Minggu, 06 Mei 2012


Johny Budiyono   Pemberontakan PRRI-Permesta 
22 hours ago  

Masyarakat kota Padang, Sumatra Barat, pendukung Pemerintahan Revolusioner Indonesia (PRRI) sedang melakukan aksi protes menentang pemerintah pusat (Jakarta) yang mereka tuduh mereka pro “komunis” , pada bulan Februari 1958, beberapa hari setelah “proklamasi” PRRI tanggal 15 Februari 1958. Dan bukan suatu kebetulan apabila aksi itu dilakukan tepat di depan kantor Pusat Penerangan Kedutaan Besar Amerika Serikat (USIS) Padang, justru pada hari-hari ketika situasi di tanah air sedang dalam puncak kegentingan yang disebabkan oleh pemberontakan PRRI/Permesta ini, yang mana pusat pemberontakan tersebut berada di kota Padang, dan Amerika Serikat secara luas saat itu dituding sebagai pihak yang membantu para pemberontak. Foto hasil jepretan jurnalis LIFE Magazine, James Burke, ini telah secara jelas “berbicara” tentang fakta-fakta keterlibatan subversiv Amerika Serikat dalam upaya-upaya tak kenal lelah mereka untuk menyingkirkan Bung Karno dari tampuk kekuasaan dan mendegradasi semua potensi revolusioner yang terdapat di kalangan rakyat Indonesia. Kenyataan bahwa seorang jurnalis dari sebuah majalah Amerika bisa memiliki akses yang luas untuk melakukan liputan mendalam di sebuah basis pemberontak anti pemerintah Soekarno ini, (James Burke juga memiliki foto-foto ekslusif pelantikan kabinet PRRI/Permesta ) merupakan bukti lain dari hubungan dan kedekatan antara pemimpin-pemimpin PRRI/Permesta dengan para “majikan” mereka di Washington. Atas instruksi Presiden Eisenhower, pihak Amerika melakukan suatu operasi “tertutup” (artinya tidak diakui secara resmi, berbeda dengan operasi di Vietnam misalnya) untuk mendukung pemberontakan, dengan “Dulles bersaudara” , Direktur CIA Allen Dulles dan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, bertindak sebagai operatornya. Keputusan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno ini telah diambil oleh Presiden Eisenhower pada tanggal 25 September 1957, lima bulan sebelum proklamasi PRRI (Tim Weiner, Gramedia, 2008, hal. 186). Dalam arsip CIA yang berhasil didapat oleh Weiner, ada tiga point rencana yang akan dilakukan untuk menjalankan program penggulingan Soekarno ini, yaitu ; 1. Menyediakan senjata dan bantuan militer lainnya bagi para komandan militer yang “anti Soekarno”. 2. Memperkuat determinasi , kemuan dan kepaduan dari perwira-perwira pemberontak Angkatan Darat di Sumatra dan Sulawesi 3. Mendukung dan mendorong , “agar bertindak” baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, elemen-elemen “anti komunis dan non komunis” di kalangan partai-partai politik di Pulau Jawa. 
Kerjasama Amerika dengan PRRI/Permesta ini tidak hanya dengan tokoh-tokoh militernya saja, namun juga dengan tokoh-tokoh sipil anti Soekarno dan anti komunis, termasuk tokoh-tokoh politik papan atas, khususnya dari dua buah partai politik, yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), hal mana menyebabkan kedua partai tersebut dilarang oleh pemerintah pada tahun 1960. Tokoh PSI Dr. Soemitro Djojohadikusumo (ayah mantan Pangkostrad Letjen Purn. Prabowo Subianto) pada tanggal 15 Januari 1958 meninggalkan Sumatra Barat menuju ke Singapura dan kemudian ke Eropa Barat, untuk menggalang dana dan bantuan-bantuan lainnya dari luar negeri, termasuk upaya mendapatkan senjata. (Audrey Kahin, “Dari Pemberontakan ke Integrasi”, Yayasan Obor, Jakarta , 2008 hal. 322) . Informasi tentang hubungan Soemitro dengan Amerika dan dinas intelijennya, CIA ini dibenarkan oleh Letnan Kolonel Sumual, yang saat itu bersama-sama dengan Soemitro sedang berada di Singapura. Menurut cerita Sumual (R.Z. Leirissa, “PRRI/Permesta : Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis” Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991. hal 215) saat ia dan Soemitro serta beberapa tokoh PRRI /Permesta lain sedang berada di sebuah restoran di Singapura, beberapa orang Barat mendekati mereka dan mengajak berbincang. 

Masih menurut Sumual, ternyata orang-orang tersebut (CIA) mengetahui mereka sedang melawan “Soekarno” dan lalu menawarkan bantuan senjata. Tawaran itu mereka terima dan hasilnya, bantuan persenjataan pertama dari Amerika untuk PRRI seperti peluncur roket , granat, senapan dan amunisi yang cukup untuk mempersenjatai 8.000 tentara, tiba pada pertengahan Januari 1958 di pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Bantuan-bantuan lain tiba secara bergelombang ke dua basis utama pemberontakan, Sumatra dan Sulawesi Utara, memanfaatkan keberadaan fasilitas dan pangkalan militer Amerika dan Inggris yang berada di Filipina, Singapura, Malaya dan Taiwan. Derasnya bantuan dari luar negeri, khususnya AS ini disebabkan oleh sikap konsisten anti komunis PRRI/Permesta, sebagai alasan utama pemberontakannya, dalam berbagai pernyataan yang dikeluarkan di dalam maupun di luar negeri (Soemitro cs). 

Namun dalam kenyataannya, saham terbesar dalam penumpasan pemberontakan itu justru dimiliki oleh para perwira militer yang sama-sama anti komunis, seperti KSAD Jendral Nasution, Wakil KSAD Jendral Gatot Subroto, Kolonel Ahmad Yani dll. Fakta ini pada akhirnya menyebabkan Amerika Serikat kemudian menjadi ragu-ragu untuk secara penuh mendukung PRRI/Permesta, apalagi ketika ternyata pemberontakan ini dapat diatasi dengan relativ mudah oleh pemerintah Indonesia. Deputy KSAD Kolonel Ahmad Yani sekaligus komandan operasi “17 Agustus” yang berhasil merebut Padang dari tangan PRRI , mengingatkan Atase Militer AS di Indonesia saat itu, Kolonel Geroge Benson, bahwa bantuan AS kepada pemberontak telah “menempatkan perwira-perwira (AD) yang pro Amerika Serikat kedalam keadaan yang sulit” (Barbara Harvey, “Permesta : Pemberontakan Setengah Hati” Grafiti Pers, Jakarta, 1984. Hal 149)

Dukungan AS kepada PRRI /Permesta ini akhirnya benar-benar diakhiri setelah seorang pilot berkebangsaan Amerika yang merupakan seorang agen CIA, Allen Pope, ditangkap setelah pesawatnya ditembak jatuh oleh pasukan Indonesia, saat ia sedang melaksanakan sebuah misi pemboman untuk kepentingan Permesta di atas perairan Maluku, pada tanggal 18 Mei 1958. Pada hari berikutnya, Direktur CIA Allen Dulles mengirim telegram kepada semua personel CIA yang berada di Indonesia, Filipina, Taiwan dan Singapura, berisi perintah agar mereka segera meninggalkan posisi, menghentikan pengiriman uang, menutup jalur pengiriman senjata, memusnahkan semua bukti dan mundur teratur (Tim Weiner, hal. 194)

Dengan demikian campur tangan Amerika dalam “episode PRRI/Permesta” ini berakhir, namun tidak berarti bahwa obsesi mereka untuk menyingkirkan Presiden Soekarno ini juga lantas berakhir, karena AS kemudian melakukan perubahan taktik dan strategi dengan cara melakukan pendekatan kepada elemen-elemen anti komu
nis lain yang ada di Indonesia, dengan cara-cara yang relativ lebih “halus” dan berhati-hati
 

(Catatan ini diunduh dari FB oleh K.Prawira)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar