Selasa, 06 Maret 2012

SITOR SITUMORANG, SANG PENYAIR SOEKARNOIS


Sitor Situmorang, Sang Penyair Soekarnois

BERDIKARI Online, Selasa, 6 Maret 2012 | 14:22 WIB   ·   0 Komentar
Sitor Situmorang
Semangat dan konsisten dalam mempertahankan idealisme hingga usia senja. Begitulah kiranya sifat dan semangat juang dari putra Batak ini bila dideskripsikan. Ia adalah Sitor Situmorang, seorang penyair dan sastrawan yang telah melahirkan ratusan karya berbentuk puisi, sajak dan cerpen.
Beliau lahir pada tanggal 2 Oktober 1924 di Harianboho,Sumatera Utara. Ia dibesarkan hingga usia remaja dalam sebuah masyarakat dengan kultur Batak yang amat kental.
Minatnya terhadap dunia sastra berawal saat Sitor membaca buku Max Havelaar karya Multatuli. Ketika itu ia seorang remaja. Berbekal pemahaman bahasa Belanda yang cukup baik, ia pun menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari buku tersebut ke dalam bahasa Batak.
Melalu karya Multatuli ini pula kesadaran kebangsaan dan sikap anti imperialis makin meruncing dalam jiwa Sitor. Sitor sendiri merupakan anak dari Ompu Babiat Situmorang, salah satu pejuang anti kolonial Batak saat berkobarnya perang antara Sisingamangaraja XII dengan Belanda.

Soekarnois dan Tiongkok

Sebagai seorang penyair, Sitor sering digolongkan sebagai penyair atau punjangga angkatan 45, bersama dengan Chairil Anwar dan Sanusi Pane. Menurut Sitor, penyair angkatan 45 diilhami oleh semangat memberontak demi kemerdekaan.
Memasuki dekade 1950-an, Sitor banyak menciptakan karya puisi yang fenomenal, seperti yang terangkum dalam kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954) dan Dalam Sajak (1955). Banyak pihak menganggap karya-karya Sitor banyak yang bernuansa nature dan diwarnai gaya sastra tradisional semacam pantun. Mengomentari hal ini, Sitor berucap : “Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantun-pantun..”.
Karya-karya sastra Sitor lainnya yang juga diterbitkan di tahun 1950-an, antara lain Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954) dan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Selain bergelut dalam dunia sastra, Sitor juga meniti karir sebagai wartawan. Ia pernah menjadi pewarta berita di berbagai media, seperti Harian Suara Nasional, Waspada dan Warta Dunia.
Keterlibatannya dalam dunia politik diawali ketika Sitor bergabung dalam Partai Nasional Indoenesia (PNI) dan kemudian diberi amanat untuk menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) di akhir dekade 1950-an . LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PNI. Sejak saat itulah Sitor terlibat secara total dalam kancah perpolitikan nasional. Di masa Demokrasi Terpimpin, ia bersama LKN yang dipimpinnnya menjadi pendukung setia kebijakan Presiden Soekarno, khususnya di sektor kebudayaan.
Sikap politik yang ia ambil berpengaruh pula pada beberapa karyanya yang terbit di tahun 1960-an. Contohnya, puisi “Zaman Baru” yang ia ciptakan di tahun 1962. Puisi tersebut diciptakannya setelah ia bersama tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Rivai Apin, berkunjung ke Tiongkok. Sitor mengungkapkan kekaguman dan dukungannya bagi revolusi rakyat Tiongkok melalui “Zaman Baru”.
Dalam suatu wawancara dengan majalah Tempo pasca reformasi, Sitor mengemukakan alasan dukungannya terhadap Tiongkok ketika itu:
“Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita.”
Perihal sikap politik pro Soekarno dan dukungannya terhadap Tiongkok yang ‘komunis’ membuat Sitor dikecam oleh sesama sastrawan dan seniman, terutama yang mengklaim diri sebagai kaum ‘humanis universal’ dan penjunjung kebebasan berkreasi. Namun, Sitor tetap pada pendirian politiknya sebagai pendukung Soekarno dan mengekspresikan sikap tersebut dalam puisi-puisinya. ”Makan Roti Komune”, ”Lagu Gadis Itali” dan ”Jalan Batu ke Danau” merupakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam situasi politik nasional yang semakin terpolarisasi menjelang tahun 1965. Sitor pun menerbitkan kumpulan esai politiknya, Sastra Revolusioner, di tahun 1965.
Polarisasi politik yang juga merambah lapangan budaya ketika itu turut pula melibatkan Sitor. Sebagai pimpinan LKN yang mendukung garis kebijakan Soekarno, Sitor bersama dengan kawan-kawannya di Lekra berpolemik dengan kaum sastrawan dan seniman ‘bebas’ yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sitor dan kawan-kawan menganggap Manikebu tak lebih dari tindakan politik yang disusupi anasir imperialis yang bertopengkan kebudayaan.
“Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika,” demikian penjelasan Sitor mengenai latar belakang konflik 1965 dan siapa sesungguhnya kelompok Manikebu itu.

Konsistensi Di Dalam Bui

Polemik antara LKN-Lekra dan Manikebu berujung pada pelarangan Manikebu oleh Soekarno di tahun 1964. Sitor berpendapat hal itu lebih dilatarbelakangi oleh konflik politik yang kian memanas pada masa itu dan bukan sekedar pemberangusan kebebasan berkreasi seperti yang selalu didengungkan tokoh-tokoh Manikebu. Hal ini diperkuat dengan adanya dukungan politik kelompok Angkatan Darat (AD) terhadap Manikebu.
“Saya menyayangkan peristiwa (pelarangan Manikebu) tersebut. Tapi waktu itu saya dalam situasi politik, suara saya adalah polemik politik. Saya memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional dan anti-Manikebu. Dan bagi saya, sampai sekarang, penandatangan manifes itu isinya hanya “bunga-bunga” saja. Tapi intinya adalah perbuatan politik murni,” kata Sitor.
Klimaks konflik politik era Demokrasi Terpimpin ditandai dengan meletusnya tragedi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965. Situasi pun berubah dengan cepat. Kekuatan Soekarnois dan komunis terpukul oleh kekuatan baru yang diberi label ‘Orde Baru’.
Sitor, yang menjadi bagian dari kelompok pendukung Soekarno, pun turut ‘disasar’ oleh rezim baru pimpinan Soeharto. Ia djebloskan ke penjara Gang Tengah Salemba di tahun 1967 tanpa proses peradilan. Delapan tahun lamanya ia mendekam di penjara. Selama itu pula ia tetap konsisten menjadi seorang Soekarnois tanpa ada maksud secuil pun untuk ‘cari aman’ dengan mengingkari pendiriannya.
Dia juga konsisten dalam berkarya. Selama dalam tahanan, Sitor berhasil menggubah dua karya sastra yang berjudul “Dinding Waktu” dan “Peta Perjalanan”. Pada tahun 1975, Sitor dilepaskan dari bui. Namun ia tetap dikenai status tahanan rumah hingga tahun 1976. Berbagai kesulitan hidup pun dialami oleh Sitor dan keluarga, seperti halnya mantan tahanan politik (tapol) lainnya di era Orde Baru.
Untuk menghindari tekanan politik lebih lanjut dari rezim Soeharto, Sitor memilih menetap di Paris, Perancis. Pada masa itu, negara-negara Eropa seperti Perancis dan belanda memang menjadi tempat tujuan para pelarian atau mantan tapol Indonesia masa Orde Baru, terutama yang terkait dengan peristiwa 1965. Di tahun 1981, Sitor pindah ke Belanda dan menjadi dosen di Universitas Leiden selama sepuluh tahun. Setelah itu, Sitor kembali berpindah-pindah tempat dari Perancis hingga Pakistan.
Sitor kembali ke Indonesia setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998. Dalam berbagai forum dan interview dengan berbagai media di masa reformasi, ia tetap membenarkan sikap politik dan karya-karyanya yang menyokong kebijakan Soekarno pada tahun 1960-an. Sikap yang mengakibatkan dirinya menjadi tapol dan eksil di era Orde Baru. Seperti itulah konsistensi Sitor, sang penyair Soekarnois.
HISKI DARMAYANA
Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang