Kamis, 15 Agustus 2013

Tiga Dokter Pelopor Pergerakan Nasional

Tiga Dokter Pelopor Pergerakan Nasional

BERDIKARIonline, Kamis, 15 Agustus 2013 | 7:35 WIB   ·   0 Komentar
 Tiga Dokter
Ini jelas menarik. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, para dokter punya andil yang sangat besar. Bahkan, para dokter itulah yang turut mempelopori pergerakan nasional.
Ini tidak lepas dari keberadaan STOVIA. Singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera). Saat itu, banyak penyakit yang menyebar di Hindia-Belanda. Salah satunya adalah wabah pes.
Namun, mendatangkan dokter dari Belanda tidak mudah. Biayanya juga sangat mahal. Karena itu, dibikinlah sekolah Dokter Jawa di Hindia-Belanda. Mulanya sekolah ini hanya terbuka bagi keturunan priayi atas. Namun, anda tahu sendiri, priayi-priayi atas itu tidak tertarik dengan pekerjaan dokter.
Akhirnya, pada tahun 1891, sekolah ini dibuka untuk priayi menengah dan rendahan. Inilah yang memungkinkan anak priayi rendahan, seperti Wahidin, bisa mengenyam pendidikan di STOVIA. Begitu pula dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan adiknya, Gunawan. Mereka hanya anak guru di Semarang.
STOVIA menggratiskan biaya pendidikannya. Malahan, mahasiswa juga mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Juga setiap mahasiswa menerima uang saku sebesar 15 gulden per-bulan. Tetapi ada syaratnya: setiap lulusan STOVIA harus bekerja di dinas pemerintah.
Namun, sejarah Indonesia banyak mencatat, bahwa pelajar-pelajar STOVIA-lah yang mengawali pergerakan nasional modern, yakni berorganisasi. Dalam penulisan sejarah resmi, Boedi Oetomo (BO) dianggap organisasi modern pertama. Organisasi ini juga didaulat sebagai peletak Kebangkitan Nasional. Nah, BO ini didirikan oleh mahasiswa STOVIA, yakni Dr. Sutomo, Dr. Wahidin dan Dr Tjipto.
Namun, penetapan BO sebagai organisasi pencetus kebangkitan nasional masih polemik. Salah satu pengeritiknya adalah sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Menurut Pram, sejak didirikan di tahun 1908 hingga peleburannya ke dalam Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) di tahun 1935, BO tidak beranjak dari organisasi kesukuan.
Bagi Pram, dua tahun sebelum kelahiran BO, yakni 1906, sudah berdiri organisasi modern yang dibangun di tangan pribumi, yakni Sarekat Priayi. Pendirinya adalah pelajar STOVIA yang tidak lulus: Tirto Adhisoerjo (TAS). Artinya, lagi-lagi pelajar STOVIA punya andil besar dalam mengawali pergerakan nasional.
Berikut ini profil tiga Dokter yang mempelopori pergerakan nasional.
1. Dr Wahidin Soedirohoesodo.
Dokter Wahidin lahir tanggal 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, Jogjakarta. Ia adalah anak dari keluarga priayi rendahan. Meski begitu, Wahidin tercatat sebagai anak pribumi pertama yang diterima di Sekolah Dasar Anak Eropa (Europesche Lagere School, ELS).
Pada tahun 1869, ia meneruskan belajar di Sekolah Dokter Bumiputera (Sekolah Dokter Jawa). Ini cikal bakal STOVIA. Karena terhitung cerdas, begitu lulus 1872, Wahidin diangkat sebagai Asisten Pengajar di sekolah itu. Beberapa tahun kemudian, ia berdinas kesehatan di Yogyakarta.
Tiga puluh tahun lebih ia menggeluti pekerjaannya itu. Sebagai dokter, ia banyak bersentuhan dengan rakyat. Hatinya mulai tergugah oleh penderitaan bangsanya.
Sementara itu, dunia dikejutkan oleh kebangkitan gerakan Turki Muda dan pergerakan nasionalis Tiongkok. Ia menyadari, senjata modern untuk mengejar kemajuan adalah organisasi. Sayang, saat itu bumiputera masih terlelap dalam tidurnya.
Sementara orang Tionghoa dan Arab, yang mengerti perkembangan baru itu, sudah berorganisasi. Orang Tionghoa mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) tahun 1900, sedangkan orang Arab mendirikan Sumatra Batavia Alkhairah (1902) dan Jamiatul Khair (1904). Kaum pribumi belum juga memulai.
