Kamis, 19 Januari 2012


Perubahan Strategi Umum AS dan RRT di Asia Pasifik
dan Sikap Indonesia

 Pertarungan AS dan RRT di Asia Pasifik.

               Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012 telah mengumumkan Strategi Baru AS abad ke-21, diantaranya :  merampingkan angkatan bersenjata AS sehingga dapat mengurangi anggaran belanja militer, menitik-beratkan hubungan politik, militer dan ekonomi dengan kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi motor penggerak ekonomi dunia. Oleh karena itu, AS akan mengubah cara mencapai tujuannya dengan apa yang disebut “smart power” yang memadukan “soft power” dengan “hard power”. Strategi baru ini merupakan penyesuaian terhadap strategi luar negeri AS sebelumnya yang dikenal juga dikenal sebagai “Dokrin Bush” yang menekankan “hak AS melakukan penghacuran terhadap sumber bahaya yang mungkin datang mengancam rakyat dan kepentingan Amerika.”
               Hal yang menimbulkan kekuatiran Republik Rayat Tiongkok (RRT) adalah rencana AS memperkuat kehadiran di Asia-Pasifik dan tidak akan mengurangi anggaran belanja militer AS di kawasan tersebut. Sebagai bagian dari pelaksanaan strategi baru ini, Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk menempatkan 2.500 pasukan marinir di Darwin, Australia dan disana akan dibangun tempat pelatihan militer AS.  Panglima Operasi Angkatan Laut AS, Laksamana Jonathan Greenert menambahkan bahwa “Kami berencana menempatkan beberapa kapal tempur pantai (littoral combat ship-LCS) di fasilitas angkatan laut Singapura. Semua ini merupakan bagian dari strategi keseluruhan Amerika Serikat di Asia Pasifik yang baru-baru ini diumumkan oleh presiden AS Obama.
Kantor Berita Pemerintah RRT, Xin Hua, tanggal 10 Januari 2012 menulis : ….fokus AS yang kembali ke Asia Pasifik telah membawa pengaruh paling mendalam. ….. Atau dengan kata lain, AS berusaha mewujudkan keseimbangan dalam pertarungan dengan Tiongkok di kawasan Asia Pasifik, dengan titik beratnya mencegah keseimbangan strategis kawasan semakin condong ke Tiongkok, agar AS jangan sampai tersisih dari kawasan ini. AS melaksanakan strategi baru di Asia Pasifik dengan mengutamakan smart power dan menggunakan perselisihan Tiongkok dengan negara-negara sekitarnya. Dalam kondisi itu, negara-negara lainnya berusaha melakukan keseimbangan diplomatik di tengah pertarungan Tiongkok dan AS. Mereka juga khawatir menimbulkan kemarahan Tiongkok kalau memihak AS, sehingga tidak bisa berbagi keuntungan perkembangan ekonomi Tiongkok. Ini menunjukkan lingkungan sekitar Tiongkok masih belum memburuk sepenuhnya,.... “.
CRI (China Radio International) tanggal 13 Januari 2012 yang lalu menyiarkan bahwa tujuan utama pengalihan titik berat strategi AS ke kawasan Asia-Pasifik adalah untuk mengekang Tiongkok melalui " pengekangan lunak.”  Berkenaan dengan itu, Tiongkok perlu melawannya dengan " pengekangan lunak” juga.
Selanjutnya mengenai strategi apa yang akan diambil RRT menghadapi strategi baru AS tersebut, Xin Hua menulis “Tiongkok perlu memasukkan Asia Barat dalam lingkungan eksternal, merumuskan strategi dengan mempertimbangkan perpaduan kondisi laut dan darat, barat dan timur, selatan dan utara, khususnya mempertimbangkan kekuatan AS, Rusia, Jepang, India, Australia dan lain-lain dalam tatanan yang sama. Tiongkok hendaknya menggunakan kekuatannya di bidang ekonomi, militer dan diplomasi secara terpadu untuk menghadapi krisis, mendorong terbentuknya kerangka interaksi positif antara Tiongkok, AS, dan negara-negara di sekitar Tiongkok.” 




Bagaimana Sikap Indonesia Menghadapi Perubahan Lingkungan Sekitar ini ?

