Jumat, 18 Mei 2012

DENGAN PERSATUAN NASIONAL BANGKIT MELAWAN POLITIK NEOLIBERAL

Untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-104 (2012)  Redaksi INDONESIA BERJUANG perlu menampilkan ulang makalah MD Kartaprawira "DENGAN PERSATUAN NASIONAL BANGKIT MELAWAN POLITIK NEOLIBERAL" (Memperingarti 100 Tahun Kebangkitan Nasional), sebab masih relevan untuk situasi Indonesia dewasa ini. Semoga tulisan tersebut menjadi masukan yang bermanfaat. Terima kasih.
Salam Juang, Redakasi.


DENGAN PERSATUAN NASIONAL BANGKIT MELAWAN POLITIK NEOLIBERAL*
(Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional)
 Oleh: MD Kartaprawira

 Kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional tidaklah hanya memperingati hari lahirnya organisasi Boedi Oetomo saja. Tetapi memperingati proses panjang perjuangan pembentukan nasionalisme patriotik yang dimulai dengan lahirnya Boedi Oetomo, yang tanggal 20 Mei 2008 genap ke 100 tahunnya.

Sejak timbulnya Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang dipelopori oleh para mahasiswa Stovia (Kedokteran), a.l. Cipto Mangunkusumo dan Wahidin Sudirohusodo mulailah bermunculan timbul banyak  organisasi pergerakan (antara lain Sarekat Islam pada tahun 1911). Memang Boedi Oetomo sebagai organisasi kebangsaan masih dalam taraf terbatas ruang lingkupnya (Jawa-Madura) dan masih terkait dengan suku Jawa-Madura. Meskipun demikian Boedi Oetomo yang menitik beratkan gerakannya dalam lapangan pendidikan dan budaya mempunyai arti penting dalam pembinaan jiwa nasionalisme. Pada perkembangan selanjutnya muncullah organisasi-organisasi pemuda kedaerahan  (seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan lain-lainnya) yang gerak langkahnya menjurus pada jalan politik, sehingga pada tahun 1928 mengumandangkan pernyataan "Sumpah Pemuda": "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa – INDONESIA".

Juga di Negeri Belanda terjadi proses serupa. Ketika pada tahun 1928 Dr.Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro diasingkan ke Negeri Belanda, sejak itu Perhimpunan Indonesia yang semula adalah organisasi santai non politik, berubah menjadi organisasi politik yang tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Perhimpunan Indonesia mempunyai media yang namanya "Indonesia Merdeka".  Di samping itu Perhimpunan Indonesia tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, tapi sementara dari mereka juga berjuang melawan Fasisme Jerman di Negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia telah banyak menyumbangkan tokoh-tokohnya di dalam perjuangan menddirikan dan mempertahankan negara Republik Indonesia (Ali Sastroamidjojo, Sartono, Sunito, Sjahrir, Hatta, Abdulmadjid, Jusuf Muda Dalam, Setiadjid dan lain-lainnya).

Di samping itu mulai tahun 20-an bermunculan partai-partai politik yang jelas visi dan misinya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Itulah dialektika sejarah – pantha re, mengalir terus kedepan, dari organisasi sosial budaya yang moderat menuju organisasi politik yang tegas berjuang untuk kemerdekaan Indonesia (PNI, PKI, GERINDO, PARTINDO, dan lain-lainnya). Gerakan Kebangsaan mencapai klimaksnya dalam era di mana Bung Karno aktif berkiprah untuk pembentukan jiwa kebangsaan Indonesia yang anti nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, imperialisme) untuk terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil makmur.

Nation Building yang telah  dilakukan oleh Bung Karno, meskipun pada waktu itu Indonesia masih dalam situasi serba kekurangan,  telah sukses membina jiwa patriotisme bangsa Indonesia untuk berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Prioritas pertama adalah perjuangan pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda sebagai langkah untuk menciptakan kedaulatan penuh atas teritori Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tapi dalam tenggang waktu 32 tahun kekuasaan rejim Suharto telah menggantikan hasil-hasil nation building dengan kebijakan-kebijakan garis politik neoliberal di Indonesia: Semua kekayaan alam Indonesia dijual dan diobral kepada kapital global

Bicara tentang neo-liberalisme di Indonesia tidak bisa tidak menyinggung  timbulnya UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, yang merupakan pembuka pintu penetrasi politik neoliberalisme di Indonesia. Politik Pintu Terbuka tersebut adalah hasil kerjasama kaum neoliberal dengan antek-anteknya (Mafia Berkeley) di Indonesia yang bersarang di dalam rejim Orde Baru/Suharto.

Dalam waktu singkat akibat  "Politik pintu terbuka" tersebut sebagian besar sumberdaya  alam Indonesia dikuasai oleh kapital finansial global. Malapetaka kemudian timbul: hutan manjadi gundul – yang berakibat timbulnya bencana tanah longsor, banjir, kehancuran lingkungan;  hasil-hasil pertambangan dikuasai dan dikuras oleh kapital monopoli asing , sehingga rakyat tidak merasakan enaknya, sebaliknya sangat ironis: Indonesia sebagai negara penghasil minyak tapi  rakyatnya harus antri panjang untuk mendapatkan minyak. Lebih celaka lagi harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah dewasa ini. Maka gerakan menolak kenaikan harga BBM perlu didukung. Jelas Pasal 33 UUD 1945 oleh pemerintah telah diinjak-injak, dan dengan demikian rakyat pun diinjak-injak haknya untuk menikmati kekayaan alamnya. 

Ketika ditandatangani 50 butir Kesepakatan IMF di waktu Indonesia dilanda krisis ekonomi besar, maka Indonesia telah kehilangan kedaulatannya dalam lapangan ekonomi: semua kebijakan pemerintah dalam lapangan ekonomi telah dikendalikan dan dikontrol oleh IMF. Apalagi Indonesia yang APBNnya selalu defisit terpaksa harus mengemis hutangan kepada sumber-sumber keuangan neoliberal (IMF, World Bank, semacamnya), yang semuanya tentu memaksakan kebijakan neoliberlisme atas Indonesia sebagai syaratnya. Ketika IMF menentukan syarat pencabutan subsidi dan swastanisasi BUMN rakyatlah yang menanggung penderitaannya.

Pendidikan yang pada jaman Soekarno diselenggarakan dengan segala kebijakan untuk memajukaan bangsa, misalnya sekolah gratis di Sekolah Dasar, dikembangkan sistem pendidikan kejuruan dimana pelajar/mahasiswa diberi bea siswa dari sekolah tingkat SLTP sampai Universitas, demi pembangunan nasional. Dewasa ini dalam sistem pendidikan telah disebar virus liberalisasi, sehingga hanya mereka yang berduit bisa melanjutkan belajar. Bahkan anggaran pendidikan yang sudah ditetapkaan dalam UUD 1945 sebanyak 30% dari APBN, dengan alasan yang dicari-cari tidak dilaksanakan.
Sekali lagi hal tersebut adalah pelanggaran UUD 1945 yang terang-terangan.

Dalam bidang hukum begitu juga keadaannya. Gunung es korupsi yang muncul di era   rejim Suharto sampai sekarang masih megah berdiri, sebab disangga oleh kekuatan orde baru yang masih eksis di semua lapangan. Bagaimanapun, meski KPK belum bisa membongkar koruptor kakapnya yang bersembunyi dibagian dasar gunung es, tapi dia setidak-tidaknya telah membuktikan bahwa  banyak intitusi negara telah menjadi sarang korupsi.

Dalam bidang penegakan HAM idem dito, sami saja. Belum ada kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dituntaskan. Meskipun sudah dibentuk UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan telah diratifikasi beberapa Konvensi PBB tetapi pelaksanaanya masih perlu dipertanyakan. Dan yang sangat menyedihkan korban pelanggaaran HAM berkaitan peristiwa 1965 yang korbannya jutaan manusia sampai sekarang tidak pernah disinggung penuntasannya oleh penyelenggara negara. Kesimpulannya: kebenaran dan keadilan yang dijamin dalam UUD 45 tetap masih belum ditegakkan.

Tidak salah kalau dikatakan bahwa saat ini di Indonesia yang kaya raya sedang mengalami proses  "Keterpurukan Nasional" – menjadi salah satu negara paling melarat di dunia, rakyat sengsara sedang negara "kehilangan" kedaulatannya.  Kita tidak melihat lagi wajah nasionalisme yang  membela rakyat. Di sinilah kita harus mulai bangun bangkit kembali untuk menegakkan nasionalisme-kerakyatan – nasionalisme yang patriotik menentang politik neoliberal.

Estafet proses Kebangkitan Nasional dewasa ini agaknya lebih sukar dilakukan ketimbang kebangkitan nasional pada jaman perjuangan pembebasan nasional melawan kolonialisme Belanda. Sebab cengkeraman kaum neo-liberal sudah begitu dalam dan mengakar, sehingga untuk mengatasinya perlu waktu panjang berkesinambungan. Perjuangan panjang ke depan ini hanya bisa dilaksanakan oleh para generasi muda yang sadar akan amanat pembebasan nasional melawan neoliberalisme, yang berani berjuang untuk melanjutkan nation building sebagai yang telah dilakukan Bung Karno dengan garis politik Persatuan Nasional. 

Dasar garis politik Persatuan Nasional telah dilukiskan Bung Karno pada tahun 1926 dalam artikel "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Kemudian  garis politik persatuan nasional tersebut menjiwai dasar negara Pancasila 1 Juni 1945. Dan ketika Bung Karno memegang kendali pemerintahan setelah Dekret Presiden Juli 1959 garis politik persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama, Komunis. (sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim). Seperti kita ketahui sejak Nopember 1945 sampai Juli 1959 Bung Karno tidak mempunyai kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif), tetapi hanya sebagai Kepala Negara saja.

Dalam sejarah telah terbukti bahwa dengan persatuan nasional kita berhasil mencapai kemerdekaan, menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya pembrontakan-pemberontakan dan disintegrasi, Irian Barat berhasil direbut kembali dari cengkeraman penjajah. Sebaliknya ketika persatuan nasional diporak porandakan oleh rejim Orba/Suharto, maka timbullah malapetaka di segala bidang bagi bangsa dan negara.
Hal ini nampak nyata antara lain dengan adanya kerusuhan-kerusuhan yang berlatar belakang SARA di berbagai daerah yang telah mengorbankan banyak jiwa dan harta benda . Sangat menyedihkan hal itu masih berlangsung terus sampai dewasa ini.

Maka dalam menjawab situasi keterpurukan nasional dewasa ini adalah penting sekali kita pakai "Jas Merah"nya Bung Karno : "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", artinya jangan meninggalkan sejarah tentang peranan pentingnya Persatuan Nasional. Dengan demikian  dalam perjuangan menghadapi keterpurukan nasional dewasa ini penggalangan persatuan nasional adalah conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak) untuk melawan semua penyebab keterpurukan nasional, yang biangkeroknya adalah a.l. politik neoliberal di Indonesia. 

Tetapi perlu diingat bahwa persatuan nasional bukanlah asal persatuan, melainkan persatuan di bawah bendera Trisaktinya Bung Karno: agar Indonesia berdaulat dalam bidang politik, tidak menjadi pion dan antek dari negara asing; agar Indonesia yang kaya raya sumber daya alamnya mandiri di bidang ekonomi, sehingga tidak tergantung pada  bantuan dan hutangan luar negeri, yang mengakibatkan Indonesia terjerat oleh kebijakan-kebijakan neoliberalisme; dan agar kepribadian Indonesia mewarnai budaya kita kembali, bersih dari budaya korupsi.

Sebagai pelengkap, dalam memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional saya ingin sedikit menyinggung tentang opini yang sedang beredar di media massa (cetak, internet) yang menolak Boedi Oetomo sebagai organisasi yang patut dijadikan tonggak hari  kebangkitan Nasional, menurut mereka seharusnya Sarekat Islam. Tapi kita perlu lihat realitas, bahwa kita tidak melihat malapetaka dengan diakuinya Boedi Oetomo sebagai organisasi pemula kebangunan nasional. Yang kita lihat adalah proses terbentuknya organisasi-organisasi dari taraf sederhana dan moderat menuju terbentuknya organisasi-organisasi modern dengan garis politik melawan penjajahan.

Adalah tidak bijak memperpanas situasi politik yang carut marut dewasa ini dengan isu yang mempertentangkan Boedi Oetomo dengan Sarekat Islam. Saya khawatir isu tersebut memang sengaja untuk mengalihkan perhatian keterpurukan nasional dewasa ini, atau untuk mempertegang hubungan kaum nasionalis yang mempertahankan negara Indonesia berdasarkan Pancasila dengan sebagian kaum muslim yang menginginkan negara atas dasar syariah? Mudah-mudahan kekhawatiran tersebut tidak benar. Mungkin jalan keluar yang baik adalah pembentukan komisi yang terdiri dari pakar sejarah untuk mengkaji ulang masalah tersebut secara obyektif.

*) Sambutan pada Peringatan
"100 Tahun Kebangkitan Nasional",
Diemen, Nederland, 18 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar