat.
Orang kehilangan sensitivitas, bangsa kehilangan kemanusiaan, negara mengalami kelumpuhan moralitas. Sementara itu, pemimpin seperti tidak tahu dan tidak mau tahu gejolak dahsyat di akar rumput. Bangsa ini “bagaikan tinggal di kampung tak bertuan,” kata Buya Syafii Maarif.
Lepas Kendali
Ada dua respons berbeda yang diperlihatkan aparat keamanan kita terhadap berbagai persoalan dan gejolak di Tanah Air ini. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini telah mengusik rasa kemanusiaan kita yaitu ketika aparat keamanan kita, yang digaji dari pajak rakyat, cukup tega melakukan kekerasan brutal terhadap rakyatnya sendiri.  
Brutalisme terhadap rakyat di Papua diikuti kekerasan di Mesuji, lalu diteruskan dengan kekejian yang sama  di Bima. Puluhan nyawa rakyat dikorbankan. Ratusan dan bahkan ribuan lainnya hidup dalam ketakutan yang mencekam. Betapa hebatkah ancaman dari para petani dan rakyat jelata sehingga aparat perlu menggunakan peluru tajam untuk menghentikan mereka? 
Meski kita tahu bahwa aparat keamanan pun manusia, tetapi dari rangkaian kekerasan yang sudah terjadi terlihat ada banalitas kekerasan aparat terhadap rakyatnya sendiri. Dialog digantikan dengan kekerasan! Rakyat pun menjadi ketakutan. Ironisnya, ketakutan itu bukan karena adanya ancaman bangsa asing, tetapi ketakutan terhadap aparat bangsanya sendiri.  
Negara telah memunculkan dirinya bukan dalam posisi sebagai pembela rakyat, tetapi sebagai penghancur rakyat dan bangsanya sendiri. Yang menarik, ketiga kasus di atas memiliki kesamaan, yaitu tampaknya kekerasan itu terjadi karena aparat lebih membela kepentingan pemodal daripada membela hak-hak rakyat dan warga bangsa ini. 
Kalau memang benar begitu, analisis yang pernah dikemukakan oleh Giddens benar bahwa pada zaman modern di mana kapitalisme makin merentangkan sayapnya ke segala penjuru, aparat dan negara akan lebih membela kepentingan kaum kapitalis dan pemodal karena kepentingan uang daripada membela kepentingan rakyatnya sendiri.  
Pada sisi lain, masih banyak orang yang tidak percaya bahwa virus brutalitas dan kekerasan itu telah menjadi pandemi yang menjangkiti sebagian masyarakat kita. Masyarakat menjadi pelaku aktif kekerasan, baik yang atas nama agama maupun yang bukan atas nama agama. 
Kekerasan antarkampus, antarsekolah, antarwarga kampung atau antarsuku makin ramai. Kekerasan atas nama agama terjadi di Cikeusik, Cikeuting, Lombok, Manislor, bahkan terhadap GKI Taman Yasmin, Bogor. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan betapa mandulnya hukum.
Pertanyaannya, di mana aparat ketika tindakan anarkistis itu berlangsung? Aparat keamanan ada, tetapi meresponsnya dengan cara yang janggal. Kali ini, oknum aparat seperti pengidap penyakit impotensi yang mengalami penyakit ketidakberdayaan.
Terjadilah politik pembiaran. Pelaku kekerasan bisa leluasa melakukan tindakan anarkistis terhadap sesama warga di depan batang hidung aparat keamanan. Tanpa takut, tanpa risih sedikit pun.  
Kedua peristiwa tersebut menunjukkan adanya situasi lepas kendali. Anarkisme menjadi satu-satunya bahasa komunikasi. Hukum dan konstitusi diinjak-injak. Sebagian warga menjadi brutal. Aparat orderless! Bukan saja tidak tahu lagi mana yang benar, tetapi yang salah bisa dibenarkan, yang benar disalahkan.
Situasi ini tampak, salah satunya, dalam kasus GKI Taman Yasmin. Wali Kota Bogor yang jelas melanggar hukum karena tidak mematuhi hukum dibela aparat, sementara umat GKI Taman Yasmin yang hak beribadahnya dilindungi oleh hukum dan konstitusi melalui keputusan Pengadilan Tinggi Negeri dan Mahkaman Agung justru dilarang melaksanakan ibadah Minggu. 
Kekacauan hukum menjadi kolektif ketika Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama terkesan mendukung Wali Kota Bogor. Giddens menyebut situasi di atas sebagai “Runaway World”, dunia yang berlarian tunggang langgang tanpa arah, kacau balau! 
Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor  “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali. 
Situasi lepas kendali yang terjadi di tengah bangsa ini adalah seperti kegelapan yang memunculkan kekacauan. 
Kita semua tidak boleh bersikap apatis, apalagi berputus asa menghadapi kekacauan ini. Apa yang kita butuhkan adalah membangun kembali solidaritas antarsesama. Bangunlah rasa saling percaya di antara warga dan ciptakan budaya politik yang egaliter dan emansipatoris yang mampu mengontrol kinerja aparat negara.  
Negara boleh gagal, tetapi bangsa tidak boleh gagal. Kita harus bangkit dan mulai bekerja sama merangkai dan merekatkan kembali serpihan budaya kemanusiaan yang selama ini dicampakkan. Semoga!
*Penulis adalah pendeta di Gereja Kristen Indonesia. 

Waspadai proses sistemik penghancuran bangsa


Waspadai proses sistemik penghancuran bangsa

Senin, 2 Januari 2012 08:53 WIB | 1682 Views


Politikus dari PDI Perjuangan, Dewi Aryani.
Jakarta (ANTARA News)  - Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dewi Aryani, meminta semua pihak selalu mewaspadai bentuk atau proses sistemik penghancuran bangsa yang bisa merugikan rakyat dan merapuhkan peran negara.

"Tahun 2012 memang baru berjalan satu hari, maka sebaiknya evaluasi-evaluasi tahun terdahulu menjadi pijakan penting untuk membuat langkah ke depan, termasuk mewaspadai gerakan-gerakan yang bisa menghancurkan bangsa melalui sistem yang sistemik," kata anggota DPR RI, Dewi Aryani, kepada ANTARA News, Jakarta, Senin pagi.

Di samping mewaspadai adanya proses sistemik yang akan menghancurkan negara ini, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu meminta pemerintah  membuat terobosan dan langkah-langkah yang bisa mengantisipasi sistem yang mencoba menghancurkan negeri ini.

Menurut Dewi, berbagai masalah bangsa yang terjadi hingga kini masih menjadi wacana perdebatan soal solusi. Pemerintah terkesan tidak sungguh-sungguh melakukan reformasi birokrasi sebagai bagian dari awal langkah membersihkan segala bentuk bad governance dan kembali kepada titah bangsa negara ini didirikan, yaitu menyejahterakan rakyat, dan melayani rakyat guna mengantisipasi sistem yang akan merusak bangsa ini.

Dewi yang juga anggota Komisi VII DPR RI itu memaparkan beberapa catatan yang merupakan bagian dari sistem untuk menghancurkan bangsa ini. Misalnya, terjadi pergeseran sila ketiga Pancasila, yakni terjadi perubahan sila ketiga itu menjadi otonomi daerah yang merupakan tahapan awal menuju negara federal.

Hal lain adalah pergeseran sila keempat Pancasila menjadi demokrasi liberal (one man one vote). Juga, sambung Dewi, saat ini lahir kartel elite politik sebagai wujud oligarki (pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu, red.).

"Masih banyak indikasi yang menunjukkan adanya sistem yang bisa menghancurkan bangsa, seperti Indonesia menjadi wilayah rebutan AS, Tiongkok, dan Uni Eropa," ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Dewi, ada pembagian wilayah atau tanah dan laut dalam bentuk "Kelompok Kerja Migas", KK Pertambangan, Hak Guna Usaha Perkebunan, HPH Hutan. Air tawar dikuasai oleh Aqua Danone dan Ades Coca-Cola.

"Selain itu, 85% kekayaan migas, 75% batu bara, 50% perkebunan, dan hutan dikuasai asing. Begitu pula, ekonomi Indonesia dikendalikan oleh 400-an keluarga dan tiga perempat hutan alam Indonesia menjadi musnah," ungkap calon doktor bidang kebijakan energi. (Zul)
Editor: Kliwon

Menerka-nerka Kejatuhan "Istana"


 
02.01.2012 10:10

Menerka-nerka Kejatuhan “Istana”

Penulis : Deytri Aritonang/Web Warouw  
HENTIKAN SBY-BOEDIONO - Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Komite Aksi Rakyat Teritorial (KARAT) beraksi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/12).(foto:SH/Edy Wahyudi)
Sebuah pesan BBM itu masuk, minggu sore. Si pengirim mem-posting sebuah berita dari sebuah laman, judulnya “Tahun 2012, Adu Kuat Mahasiswa Vs SBY”. Sang tokoh dalam berita itu adalah Adhian Napitupulu, juru bicara LSM Bendera. Aktivis-aktivis yang tergabung dalam gerakan ini tergolong radikal.
Ia memprediksi, mahasiswa akan bangkit pada 2012. Prediksi ini dilatarbelakangi berbagai fakta tentang “kebosanan” aktivis tua yang selama ini merapat ke Istana. Mereka akan bergabung dengan aktivis-aktivis muda untuk menurunkan Yudhoyono dan Boediono.
“Banyak kenyataan bahwa aktivis senior yang berusaha merapat ke lingkaran Istana ternyata tidak mendapatkan apa-apa, baik posisi dan uang, selain setumpuk janji yang tak pernah terealisasi,” katanya melalui sebuah siaran pers.
Prediksi seperti itu bukan hanya sekali dilontarkan. Berbagai kalangan aktivis dan pensiunan tentara juga membuat prediksi. Mereka menilai tokoh yang populer pada pemilihan presiden (pilpres) itu tidak akan bertahan sampai akhir masa jabatannya, 2014.
Sang jenderal itu dinilai tidak mampu memuaskan rakyat yang tidak peduli berapa banyak penghargaan, bahkan penghargaan internasional yang telah diterimanya.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Permadi, misalnya, menduga Yudhoyono tidak akan mampu memegang tampuk kekuasaannya hingga 2014. Pernyataan itu diungkapkan Permadi dengan mengacu pada janji dan sumpah Yudhoyono.
Menurut anggota DPR itu, Presiden pernah mengikrarkan sumpah, tapi mengingkarinya. "Dia mengingkari sumpahnya sendiri saat pemilu pertama. Dia katakan, saya hanya jadi presiden satu periode. Setelah keenakan, dia maju terus. Dia tidak belajar dari presiden Indonesia sebelumnya," katanya.
Permadi mengatakan, hingga kini, belum ada presiden di Indonesia yang bisa bertahan menyelesaikan periode kepemimpinannya.
"Belum ada satu presiden pun yang bertahan sampai selesai periodenya. Soekarno dan Soeharto turun di tengah jalan, Gus Dur, Habibie, Megawati hanya melanjutkan. Hanya SBY yang kemarin sempurna pada periode pertama. Kalau periode kali ini, saya yakin dia akan turun di tengah jalan, paling nanti 2012," katanya.
Hal senada diungkapkan Rizal Ramli. Ia mempertanyakan kemampuan pemerintahan Yudhoyono menyejahterakan rakyat. Baginya, tanda-tanda yang disebut sebagai peningkatkan pembangunan hanya berada di atas kertas.
Padahal, fakta di lapangan memperlihatkan kualitas hidup di Indonesia anjlok luar biasa selama pemerintahan Yudhoyono.
"Walaupun indikator dan angka pertumbuhan ekonomi memperlihatkan kenaikan, namun perlu diingat, kurang dari 20 persen orang Indonesia yang hidup nyaman. Sementara itu, mayoritas rakyat tetap harus berjuang keras dan mati-matian demi memenuhi kebutuhan hidup standar mereka setiap hari," ujar mantan Menteri Keuangan ini.
Bahkan untuk menemukan pekerjaan kasar saja sudah sulit, sedang pendapatan rata-rata menjadi begitu rendah. Daya beli berkurang drastis, harga bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari naik, dan tentu saja itu semua diikuti pertambahan jumlah penduduk miskin.
Selain itu, menurut Rizal, pemerintahan Yudhoyono juga akan mengulang sejarah Soeharto yang jatuh di tengah jalan.
Bukan hanya perorangan. Paguyuban tokoh-tokoh besar pun meragukan SBY dapat bertahan. Para purnawirawan jenderal yang merupakan senior Yudhoyono di Tentara Nasional Indonesia (TNI) kerap kali mengkritisi Yudhoyono.
Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dari Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat mengatakan, pertemuan yang digelar bersama rekan-rekannya itu menyatakan keprihatinan atas berbagai persoalan kebangsaan yang menyandera Indonesia menuju kesejahteraan.
Semua purnawirawan yang terlibat dalam pertemuan, Maret 2011, memang melihat adanya skenario yang berkembang bahwa bisa terjadi pemakzulan. Namun, Kiki menambahkan, ada hal yang jauh lebih berbahaya ketimbang pemakzulan itu sendiri.
"Kalau cuma pemakzulan itu kan masih dalam parlementer. Tapi kalau sampai ada gerakan seperti itu yang di luar konstitusi, itu yang lebih bahaya," katanya.
Bahkan, mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto mengatakan, Yudhoyono-Boediono tak layak dipertahankan. “SBY-Boediono sudah tidak layak lagi dipertahankan. Bila DPR tidak segera bertindak, jangan salahkan rakyat bila nanti bergerak menurunkan SBY-Boediono,” katanya dalam sebuah forum Oktober lalu di Jakarta.
Berpikir Revolusi
Sementara itu, mantan Kasatintel BAIS Laksma (Purn) Mulyo Wibisono dengan tegas mengatakan bahwa SBY-Boediono sudah pantas dimakzulkan atau diturunkan melalui mekanisme konstitusional. "Keduanya sudah pantas di-impeacment karena gagal melindungi Tanah Air dan warganya, gagal menyejahterakan rakyatnya dan gagal memberantas korupsi," kata Wibisono.
Prediksi seperti itu memang banyak dilontarkan. Namun, sebagian pihak kini tidak hanya memprediksi saja. Mereka juga telah bersiap-siap melakukan berbagai macam aksi.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, sejumlah jenderal maupun tokoh mulai menyiapkan dua rencana. Jika presiden turun pada 2012, rencana yang disiapkan adalah membuat presidium. Namun, jika Yudhoyono tetap bertahan hingga 2014, rencana yang disiapkan adalah mencari tokoh pengganti melalui pemilu.
Saat ini, gelombang protes sudah meluas. Protes dilakukan kalangan buruh, tani, kaum miskin kota, tokoh agama dan kebudayaan, serta mahasiswa. Seorang tentara berpangkat kolonel mulai protes dengan cara menulis opini di media Kompas.
Berbagai aksi itu menyebar dan meluas dari Ibu Kota, Medan, Palembang, Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Manado, sampai Jayapura dan pelosok Bima NTB.
Meluasnya aksi karena demokrasi liberal dengan multipartai dan wakil-wakil di DPR ternyata tidak mampu menjawab berbagai persoalan rakyat. Tak hanya itu, demokrasi liberal menjadi lahan subur bagi mafia anggaran oleh partai berkuasa untuk membobol anggaran negara. Dari kasus bailout Century sampai kasus Nazaruddin menunjukkan kelemahan sistem politik dan hukum.
Sebagai alat demokrasi, DPR telah gagal melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai alat hukum, KPK telah menjadi alat untuk melindungi penguasa yang telah merugikan negara.
Dengan begitu, rakyat makin kehilangan kepercayaan pada perubahan lewat pemilu pada 2014 nanti diikuti keraguan terhadap keseriusan KPK membongkar skandal Century dan jaringan mafia anggaran.
“Kita tidak bisa berharap DPR dan KPK akan serius menyelesaikan kedua kasus tersebut, tanpa ada gerakan rakyat yang kuat mendesak DPR menggunakan HMP untuk kasus Century, serta mendesak KPK membongkar tuntas mafia anggaran. Kalau juga tidak berhasil, rakyat semakin yakin dengan penggantian kekuasaan dan sistem lewat revolusi,” kata Ketua Petisi 28, Haris Rusli Moti.
Rakyat kini memang mulai sadar bahwa reformasi tak bisa menjadi jalan keluar. Mereka kini mulai berpikir tentang revolusi, meskipun dalam melakukannya masih sebatas pikiran dan kemudian berubah menjadi perkataan.