            Politik luar negeri bebas aktif pemerintah RI telah memainkan peranan penting dalam usaha mencapai pengakuan kemerdekaan tahun 1949, pembentukan kekuatan Non-Blok dan perjuangan pembebasan Irian Barat awal tahun 60-an. Sayang politik luarnegeri bebas aktif ini telah diselewengkan oleh pemerintah Orde Baru Suharto.
               Politik luar negeri bebas aktif tersebut terbentuk pada masa perjuangan kemerdekaan sebagai jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan kaum kiri yang meminta kepada pemerintah RI agar menyatakan Indonesia berdiri di blok Uni Sovyet. Dalam menjelaskan politik pemerintah RI ketika itu, perdana menteri Hatta mengatakan bahwa “…..dasar politik pemerintah dapat dibulatkan sebagai berikut :  Pemerintah berpendapat pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” (Hatta: “Jawaban Pemerintah Kepada BP KNIP”, 16 September 1948).
               Ada 2 alasan yang menjadi dasar politik bebas aktif RI yaitu: (1) tujuan perjuangan bangsa Indonesia; dan(2) memelihara kebebasan sebagai subjek, jangan sampai menjadi objek kekuatan asing. Tujuan yang harus menjadi landasan kebijakan dalam dan luar negeri RI telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
* melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
* memajukan kesejahteraan umum;
* mencerdaskan kehidupan bangsa dan
* ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
   keadilan sosial.
Yang menarik adalah munculnya ide “a Million Friends, Zero Enemies” yang menjadi visi politik luar negeri presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan ada pula yang menyebutnya  sebagai pembaruan penafsiran dari prinsip “diplomasi bebas aktif”.  Kali ini kita tidak akan membahasnya lebih jauh, cukup hanya melihat praktek kebijakan luar negeri SBY saja.
SBY membiarkan pencaplokan  wilayah perbatasan RI oleh Malaysia demi menciptakan “zero enemies”. Karenanya kita kehilangan wilayah tanah air yang seharusnya kita bela dengan sekuat tenaga. Membela seluruh tumpah darah Indonesia adalah kewajiban sakral kita sebagai bangsa berdaulat! Terhadap rencana Amerika Serikat menempatkan 2500 marinir  AS di Darwin Australia, demi menciptakan “zero enemies” SBY  hanya mengamini saja apa yang disampaikan oleh presiden AS Obama dan perdana menteri Australia Julia Gillard: ..” bahwa hal itu (maksudnya : penempatan marinir AS) dilakukan hanya untuk keperluan pelatihan militer serta untuk menghadapi ancaman non tradisional, seperti bencana. Bahwa tidak ada niatan apapun untuk mengganggu negara-negara di luar Australia. Tidak ada niat untuk mengganggu siapapun," kata SBY kepada pers di Bali, Sabtu 19/11/2011 yang lalu. Lebih jauh SBY membela kebijakan AS tersebut dengan mengatakan , baik Amerika maupun Australia juga memiliki peran untuk menjaga stabilitas kawasan.” 
RI mempunyai pengalaman buruk dengan AS. Ketika pemerintah RI yang dipimpin oleh presiden Sukarno tidak mau mengikuti komando AS, Amerika menggunakan pangkalan militernya di Filipina guna melatih anggota-anggota militer PRRI/Permesta, mengirimkan senjata ke Permesta di Sulawesi Utara dan PRRI di Sumatera Barat guna menumbangkan pemerintah RI yang sah. Bukankah sejarah dapat terulang lagi dengan adanya pangkalan AS di Darwin, bila pemerintah RI tidak bersedia mengikuti strategi baru AS di Asia Pasifik dalam membendung pengaruh RRT ? Apakah RI bersedia menjadi objek/pion AS di Asia Pasifik ? Sesuatu yang pasti akan ditentang oleh rakyat Indonesia !
Berbeda dengan visi luar negeri SBY, menteri luar negeri RI Marty Natalegawa menafsirkan politik bebas aktif Indonesia dengan apa yang disebut “dynamic  equilibrium.”. “Keseimbangan dinamis” berbagai kekuatan disatu kawasan, tidak sama dengan seluruh kebijakan politik luar negeri “bebas aktif” Indonesia. Ia hanya dapat dipandang sebagai satu keinginan tentang bagaimana persaingan berbagai kekuatan disuatu kawasan dikelola agar tidak berubah menjadi konflik terbuka yang menjurus ke peperangan. “Keseimbangan dinamis” dapat kita perjuangkan, tetapi apakah dapat dipertahankan dalam jangka panjang, lebih banyak tergantung kepada perimbangan kekuatan besar di suatu kawasan. Situasi ketidak-seimbangan --- keseimbangan --- ketidak-seimbangan baru, akan selalu ada dalam kenyataan. Walaupun demikian, dilihat dari reaksi Marty terhadap penempatan pasukan AS di Darwin,  ia berbeda dengan SBY. Bila SBY menerima saja penjelasan AS, Marty menganggap hal itu dapat menimbulkan “a vicious circle or tensions and mistrust or distrust” (lingkaran setan berupa ketegangan dan kecurigaan atau  ketidakpercayaan) dikawasan Asia Pasifik. Marty ada keberanian menyatakan sikapnya secara terbuka terhadap kebijakan AS.
Baik dokrin luar negeri SBY “a million friends, zero enemies” maupun dokrin luar negeri Marty “dynamic equilibrium” berpusat kepada “penciptaan suatu kondisi lingkungan ekternal” Indonesia. Tidak tergambar apa yang menjadi tujuan perjuangan bangsa Indonesia. Sebaliknya dokrin politik luar negeri “bebas aktif” seperti yang diuraikan Hatta mencakup dua isi, yaitu : tujuan perjuangan bangsa serta menjaga kebebasan kita dalam setiap usaha mencapai tujuan tersebut.
Kita hendaknya meninggalkan dokrin luar negeri “a million friends, zero enemies” yang telah membuat Indonesia menjadi “the good boy” yang penurut terhadap kebijakan AS ! Kita dapat menggunakan kebijakan Marty “dynamic equilibrium” sebagai salah satu usaha menciptakan lingkungan sekitar kita, tetapi bukan menjadikannya sebagai suatu dokrin kebijakan luarnegeri kita secara keseluruhan. Dokrin kebijakan luarnegeri RI tetap harus bebas aktif ! 
Menjalankan “politik bebas aktif” berarti membina hubungan baik dengan semua negara termasuk dengan negara-negara besar yang bertarung di Asia Pasifik. Tidak terjerumus kedalam keberpihakkan pada salah satu negara besar yang berebut pengaruh, menentang pemaksaan kehendak negara-negara besar kepada Indonesia, pandai menjaga keseimbangan kekuatan negara-negara besar yang bertarung disekitarnya demi mempertahankan eksistensi, kebebasan, kedaulatan, dan kemandirian bangsa demi kemajuan Indonesia.

Amsterdam, 18 Januari 2012
Burhan Azis
Ketua Korwil PDIP di Negeri Belanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar