Rabu, 30 Januari 2013

Sejarah Gelora Bung Karno


Sejarah Gelora Bung Karno
Posted on January 18, 2013
http://tribuneselatan.files.wordpress.com/2012/01/jakartagoid.jpg?w=523
Stadion Utama Gelora Bung Karno medio 1990-2000 awal
23 Desember 1958, Wajah Kepala Negara kita Bapak Ir. Soekarno begitu berseri-seri dan bahagia karena impiannya untuk membangun fasilias olahraga terbesar, paru-paru kota dan tempat warga berkumpul milik Indonesia akan segera terealisasi sesegera mungkin, setelah tepat pada hari itu Kredit lunak dari Uni Soviet kepada Indonesia sebesar 12,5 juta Dollar AS telah cair dan siap diuangkan.
8 Februari 1960, Ir. Soekarno menancapkan tiang pancang pertama stadion ini yang kala itu disaksikan Anastas Mikoyin (Wakil PM Uni Soviet) sebagai tonggak awal dibangunnya Stadion Utama Gelora Bung Karno, stadion terbesar di negeri cincin api ini diletakkan dan siap untuk dibangunnya bangunan nan mewah, megah dan menjadi trademark dari Indonesia kala itu. Karena dibangunnya stadion ini juga berhubungan dengan dibangunnya kompleks olahraga Gelanggang Olah Raga Bung Karno demi menyambut Asian Games ke-IV pada tahun 1962.
Pada tahun itu, impian sebuah negeri yang baru merdeka untuk membangun stadion dengan kapasitas +/- 100.000 penonton adalah hal yang sangat membanggakan. Bayangkan saja, pada saat itu SUGBK bisa menampung penonton lebih banyak daripada Stadion Wembley Inggris, Stadion Maracana Brazil, Stade de France Perancis dan banyak stadion lain di dunia.
http://tribuneselatan.files.wordpress.com/2012/01/gelora-bung-karno.jpg?w=640&h=475&h=475
Pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno
21 Juli 1962, Stadion Utama Gelora Bung Karno dengan kapasitas 100.000 orang penonton telah selesai dibangun, dengan Sumbu panjang bangunan (utara – selatan) sepanjang 354 meter, sumbu pendek (timur – barat) sepanjang 325 meter. Stadion ini dikelilingi oleh jalan lingkar luar sepanjang 920 meter. Bagian dalam terdapat lapangan sepak bola berukuran 105 x 70 meter, berikut lintasan lari berbentuk elips, dengan sumbu panjang 176,1 meter dan sumbu pendek 124,2 meter.
Yang lebih luar biasa lagi dari SUGBK adalah ciri khas atap ‘temu gelang’. Atap oval yang melingkari stadion itu adalah murni ide dari proklamator kita, bapak Ir. Soekarno semata-mata untuk menunjukkan kehebatan negara kita pada negara-negara lain di dunia. Berikut adalah cuplikan pidato beliau ketika memerintahkan arsitek untuk membangun atap ‘temu gelang’.
“Saya memerintahkan kepada arsitek-arsitek Uni Soviet, bikinkan atap temu gelang daripada mainstadium yang tidak ada di lain tempat di seluruh dunia. Bikin seperti itu. Meskipun mereka tetap berkata, yah tidak mungkin Pak. Tidak biasa, tidak lazim, tidak galib, kok ada stadion atapnya temu gelang, di mana-mana atapnya ya sebagian saja. Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kita harus temu gelang.Tidak lain dan tidak bukan oleh karena saya ingin Indonesia kita ini bisa tampil secara luar biasa. Kecuali praktis juga ada gunanya, supaya penonton terhindar dari teriknya matahari. Sehingga ikut mengangkat nama Indonesia. Dan sekarang ini terbukti benar saudara-saudara, di mana-mana model atap stadion temu gelang dikagumi oleh seluruh dunia. Bahwa Indonesia mempunyai satu-satunya main stadium yang atapnya temu gelang. Sehingga benar-benar memukau kepada siapa saja yang melihatnya”
Setelah sempat mengalami renovasi pada tanggal 24 Juli 1962 dan perbesaran pada tanggal 17 Agustus 1962, seminggu kemudian tepat 24 Agustus 1962 SUGBK dibuka untuk pertama kali.
http://tribuneselatan.files.wordpress.com/2012/01/wikipediaorg.jpg?w=523
Pembangunan Stadion Utama Gelora Bung Karno (2)
Inilah Stadion kebanggan kami yang dulu pada era Orde Baru GOR ini berubah nama menjadi Senayan karena semua hal yang berbau Soekarno adalah hal ‘haram’ di Indonesia. Namun tepat pada era reformasi 1998, Kompleks Olahraga ini kembali dirubah namanya seperti semula sesuai Surat Keputusan Presiden No. 7/2001.
Mungkin orang-orang masih banyak yang belum tahu mengapa kompleks dan stadion ini dinamai nama Presiden pertama kita. Yah, GOR dan Stadion ini dinamai Bung Karno untuk menghargai jasa beliau sebagai penggagas dibangunnya kompleks olahraga ini.
Pada tahun 2007, demi menyambut even besar Piala asia 2007 dimana Indonesia bertindak sebagai tuan rumah, SUGBK mengalami renovasi kembali, yaitu dengan pengurangan jumlah penonton dimana sebelumnya dapat menampung 100.000 penonton, kini dengan pembenahan seat di SUGBK, jumlah penonton yang dapat masuk untuk menikmati pertandingan ini hanya 88.083 penonton. Tapi tak apalah, Stadion kita masih bisa menampung penonton lebih banyak daripada Stade de France, Ollimpico Roma, Santiago Bernabeu Spanyol dan beberapa stadion internasional lainnya.
SUGBK sekarang :
http://tribuneselatan.files.wordpress.com/2012/01/img_2573.jpg?w=523
Tribune atas sector 13 SUGBK
Yah, disinilah kami para supporter bersua. Untuk mendukung tim Garuda, 11 pemain yang berjuang mati-matian di alas rumput permadani ruang tengah ‘rumah’ kami. Dengan kami para suporter yang yang rela memenuhi tiap jengkal tribune stadion ini sebagai pengganti dinding-dinding ‘rumah’ kami, dan beberapa suporter yang tidak dapat masuk stadion untuk memenuhi halaman depan ‘rumah’ kami.
Tolong jangan rusak halaman ‘rumah’ kami dengan aksi politik kalian, tolong jangan hancurkan pagar-pagar pembatas ‘rumah’ kami dengan aksi-aksi kotor dan hina kalian. Ingatlah, ini adalah tempat suci dimana Sang Proklamator menginginkan negeri ini dikenal dan menuai pujian dari negara lain. Tolonglah, disini bukan ‘rumah’ bagi kalian yang hanya memakai halaman kami untuk identitas-identitas pencitraan organisasi kalian, disini bukan medan perang demi memperjuangkan kelompok-kelompok individu kalian, disini adalah temapt magis dimana legenda kita pun berjuang mati-matian ditengah lapangan.
http://tribuneselatan.files.wordpress.com/2012/01/senayan9.jpg?w=360&h=288&h=288
Tolong Usir Orang-orang Seperti Mereka Dari Rumah Kami
Di ‘rumah’ kami inilah, tawa, teriakan, senyuman bahkan tangis haru mengiringi perjuangan pemain-pemain kebanggan kita di ‘rumah’ sendiri. Sejauh ini selama ‘rumah’ kita menjamu negara lain sebagai tuan rumah kompetisi, kita hanya sekali menikmati kejayaan pesta di ‘rumah’ sendiri, saat memperoleh medali emas Sea Games 1987, pada turnamen lainnya sekelas AFF/Tiger Cup kita berulang kali menjadi tuan rumah namun kitapun dibuat menangis pada akhir 2010 lalu, dan kembali mengingatkan bahwa kita hanya jago runner up di turnamen itu. Selain itu pada Piala Asia walau menjadi tuan rumah, kita hanya mampu memuaskan warga ‘rumah’ hanya dengan berkutat di babak 1 turnamen. Apakah ini kutukan’ rumah’ kami? Ditempat selayak ini, kita bahkan belum mencicipi piala satupun walau sempat tersenyum dengan kalungan emas di ‘rumah’ sendiri.
Di pinggir halaman ‘rumah’ kami sudah puluhan pelatih berdiri menyemangati anak asuhnya, mulai dari Pogacnik, EA Mangindan, Endang Witarsa, Wiel Coerver, Suwardi Arlan, Balkom, Janota, Fischer, Harry Tjong, Sinyo Aliandoe, Trio Basri Iswadi Idris dan Abdul Kadir, Bertje M, Anatoli Polosyn, Ivan Toplak, Matte, Danurwindo, H Wullems, Rusdy Bahalwan, Schumm, Nandar Iskandar, Benny Dollo, Ivan Kolev, Peter White, Alfred Riedl hingga Wim Rijsbergen.
Di bawah mistar di halaman belakang ‘rumah kami pun sudah berdiri kiper-kiper tangguh seperti Ronny Pasla, Listianto rahardjo, Hendro Kartiko, Kurnia Sandy, Markus Horison, Ferry Rotinsulu hingga generasi Kurnia Meiga danAndrytani.
Dan penjaga palang pintu pertahanan ‘rumah’ kami pun tak kalah garang, dimana pernah ada nama-nama Iswadi Idris, Herrkis, Robby Darwis, Rully Nere, Aji Santoso, Sugiantoro, Sudirman, Anang Maruf, Charis hingga generasi Hamka dan Gunawan DC.
Di ruang tengah ‘rumah’ kami pernah ada pemain hebat macam Ansyari Lubis, Fachri Hussaini, Uston, Bima Sakti, Ronny Patti,Ponaryo, Zulkarnaen Lubis, Utina, Bustomi hingga menurun ke generasi Egi Melgiansyah, Andik dan Dirga Lasut.
Di ruang depan ‘rumah’ kami juga pernah ada pembunuh-pembunuh berdarah dingin yang tak segan menunjukkan kemampuannya macam Bambang Nurdiansyah, BP, Kurniawan, Gonzales, Widodo CP, Ricky Yacob, Dede Sulaeman, Rochy Putiray, Ilham JK, Boaz hingga menurun ke generasi duo papua Wanggai dan Tibo.
Kami hanya ingin menangis bangga kali ini, jangan kecewakan harapan kami di tempat suci ini. Buatlah Alm. Soekarno, Alm. Soeratin, Alm. Ramang dkk tersenyum dengan bangga melihat kalian mengangkat trophy dirumah sendiri.
Sumber:

Bung Karno Sang Pengampun


Tulisan ini harus saya mulai dengan paradoks, betapa seorang Sukarno dengan jasa-jasa yang sulit ditimbang, begitu nista di akhir hidupnya. Demi pertikaian politik, demi ambisi kekuasaan, ia dibungkam, dilarang berhubungan dengan dunia luar, tidak mendapat perawatan atas sakitnya secara layak, hingga ajal menjemput.
http://rosodaras.files.wordpress.com/2011/06/bung-karno-lantik-soeharto.jpg?w=300&h=214Pelakunya? Tudingan akan mengarah ke sosok presiden kedua, Soeharto. Sekalipun, ia hanya budak atas sebuah konspirasi besar bernama CIA dan kepentingan-kepentingan asing yang membawa semangat kapitalisme baru. Apa hanya Soeharto? Tokoh militer yang mendapatkan semua jabatan dan kemuliaan dari Presiden Sukarno yang berbuat dzolim? Ada nama-nama lain, seperti A.H. Nasution, dan sejumlah nama yang kemudian moncer di saat Orde Baru lahir. Bahkan kemudian ikut menikmati kekuasaan itu untuk waktu yang lama.
Situasi di atas sangat berbeda dengan teladan yang Bung Karno wariskan sebagai seorang negarawan. Bung Karno, dengan kekuasaannya, pasca 1959, bahkan meninjau kembali kebijaksanaan berbagai tindakan keamanan yang pernah diambil oleh aparat keamanan, demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Berikut adalah beberapa peristiwa atau contoh, teladan Bung Karno sebagai seorang negarawan sejati.
Pertama, pemberontakan PRRI/PERMESTA. Para pelakunya memperoleh pengampunan umum, meski mereka telah melakukan tindakan makar dengan memberontak dan membentuk pemerintahan tandingan di Padang dengan bantuan persenjataan dari Amerika Serikat. Bantuan itu tidak sebatas dollar, tetapi juga pesawat tebang, kapal laut, dan alat-alat komunikasi modern.
http://rosodaras.files.wordpress.com/2011/06/sjafruddin-prawiranegara.jpg?w=204&h=300Pilot Maukar yang memihak PERMESTA, yang memberondong Istana Merdeka dengan tembakan-tembakan roket (mengarah ke teras belakang tempat biasa Bung Karno mengadakan coffee morning dengan berbagai kalangan). Maukar toh diampuni dan dibebaskan dari hukuman. Kemudian Mr Syafruddin Prawiranegara dari Masyumi yang diangkat menjadi Perdana Menteri PRRI, Letna Kolonel Ahmad Husen sang proklamator PRRI dan seluruh jajarannya termasuk Moh. Natsir (tokoh Masyumi), semua direhabilitasi.
Bahkan terselip kisah, ketika Ahmad Husen sang proklamator PRRI di kemudian hari (setalah diampuni) bertemu Bung Karno, sambil menangis ia bersimpuh di hadapan Bung Karno. Bung Karno segera meraih kedua pundak Ahmad Husen dan mengusap air matanya. “Kamu juga anakku,” kata Bung Karno lembut.
Contoh kedua, Sutan Sjahrir yang ditahan karena tuduhan berkomplot hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Ia pun direhabilitasi dan dianugerahi bintang Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Bahkan ketika dia sakit dan memerlukan berobat ke Swiss, Bung Karno mengirimnya ke Swiss untuk berobat atas biaya negara. Kemudian rumah yang ditempatinya di Jl. Cokroaminoto, Menteng, Jakarta, oleh Bung Karno dihadiahkan kepada istri Sjahrir.
Contoh ketiga, Tan Malaka. Tokoh kontroversi. Ia dengan gerakan kirinya, melakukan beberapa petualangan politik sehingga akhirnya dieksekusi oleh tentara di Jawa Timur di bawah komando Kolonel Soengkono semasa clash kedua (Negara Dalam Keadaan Perang). Tan Malaka pun direhabilitasi, dan dengan mempertimbangkan jasa-jasanya sebagai pemimpin pergerakan Indonesia di masa silam, Tan Malaka dianugerahi tanda jasa sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Ketiga contoh di atas, hanya untuk menunjukkan betapa besar jiwa Bung Karno, serta betapa mulia hatinya sebagai seorang pemimpin bangsa. Semua bekas musuh politik, diampuni. Dalam sudut pandang yang lain kita bisa melihat, mereka menjadi musuh politik Bung Karno pada situasi tertentu, tetapi bukanlah musuh abadi.
Benar-benar tipikal pemimpin sejati. Salah satu cirinya, selain ciri-ciri di atas, adalah tidak memendam rasa dendam dalam hatinya terhadap siapa pun yang pernah beroposisi.
Apa itu penilaian saya yang subjektif? Mungkin. Tapi baiklah, berikut ada sejumlah testimoni yang bisa mendukung penialain tadi. Pertama dari Zulkifli Loebis. Ia dikenal sebagai bapak Intelijen Indonesia. Sebagai tokoh intelijen yang pernah terlibat gerakan PRRI dan kemudian diampuni oleh Bung Karno, suatu hari ia berkata, “Bung Karno betul-betul orang besar yang sekali tidak ada rasa dendam dalam hatinya. Ajaran-ajarannya haruslah dipelajari dari generasi ke generasi”.
Tokoh lain, Soebadio Sastrosatomo, seorang tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia), pun berujar, “Sukarno adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Sukarno”. Para penutur tadi, direkam juga oleh seorang Sukarnois, Pamoe Rahardjo, eks laskar PETA yang kemudian berkarier di militer dan pernah menjadi ajudan senior Bung Karno periode 1946 – 1948. (roso daras)

Jumat, 18 Januari 2013

Setelah Lewat Jembatan Emas



Diunduh dari Wall FB Md Kartaprawira

Ilustrasi: Micha Rainer Pali
Setelah Lewat Jembatan Emas
Pidato 1 Juni 1945 menetapkan untuk apa kita menjadi sebuah bangsa yang merdeka.
OLEH: BONNIE TRIYANA
Dibaca: 1723
PAGI itu, 1 Juni 1945, Sukarno didaulat menjadi pembicara pertama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia berdiri di hadapan puluhan anggota BPUPKI, mengenakan stelan jas dan kopiah beludru hitam. Membuka pidatonya dengan kritik kepada pembicara dalam sidang sebelumnya yang dinilainya terlalu “njelimet”, meributkan hal-hal yang kurang penting untuk mendirikan sebuah negara.
“… Di dalam hati, saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang –saya katakan dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini– “zwaarwichtig” akan perkara yang kecil-kecil. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan,” ujar Sukarno.
Memang dalam rangkaian sidang yang dimulai sejak 28 Mei 1945 itu para pembicara sebelum Sukarno disibukkan oleh perdebatan bagaimana bentuk negara kelak, wilayah mana yang akan ditetapkan sebagai negara Indonesia dan bagaimana menjalankan pemerintahan. Itulah yang menurut Sukarno terlalu remeh untuk dibicarakan dan tak menyentuh persoalan yang sebenarnya.
Sukarno telah menjadi figur pemimpin nasionalis yang terkemuka sejak semasa sebelum perang. Orator yang piawai mempengaruhi massa pengikutnya. Seorang pemimpin yang sejak mula mengusung pentingnya kemerdekaan Indonesia.  Sehingga dalam kesempatan pidato di sidang BPUPKI itu dia mengajukan usulan penting bahwa modal utama dari negara yang akan segera lahir itu tak lain adalah kemerdekaan.  Karena kermerdekaan itu adalah “jembatan emas” kata Sukarno.
Jembatan. Itu kaca kuncinya. Di seberang jembatan itu kelak, kata Sukarno, semua akan ditata. Bagaimana masyarakat Indonesia yang telah meraih kemerdekaan akan hidup dengan landasan filosofi Pancasila yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam keberagaman.
Maka dalam pidatonya yang kerap mendapatkan sambutan tepuk tangan meriah itu Sukarno mengemukakan konsep nasionalisme modern. Sebuah paham kebangsaan yang tak bersendikan pada satu suku atau satu agama semata, melainkan suatu negara “semua buat semua”. “Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,” kata Sukarno dalam pidatonya.
Sukarno sadar betul bahwa masyarakat yang mendiami kepulauan Nusantara ini terdiri dari beragam macam latar belakang suku, agama dan ras. Mendirikan sebuah negara dengan basis agama atau suku bangsa tertentu bukanlah “intellectual fashion” yang sedang menggejala di kalangan para pendiri bangsa saat itu.
Mahatma Gandhi misalnya, semenjak mula dia selalu berusaha untuk menciptkan satu India, kendati kemudian terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh. Nasionalisme Gandhi berdiri di atas prinsip kemanusiaan. “My nationalism is humanity,” kata Gandhi seperti dikutip oleh Sukarno. Sukarno pun dirasuki semangat yang sama untuk membangun sebuah negara-bangsa yang tak diikat oleh sentimen suku dan atau keagamaan.
Sejak menulis artikelnya di Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Sukarno menyerang nasionalisme sempit yang disebutnya sebagai “jinggo-nationalism” yang memecah belah persatuan karena perbedaan agama. Dia mengingatkan orang betapa bahayanya jika sentimen agama dan ras dibiarkan berkembang menjadi-jadi sehingga memecah belah persatuan.
Atas dasar semua kekhawatirannya itu dia mengutamakan agar sebaiknya Indonesia memperoleh kemerdekaannya terlebih dahulu. Lantas dengan kaki, tangan dan otak bangsa Indonesia sendirilah semua tata-kehidupan di negeri ini diatur.
Tapi apakah keadaan di seberang “jembatan emas” yang pernah dicita-citakan oleh Sukarno itu sesuai dengan harapannya?
Kemerdekaan memang sudah di tangan. Tapi tugas terberat yang saat itu harus dilakukan oleh angkatan Sukarno, Hatta dan Sjahrir adalah bagaimana mengubah mentalitas mayoritas masyarakat Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang sepenuhnya merdeka. Terlepas dari segenap keterbelengguannya. Dalam pendapat Soedjatmoko bagaimana persoalan kemerdekaan yang telah diraih itu bisa mendatangkan kebebasan bagi seluruh orang Indonesia.
Kebebasan diperlukan karena selama ratusan tahun bangsa Indonesia hidup dalam penindasan dan penjajahan mewarisi struktur masyarakat yang timpang. Masyarakat yang disusun berdasarkan rasial, yang menempatkan orang Indonesia di kelas terendah dengan pengecualian para priayi yang masih memiliki hak istimewa, baik untuk duduk di pemerintahan maupun mengakses jenjang pendidikan tertinggi.
Indonesia pada masa awal menyeberangi “jembatan emas” adalah sebuah keadaan di mana tingkat buta huruf masih tinggi, pendapatan per kapita masyarakatnya masih rendah, korupsi mulai marak dan konflik politik semakin meruncing.
Bahkan kini, 67 tahun setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, cita-cita generasi angkatan Sukarno semakin jauh panggang dari api. Sentimen keagamaan justru semakin meningkat. Kemampuan untuk menerima perbedaan sangat rendah. Intoleransi lebih sering terjadi ketimbang toleransi. Korupsi bersimarajalela.
Indonesia, yang didirikan oleh para akitivis politik berwawasan luas dan kosmopolitan, justru tengah diramaikan oleh mereka yang berpikiran sempit yang tak sesuai dengan semangat pidato 1 Juni 1945: bahwa Indonesia didirikan “semua buat semua”. Indonesia kini berada di sebuah persimpangan dan pada persimpangan itu kita membutuhkan kaca spion untuk melihat ke belakang. Untuk melihat kembali apa yang dikatakan oleh Sukarno dalam pidatonya tentang tujuan didirikannya negara ini.
Sukarno memang seorang pemimpin sekaligus pemimpi yang besar. Sebagaimana yang selalu dia katakan bahwa Indonesia merdeka adalah bekal untuk menciptakan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.
Tapi sore ini saya melihat dari lantai empat pada gedung di mana saya bekerja. Keruwetan lalu lintas di ibukota. Mobil dan motor saling-silang, selip-menyelip, menyerupai gulungan benang kusut ditingkahi teriak sopir, kernet, dan bunyi klakson. Pengemis tunanetra berjalan beriringan di tepi jalan yang dipenuhi sampah, sementara tuan dan nyonya besar di atas sana selalu mengaku memikirkan nasib rakyat yang tak pernah habis-habisnya dipikirkan.
Itulah keadaan di seberang “jembatan emas” yang terjadi di negeri ini 67 tahun setelah kemerdekaanya. Mungkin bukan ini maksud Sukarno tapi begitulah kenyataannya.

Selasa, 01 Januari 2013

RENCANA SOEKARNO UNTUK INDONESIA



http://wisbenbae.blogspot.nl/2012/12/rencana-soekarno-untuk-indonesia.html



RENCANA SOEKARNO UNTUK INDONESIA


 SOEKARNO

Banyak orang yang nggak tau bahwa Bung Karno adalah salah satu Presiden yang amat mengerti tata ruang kota dan tata ruang wilayah geopolitik, dia sendiri sudah mendesain seluruh wilayah Indonesia dengan bagian-bagian pembangunannya, hal ini menjadi satu bagian dari dokumen Deklarasi Ekonomi Djuanda 1960.

Kebanyakan dari orang-orang Sukarno hanyalah seorang arsitek yang gemar mendesain patung, hasil karyanya untuk rumah hanyalah beberapa rumah di Bandung yang ia gambar saat ia berkolaborasi dengan Insinyur Rooseno, atau ketika ia baru lulus kuliah THS (skg ITB) membuat jembatan-jembatan kecil. Bahkan secara sarkastis, mahasiswa-mahasiswa anti Sukarno di tahun 1965 meledek Bung Karno sebagai "Orang Tua Pikun, Patung kok dikira celana" samberan ini meledek soal pidato Sukarno, bahwa Patung  itu seperti celana, sebagai sebuah kehormatan bangsa.

Padahal Sukarno adalah pemikir besar, ia mendesain bukan saja patung-patung yang banyak meniru model Eropa Timur, ia mendesain kota-kota besar masa depan Indonesia. Di tahun 1958 setelah pengusiran warga Belanda dan pengambilalihan modal-modal Belanda sebagai bagian pernyataan siap perang Indonesia dengan merobek-robek perjanjian KMB, Sukarno sebenarnya sudah merancang Djakarta menjadi kota tempur.



Seperti kota Singapura di mana seluruh bujur jalannya lurus-lurus dan lebar sekali, sebenarnya itu disiapkan untuk menjadi markas atas penguasaan wilayah Asia Tenggara. Bagi Bung Karno stabilitas Asia Tenggara adalah segala-galanya untuk melepaskan Indonesia dari politik ketergantungan modal dan politik invasi wilayah-wilayah produk ~apa yang ditakutkan Sukarno pernah diucapkan pada Djuanda "Amerika sekarang tak lebih dengan Belanda, mereka tak berminat terhadap kesatuan wilayah, mereka hanya berminat wilayah-wilayah kaya modal, wilayah produktie, inilah yang menyamakan mereka dengan Belanda di tahun 1947 dimana agresi militer mereka dinamakan dengan sandi "Operatie Produkt"



Wilayah-wilayah yang jadi prioritas Sukarno setelah siap perang dengan Belanda adalah Irian Barat, merebut Irian Barat dan menjadi satu bagian NKRI adalah satu syarat agar bangsa ini menjadi paling kuat di Asia.

Selain Irian Barat yang menjadi perhatian penting Bung Karno adalah Kalimantan. Awalnya Semaun yang membawa saran tentang perpindahan ibukota, -Semaun adalah konseptor besar atas tatanan ruang kota-kota satelit Sovjet Uni di wilayah Asia Tengah - dan ini kemudian disambut antusias oleh Bung Karno, selama 1 tahun penuh Bung Karno mempelajari soal Kalimantan ini, ia berkesimpulan "masa depan dunia adalah pangan, sumber minyak dan air. Pertahanan militer bertumpu pada kekuatanAngkatan Udara"




Bung Karno membagi dua kekuatan itu besar pertahanan nasional dalam dua garis besar : Pertahanan Laut di Indonesia Timur dengan Biak menjadi pusat armada-nya (ini sesuai dengan garis geopolitik Douglas MacArthur) dan Pertahanan Udara di Kalimantan. Lalu Bung Karno mencari kota yang tepat untuk menjadi 'Pusat Kalimantan'

Lalu pada satu malam di hadapan beberapa orang Bung Karno dengan intuisinya mengambil mangkok putih di depan peta besar Kalimantan, ia menaruh mangkok itu ke tengah-tengah peta, kemudian Sukarno berkata dengan mata tajam ke arah yang mendengarnya "Itu Ibukota RI" Bung Karno menunjuk satu peta di tepi sungai Kahayan. Lalu Bung Karno ke tepi Sungai Kahayan dan melihat sebuah pasar yang bernama Pasar Pahandut, dari Pasar inilah Bung Karno mengatakan "Ibukota RI dimulai dari sini" ini sama persis dengan ucapan Daendels di depan Asisten Bupati Sumedang saat membangun jalan darat Pos Selatan untuk gudang arsenal Hindia-Perancis, ketika itu ia menunjuk satu tempat yang kita kenal sekarang sebagai Bandung "Bandung jadi titik nol wilayah pertahanan Jawa"



Lalu Bung Karno menyusun dasar-dasar kota administrasi provinsi dengan dibantu eks Gubernur Jawa Timur RTA Milono, pada saat penyusunan birokrasi itu Bung Karno sedang menyiapkan cetak biru besar tentang rancangan tata ruang negara dari Sabang Sampai merauke. Antara Pulau Sumatera-Jawa dan Bali akan dibangun terowongan bawah tanah, karena rawan gempa Bung Karno meningkatkan armada pelabuhan antar pulau dipesan kapalnya dari Polandia. Tapi rencana membuat channel seperti di selat Inggris tetap diprioritaskan bahkan menjelang kejatuhannya di tahun 1966 ia bercerita tentang channel bawah tanah yang menghubungkan Pulau Sumatera-Jawa dan Bali



Pusat pelabuhan dagang bukan diletakkan di Jawa, tapi disepanjang pesisir Sumatera Utara- Kalimantan-Sulawesi, Sukarno mempersiapkan rangkaian pelabuhan yang ia sebut sebagai "Zona Tapal Kuda". Wilayah Jawa dan Bali dijadikan pusat lumbung pangan.

Kota-kota baru dibangun, pilot project-nya adalah Palangkaraya dan Sampit, setelah itu Djakarta juga dibangun untuk display ruang atau model kota modern, Jakarta tetap dijadikan pusat kota jasa Internasional sementara Palangkaraya menjadi pusat pemerintahan dan pertahanam militer udara, Biak di Irian Barat jadi pertahanan militer laut dan Bandung jadi Pusat Pertahanan militer darat.

 
*lihatgambardiatas Seluruh jalan Palangkaraya dibuat lurus-lurus dan menuju satu bunderan besar, bila perang dengan Inggris beneran terjadi maka jalan-jalan itu diperlebar sampai empat belas jalur untuk pendaratan pesawat Mig21 yang diborong dari Sovjet Uni. Rencana tata kota sampai dengan tahun 1975. Rafinerij atau tambang-tambang minyak milik asing akan diambil alih dan diberikan pada serikat-serikat buruh penguasaan saham diatasnamakan negara dan uangnya untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan umum. Pangdam Kaltim di pertengahan tahun 1960-an Brigjen Hario Ketjik adalah salah satu fanatik Sukarnois yang menerapkan rencana ini di Kalimantan Timur.


#foto bundaran besar Palangkaraya
Pembangunan tata ruang kota Palangkaraya diatur amat teliti, sampai sekarang tata ruang kota Palangkaraya paling rapi di Indonesia. Visi Sukarno, di tahun 1975 Indonesia akan jadi bangsa terkuat di Asia dan menjadi salah satu negara adikuasa dunia dalam konteks the big five : Amerika Serikat, Inggris, Sovjet Uni dan Jepang.Jepang dan Cina menurut Sukarno masih bisa dibawah Indonesia. Dan Indonesia jadi negara terkuat di Asia memimpin tiga zona wilayah. (Asia Tenggara, Asia Selatan dan Asia Timur)

Setelah Bung Karno kalah duluan sama Suharto dalam penguasaan keadaan saat Gestapu 1965, Bung Karno diinternir, Suharto amat takut dengan bentuk persebaran kekuatan wilayah, ia bertindak seperti Amangkurat I yang paranoid terhadap kekuatan pesisir, ia tarik seluruh kekuatan modal dan
manusia ke satu pusat yaitu : Jawa



Padahal Jawa disiapkan Sukarno sebagai pulau yang khusus lumbung pangan dan pariwisata, pulau peristirahatan, sekarang Jawa adalah pusat segala-galanya, menjadi pulau paling padat sedunia dan tidak memiliki kenyamanan sebagai sebuah 'surga khatulistiwa' sementara Kalimantan dibiarkan kosong melompong

Andai saja akademisi kita tidak ikut-ikutan mengotori dirinya seperti comberan mulut politikus, ada baiknya menggali "rencana-rencana Sukarno" ini ketimbang mengomentari dan mengamati 'Para Maling main politik'.