Jumat, 29 Juli 2011

Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!

Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!

BERDIKARI ONLINE, Jumat, 29 Juli 2011 | 6:19 WIB

Opini
Oleh : Rudi Hartono
Bung Karno Pidato Di Hadapan Massa Rakyat

Sebuah tanggapan terhadap tulisan Max Lane, “Soekarno: Pemersatu Atau Pembelah?”
Max Lane, seorang indonesianis dari University of Sydney, Australia, menulis sangat baik tentang Bung Karno dan gagasan-gagasan politiknya. Salah satu tulisannya yang terbaru diberi judul “Soekarno: Pemersatu Atau Pembelah.”
Artikel itu membongkar satu keyakinan umum orang-orang Indonesia dan sebagian penulis dari luar: Soekarno sebagai tokoh pemersatu. Ternyata, setelah menyelami tulisan Bung Karno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Max Lane menemukan bahwa Bung Karno juga adalah pembelah.
Selain itu, jika anda tuntas membaca artikel itu, maka pesan utama yang hendak disampaikannya hanya satu hal: nasionalisme sebagai ideologi perlawanan sudah tidak relevan. Alasannya, nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa untuk satu kepentingan yang sama, sedangkan fakta menunjukkan bahwa jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama: Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya.
Saya tidak setuju dengan kesimpulan itu. Lagi pula, tanpa sebuah elaborasi yang memadai, Max Lane tiba-tiba mengajak kita untuk sampai pada kesimpulan yang masih memerlukan perdebatan panjang.

‘Membelah Demi Persatuan?’

Salah satu rujukan Max Lane dalam membangun argumentasinya adalah tulisan Bung Karno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Menurutnya, orang yang menganggap tulisan itu mengusung persatuan adalah orang yang berfikiran dangkal dan menyesatkan.
Sebaliknya, bagi Max Lane, tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan. Max menyebut Bung Karno Sukarno ‘membelah demi sebuah persatuan’. Sebuah kalimat yang kontradiktif.
Argumentasi pokok Max Lane, kalau boleh saya sederhanakan, adalah bahwa tulisan Bung Karno itu menuntut setiap golongan (nasionalis, islamis, dan Marxist) untuk memilih: bersatu atau tidak. Hanya saja, lanjut Max, landasan untuk bersatu itu bukan hanya Indonesia Merdeka, tetapi analisa terhadap dan sikap anti-kapitalis.
Artinya: Soekarno mengajak setiap golongan nasionalis, islamis, dan Marxist untuk bersatu atas dasar Indonesia merdeka dan sekaligus anti-kapitalis.
Di sinilah letak masalahnya: Max Lane terkesan memaksakan bahwa basis persatuan yang dikehendaki Bung Karno adalah persatuan untuk Indonesia merdeka dan sekaligus anti-kapitalisme (asing dan bangsa sendiri).
Ini gampang dijelaskan secara teoritis, tetapi sulit diterapkan dalam aplikasi strategi politiknya. Soekarno berseru untuk persatuan demi pelipatgandaan kekuatan melawan kolonialisme, sedangkan kecenderungan kesimpulan Max adalah politik mengisolasi perjuangan nasional menjadi segelintir “anti-kapitalis”.
Pertanyaannya: Apa mungkin mencapai Indonesia merdeka dengan mengandalkan persatuan segelintir orang, dalam hal ini kalangan anti-kapitalis ansich, untuk melawan musuh dari luar (kolonialis) dan sekaligus musuh dari dalam (feodalisme dan kapitalisme)?

Beberapa Ketidaksetujuan

Menurut saya, ada beberapa kekeliruan mendasar yang dilakukan Max Lane dalam tulisannya.
Pertama, penggunaan kata “pembelah” kurang tepat, sebab istilah itu hampir dekat dengan kata “pecah-belah”, sebuah politik yang dipergunakan kolonialisme untuk menancapkan kukunya selama ratusan tahun di Indonesia.
Kedua, Soekarno dalam tulisan itu memang menganjurkan pemilahan, menyuruh setiap golongan memilih, tetapi pilihannya adalah: bersatu atau terpecah-belah. Di sini, Soekarno mengajak ketiga kekuatan untuk bersatu mencapai Indonesia merdeka. Jelas sekali, sebagaimana juga dalam tulisannya lainnya, Soekarno selalu menekankan perjuangan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka.
Ketiga, Max mengabaikan konteks situasi saat lahirnya tulisan itu.

Terkait konteks situasi itu, ada beberapa hal yang patut dicatat sebelum kelahiran kelahiran tulisan Bung Karno itu:
Pada jaman itu, di hampir seluruh Asia termasuk Indonesia, tiga kekuatan itu (nasionalis, islamis, dan marxis) tampil menonjol sebagai azas pergerakan melawan kolonialisme.
Bung Karno sendiri menulis:
    “….tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha-besar dan maha-kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya..”
Tiga kekuatan itu sama-sama dimulutnya anti-kolonialisme, tetapi, pada lapangan politik, ketiganya sulit sekali bersatu. Satu contoh paling maju adalah pembentukan konsentrasi radikal 1918 guna melawan Volksraad. Sekalipun berhasil menyatukan berbagai spectrum politik nasional, termasuk yang moderat sekalipun, tetapi persatuan ini tidak bertahan lama.
Kemudian, Bung Karno juga menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri keretakan dan saling serang di kalangan pergerakan pembebasan nasional itu sendiri. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam (SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan. Para pemimpin sayap kanan (SI putih) telah berhasil memaksa keluar pengikut-pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.

Pemuda Bung Karno juga menyaksikan bagaimana gurunya, Tjokroaminoto, diserang secara pribadi oleh Haji Misbach, tokoh haji merah yang berfikiran radikal dan anti-kolonial. Dalam kongres PKI itu, pemuda Bung Karno berdiri dan meminta Haji Misbach untuk meminta maaf.

Penekanan Pada Perjuangan Nasional

Pada bagian lainnya tulisannya, Max juga menulis begini: “dengan menyatakan bahwa Indonesia Merdeka adalah prioritas tidak ada pelunturan sedikit pun dengan tekanannya pada diteruskannya propaganda anti-kapitalis.”
Secara sepintas lalu, tidak ada masalah dengan argumen itu. Tapi, ketika diterjunkan ke dalam strategi politik, baik saat itu maupun saat ini, akan tetap muncul masalah; bisakah kita mencapai Indonesia merdeka dan sekaligus merobohkan kapitalisme? Bisakah itu berjalan secara sekaligus?
Soekarno, dalam tulisan “Kapitalisme Bangsa Sendiri”—yang juga dikutip separuhnya saja oleh Max Lane—berkata:
    “Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional.”
Jadi, dalam pemikiran Soekarno, sekalipun ia konsisten anti-kapitalis, tetapi tetap ada ‘penekanan’ terhadap perjuangan nasional. Ini adalah persoalan strategi politik, yaitu bagaimana menggabungkan kekuatan nasional yang anti-penjajahan untuk selekas-lekasnya mencapai Indonesia merdeka.
Kenapa mendahulukan perjuangan nasional? Soekarno punya analisa menarik untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Dalam tulisan “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, Soekarno menceritakan mengapa perjuangan kelas cocok untuk eropa saat itu, tetapi tidak cocok untuk negara jajahan seperti Indonesia.

Kata Soekarno, dua golongan yang bertentangan di eropa, yaitu pemodal versus buruh, berasal dari dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum buruh dan pemodal berasal dari satu natie. “Karena itulah maka disesuatu negeri yang merdeka antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, –perjuangan klas yang melulu perjuangan klas,” kata Soekarno.
Tetapi, di negara jajahan seperti Indonesia saat itu, menurut Bung Karno, yang “menang” dan yang “kalah”, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie , berlainan kebangsaan. Antithese didalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, –samenvallen atau coїnsederen dengan antithese bangsa. Antithese didalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.”
Di sini, Soekarno menjelaskan perjuangan nasional sebagai prasyarat atau tahapan menuju perjuangan selanjutnya. Penuntasan perjuangan nasional itu mutlak diperlukan sebagai basis atau material untuk perjuangan selanjutnya.

Nasionalisme Tidak Relevan?
Di bagian akhir tulisannya Max Lane menulis begini: “nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa untuk satu kepentingan yang sama, sedangkan fakta menunjukkan bahwa jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama: Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya.”

Dari situlah Max Lane mengambil kesimpulan bahwa nasionalisme tidak relevan.
Saya rasa, sebelum memvonis relavan dan tidaknya, ada baiknya melihat dua kecenderungan nasionalisme: nasionalisme negara-negara kapitalis maju dan nasionalisme negara-negara jajahan (semi-kolonial).
Ini penting, karena seperti kita ketahui, Soekarno pun membedakan antara nasionalisme borjuis di eropa dan nasionalisme yang dianut oleh pejuang anti-kolonial di dunia ketiga: Gandhi dan Sun Yat Sen.

Terkait dengan dua bentuk nasionalisme itu, ada baiknya kembali melihat fikiran Bung Karno. Katanya, nasionalisme di eropa itu nasionalisme borjuis, yaitu suatu ‘nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi’. Sedangkan nasionalisme Indonesia, yang disebutnya sosio-nasionalisme, adalah nasionalisme masyarakat atau nasionalisme yang mencari keberesan dalam kepincangan masyarakat, sehingga tidak ada lagi kaum yang sengsara dan ditindas. (Baca selengkapnya di Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, buku DBR I).

Dalam perkembangan terbaru, misalnya pertemuan G-20 tahun lalu, terlihat jelas bahwa nasionalisme telah menjadi langgam baru kapitalisme global. Negara-negara kapitalis maju berbicara “kepentingan nasional” untuk kepentingan ekonomisnya: perdagangan dan ekspansi pasar. Sedangkan negara dunia ketiga juga berbicara nasionalisme sebagai bentuk pertahanan terhadap serbuan tersebut (proteksionisme, dll).

Dalam era neoliberal sekarang ini, penghancuran negara nasional justru menjadi proyek kaum neoliberalis, sebagai prasyarat untuk menjalankan agenda mereka. Sebaliknya, sebagai bentuk melawan dominasi neoliberal, beberapa bentuk gerakan anti-neoliberal mempergunakan sentimen ‘penguatan peran negara nasional’ khususnya dalam urusan kesejahteraan rakyat.
Jika ditanyakan, apakah nasionalisme masih relevan? Maka jawab saya: Sangat relavan.
Dimana relevansinya dengan situasi sekarang? Menurut saya, dalam perjuangan melawan imperialisme saat ini, tidak bisa tidak perjuangan kita mengambil karakter perjuangan nasional atau revolusi nasional. Karena, dalam negara terjajah seperti Indonesia, sangat sulit berbicara revolusi anti-kapitalis, sementara ekspresi penindasannya sebagian besar karena eksploitasi dari luar.
Terhadap pertanyaan ini, saya mengutip pidato Njoto sebagai berikut: “Fasensprong (faham melompat) tidak mau tahu akan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever. Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan” – mereka mau “sosialisme dengan imperialisme”!


27 Juli 1996: Perjuangan Untuk Demokrasi Sejati!

27 Juli 1996: Perjuangan Untuk Demokrasi Sejati!

Rabu, 27 Juli 2011 | 1:38 WIB Editorial
27 Juli 1996: di pagi buta 8 truk militer mengangkut ratusan orang berkaos PDI mendatangi kantor PDI versi Megawati di Jalan Diponegoro. Pada pukul 06 pagi, mereka sudah sampai di depan kantor PDI dan mulai melakukan penyerangan.
Bentrokan pun pecah. Para pendukung Megawati, yang berada di dalam kantor PDI, memberkan perlawanan. Sementara pihak penyerang semakin beringas, apalagi karena didukung oleh polisi dan tentara.
Peristiwa itu dikenang sebagai ‘Tragedi 27 Juli 1996”. Dikisahkan, rejim orde baru yang tidak terima dengan kepemimpinan Megawati, berusaha mempertahankan Suryadi ketua umum lama (Suryadi) dan mengambil paksa kantor pusat partai berlambang banteng itu.
Kejadian itu telah menjadi bagian dari catatan kelam rejim orde baru. Ia menceritakan kepada kita dan generasi di masa depan tentang suatu masa dimana tidak ada kehidupan demokrasi. Dan, sejarah juga mengisahkan, upaya untuk memperjuangkan demokrasi telah dilakukan dengan pengorbanan para ‘martir’. Tentu, demokrasi yang diperjuangkan para martir itu adalah demokrasi sejati, bukan demokrasi palsu atau demokrasi borjuis.
15 tahun peristiwa itu berlalu, ingatan kita tidak bisa hanya pada aspek penuntasan pelanggaran HAM-nya (sekalipun itu memang sangat penting), tetapi juga perlu sebuah refleksi antara realitas kehidupan demokrasi saat ini dengan cita-cita para martir di masa perjuangan itu.
Sekarang, kita konon sedang memasuki sebuah situasi demokratis: ada banyak partai politik, ada kebebasan pers, setiap orang bebas mendirikan organisasi atau serikat, setiap orang bebas berpendapat, pemilu berjalan reguler setiap lima tahun, setiap kepala pemerintahan (Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, Kepala Desa) dipilih secara langsung oleh rakyat, dan lain-lain.
Tetapi kita juga menemukan fakta baru: DPR semakin korup, politik uang semakin merajalela, partai politik kian menjauh dari rakyat, kemiskinan bertambah parah, pengangguran di mana-mana, dan martabat bangsa makin terinjak-injak.
Pada kenyataannya, sekalipun sekarang dikatakan ada kebebasan politik dan demokrasi, tetapi partisipasi politik rakyat kian menurun. Mayoritas rakyat telah terlempar keluar dari ruang-ruang pengambilan kebijakan politik. Sekarang, depolitisasi dijalankan tidak dengan kekerasan dan paksa seperti di jaman orde baru, tetapi menggunakan alat lain yang lebih lunak: media massa.
Apakah itu demokrasi yang diperjuangankan para martir itu? Kami rasa tidak begitu. Para martir itu, sebagian besarnya adalah anak-anak dari kalangan miskin dan klas menengah di Indonesia, yang tuntutan mendasarnya adalah adanya perubahan mendasar terhadap kehidupan sosial-ekonomi mereka.
Mereka memerlukan demokrasi, karena berharap bahwa demokrasi bisa menjadi alat untuk memenuhi tuntutan mendasar mereka: pemenuhan kesejahteraan. Logikanya sederhana: ada partisipasi rakyat dalam kehidupan politik, sehingga setiap rumusan kebijakan ekonomi, politik, dan sosial bisa menguntungkan rakyat banyak.
Pada kenyataannya: kebijakan ekonomi-politik masih tetap diputuskan dari atas, oleh segelintir elit berkuasa, tanpa partisipasi rakyat di dalamnya. Bahkan, sebagian besar kebijakan ekonomi-politik itu bisa dipesan oleh pihak asing, sebagaimana terjadi terhadap 70-an Undang-Undang yang dianggap berbau kepentingan asing.
Kita harus mengenang kembali semangat dan cita-cita para martir 15 tahun yang lalu itu. Dan, tentu saja, adalah tugas kita untuk membentuk barisan baru, yang lebih panjang, untuk melanjutkan perjuangan itu dan mewujudkan cita-cita mereka.

Korban Kudatuli Laporkan SBY ke Komnas HAM


 

Korban Kudatuli Laporkan SBY ke Komnas HAM

JAKARTA - Korban tragedi 27 Juli 1996 mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar kembali mengungkap kasus yang membuat banyak orang dikriminalisasi.




Sebanyak 30-an korban tragedi 27 Juli mendatangi kantor Komnas HAM siang tadi. Kedatangan mereka diterima Wakil Ketua Yoseph Adi Prasetyo.


"Mereka meminta agar Komnas HAM kembali mengusut peristiwa 27 Juli, khususnya mengenai rapat pada 24 Juli," ujar Yosep ketika ditemui okezone di kantornya Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Selatan, Selasa (26/7/2011).


Kata Yosep, mereka melaporkan SBY yang saat itu menjabat Kepala Staf Kodam Jaya memimpin rapat untuk menduduki dan menyerang kantor PDI Megawati di Jalan Diponogoro dan menggunakan pasukan kaveleri yang menggunakan seragam seolah kelompok PDI Soerjadi.


"Mereka sendiri mengatakan korban, mereka yang ada di dalam diserang, dilempari batu, kok mereka yang ditangkap polisi lalu dikriminalkan," terangnya.


Tidak hanya SBY yang disebut-sebut ikut berperan membumi hangus kantor Megawati, nama mantan Gubernur DKI Jakarta Soetiyoso ikut diseret. "Sejumlah jenderal diduga otak operasi 27 Juli di mana kemudian PRD yang disalahkan termasuk kelompok 154," jelasnya.


Lebih lanjut, Yosep mengatakan apa yang terjadi di kantor PDI waktu itu merupakan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM sudah pernah menindaklanjuti kasus ini hingga rapat Pleno Komnas HAM namun tidak berlanjut.


"Zaman Pak Lopa sudah membentuk tim investigasi, hasilnya juga sudah disampaikan ke beberapa pihak ketika zaman Abdul Hakim Garuda Nusantara kembali ada tim untuk mengkaji kejahatan Soeharto, itu termasuk peristiwa 27 Juli," tegasnya.


Yosep mengaku belum mengetahui keterlibatan SBY dan beberapa jenderal lainnya. Tapi Komnas HAM berjanji akan segera bergerak untuk mengumpulkan fakta-fakta dan dokumen yang sebelumnya sudah ada. Sebagai Komisi Independent, Komnas HAM juga berjanji akan mengusut tanpa pandang bulu. "Kami sepakat untuk kembali melacak keberadaan dokumen yang pernah dibuat Komnas HAM," terangnya.


Korban tragedi 27 Juli juga menuntut agar dilakukan pembersihan nama baik mereka, ganti rugi karena sudah dikriminalisasi. "Kita coba kumpulkan fakta-fakta mereka juga bawa dokumen yang pernah digelar perkara di Komisi III bersama Kapolri dari situ kita akan melihat apakah masuk pelanggaran HAM berat baru kita akan membentuk tim penyelidikan ad hoc," pungkasnya.
(ful)


Mobile Read

Publish : Rabu, 27 Juli 2011
Penulis : Tri Kurniawan
Editor : -

Jumat, 01 Juli 2011

RATUSAN PENDEMO LONG MARCH KE ISTANA


Jumat, 01/07/2011 13:33 WIB
Ratusan Pendemo Long March ke Istana, Jl Cikini Macet Parah  
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Ratusan orang yang tergabung dalam Gerakan Oposisi Nasional (Gonas) long march dari TIM menuju Istana Negara. Akibatnya Jalan Cikini Raya dan Jalan Menteng Raya macet parah.

Pantauan detikcom, Jumat (1/7/2011), pukul 13.15 WIB, kemacetan dikarenakan pendemo memenuhi badan jalan dan hanya menyisakan satu lajur untuk pengendara melintas. Pendemo juga berjalan melawan arus di Jalan Cikini Raya menuju Gambir.

Pendemo membawa spanduk, bendera maupun poster anti-pemerintah. Salah satu satunya berbunyi 'Presiden Gagal, Negara Kaya, Rakyat Miskin, Ganti Rezim, dan Ganti Sistem'.

Puluhan polisi mengawal ribuan pendemo yang bergerak long march ke Istana. Para pengendara diimbau mencari jalur lain menghindari jalan Cikini, Menteng, dan Gambir.

Pendemo berencana akan mengeluarkan dekrit rakyat untuk meminta Presiden SBY mundur. Hal ini karena SBY dinilai tidak bisa menjalankan amanat konstitusi.

 Ratusan Pendemo Long March ke Istana, Jl Cikini Macet Parah

DATA & FAKTA KECURANGAN PILPRES 2009, KEMENANGAN SBY-BUDOED KONSPIRASI AS DAN KOMPLOTAN BANDIT POLITIK


Data & Fakta Kecurangan Pilpres 2009, Kemenangan SBY-Boed Konspirasi AS dan Komplotan Bandit Politik

22 June 2011
HMINEWS – Pemilu 2009 lalu, pasangan capres/cawapres Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto enggan menandatangani hasil pemilihan presiden/wapres (Pilpres). Pasalnya, ada dugaan kecurangan penghitungan dan pemungutan suara pada Pilpres. Bahkan, bahan-bahan kejadian kecurangan Pilpres yang dikumpulkan PDI-P saat itu, sudah diserahkan Prof Gayus Lumbuun SH ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski jelas-jelas bukti-bukti adanya pelanggaran berat kecurangan pemilu/pilpres sudah diserahkan ke MK, namun lembaga pimpinan Mahfud MD akhinrya tetap saja mensahkan hail Pilpres? Ada apa sebenarnya? Kabarnya, ada kejanggalan dalam putusan MK saat pengesahan hasil Pilpres 2009?
Tokoh senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) AP Batubara, memberi ‘kesaksian’ mengejutkan terkait praktik dugaan kecurangan Pemilu/Pilpres 2009 lalu itu. “Menjelang pengumuman hasil Pilpres 2009 waktu itu, mulanya Saya dengar akan ada keputusan MK bahwa Pilpres tidak sah. Hasil penghitungan suara Pilpres dibatalkan,” kisah AP, panggilan AP Batubara seperti diungkapkan kepada jakartapress.com.
Kejanggalan yang dimaksud, adalah salah satu poin dalam konsideran putusan MK menyatakan ada kecurangan dalam Pilpres 2009. “Sehingga. kalau akhirnya diputuskan ‘paksa’ bahwa Pilpres 2009 sah, itu tidak nyambung dengan konsiderannya,” ungkap Anggota Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP ini.
Kenapa sampai terjadi ‘pemaksaan’ hasil Pilpres sah waktu itu? Apa mencurigai ada dugaan campur tangan pihak Amerika Serikat (AS) terhadap Pilpres dalam negeri kita untuk memenangkan capres tertentu. “Saya curiga saat itu, sebelum hasil keputusan MK diumumkan esok hari, malamnya Dubes AS ketemu dengan Presiden SBY dan Ketua MK Mahfud MD di Cikeas. Langsung paginya, MK putuskan Pilpres hasilnya sah,” duga AP.
Penasihat politik Megawati Soekarnoputri ini pun menganalisa, keputusan MK itu baru nyambung dengan konsideran kalau hasil Pilpres justeru dinyatakan tidak sah, yakni harus dilakukan Pilpres ulang. “Tideapi anehnya kok disebut Pilpres sah setelah Dubes AS ke Cikeas. Sebab, berdasarkonsan, Pilpres harus diulang,” kenangnya.
Kalau publik ada yarng menyangsikan adanya dugaan kecurangan dalam Pilpres lalu, diminta membaca lagi konsideran dalam putusan MK tentang Pilpres 2009 dan membawanya ke ahli hokum. “Baca konideran dalam putusan yang dikeluarkan MK, kalau diputuskan Pilpres sah, maka itu gak nyambung!” seru sesepuh PDIP ini.
Makanya, menurut AP, Megawati dulu bilang saya tidak kalah, tapi dikalahkan’. Mega pun sadar kalau ‘borok’ kecurangan Pilpres 2009 itu terungkap dan ketahuan publik, maka hancurlah negara ini. Jadinya, Mega memegang erat rahasia kecurangan Pilpres tersebut, hingga kini. “Ini karena Mega terlalu besar kecintaannya terhadap bangsa ini, meski dirinya dirugikan, papar ketua umum Yayasan Proklamasi 17 Agustus 1945 ini.
Sikap jiwa besar Mega ini diangapnya meniru bapaknya, Presiden Soekarno yang tidak reaksi keras saat tahu akan dikudeta Soeharto yang menjadi Pangkostrad saat itu. “Sama dengan Bung Karno dulu sebenarnya bisa bilang langsung, tangkap Soeharto! Apalagi seluruh Pangdam masih setia dengan Bungkar Karno, seperti Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie, Pangdam Sriwijaya Makmun Murod, Pangdam Bukit Barisan, Pangdam Diponegoro, Pangdam Brawijaya dan lainnya mendukung Bung Karno,” ungkap AP. “Cuma Soeharto yang bergerak melalui Kostrad mau merebut kekuasaan dari Bung Karno. Jadi, Soeharto itulicik. Mula-mula dia datangi Nasution yang menjabat Menko Polkam saat itu. Nasution pun menolak maksud Soeharto. Jadi, SBY juga belajar dari gayanya Soeharto minus Opsus,” bebernya pula.
AP pun menilai, Bung Karno sebagai pemimpin dengan hati yang jujur dan bersih, saat itu memberikan Surat Perintah 11 Maret kepada Soeharto untuk mengamankan keadaan, bukan untuk kudeta dirinya. Dengan harapan kalau situasi sudah aman, kewenangan dikembalikan kepada Bung Karno.
Tapi, dasar Soeharto licik, malah kudeta Bung Karno. Super Semar tidak jelas di tangan Soeharto. Akhirnya, Nasution dijadikan ketua MPRS. Ada ketua-ketua Badan Pekerja MPRS. Saya ketua Badan Pekerja MPRS bidang polkam dan hubungan luar negeri. Wakil saya itu Subhan,” cerita AP.
Dikisahkan, saat itu setiap hari MPRS kumpul rapat dan enam bulan sekali rapat khusus untuk mengevaluasi jalannya pemerintahan yang dipegang Soeharto. “Kemudian MPRS ketemu Soeharto untuk berikan penilaian. Ini keputusan rapat MPRS tetapi Soeharto terganggu serta merasa diawasi.  Akibatnya, Soeharto tidak senang dengan Nasution. Karena merasa terganggu dengan kewenangan yang dipegangnya dari kudeta Bung Karno. Akhirnya, soeharto membubarkan MPRS. Nasution pun dicopot Soeharto. Sejak saat itulah negara dan idealisme bangsa ini rusak akibat tingkah Soeharto.”
Kerusakan mental dan idealisme bangsa pun belanjut hingga kini. Elit partai politik merampok uang melalui BUMN dan aset negara lainnya. Seperti Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin yang memanfaatkan kekuasaan. “Saya dengar Nazaruddin mendapat 300-an proyek yang nilainya triliunan. Dia dapat fee sekian persen untuk setiap proyek. Semua pimpro takut terhadap dia. Jadi, proyek belum selesai, sudah bayar Nazaruddin,” ungkap AP.
Saya haqul yakin Nazaruddin kabur ke Singapura termasuk pemintaan SBY, atau sepengetahun SBY. Jika tidak, sekarang Presiden perintahkan saja cabut paspor Nazaruddin dan minta aparat untuk menangkapnya. Nazaruddin kabur sebelum dicekal itu tak mungkin SBY tidak tahu,” sambungnya.
Ia heran, SBY menyatakan perang melawan korupsi, tapi tidak bewibawa di mata PM Singapura. Yakni, SBY  tak mampu pulangkan Nazaruddin dari Singapura. “Diminta pulang Nazaruddin, SBY malah jawab itu bukan urusan dririnya, tapi urusan penegak hukum. Padahal, semestinya Presiden itu bertanggung jawab terhadap masalah apa pun di negara ini,” tutur AP.
Jadi, apa yang keluar dari mulut SBY itu berbohong tapi tidak ketahuan. SBY itu sangat lihai, ahli dalam manfaatkan kebodohan rakyat untuk dikibuli. Pemerintahan SBY ini penuh mafia dan preman,” tambahnya pula
Pada sisi lain, AP menganggap Singapura terus menerus memanfaatkan dan menguras sumber daya alam dari Indonesia serta menampung uang koruptor yang lari dari Indonesia. “Singapura itu gak punya sumber daya alam, hanya punya lahan strategis, sehingga sumber penhasilannya dari situ. Separuh uang Singapura itu dari orang-orang Indonesia,” pungkasnya.
Singapura ditengarai juga penadah ilegal loging dan barang ‘haram’ dari Indonesia. Sementara oknum elit di negeri ini juga berkelakuan bandit. Jadi, klop negara kita gampang dibuat mainan oleh Singapura. “Negara kita sekarang diatur oleh komplotan bandit-banditpolitik. Hal ini terjadi karena mereka tidak punya ideologi. Ideologinya bandit. Kalau Pancasilais, tak mungkin lakukan hal itu,” ungkap AP.
Akhirnya, AP mengkritik Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi yang dibentuk Presiden SBY. “Dalam UUD 1945 itu tidak menyebutkan ada setgab koalisi, yang ada kabinet presidensil. Jadi, SBY membentuk Setgab itupelanggaran UUD. Ini akibat SBY tidak yakin menang perolehan suara pada pemilu lalu yang diduga curang, maka dia bentuk Setgab. Jadi, SBY itu jago tipu,” ujar mantan Ketua PDI DKI Jakarta ini.[]JP/ian