Sabtu, 31 Agustus 2013

Bung Karno Di Mata SK Trimurti

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/08/bung-karno-di-mata-sk-trimurti.html

Bung Karno Di Mata SK Trimurti

BERDIKARIonline, Jumat, 21 Juni 2013 | 23:14 WIB   ·   
 sk-trimurti.jpg

21 Juni 1970, 43 tahun yang lalu, Bung Karno wafat. Meski kematiannya disembunyikan oleh rezim Orde Baru, ribuan rakyat Indonesia berjejer di pinggir jalan melepas Bung Karno. Di Blitar, Jawa Timur, lautan manusia menangis saat jenazah Bung Karno diturunkan ke liang lahat.
Hari itu juga, begitu mendengar kabar wafatnya Bung Karno, SK Trimurti pontang-panting ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Di rumah sakit itulah Bung Karno menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Namun, sampai di RSPAD, Trimurti baru tahu kalau jenazah Bung Karno sudah dipindahkan ke Wisma Yaso. Ia pun langsung meluncur ke Wisma Yaso. Lagi-lagi perjuangan Trimurti untuk melihat wajah Bung Karno untuk terakhir kalinya tidak gampang. Wisma Yaso sudah dipagar betis oleh tentara. Susah sekali untuk masuk. Tetapi Trimurti tidak kehabisan akal. Ia melihat seorang tentara berdiri dengan mengangkang. Tanpa berfikir lama, ia menerobos sela-sela kaki tentara itu dan berlari menghampir peti jenazah Bung Karno.

Bagi Trimurti, Bung Karno adalah gurunya. Tetapi justru Bung Karno menganggap Trimurti sebagai adiknya. Kalau bukan karena pengaruh Bung Karno, mungkin jalan hidup Trimurti bisa lain. Bung Karno-lah yang menginspirasi Trimurti untuk terjun dalam perjuangan politik.
Trimurti sendiri lahir di tengah keluarga Keraton Kasunanan Surakarta tanggal 11 Mei 1912. Ayahnya, R. Ng. Salim Mangunsuromo, hanya mengajari Trimurti bahwa perempuan pada akhirnya akan menjadi seorang istri. Karena itu, ajaran pertama yang didapatnya hanya: marak (setia pada suami), macak (pandai menghias diri), masak (pandai memasak), dan manak (bisa melahirkan anak).

Namun, pandangan itu mulai berubah setelah Trimurti menyelesaikan pendidikannya di Meisjes Normaal School (Sekolah Guru Perempuan). Saat itu, ia bekerja sebagai guru di sekolah khusus anak perempuan (Meisjesschool). “Selama mengajar, saya makin akrab dengan buku-buku. Tapi saat itu saya lebih memusatkan perhatian pada buku-buku politik,” ujar Trimurti.
Namun, situasi penjajahan saat itulah yang paling mendorong Trimurti untuk terlibat gerakan politik. Ia menjadi anggota Rukun Wanita dan beberapa kali mengikuti rapat-rapat Boedi Oetomo cabang Banyumas. Namun, saat itu langkah politik Trimurti masih moderat.

Pada tahun 1930, ia mulai berkenalan dengan tulisan-tulisan dan pidato Bung Karno. Ia juga sering mendengar pidato Bung Karno yang menggelegar dari radio. Sejak itulah pemikiran politik radikal mulai merasuki Trimurti. Begitu Bung Karno keluar dari penjara, tahun 1932, ia segera bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo)–pecahan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Saat itu Partindo hendak menggelar Rapat Umum di Purwokerto. Trimurti mendengar kabar itu. Dengan menumpangi dokar, ia pergi ke Purwokerto untuk menyimak pidato Bung Karno. Sayang, gedung tempat Rapat Umum sudah penuh sesak. Ia hanya kebagian tempat duduk paling belakang. Namun, kendati Bung Karno berpidato tanpa pengeras suara, suaranya tetap membahana ke seluruh ruangan.
Pidato Bung Karno langsung menohok kolonialisme. Ia menguliti kejahatan kolonialisme dan imperialisme ke akar-akarnya. Tak hanya itu, Ia lantang menyeruan kemerdekaan sebagai jalan keluar dari keterjajahan. Pidato Bung Karno sangat menggugah Trimurti. Sepulang dari Rapat Umum, ia merenung. Akhirnya, ia membulatkan tekad bergabung dengan Partindo. Pekerjaannya sebagai guru di Meisjesschool pun ditinggalkan.

Ia kemudian pindah ke Bandung. Di sana ia mengajar di sekolah pergerakan yang didirikan oleh tokoh nasionalis Sanusa Pane, yakni Perguruan Rakyat. Di sana pula Trimurti mulai bertemu langsung dengan Bung Karno. Ia mulai aktif dalam kursus-kursus politik yang digelar oleh Partindo. Bung Karno jadi pengajarnya.

Bung Karno pula yang memicu bakat jurnalisme Trimurti. Suatu hari Bung Karno mengajak Trimurti menulis di korannya, Fikiran Ra’jat. “Tri, ayolah nulis,” ujar Bung Karno. Karena Fikiran Ra’jat adalah majalah minggu politik populer, yang penulis-penulisnya adalah tokoh terkenal, Trimurti pun merasa segan. “Saya ndakbisa,” Jawab Trimurti. Tetapi Bung Karno bersikeras agar Trimurti bisa menulis.
Trimurti belajar keras. Ia belajar merangkai kalimat demi kalimat. Alhasil, dalam waktu singkat ia berhasil. Tulisan-tulisannya tajam dan garang. Tahun 1936, ketika ia bergabung dengan Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) di Jogjakarta, Trimurti menjadi pemimpin redaksi majalah “Soeara Marhaeni”. Sejak itulah, supaya aktivitas politiknya tidak tercium oleh orang tuanya, ia menggunakan nama pena: S.K. Trimurti. Belakangan orang lebih mengenal nama penanya, Trimurti, ketimbang nama aslinya, Surastri.

Selain terkenal tajam dengan goresan penanya, Trimurti juga menjelma menjadi ahli pidato. Ia belajar dari Bung Karno. Pidatonya selalu membakar semangat peserta Rapat Umum. Alhasil, ketika sedang berpidato di sebuah Rapat Umum Wanita, PID datang menghentikannya. Ia diinterogasi panjang lebar. “Pidatomu itu dibikinkan oleh Soekarno, ya?” kata Interogator itu.
Sejak terjun dalam gerakan anti-kolonial, Trimurti sering keluar-masuk penjara. Ia pernah dipenjara 9 bulan gara-gara famplet gelap. Bahkan, menjelang kedatangan fasisme Jepang, Trimurti dipenjara bersama anaknya yang masih balita. Meski sering menjadi langganan hotel Prodeo, Trimurti tidak pernah kapok. Ia sadar, itulah konsekuensi dari pilihan politiknya.

Tahun 1943, Trimurti diajak Bung Karno masuk ke Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Namun, tak lama berdiri, Putera dibubarkan Jepang. Mereka kemudian dipaksa masuk Jawa Hokokai. Trimurti tidak punya banyak pilihan. Bung Karno berusaha menyakinkan, “kereta yang dibuat Jepang itu hanya satu, ya naikilah. Yang penting kita tetap konsisten terhadap cita-cita.” Bagi Trimurti, bergabung dengan Jawa Hokokai bukan berarti kooperatif dengan Jepang. “Tapi justru sebagai taktik dan strategi untuk menggunakan “kereta” itu bagi perjuangan kami,” ujarnya.

Trimurti juga menyaksikan dari dekat detik-detik menuju Proklamasi Kemerdekaan. Tapi tak hanya menyaksikan, Ia bagian dari proses itu sendiri. Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur 56, Trimurti ditawari untuk menjadi salah satu pengerek bendera Merah-Putih. Namun, ia melimpahkan tawaran itu ke Latief Hendraningrat.
Usai Proklamasi Kemerdekaan, Trimurti menjadi tenaga penting bagi berjalannya roda pemerintahan Republik muda ini. Awalnya, ia menjadi pimpinan pusat Partai Buruh Indonesia (PBI). Ketika Kabinet Amir Sjarifuddin dibentuk, Ia diminta mengisi posisi Menteri Perburuhan. Akhirnya, sejarah mencatat: Trimurti adalah Menteri Perburuhan pertama di republik ini. Semasa menjadi Menteri, ia aktif memperjuangkan UU perburuhan baru sebagai ganti UU perburuhan kolonial.
Ketika Kabinet Amir berakhir di tengah jalan, Trimurti kembali ke Jakarta. Ia aktif mengorganisir gerakan perempuan. Akhirnya, pada tahun 1950-an, bersama sejumlah aktivis perempuan lainnya, Ia mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar atau Gerwis. Kelak, Gerwis ini berganti nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Tahun 1959, Trimurti diangkat Bung Karno menjadi Anggota Dewan Nasional. Tahun berikutnya ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas). Dan pada saat itu, ketika Kabinet jatuh-bangun, Bung Karno menunjuk Trimurti sebagai Menteri Sosial. Tetapi Trimurti menolak. Ia merasa tidak bisa mengembang banyak tugas sekaligus. Ia menyampaikan keberatannya Bung Karno. Bung Karno agak marah dengan penolakan itu. “Mukanya menjadi merah, tapi dia tidak menyemburkan kemarahannya seperti biasa,” kenang Trimurti.

Namun, meski dekat dengan Bung Karno, bukan berarti Trimurti tidak pernah mengeritik. Ketika Bung Karno memutuskan menikah lagi, Trimurti melancarkan kritik. Ia menentang poligami. Bung Karno marah. “Saya tak ditegurnya,” kata Trimurti. Bahkan, ketika Bung Karno menyematkan Bintang Mahaputra ke dada Trimurti, muka Bung Karno cemberut. Namun, ketika Trimurti lulus dari Fakultas Ekonomi UI dan ada acara Wisuda, Bung Karno justru hadir. Hubungan Trimurti dan Bung Karno pun mencair.

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1962, Bung Karno menugasi Trimurti ke Yugoslavia untuk belajar Worker’s Management. Di sana ia belajar tentang gerakan buruh dan bagaimana buruh menjalankan pabrik. Tahun 1965, Trimurti kembali ke Indonesia. Namun, ia kurang sreg dengan kedekatan Bung Karno dan PKI. Maklum, Ia kecewa dengan Gerwani yang terkesan underbouw PKI.
Namun, kendati secara agak renggang, tetapi Trimurti sering menemui Bung Karno di Istana Negara. Di situ Bung Karno sering curhat dari masalah politik hingga keluarga. Begitulah, hingga akhirnya Bung Karno memenuhi panggilan Tuhan pada tanggal 21 Juni 1970. Bagi Trimurti, terlepas dari kelemahannya, Bung Karno adalah gurunya.
Ulfa Ilyas
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/20130621/bung-karno-di-mata-sk-trimurti.html#ixzz2daiIL2Uo
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Senin, 19 Agustus 2013

"Anak Harto"

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/08/anak-harto.html
  •  Sabtu, 27 Juli 2013 | 17:32 WIB
Mantan Presiden Soeharto. | KOMPAS/WAWAN H PRABOWO






Oleh: 

KOMPAS.com - Belakangan ini wabah SRS (sindrom rindu Soeharto) kambuh lagi setelah meroketnya harga sembako akibat kenaikan harga BBM. Reformasi telah berusia 15 tahun, presiden sudah gonta-ganti, dan itu belum mengubah persepsi banyak tentang ”zaman Soeharto”.
Muncul pertanyaan serius: siapa kita sebenarnya? Kita sering bernostalgia mengenang masa lalu yang indah, meratapi masa kini yang susah, dan kurang paham merancang masa depan.
Kita terjebak dalam ”pembabakan zaman/orde” yang divisive. ”Zaman normal” lebih baik daripada setelah merdeka atau lihat Orde Baru yang dulu jaya, dicela, dan kini dipuja lagi.
Entah siapa yang menciptakan istilah ”Orde Baru". Tetapi, tak lupa dibuat pula identitas ”Orde Lama” sebagai pembanding yang konon lebih buruk dibandingkan dengan Orde Baru.
Jangan lupa, Orde Baru dilahirkan oleh peristiwa ”Gestapu” (Gerakan September 30). Ini mirip dengan ”Gestapo”, dinas intelijen kepolisian Jerman saat Adolf Hitler berkuasa.
Tak sampai lima tahun setelah lahir, sejumlah kalangan dan tokoh sudah mengkritik Orde Baru menyimpang dari cita-citanya. Demokrasi mulai ditinggalkan, pers dan oposisi dibungkam, dan korupsi pun merajalela.
Pemilu-pemilu Orde Baru sejak 1971 mulai direkayasa demi kemenangan Golkar. Rezim Orde Baru memaksakan pula fusi partai tahun 1973 sebagai cara untuk melakukan depolitisasi.
Mungkin Orde Baru dianggap ”sukses” karena Pak Harto lebih memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Ironisnya, pembangunan ekonomi inilah yang jadi sumber korupsi.
Korupsi yang gila-gilaan jelas merupakan warisan Orde Baru. Mungkin yang membedakan korupsi yang terjadi saat itu dengan sekarang ini hanya soal metode dan jumlahnya saja.
Kualitas korupsi tetap sama. Kalau di zaman Orde Baru korupsi terjadi di bawah meja, di zaman Orde Reformasi sampai meja-mejanya diangkut sekalian.
Namun, tidak ada yang membedakan antara presiden sejak era Orde Baru sampai sekarang. Mereka kurang peka menangkap aspirasi rakyat, malah cenderung tutup telinga dan mata terhadap kritik dan saran.
Kritik paling pedas terhadap Pak Harto ditujukan oleh Ali Sadikin bersama 49 tokoh yang menerbitkan ”Pernyataan Keprihatinan”. Isinya mengecam pidato Pak Harto dalam Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, dan HUT Kopassandha di Cijantung, 16 April 1980.
Petisi 50 terdiri dari beragam tokoh berbagai latar belakang. Jenderal-jenderal purnawirawan, selain Bang Ali, ada Jenderal Besar AH Nasution (mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata) dan Jenderal (Pol) Hoegeng (mantan Kepala Polri).
Politisi-politisi kawakan juga banyak, seperti tokoh Islam Mohammad Natsir, tokoh nasionalis Manai Sophiaan, sampai perempuan pejuang kita, SK Trimurti. Beberapa bekas aktivis perjuangan mahasiswa juga ada, seperti Judilherry Justam (angkatan Malari).
Isi pernyataan keprihatinan ditujukan pada kebiasaan Pak Harto yang tiap sebentar mengidentifikasikan dirinya dengan Pancasila. Jadi, menyerang Pak Harto berarti menyerang Pancasila dan itu subversif.
Begitu marahnya Pak Harto sampai anak Bang Ali dilarang meminjam uang ke bank. Mereka tak bisa datang ke pesta pernikahan jika Pak Harto hadir dalam kenduri tersebut.
Meski Pak Harto banyak kesalahannya, janganlah kita melupakan jasa dia. Lebih penting lagi, jangan kita lupa pada orang-orang di sekitar Pak Harto yang ikut menjerumuskan dia sekaligus memetik keuntungan.
”Anak-anak Harto” (anak-anak hasil didikan Pak Harto) sampai sekarang masih berkeliaran. Dalam bahasa Inggris mereka disebut men for all seasons atau, dalam bahasa Indonesia, petualang musiman.
Dalam bahasa politik mereka disebut ”cognoscenti” atau kelompok ”maha tahu” yang mondar-mandir di pusat-pusat kekuasaan Ibu Kota. Sampai kini mereka masih ada di sekeliling kita menyembunyikan identitas sebagai pengurus partai politik, anggota DPR, pakar dan ilmuwan, bankir dan wartawan, sampai pejabat.
Kelompok ”cognoscenti” cuma mengenal istilah kekuasaan, kekayaan, dan orang-orang peliharaan. Mereka jadi pusat perhatian, sangat menguasai ilmu ”pengibulan”, cepat menyabet kesempatan, dan secepat kilat kabur ke luar negeri menghindari penangkapan.
Mereka cepat berganti rupa, pindah-pindah afiliasi politik, ahli menjadi tukang tadah, dan lihai menyelesaikan aneka masalah. Di masa Orde Baru sebagian jadi menteri, di masa Orde Reformasi jadi anggota DPR, bisa juga jadi pemuka etnis, dan sampai kini dicurigai terlibat korupsi.
Dalam tiga kali pemilu, 1999, 2004, dan 2009, mereka mendanai sekaligus mengotaki partai-partai yang berganti-ganti nama dan ideologi. Dalam rangka menyelamatkan diri, mereka tampil sebagai pengurus olahraga, pembina ini-itu, sampai budayawan.
Mereka tahu persis berapa banyak anggaran pembangunan yang bisa ditilep, berapa hargamark-up proyek, dan berapa pula tarif sogok aparat. Mereka bisa menyelenggarakan korupsi secara solo atau bersama-sama.
Sebagian dari mereka sudah lama menyingkir bahkan ketika Pak Harto tak lagi berkuasa. Sebagian lagi sampai kini masih berkiprah dan kadang Anda bisa lihat mereka di media massa.
Selama sekitar 30 tahun, mereka menjalani peran sebagai anak Harto. Tatkala zaman berubah, mereka cepat-cepat ganti loyalitas kepada Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan SBY.
Sebagian besar dari capres yang sering disebut-sebut media massa juga anak-anak Harto. Ironisnya, popularitas dan elektabilitas mereka kini berada di bawah yang bukan anak Harto.
Mungkinkah ini pertanda era anak Harto segera berakhir? Saya tak tahu jawabannya.
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Hindra Liauw

Kamis, 15 Agustus 2013

Tiga Dokter Pelopor Pergerakan Nasional

Tiga Dokter Pelopor Pergerakan Nasional

BERDIKARIonline, Kamis, 15 Agustus 2013 | 7:35 WIB   ·   0 Komentar
 Tiga Dokter
Ini jelas menarik. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, para dokter punya andil yang sangat besar. Bahkan, para dokter itulah yang turut mempelopori pergerakan nasional.
Ini tidak lepas dari keberadaan STOVIA. Singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera). Saat itu, banyak penyakit yang menyebar di Hindia-Belanda. Salah satunya adalah wabah pes.
Namun, mendatangkan dokter dari Belanda tidak mudah. Biayanya juga sangat mahal. Karena itu, dibikinlah sekolah Dokter Jawa di Hindia-Belanda. Mulanya sekolah ini hanya terbuka bagi keturunan priayi atas. Namun, anda tahu sendiri, priayi-priayi atas itu tidak tertarik dengan pekerjaan dokter.
Akhirnya, pada tahun 1891, sekolah ini dibuka untuk priayi menengah dan rendahan. Inilah yang memungkinkan anak priayi rendahan, seperti Wahidin, bisa mengenyam pendidikan di STOVIA. Begitu pula dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan adiknya, Gunawan. Mereka hanya anak guru di Semarang.
STOVIA menggratiskan biaya pendidikannya. Malahan, mahasiswa juga mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Juga setiap mahasiswa menerima uang saku sebesar 15 gulden per-bulan. Tetapi ada syaratnya: setiap lulusan STOVIA harus bekerja di dinas pemerintah.
Namun, sejarah Indonesia banyak mencatat, bahwa pelajar-pelajar STOVIA-lah yang mengawali pergerakan nasional modern, yakni berorganisasi. Dalam penulisan sejarah resmi, Boedi Oetomo (BO) dianggap organisasi modern pertama. Organisasi ini juga didaulat sebagai peletak Kebangkitan Nasional. Nah, BO ini didirikan oleh mahasiswa STOVIA, yakni Dr. Sutomo, Dr. Wahidin dan Dr Tjipto.
Namun, penetapan BO sebagai organisasi pencetus kebangkitan nasional masih polemik. Salah satu pengeritiknya adalah sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Menurut Pram, sejak didirikan di tahun 1908 hingga peleburannya ke dalam Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) di tahun 1935, BO tidak beranjak dari organisasi kesukuan.
Bagi Pram, dua tahun sebelum kelahiran BO, yakni 1906, sudah berdiri organisasi modern yang dibangun di tangan pribumi, yakni Sarekat Priayi. Pendirinya adalah pelajar STOVIA yang tidak lulus: Tirto Adhisoerjo (TAS). Artinya, lagi-lagi pelajar STOVIA punya andil besar dalam mengawali pergerakan nasional.
Berikut ini profil tiga Dokter yang mempelopori pergerakan nasional.
1. Dr Wahidin Soedirohoesodo.
Dokter Wahidin lahir tanggal 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, Jogjakarta. Ia adalah anak dari keluarga priayi rendahan. Meski begitu, Wahidin tercatat sebagai anak pribumi pertama yang diterima di Sekolah Dasar Anak Eropa (Europesche Lagere School, ELS).
Pada tahun 1869, ia meneruskan belajar di Sekolah Dokter Bumiputera (Sekolah Dokter Jawa). Ini cikal bakal STOVIA. Karena terhitung cerdas, begitu lulus 1872, Wahidin diangkat sebagai Asisten Pengajar di sekolah itu. Beberapa tahun kemudian, ia berdinas kesehatan di Yogyakarta.
Tiga puluh tahun lebih ia menggeluti pekerjaannya itu. Sebagai dokter, ia banyak bersentuhan dengan rakyat. Hatinya mulai tergugah oleh penderitaan bangsanya.
Sementara itu, dunia dikejutkan oleh kebangkitan gerakan Turki Muda dan pergerakan nasionalis Tiongkok. Ia menyadari, senjata modern untuk mengejar kemajuan adalah organisasi. Sayang, saat itu bumiputera masih terlelap dalam tidurnya.
Sementara orang Tionghoa dan Arab, yang mengerti perkembangan baru itu, sudah berorganisasi. Orang Tionghoa mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) tahun 1900, sedangkan orang Arab mendirikan Sumatra Batavia Alkhairah (1902) dan Jamiatul Khair (1904). Kaum pribumi belum juga memulai.
Wahidin pun meninggalkan profesi dokternya. Ia merasa, pekerjaannya sebagai dokter tak begitu berguna bagi kemajuan bangsanya. Ia berkata: “Bangsa ini tetap tidur dalam impian kacau tapi indah. Seorang dokter tak bisa hanya menyembuhkan luka pada badan seorang pasien, tapi juga harus menyembuhkan luka sebuah bangsa yang sedang sakit.”
Awalnya, ia berusaha menyebarkan cita-citanya melalui koran bernama Retnodhoemilah. Sayang, suaranya melalui koran itu kurang terdengar. Karena itu, pada tahun 1906, berbekal uang tabungannya selama bekerja sebagai Dokter, Ia berkeliling berkeliling Pulau Jawa. Ia mendatangi pembesar-pembesar pribumi terkemuka, seperti Bupati dan Priyayi kalangan atas, dan mengajaknya membangun organisasi.
Sayang, hasilnya kembali nihil. Malahan, ia merasa seperti orang yang berseru-seru di tengah padang pasir. Tidak satupun orang yang mendengar seruannya. Namun, ia tidak patah semangat. Tahun 1906, Wahidin bertemu anak-anak muda di sekolah dokter Jawa–STOVIA. Ia diundang sebagai pembicara dalam sebuah forum di hadapan civitas akademika STOVIA.
Wahidin tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menguraikan pikirannya dengan tajam dan menukik. Alhasil, beberapa pelajar STOVIA pun tergugah: Raden Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesumo, dan Tirto Adhisoerjo .
Tetapi yang paling cepat bergerak merespon seruan Wahidin adalah Tirto Adhisoerjo. Tirto langsung mendirikan Sarekat Priayi tahun 1906. Hanya saja, karena kesibukan di luar, Tirto di-DO dari STOVIA. Sementara kelompok Raden Soetomo baru mendirikan BO tahun 1908.
Dengan demikian, Wahidin bisa kita tempatkan sebagai “penganjur organisasi modern pertama.” Wahidin sendiri akhirnya bergabung ke BO di saat-saat awal.
2. Dr. Soetomo
Dokter Soetomo lahir di Ngepah, Nganjuk, Jawa Timur, pada tanggal 30 Juli 1888. Ia adalah keturunan priayi menengah. Ayahnya, Raden Soewadji, adalah Wedana di Maospati, Madiun.
Setelah tamat Sekolah Dasar, Soetomo di terima di STOVIA di Batavia. Itu terjadi tahun 1903. Mulanya Soetomo tidak pernah berpikir bahwa perjalanan hidupnya akan menyentuh sebuah pelabuhan lain bernama Organisasi. Mimpinya hanyalah menjadi dokter dan berdinas di pemerintah Hindia-Belanda.
Namun, pidato Wahidin di tahun 1906-lah yang mengubah cara-pandangnya. “Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan fikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit,” tulis Soetomo dalam bukunya, Kenang-Kenangan (1943), yang mengisahkan pertemuan itu.
Dua tahun kemudian, tepatnya 20 Mei 1908, bertempat di Aula STOVIA di Batavia, Soetomo dan kawan-kawannya mendeklarasikan berdirinya organisasi bernama Boedi Oetomo. Ia pun langsung didaulat sebagai Ketua dari organisasi baru ini.
Di tangan pelajar-pelajar STOVIA yang bersemangat, BO melebarkan sayap sangat cepat. Mereka berhasil merekrut para Bupati dan Pangeran/Bangsawan. Ini pula yang menyebabkan keanggotaan BO berkembang pesat. Namun, ini pula awal malapetaka bagi BO sendiri: dilahirkan di tangan priayi dan dicekik mati oleh tangan priayi pula.
Dalam perkembangannya, BO makin dikuasai oleh Bupati dan bangsawan. Sementara peran Soetomo dan Wahidin makin diperkecil. Puncaknya, pada Kongres ke-II BO di Jogjakarta, Desember 1908, kepemimpinan BO diambil-alih oleh golongan priayi bangsawan yang anti-kemajuan. Sementara Dokter Soetomo, sang pendiri, hanya kebagian sebagai pengurus BO cabang Jakarta.
Tamat dari STOVIA, Dokter Soetomo pun bergelut sebagai Dokter di pemerintahan Hindia-Belanda. Ia berpindah-pindah dari Semarang, lalu Tuban, kemudian ke Sumatera (Lubuk Pakam dan Batu Raja), dan selanjutnya di Malang dan Blora.
Tahun 1919, Dokter Soetomo memutuskan melanjutkan Studinya di Negeri Belanda. Di sana ia sempat bergabung dengan Perhimpunan Indonesia. Ia kembali ke Indonesia tahun 1923. Ia sempat bertugas sebagai Dokter dan sekaligus dosen di Sekolah Dokter (NIAS) Surabaya.
Di sana, Dokter Soetomo mendirikan kelompok diskusi bernama Indonesische Studieclub atau Kelompok Studi Indonesia. Kelak, kelompok studi ini menjadi cikal bakal berdirinya Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Namun, partai sangat moderat dan lebih banyak bermain di parlemen boneka alias Volksraad.
3. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
Tjipto lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, tahun 1886. Ia adalah anak tertua dari keluarga guru bahasa Melayu di sekolah pemerintah. Karena itu, Tjipto dan saudara-saudaranya bisa menikmati pendidikan bergaya barat. Ia sempat mengenyam pendidikan di ELS.
Tahun 1899, Tjipto masuk STOVIA di Batavia. Berkat pengetahuan moderan yang dicecapnya, ia banyak berpikir tentang perlunya kemajuan bagi bumiputera. Sayang, kemajuan itu dihambat oleh dominasi kolonial.
Pada tahun 1907, Tjipto sudah berani menyebar-luaskan gagasannya melalui surat kabar liberal Belanda, De Locomotief. Di situ ia mulai menggugat tatanan kolonial.
Tahun 1908, ketika Boedi Oetomo didirikan, Tjipto juga ikut ambil bagian. Ia terpilih sebagai Komisaris pada kongres pertamanya. Pada kongres itu, ia menyarankan agar anak-anak priayi itu terlibat dalam perjuangan politik. Sayang, usulannya ditolak oleh mayoritas kongres.
Saat itu, Ia mulai menyadari bahwa watak priayi dari organisasi itu menghalanginya untuk berkembang maju. Di Kongres itu pula ia bertemu seorang Indo yang berpikiran radikal, yaitu Ernest Douwes Dekker. Tak lama kemudian, ia meninggalkan BO.
Bersama Douwes Dekker dan Suwardi (Ki Hajar Dewantara), ia mendirikan Indische Partij (IP) tahun 1912. Inilah organisasi politik pertama di Hindia-Belanda. Tujuannya pun sangat politis dan radikal: kemerdekaan Hindia.
Pada tahun 1913, Belanda memperingati 100 Tahun kemerdekaannya. Tidak tahu malu, Belanda ingin membuat perayaan besar-besaran pula di negeri jajahannya, Hindia-Belanda. Namun, untuk membiayai pesta besar-besaran itu, pemerintah kolonial meminta sumbangan dari rakyat terjajah.
Tjipto dan Suwardi marah besar. Mereka pun segera membentuk Komite Bumiputera untuk memprotes perayaan itu. Tak hanya, Suwardi juga menulis artikel pedas berjudul “Als ik een Nederlander was…..” (“Kalau saya seorang Belanda……”). Tjipto juga membuat artikel yang tak kalah pedasnya: “Kracht of vress?” (kekuatan atau takut?”)
Artikel-artikel itu membuat merah telinga penguasa kolonial. Sebagai reaksinya, mereka pun menciduk Tjipto dan Suwardi. Keduanya dibuang ke negeri Belanda. Tahun 1914, Tjipto dipulangkan karena sakit.
Tjipto, yang sempat menamatkan sekolahnya di STOVIA, dikenal sebagai ksatria yang pemberani. Setelah tamat dari STOVIA tahun 1905, ia sempat berdinas di pemerintah Belanda di Banjarmasin, Demak, dan Surakarta. Tahun 1910, ketika wabah pes mengamuk di Malang, Jawa Timur, ia berdiri di garda depan untuk membasminya. Lantaran jasanya itu ia dianugerahi tanda jasa Ridderkruis (lencana kehormatan Belanda) tahta Oranye-Nassau. Namun, karena tak sudi menerima penghargaan dari penjajah, ia meletakkan medali itu di pantatnya.
Tjipto juga sangat anti-feodal. Pernah, saat masih berdinas di Surakarta tahun 1909, Ia membawa delmannya dengan tenang memasuki alun-alun kraton Surakarta. Padahal, tempat itu hanya diperuntukkan untuk kereta Sultan dan Pangeran. Pada tahun 1919, ia membuat pementasan ketoprak untuk menyindir kekuasaan Sunan yang licik dan anti-rakyat.
Timur Subangunkontributor Berdikari Online


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130815/tiga-dokter-pelopor-pergerakan-nasional.html#ixzz2c1FDXpO8
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Minggu, 04 Agustus 2013

Siapa Sosok Capres PDIP Selain Jokowi?

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/08/siapa-sosok-capres-pdip-selain-jokowi.html

Siapa Sosok Capres PDIP Selain Jokowi?

Minggu, 04 Agustus 2013 07:37 wib
Tri Kurniawan - Okezone
Joko WidodoJoko Widodo
JAKARTA - Pengamat politik AS Hikam yakin Joko Widodo (Jokowi) akan maju sebagai calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurutnya, Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri tak akan bisa menolak kehendak rakyat.

"PDIP harus berpikir serius jika ingin menang pada Pemilu 2014. Siapa lagi yang akan ditunjuk jadi capres selain Jokowi," kata Hikam kepada Okezone, Sabtu (3/8/2013).

Menurutnya, PDIP belum mendeklarasikan Jokowi sebagai capres karena masih menunggu sosok cawapres yang tepat untuk mendampingi Gubernur DKI Jakarta itu. "Mereka masih berpikir siapa yang pas," terangnya.

Kata dia, mendeklarasikan Jokowi sebagai capres lebih cepat itu akan lebih baik. "Sekarang sudah telat tapi karena Jokowi fenomenal maka sampai akhir Maret mungkin tidak masalah," terangnya.

Hikam menjagokan Mahfud MD mendampingi Jokowi pada Pilpres 2014. Mahfud, kata dia, bisa menjaring dukungan dari kelompok Islam moderat. Sedangkan Jokowi, akan mendapat dukungan dari kelompok nasionalis.

Lanjutnya, PDIP harus memikirkan kepentingan bangsa agar tidak ada kegalauan dalam memilih Jokowi sebagai capres. Selama PDIP masih berpikir politik dinasti, menurutnya, tidak akan bisa bersaing dengan partai politik lainnya.

"Mungkin ada yang tidak rela Jokowi maju karena masih baru langsung muncul. Tapi sekarang siapa yang mau diusung selain Jokowi?. Apa Puan Maharani atau Pramono Anung?" pungkasnya. (trk)

Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/08/04/339/847359/siapa-sosok-capres-pdip-selain-jokowi

Jumat, 02 Agustus 2013

Ideologi Diluar Pancasila Silahkan ke Afghanistan

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/08/ideologi-diluar-pancasila-silahkan-ke.html

Ideologi Diluar Pancasila Silahkan ke Afghanistan




Mataharinews.com, Jakarta - Peringatan hari lahir Pancasila yang diadakan di Gedung Parlemen, Jumat (1/06/2012) dihadiri oleh Wakil Presiden RI, Boediono dan isteri serta beberapa tokoh dan negarawan seperti Bj Habibie, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Hamzah haz juga ketua-ketua fraksi DPR RI.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siraj dalam pidatonya menyampaikan bahwa jangan sampai ada aspirasi yang ingin mendirikan negara Islam, sebab nilai-nilai keislaman sudah mengejawantah pada kandungan Pancasila. Untuk itu, apabila ada organisasi atau individu yang terang-terangan melawan ideologi Pancasila harus segera ditetapkan sebagai organisasi kriminal bahkan subversif.

"Jangan ada lagi kekerasan yang mengatasnamakan Islam, karena Pancasila adalah ideologi dan dasar negara untuk seluruh rakyat Indonesia,"ujar Said Agil Siraj.

Menurut Said Agil Siraj, Pancasila harus ditempatkan pada posisinya semula untuk kemudian diamankan dan diamalkan. Tidak perlu lagi dikembangkan wacana negara Islam di Indonesia dan tidak boleh leluasa mengembangkan ajarannya.

"Bagi ideologi diluar Pancasila, tidak boleh hidup di negeri ini, silahkan sana ke Afghanistan,"urai Said Agil Siraj.

(ep)