Wahidin pun meninggalkan profesi dokternya. Ia merasa, pekerjaannya sebagai dokter tak begitu berguna bagi kemajuan bangsanya. Ia berkata: “Bangsa ini tetap tidur dalam impian kacau tapi indah. Seorang dokter tak bisa hanya menyembuhkan luka pada badan seorang pasien, tapi juga harus menyembuhkan luka sebuah bangsa yang sedang sakit.”
Awalnya, ia berusaha menyebarkan cita-citanya melalui koran bernama Retnodhoemilah. Sayang, suaranya melalui koran itu kurang terdengar. Karena itu, pada tahun 1906, berbekal uang tabungannya selama bekerja sebagai Dokter, Ia berkeliling berkeliling Pulau Jawa. Ia mendatangi pembesar-pembesar pribumi terkemuka, seperti Bupati dan Priyayi kalangan atas, dan mengajaknya membangun organisasi.
Sayang, hasilnya kembali nihil. Malahan, ia merasa seperti orang yang berseru-seru di tengah padang pasir. Tidak satupun orang yang mendengar seruannya. Namun, ia tidak patah semangat. Tahun 1906, Wahidin bertemu anak-anak muda di sekolah dokter Jawa–STOVIA. Ia diundang sebagai pembicara dalam sebuah forum di hadapan civitas akademika STOVIA.
Wahidin tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menguraikan pikirannya dengan tajam dan menukik. Alhasil, beberapa pelajar STOVIA pun tergugah: Raden Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesumo, dan Tirto Adhisoerjo .
Tetapi yang paling cepat bergerak merespon seruan Wahidin adalah Tirto Adhisoerjo. Tirto langsung mendirikan Sarekat Priayi tahun 1906. Hanya saja, karena kesibukan di luar, Tirto di-DO dari STOVIA. Sementara kelompok Raden Soetomo baru mendirikan BO tahun 1908.
Dengan demikian, Wahidin bisa kita tempatkan sebagai “penganjur organisasi modern pertama.” Wahidin sendiri akhirnya bergabung ke BO di saat-saat awal.
2. Dr. Soetomo
Dokter Soetomo lahir di Ngepah, Nganjuk, Jawa Timur, pada tanggal 30 Juli 1888. Ia adalah keturunan priayi menengah. Ayahnya, Raden Soewadji, adalah Wedana di Maospati, Madiun.
Setelah tamat Sekolah Dasar, Soetomo di terima di STOVIA di Batavia. Itu terjadi tahun 1903. Mulanya Soetomo tidak pernah berpikir bahwa perjalanan hidupnya akan menyentuh sebuah pelabuhan lain bernama Organisasi. Mimpinya hanyalah menjadi dokter dan berdinas di pemerintah Hindia-Belanda.
Namun, pidato Wahidin di tahun 1906-lah yang mengubah cara-pandangnya. “Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan fikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit,” tulis Soetomo dalam bukunya, Kenang-Kenangan (1943), yang mengisahkan pertemuan itu.
Dua tahun kemudian, tepatnya 20 Mei 1908, bertempat di Aula STOVIA di Batavia, Soetomo dan kawan-kawannya mendeklarasikan berdirinya organisasi bernama Boedi Oetomo. Ia pun langsung didaulat sebagai Ketua dari organisasi baru ini.
Di tangan pelajar-pelajar STOVIA yang bersemangat, BO melebarkan sayap sangat cepat. Mereka berhasil merekrut para Bupati dan Pangeran/Bangsawan. Ini pula yang menyebabkan keanggotaan BO berkembang pesat. Namun, ini pula awal malapetaka bagi BO sendiri: dilahirkan di tangan priayi dan dicekik mati oleh tangan priayi pula.
Dalam perkembangannya, BO makin dikuasai oleh Bupati dan bangsawan. Sementara peran Soetomo dan Wahidin makin diperkecil. Puncaknya, pada Kongres ke-II BO di Jogjakarta, Desember 1908, kepemimpinan BO diambil-alih oleh golongan priayi bangsawan yang anti-kemajuan. Sementara Dokter Soetomo, sang pendiri, hanya kebagian sebagai pengurus BO cabang Jakarta.
Tamat dari STOVIA, Dokter Soetomo pun bergelut sebagai Dokter di pemerintahan Hindia-Belanda. Ia berpindah-pindah dari Semarang, lalu Tuban, kemudian ke Sumatera (Lubuk Pakam dan Batu Raja), dan selanjutnya di Malang dan Blora.
Tahun 1919, Dokter Soetomo memutuskan melanjutkan Studinya di Negeri Belanda. Di sana ia sempat bergabung dengan Perhimpunan Indonesia. Ia kembali ke Indonesia tahun 1923. Ia sempat bertugas sebagai Dokter dan sekaligus dosen di Sekolah Dokter (NIAS) Surabaya.
Di sana, Dokter Soetomo mendirikan kelompok diskusi bernama Indonesische Studieclub atau Kelompok Studi Indonesia. Kelak, kelompok studi ini menjadi cikal bakal berdirinya Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Namun, partai sangat moderat dan lebih banyak bermain di parlemen boneka alias Volksraad.
3. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
Tjipto lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, tahun 1886. Ia adalah anak tertua dari keluarga guru bahasa Melayu di sekolah pemerintah. Karena itu, Tjipto dan saudara-saudaranya bisa menikmati pendidikan bergaya barat. Ia sempat mengenyam pendidikan di ELS.
Tahun 1899, Tjipto masuk STOVIA di Batavia. Berkat pengetahuan moderan yang dicecapnya, ia banyak berpikir tentang perlunya kemajuan bagi bumiputera. Sayang, kemajuan itu dihambat oleh dominasi kolonial.
Pada tahun 1907, Tjipto sudah berani menyebar-luaskan gagasannya melalui surat kabar liberal Belanda, De Locomotief. Di situ ia mulai menggugat tatanan kolonial.
Tahun 1908, ketika Boedi Oetomo didirikan, Tjipto juga ikut ambil bagian. Ia terpilih sebagai Komisaris pada kongres pertamanya. Pada kongres itu, ia menyarankan agar anak-anak priayi itu terlibat dalam perjuangan politik. Sayang, usulannya ditolak oleh mayoritas kongres.
Saat itu, Ia mulai menyadari bahwa watak priayi dari organisasi itu menghalanginya untuk berkembang maju. Di Kongres itu pula ia bertemu seorang Indo yang berpikiran radikal, yaitu Ernest Douwes Dekker. Tak lama kemudian, ia meninggalkan BO.
Bersama Douwes Dekker dan Suwardi (Ki Hajar Dewantara), ia mendirikan Indische Partij (IP) tahun 1912. Inilah organisasi politik pertama di Hindia-Belanda. Tujuannya pun sangat politis dan radikal: kemerdekaan Hindia.
Pada tahun 1913, Belanda memperingati 100 Tahun kemerdekaannya. Tidak tahu malu, Belanda ingin membuat perayaan besar-besaran pula di negeri jajahannya, Hindia-Belanda. Namun, untuk membiayai pesta besar-besaran itu, pemerintah kolonial meminta sumbangan dari rakyat terjajah.
Tjipto dan Suwardi marah besar. Mereka pun segera membentuk Komite Bumiputera untuk memprotes perayaan itu. Tak hanya, Suwardi juga menulis artikel pedas berjudul “Als ik een Nederlander was…..” (“Kalau saya seorang Belanda……”). Tjipto juga membuat artikel yang tak kalah pedasnya: “Kracht of vress?” (kekuatan atau takut?”)
Artikel-artikel itu membuat merah telinga penguasa kolonial. Sebagai reaksinya, mereka pun menciduk Tjipto dan Suwardi. Keduanya dibuang ke negeri Belanda. Tahun 1914, Tjipto dipulangkan karena sakit.
Tjipto, yang sempat menamatkan sekolahnya di STOVIA, dikenal sebagai ksatria yang pemberani. Setelah tamat dari STOVIA tahun 1905, ia sempat berdinas di pemerintah Belanda di Banjarmasin, Demak, dan Surakarta. Tahun 1910, ketika wabah pes mengamuk di Malang, Jawa Timur, ia berdiri di garda depan untuk membasminya. Lantaran jasanya itu ia dianugerahi tanda jasa Ridderkruis (lencana kehormatan Belanda) tahta Oranye-Nassau. Namun, karena tak sudi menerima penghargaan dari penjajah, ia meletakkan medali itu di pantatnya.
Tjipto juga sangat anti-feodal. Pernah, saat masih berdinas di Surakarta tahun 1909, Ia membawa delmannya dengan tenang memasuki alun-alun kraton Surakarta. Padahal, tempat itu hanya diperuntukkan untuk kereta Sultan dan Pangeran. Pada tahun 1919, ia membuat pementasan ketoprak untuk menyindir kekuasaan Sunan yang licik dan anti-rakyat.
Timur Subangunkontributor Berdikari Online


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130815/tiga-dokter-pelopor-pergerakan-nasional.html#ixzz2c1FDXpO8
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar