Jumat, 19 Agustus 2011





17 Agustus versus 1 Oktober

Jumat, 19 Agustus 2011 - 00:36:16 WIB

Indonesia dibangun di atas reruntuhan kolonialisme. Orde Baru meluluhlantakannya.
SAYA datang ke Indonesia pertama kali 1969 dan sudah berkali-kali kembali ke Indonesia. Sebagai seorang yang memulai perjalanan kehidupan intelektual sebagai mahasiswa jurusan studi Indonesia, sejak semula saya bergairah untuk belajar sejarah Indonesia – apalagi bila dibandingkan dengan sejarah Australia. Meskipun sejarah Australia juga penuh dengan kisah perjuangan rakyatnya (biasanya melawan elit kaya, baik kolonial maupun modern), ini tak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia mengalami revolusi; rakyat Indonesia menjalankan sebuah revolusi; negeri Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan berhasil mengusir kekuatan politik kolonial tahun 1949, tercipta oleh sebuah revolusi nasional yang prosesnya sudah berlangsung 30-40 tahun sebelumnya.

Semua revolusi dalam sejarah manusia adalah fenomena hebat. Sudah beribu-ribu buku ditulis untuk mendefinisikan dan menganalisa apa itu revolusi. Sudah jelas ada berbagai jenis revolusi; dan juga cara orang memandang revolusi sering tergantung ideologinya dan kepentingannya. Kata revolusi dalam bahasa Inggris bermakna perubahan besar dan drastis dalam situasi politik. Kata itu mulai digunakan pada pertengahan abad 15 dan berasal dari bahasa Latin yang artinya bergelombang balik.

Buat saya, ada dua sifat yang harus dimiliki oleh semua revolusi sosial-politik sejati.Pertama, sebuah revolusi akan memutar-balikkan struktur kekuasaan yang berlaku. Kedua, baik di dalam proses menggulingkan maupun memutarbalikkan struktur kekuasaan tersebut mestinya bisa melahirkan makhluk yang baru secara esensi sebagai hasil dari proses revolusi itu sendiri. Revolusi memutarbalikkan kekuasaan (menghancurkan struktur lama dan mendirikan yang baru) sekaligus kreatif; menciptakan sesuatu mahluk yang baru, yang jauh lebih fenomenal daripada sekedar struktur kekuasaan yang baru. Begitu juga revolusi Indonesia. Struktur kekuasaan kolonial – di mana kekuasaan politik dan ekonomi terpusat sepenuhnya di Den Haag, Amsterdam dan Rotterdam – dihancurkan dan sebuah struktur kekuasaan baru didirikan.

Semula kelas kapitalis Belanda mengisi kelas penguasa; kekuasaan kelas itu terkalahkan oleh kelas-kelas sosial lain yang tadinya terkuasai dan tereksplotasi, terutama kelas buruh, kelas petani kecil maupun kelas borjuis dalam negeri Indonesia. Situasi mulai teresmikan pada 27 Desember 1949 ketika pemerintah Belanda mengakui mahluk yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).  Tapi RIS ini masih mengandung negeri-negeri yang dikuasai secara tak formal oleh Belanda. Sesudah mengalami berbagai gejolak, RIS bubar dan diproklamasikan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Tetapi kreativitas revolusi nasional Indonesia jauh lebih dahsyat daripada sekadar melahirkan sebuah mahluk formal, yaitu Republik Indonesia. Revolusi Indonesia yang sebenarnya sudah mulai sejak awal abad 20 melahirkan orang Indonesia, bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia – semuanya yang tak pernah berdiri di atas muka bumi sebelumnya. Makanya kata atau nama Indonesia juga tadinya tidak ada; tidak eksis. Yang ada sebelumnya bukan orang Indonesia, tetapi orang Jawa, orang Aceh, orang Dayak, dan seterusnya. Juga tidak ada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia mulai ada dengan munculnya sastra berbahasa Melayu (baru) dalam bentuk cerpen, roman, drama, syair, lagu, esei dan pidato yang kemunculannya bersamaan dengan kelahiran organisasi sosial-politik modern.

