Jumat, 28 Februari 2014

SEABAD RM DJAJENG PRATOMO Pejuang yang Terlupakan


RM Djajeng Pratomo di usia tua (kiri) dan mengenakan kostum tari Jawa (kanan). Foto: Aboeprijadi Santoso.
SEABAD RM DJAJENG PRATOMO
Pejuang yang Terlupakan
Dia berkampanye memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bergerilya-kota melawan Nazi-Jerman, serta membela kemerdekaaan Indonesia saat agresi Belanda.
OLEH: ABOEPRIJADI SANTOSO, KONTRIBUTOR/AMSTERDAM
Dibaca: 2416 | Dimuat: 24 Februari 2014
RADEN Mas Djajeng Pratomo genap seabad pada 22 Februari 2014. Hidup mandiri di apartemen di desa ‘t Zand di ujung utara Belanda, Djajeng lama tersisih dari perhatian media di Belanda maupun Indonesia.
Dia lahir di Bagan Siapi-api, kota pasar ikan di pantai timur Sumatra, putra sulung Dr Djajengpratomo dari Pakualaman Yogyakarta.
Ayahnya, Djajengpratomo, mengenyam sekolah kedokteran yang diperuntukkan bagi kaum ningrat, STOVIA, di Batavia. Dia salah satu alumnus pertamanya. Asal-usulnya yang memberinya privilese pendidikan itulah yang justru membuat dirinya insyaf akan status diri dan patrianya sebagai bagian dari sistem negeri jajahan. Ini melahirkan aspirasi kebangsaan dan mendorongnya ikut gerakan nasionalis pimpinan Dr Soetomo.
Djajengpratomo mempelopori pelayanan kesehatan di klinik di Bagan Siapi-api. Berkat perannya –dia mahir berbahasa Tionghoa untuk melayani mayoritas penduduk yang asal Tionghoa– namanya diabadikan pada rumahsakit lokal: RSUD Dr Pratomo.
Djajeng Pratomo –semula namanya Amirool Koesno, kemudian digantinya dengan nama ayahnya– bernasib hampir serupa. Seperti ayahnya, privilese yang memungkinkannya masuk sekolah menengah Koning Willem II School di Batavia membuat dirinya sadar sebagai anak jajahan. Menyusul adiknya, Gondho Pratomo, Djajeng pada 1935 bertolak ke Belanda untuk melanjutkan studi kedokteran di Leiden.
Justru di Belanda Djajeng menemukan budaya aslinya. Dia menggemari, mempelajari, dan mementaskan tari Jawa melalui kelompok seni tari De Insulinde.
Tahun 1930-an adalah tahun krisis. Naziisme-Hitler berkuasa di Jerman dan mengguncang Eropa. Djajeng menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah klub sosial mahasiswa Indonesia di Belanda yang didirikan pada 1922 dan kemudian berkembang jadi organ politik kebangsaan yang gigih melawan kekuatan fasis. (Baca: Perhimpunan Indonesia, Wahana Perjuangan)
Nama Djajeng tak terpisahkan dari Stijntje ‘Stennie’ Gret, gadis Schiedam yang dijumpainya di sebuah toko buku pada 1937. Stennie meminati perkembangan di Hindia dan tertarik pada seni tari Jawa. Bersama Djajeng, yang kemudian jadi suaminya, keduanya menjadi mitra di bidang budaya sekaligus sekutu politik.
Dasawarsa 1930-an merupakan hari-hari bahagia mereka. Dua sejoli ini sering menikmati pergelaran jazz di teater prestisius Pschorr di Coolsingel, Rotterdam, dan De Insulinde mementaskan tarian Jawa oleh Djajeng di Koloniaal Instituut van de Tropen di Amsterdam. Di mana ada Djajeng, di situ ada Stennie. Juga ketika De Insulinde mementaskan tari di London untuk menghimpun dana guna membantu Tiongkok yang kala itu diduduki tentara Jepang.
Tahun 1940-an menjadi masa bergolak yang penuh tragik. Di bawah pendudukan Nazi, PI jadi ilegal. Polisi Jerman memburu para aktivisnya. Pada 1943 Djajeng dan Stennie ditahan di kamp Vught. Tahun berikutnya mereka dikirim ke kamp maut Nazi di Ravenbruck dan Dachau di Jerman.
“Di Dachau,” Djajeng berkisah, “saya melihat tumpukan mayat setiap hari.” Sebagai tenaga kerja paksa untuk pabrik pesawat terbang Messerschmitt, setiap hari dia menyaksikan orang digantung mati. Jika ada peluang, Djajeng mencoba menyelamatkan tawanan, tutur salah seorang yang diselamatkannya. Sementara di kamp Ravenbruck, Stennie mencat-hitam rambut para tawanan perempuan agar tampak muda ketika penguasa kamp memerintahkan untuk membinasakan para tawanan jompo.
Selamat dari derita kamp, Djajeng dan Stennie dibebaskan tentara Sekutu namun baru bertemu kembali pada September 1945, sebulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka lalu menikah sebagai warga negara Indonesia pada Februari 1946 dan melanjutkan pekerjaan politik untuk membela kemerdekaan Indonesia.
Ketika Belanda melancarkan agresi militer I pada Juli 1947, PI menggelar protes massal di Concertgebouw, Amsterdam. Kampanye membela kemerdekaan Indonesia membawa mereka ke Eropa Timur. Di Praha, Djajeng dan kawan-kawannya turun ke jalan dan dengan bangga mengibarkan bendera Merah-Putih ketika dia memimpin delegasi Indonesia di World Federation of Democratic Youth. Kampanye itu bahkan berlanjut sampai Serajewo dan kota kota lain di Yugoslavia. Kembali ke Belanda, mereka bergerak di bawah tanah selagi pecah perang kemerdekaan di Indonesia.
Djajeng dan Stennie dua kali berencana pulang ke Indonesia, namun membatalkannya. Kali pertama karena agresi militer I dan kali kedua karena terjadi pembantaian 1965-1966. Lalu, dengan alasan pragmatis, mereka beralih ke kewarganegaraan Belanda pada 1975. Akhirnya, setelah kurun enam dasawarsa, Djajeng dan Stennie sempat menginjakkan kaki di Indonesia.
Kembali di Belanda, Djajeng tetap aktif politik di front internasional, dan baru berhenti ketika Stennie jatuh sakit dan meninggal pada 2010.
Djajeng, Stennie, dan kamerad-kameradnya tergolong generasi yang meyakini bahwa sejarah selalu bergerak maju. Dengan begitu mereka merumuskan idealisme dan kekuatan politiknya berdasarkan solidaritas internasional. Kini mereka hidup di dunia yang telah berubah radikal. Namun perubahan itu tidaklah seperti yang mereka bayangkan dan proyeksikan.
Meski begitu, Djajeng tak merasa kecewa. Dia masih mencintai Indonesia, dengan seni tari, musik gamelan, serta kulinernya. Djajeng kini tak mampu lagi berbahasa Indonesia. Namun, dengan semangat internasionalnya, idealisme kepatriotan dan aksi-aksi perjuangannya, Djajeng Pratomo adalah salah satu patriot istimewa Indonesia.
*) Dengan terima kasih atas perantaraan Ny. Marjati Pratomo.
Sumber: http://historia.co.id/artikel/persona/1344/Majalah-Historia/Pejuang_yang_Terlupakan

Minggu, 09 Februari 2014

FILM "GAJAH MADA" SEGERA DIGARAP

FILM "GAJAH MADA" SEGERA DIGARAP

Disiapkan oleh  
Diterbitkan di Selebritis
 Minggu, 09 Februari 2014 19:30
Beri nilai item ini
(0 penilaian)

film Gajah Madafilm Gajah Madahiburan.plasa.msn.com/WARTAHARIAN.CO
WARTAHARIAN.CO-(Kediri)  Perjalanan hidup Gajah Mada, Patih Kerajaan Majapahit yang dicatat sejarah Indonesia sebagai patih yang hebat karena mampu menyatukan Nusantara, sebentar lagi bisa disaksikan di layar lebar.
Film "Gajah Mada" yang mengambil tema "Sira Gajah Mada Ambekel Ing Bhayangkara", akan mulai diproduksi pada Mei 2014 mendatang oleh rumah produksi PT Tawi Nusantara yang penggarapannya akan memakan waktu 2 sampai 3 bulan.
Berbagai Proses persiapan penggarapan film Gajah Mada kini sudah mulai dilakukan, dan agar sesuai dengan sejarah, kota Kediri telah dipilih sebagai salah satu lokasi pembuatan film tersebut selain Gunung Bromo, Malang, Tulungagung dan Indramayu.
"Napak tilas sejarah Gajah Mada sebelum mempersatukan Nusantara memang diawali dari tugas dan tanggung jawabnya di Kerajaan Dhaha atau Doko Ngasem Kabupaten Kediri," Renny Masmada, penulis skenario sekaligus sutradara film itu di Hotel Bukit Daun, Kediri, Jawa Timur, Minggu.
Renny mengaku sudah melakukan riset yang menurutnya memakan waktu yang cukup lama, sampai puluhan tahun dia mendalami sejarah Patih yang memproklamirkan Sumpah Palapa itu.
"20 tahun saya meriset sejarah dan cerita tentang Gajah Mada. Waktu yang tidak sebentar itu saya gunakan untuk menjelajah, menelusuri dan mencari jejak perjalanan Gajah Mada yang kepopulerannya melebihi Genghis Khan," tuturnya.
Beberapa aktor dan aktris terbaik akan dilibatkandalam penggarapan film bertema klasik kolosal tersebut. antara lain : Ray Sahetapy, Jajang C Noer, Adipura, Pong Hardjatmo, Boy Lee, Ajeng Viola Pitaloka dan Rangga Djoned.
Film kolosal itu diperkirakan akan memakan biaya sebesar Rp 30 miliar terutama karena melibatkan banyak pemain, kostum dan setting lokasi.
"Ini film klasik kolosal tentang abad ke 13 dan 14, yang pasti banyak sekali pemainnya, sekitar 2.000 sampai 3.000 orang akan ikut bermain dalam film ini," kata Renny.
Tak hanya adegan peperangan, penonton juga akan dibuat kagum dengan seting Kerajaan Majapahit yang akan dibuat mendekati aslinya, janji Renny. (WH/AP)

(http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2014_02_01_archive.html)