Kalau kita mempelajari fenomena munculnya kebudayaan baru itu – baik sastranya (semua produk tertulis, kemudian produk budaya lain) bersama kegiatan berorganisasi secara sosial politik, memang kita pasti akan terinspirasi sekali oleh kekayaanya akan visi, pengalaman, ide, dan memang kreativitasnya. Belum lagi perjuangan militer, politik, intelektual, budaya dan dipomatik yang sangat intensif sekali diantara tahun 1945 dan 1949.

Luar biasa memang. Buat saya sendiri, saat zaman saya mahasiswa (1969-1972) merasa sangat exciting – dan saya selalu ingin berangkat secepatnya ke Indonesia.

Tetapi semakin sering saya berkunjung ke Indonesia semakin saya terkesan oleh sebuah hal yang, buat orang yang baru kenal Indonesia pada waktu itu, sangat mengecewakan. Kegiatan-kegiatan dan suasana menjelang dan pada hari kemerdekaan tak ada apa-apanya. Ada sebuah pidato oleh presiden Suharto di televisi yang kurang diperhatikan masyarakat. Ada lomba-lomba buat anak-anak di kampung. Ada pawai-pawai yang sangat formal. Tidak ada gaung sama sekali dari kehebatan revolusioner periode 1900-1949.  Tak ada penghayatan perjuangan panjang di semua bidang yang menciptakan Indonesia sendiri. Ide-ide yang merupakan asal-usul adanya Indonesia sendiri – kemerdekaan, keadilan, perjuangan, rakyat, pergerakan, kedaulatan, sekali lagi kemerdekaan – tidak hadir sama sekali.

Serba formal, dangkal dan penuh kelupaan. Sama garingnya dengan peringatan hari nasional Australia yang memperingati deklarasi non-revolusioner perkumpulan orang-orang elit putih Australia tahun 1901. Indonesia memiliki warisan politik dan budaya revolusioner, tetapi dilupakan.

Sesudah saya semakin kenal dengan sejarah Indonesia, situasi ini semakin lebih bermakna buat saya. Saya sempat beberapa kali menonton footage Sukarno bicara pada 17 Agustus sebelum 1965. Saya juga mendengarkan pidato-pidatonya. Saya memulai membaca tentang kegiatan peringatan 17-an sebelum 1965. Saya menemukan keadaan yang justru sebaliknya. Sebelum 1965, peringatan 17 Agustus adalah saat diluncurkannya ide-ide politik baru oleh Sukarno yang kemudian akan ramai dibicarakan oleh puluhan juta orang dan bahkan diperdebatkan. Boleh setuju atau benci ide-ide itu, tetapi kenyataannya ialah seluruh masyarakat mendiskusikannya sebagai bagian memikirkan masa depan Indonesia, bersama-sama, beramai-ramai. Bahkan anggota-anggota partai-parti terlarang (Masyumi dan PSI, misalnya – yang seharusnya tidak perlu dilarang) juga ikutan mendiskusikannya, mengingat bahwa berbagai organisasi mereka masih legal dan aktif.  Tetapi arus berbalik tahun 1965.

Saya kira sejak 1965, dalam ideologi Orde Baru Suharto (OBS), 1 Oktober  – Hari Kesaktian Pancasila – lebih penting daripada 17 Agustus. Ini – antara lain – tercermin olek definisi OBS terhadap 17 Agustus: hari Proklamasi dan juga definisi politik buat Sukarno dan Hatta – terutama Sukarno – sebagai sekadar Proklamator. Dengan definisi tersebut, ide-ide mereka yang merupakan motor penggerak ideologis revolusi nasional dinegasikan. Terbukti pula bahwa selama OBS, tulisan-tulisan Sukarno dilarang. Sebenarnya ide revolusi itu sendiri dilarang. Memang karena apa yang dijalankan oleh kekuatan OBS dari tahun 1965 sampai 1970-an adalah sebuah kontra-revolusi. Tidak mungkin sebuah kekuatan yang menjalankan kontra-revolusi akan mampu menghayati secara sejati arti sebuah hari peringatan revolusi –sebuah hari yang memperingati betapa bergairahnya proses di mana rakyat tertindas memutarbalikkan struktur kekuasaan serta menciptakan sebuah mahluk baru bernama Indonesia. Revolusi nasional Indonesia – kalau sejarah sesungguhnya bisa dihayati –akan ingat kembali bahwa rakyatlah yang menciptakan Indonesia dan Indonesia adalah milik mereka bersama, bukan milik segelintir siapa pun.

Celakanya, kontrarevolusi OBS bukan saja kontra-revolusi yang menggagalkan sebuah revolusi sosial (sosialis) yang sepertinya mungkin akan segera mengancam memutarbalikkan struktur ekonomi kapitalis Indonesia, tetapi juga menggagalkan revolusi nasonal Indonesia yang belum tuntas sebelumnya.

Pemimpin OBS secara sukarela dan dengan semangat (kerakusan) mengundang masuk kembali penanam modal dari negeri-negeri imperialis dengan syarat-syarat sangat minimal sesuai dengan yang diminta oleh Washintgton, London, Tokyo dan lain-lain. Hampir seluruh warisan budaya dari revolusi nasional Indonesia sengaja dihilangkan dari medan kebudayaan Indonesia. Sejarah Indonesia ditulis kembali dengan banyak kepalsuan-kepalsuan dan itu pun hanya untuk dihapalkan. Pada tahun 1970-an kesusasteraan nasional Indonesia tidak lagi dipelajari dengan serius di sekolah. Banyak sekali sastra dan tulisan dilarang. Tindakan ini, dalam bidang ekonomi serta budaya memang merupakan sebuah pe-negasi-an revolusi nasional Indonesia. Tak mungkin 17 Agustus akan bisa diperingati dan dihayati secara sejati. Indonesia didirikan dan diciptakan bukan sekadar berkat proklamasi tetapi karena revolusi. Menghayati 17 Agustus, butuh menghayati apa itu revolusi dan mengapa revolusi itu sebuah proses yang kreatif dan membebaskan manusia.

Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober adalah hari memperingati kemenangan pertama kontrarevolusi OBS. Saya perlu mencatat di sini bahwa dalam pendapat saya peristiwa Gestapu atau Gestok adalah perbuatan ngawur, idiot, dan keblinger. Sebuah konspirasi tengah malam yang tidak bisa dibenarkan. Tetapi tindakan-tindakan Suharto sebagai panglima Kostrad pada waktu itu tidak sekadar bertindak merespons sebuah konspirasi malam yang illegal. Suharto, jelas dengan sadar, meluncurkan sebuah kontarevolusi untuk membalikkan arus politik yang sedang berkembang. Tindakannya tidak  hendak mengadili segelintir orang – baik Aidit maupun yang militer - yang menjalankan konspirasi tengah malam yang illegal. Tindakannya merupakan awal dari sebuah proses membasmi dan menindas gerakan sosial, politik, dan budaya yang didukung jutaan rakyat Indonesia yang berbasis ideologi sosialisme.

Ratusan ribu orang kemudian dibunuh tanpa proses hukum apa pun. Mungkin ratusan ribu juga ditahan untuk jangka waktu pendek, serta disiksa secara bengis. Puluhan ribu lain ditahan selama bertahun-tahun tanpa pengadilan apa pun. Ini dijalankan oleh Suharto, dengan memakai tentara (yang sudah dibersihkan dari perwira dan serdadu yang pro-Sukarno) dan didukung keras oleh kaum intektual anti-komunis (Angkatan 66).

Pembasmian dan penindasan ini membuka jalan untuk program ekonomi dan budaya yang anti-revolusi nasional yang saya sudah sebut di atas. Represi itu dan semua program politik OBS yang anti-demokratis yang menyusul kemudian di antara tahun 1968-1990-an sebagai program politik yang menegasikan peran rakyat Indonesia dalam kehidupan politik negeri Indonesia sekaligus merupakan tindakan anti-nasional. Rakyat Indonesia – massa miskin dan marhaen, bersama mahasiswa dan intelektual muda yang aktivis – adalah mereka yang menciptakan Indonesia melalui revolusinya. Program politik OBS merampok kedaulatan politik rakyat dari tangannya. 1 Oktober juga merupakan awal dari budaya yang berdiri di atas kebohongan-kebohongan besar, mulai dari kebohongan bahwa wanita-wanita komunis menyiksa para Jenderal yang diculik tengah malam  sampai dengan kabar bohong mutilasi yang tak berdasar pada otopsi dokter-dokter Angkatan Darat sendiri.

Buat OBS, 1 Oktober jelas lebih bermakna. Tetapi, saya kira masalahnya lebih dalam, lebih mendasar lagi. Kontrarevolusi 1965 terjadi 46 tahun yang lalu. 46 tahun merupakan hampir duapertiga dari kehidupan negeri Indonesia. Mayoritas orang Indonesia lahir selama zaman OBS. Mayoritas besar orang Indonesia menjadi dewasa di bawah OBS dan tidak kenal langsung Indonesia sebelum 1965. Karena selama 40 tahun berjuta-juta anak Indonesia tidak diajarkan untuk menghayati sastra mau pun sejarahnya sendiri, sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengenal proses kelahiran Indonesia itu sendiri. Selama periode ini pula sel struktur dan kehidupan ekonomi Indonesia juga berubah. Dulu Indonesia negeri pedesaan; sekarang lebih sebagai negeri urban dengan puluhan juta rakyat miskin tinggal di pusat kota yang sangat padat, dan sering kumuh. Dulu, sebelum 1965, kelas kapitalis Indonesia hanya terdiri dari ribuan pengusaha-pengusaha kecil, dengan beberapa pengusaha menengah yang dibantu pemerintah.

Pada kurun 1956-1965 hampir semua sektor modern sudah resmi di tangan negara. Sekarang ada konglomerat kroni Suharto yang tumbuh selama masa OBS hasil dari KKN nasional. Selain mereka juga ada ribuan 'konglomerat' tingkat daerah hasil KKN lokal yang sekarang ada di mana-mana dan sering maju menjadi bupati dan gubernur di seluruh penjuru Indonesia. Tanpa landasan kuat berupa pengetahuan dan penghayatan akan sastra dan sejarah nasionalnya, kebudayaan yang berkembang lebih terpengaruh konsumerisme kosmopolitan dan “budaya” sinetron yang tak rasional, dangkal dan melayani keinginan melarikan diri dari realitas yang pahit daripada bangkit berusaha untuk mengubah realitas tersebut.

Apakah memang sudah ada dua Indonesia: Indonesia hasil kontra-revolusi 1965 yang berdiri di atas penindasan, pembohongan dan KKN atau Indonesia hasil revolusi nasional 1900-1965 yang oleh kekuasaan OBS dieliminasi dari ingatan massa secara sistematik. Akan tetapi kemudian pelahan-pelahan dengan langkah tegas mulai bangun kembali dalam bentuk perlawanan-perlawan terhadap OBS selama tahun 1970an - 1990an. Proses melawan dan mengakhiri Orde Baru (1974-1998) juga sebuah proses kreatif, hanya belum tuntas pula dan masih menghadapi pilihan.

Jadi sekarang mau pilih Indonesia yang macam apa? Indonesia 17 Agustus 1945 atau Indonesia 1 Oktober 1965? [MAX LANE]

Artikel terkait

FKPI Datangi dan Tuntut KPK
Tuntaskan Kasus Nazaruddin !
 Lokal Konten • Jumat, 19/08/2011 04:53 WIB • Haryadi • 167 klik
kpk
GMNI News, Jakarta - Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang terdiri dari kumpulan organisasi kemahasiswaan, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), kamis (18/08) kemarin mendatangi KPK RI di jalan Rasuna Said.

Hal itu merupakan sikap tegas dari FKPI terhadap Penegakan hukum di Republik ini dinilai telah memasuki fase kronis. Maraknya persoalan korupsi yang dilakukan oleh para elite politik dan penyelenggara Negara menjadikan Negara kita sebagai Negara yang laiknya dipimpin oleh para maling/pencuri. Tegas Stefanus Gusma ketua PMKRI yang merupakan perwakilan FKPI kepada GMNI News kemarin.

Dikatakan Gusma, berbagai peroalan hukum tak ada yang tuntas. seperti Kasus mafia pajak, rekening gendut POLRI , BLBI, Century, korupsi wisma atlet kemenpora, kasus korupsi alat kesehatan, kasus korupsi proyek hambalang, kasus suap pemilihan deputi gubernur senior BI, dan mafia anggaran merupakan potret buruknya wajah penegakan hukum di Negara ini. Terang Gusma.

Demikian juga Addien Jauharudin, ketua PB PMII yang juga perwakilan FKPI mengatakan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan besar berdasar undang-undang yang seharusnya dapat bergerak secara cepat dan sistemik dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi ternyata lambat dalam penyelesaian kasus korupsi dan KPK terkesan tebang pilih. “ bahkan KPK cenderung kompromi terhadap penyelesaian kasus-kasus korupsi” kata Addien.

Sehingga menurut Addien, layaklah kiranya apabila kepercayaan rakyat tehadap KPK semakin menurun. Keraguan rakyat terhadap KPK semakin besar dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi terutama kasus korupsi yang melibatkan elit politik dan penyelenggara Negara. Paparnya.

Disamping itu Addien menjelaskan Tersangka kasus Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin bermanuver dengan mengaku lupa terhadap kasus-kasus yang menjeratnya. Walau begitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap diminta mengusut pihak-pihak yang ada di belakang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini. "Kami minta KPK tidak ragu memanggil pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Nazaruddin. Siapa pun dia," ujar Addien

FKPI juga meminta fungsi komite etik yang saat ini tengah ikut menelususri dugaan keterlibatan pimpinan dan pegawai KPK dalam kasus Wisma Atlet, dioptimalkan. "Selama ini masih ada keraguan besar terhadap KPK," katanya.

Menurut FKPI KPK telah menjadi lembaga yang tidak berdaya melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Untuk itu, KPK harus segera dibersihkan dari oknum-oknum yang kompromi terhadap korupsi.

KPK harus diisi orang-orang yang memiliki kredibilitas, integritas, berani berantas korupsi tanpa tebang pilih, berani menghadapi tekanan, berani hidup susah, tidak munafik, dan bukan calon titipan yang akan memperlemah KPK dari dalam. Sehingga bangsa Indonesia akan mendapatkan KPK yang sejati. KPK yang merupakan Komisi Pemberantasan Korupsi dan bukan Kompromi Pemberantasan Korupsi. (*)

Senin, 08 Agustus 2011

Tolak Pihak Asing dalam Penyelesaian Papua


Tolak Pihak Asing dalam Penyelesaian Papua
Ketua Presidium GMNI : Twedy Noviady
 Internet • Sabtu, 06/08/2011 09:59 WIB • redaksi • 10 klik
papua
Jakarta GMNI News – Kekhusukan bulan ramadhan dihentakkan oleh peristiwa kerusuhan di ujung paling timur tanah air. Beberapa hari terkahir, situasi di Papua mengalami gejolak yang telah memakan korban jiwa baik sipil maupun militer. Gejolak tersebut dipastikan tak terjadi begitu saja. Demikian yang disampaikan Twedy Noviady, Ketua Presidium GMNI.

"Gejolak yang terjadi di Papua beberapa hari terakhir memecah kekhusukan bulan ramadhan di tanah air. Dan kita bisa pastikan ada kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan gejolak tersebut" ujar Twedy.

Ketika ditanya siapa pihak-pihak yang sengaja memperkeruh situasi di Papua, Twedy tidak mau berspekulasi.

lebih lanjut, Twedy menyatakan beberapa faktor yang mengakibatkan kondisi di Papua belum sepenuhnya kondusif. Pertama, kekayaan alam yang melimah di Papua tidak dirasakan oleh seluruh rakyat papua. Tanahnya kaya tapi rakyatnya masih jauh dari sejahtera. Kedua, Kekayaan bumi Papua hanya dinikmati sebagian pihak khususnya para elit lokal sehingga mengakibatkan tingginya disparitas antara si kaya dan si miskin. Ketiga, korupsi yang merajalela di pusat dan di papua menyebabkan distribusi pembangunan tidak merata khususnya ke pelosok daerah. Keempat, masalah Papua masih dijadikan komoditi politik oleh pihak-pihak tertentu. Kelima, Keterlibatan asing yang tergiur dengan kekayaan bumi Papua.

"Tak dapat disangkal bahwa kekayaan di bumi Papua menjadi magnet bagi asing sehingga akan selalu ada upaya-upaya untuk membuat Papua tidak kondusif. Dan persoalan papua merupakan persoalan dalam negeri Indonesia sehingga kita harus tolak keterlibatan asing dalam penyelesaian Papua" tegas Twedy.

Mencermati kondisi tersebut, Twedy  menyerukan agar semua stakeholder khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua untuk serius menyikapi kondisi tersebut melalui penggalakan pembangunan sehingga rakyat di bumi Papua lebih sejahtera. 
[ Red/Administrator ]

Minggu, 07 Agustus 2011

TB Hasanuddin: Lakukan Protes Ke Inggris, Papua Urusan Indonesia



Minggu, 07 Agustus 2011 , 04:27:00 WIB

RMOL.Anggota parlemen Inggris yang memfasilitasi konferensi International Parliamentary for West Papua (IPWP) untuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai melakukan tindakan tidak sopan.
Pemerintah harus bersikap tegas. Sebab, mereka menyeru­kan diadakannya referendum di Papua dan mengatakan Penen­tuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 tidak sah,” tegas Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Hasanuddin, tindakan IPWP tidak bijak. Sebab, tuntu­tannya itu masuk ranah politik. Tidak boleh pihak asing men­campuri urusan dalam negeri Indonesia.
Pepera tahun 1969, lanjutnya, bagi Indonesia sudah selesai. Sebab,  telah disahkan Perserika­tan Bangsa-Bangsa.
Berikut kutipan selengkapnya;
Apa yang perlu dilakukan?
Pemerintah harus bersikap tegas. Ini persoalan internal Indo­nesia. Lakukan protes. Sebab bila tidak diprotes, apa yang mereka lakukan dianggap benar.
Kami sebagai anggota parle­men Indonesia, tidak pernah men­campuri masalah Irlandia Utara. Kami sangat menghormati sikap negara lain.
Lagipula pemerintah tidak tinggal diam terhadap masalah di Papua.
 Tapi  harus lebih sigap lagi demi kepentingan masyarakat Papua.
Bagaimana bentuk protes­nya, apa perlu disampaikan lang­sung ke parlemen Inggris?
Penyampaian protesnya dapat dilakukan lewat media massa. Soal apa perlu memanggil pihak Dubes Inggris, itu tergantung sikap pemerintah kita. Yang jelas, pihak KBRI di Inggris harus menjelaskan duduk persoalan di Papua kepada anggota parlemen Inggris yang mendukung re­ferendum.
Apa perlu melakukan ope­rasi kontra intelijen?
Saya rasa tidak perlu dilaku­kan. Dekati saja anggota parle­men Inggris itu. Lalu jelaskan situasi sebenarnya di Papua. Kita tidak perlu menutup-nutupi per­masalahan dan segera mencari solusinya.
Kenapa sih masalah ini tak kun­jung selesai?
Beberapa waktu lalu, LIPI me­nyampaikan empat poin substan­sial yang menjadi ma­salah di Papua. Pertama, adanya marji­nali­sasi dan diskriminasi ter­ha­dap pen­duduk asli Papua, baik secara lang­sung atau tidak lang­sung. Kedua, kegagalan pemerin­tah da­lam menjalankan Otonomi Khu­sus (Otsus), terutama ke­gaga­lan di bidang ekonomi, pen­didikan, dan kesehatan.
Ketiga, adanya perbedaan per­sepsi mengenai sejarah tanah Papua. Padahal keberadaan Papua di Indonesia sudah final di mata dunia internasional. Ke­empat, masih adanya trauma bagi ma­syarakat Papua terhadap kekera­san yang dilakukan tentara di masa orde baru. Misalnya Operasi Sadar, Operasi Waspada, operasi Baratayudha, Operasi Tumpas dan Operasi Sapu Bersih.
Pemerintah harus bagai­mana?
Pemerintah pusat harus duduk bersama dengan tokoh masyara­kat Papua untuk mengadakan dialog.
Menyelesaikan masalah jangan menggunakan kekerasan terma­suk menggunakan operasi militer.
Dalam hal ini, kedua belah pi­hak (OPM dan TNI) harus coo­ling down. Jangan sampai kontak senjata.
Selain itu, kalau perlu kita me­lakukan revisi undang-undang otonomi khusus. Bentunya se­perti apa nanti kita pikirkan, yang jelas kerangkanya tidak keluar dari konsep NKRI.
Bagaimana dengan anggaran yang sering bocor?
Tentu kita harus memperbaiki struktur pemerintahan di sana. Sebab, sejak diberlakukannya Otsus, dana yang diturunkan sekitar Rp 21 triliun.
Dana itu tidak menghasilkan apa-apa karena dari pemeriksaan BPK tahun 2010, sebesar Rp 4,12 triliun dana otsus menguap tidak jelas. Untuk itu, pemerintah pusat harus mengawasi penggunaan dana tersebut secara ketat. [rm]

Baca juga: