Rabu, 03 Juli 2013

Pesawat Kepresidenan Bolivia “Tersandera” 12 Jam Di Eropa


http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/pesawat-kepresidenan-bolivia-tersandera.html

Pesawat Kepresidenan Bolivia “Tersandera” 12 Jam Di Eropa

BERDIKARonlne, Rabu, 3 Juli 2013 | 16:21 WIB   

Presiden Bolivia Evo Morales duduk di sebuah kursi sofa di bandara internasional di Wina, Austria, Rabu (3/7), setelah pesawatnya terpaksa mendarat di Austria. Perancis, Spanyol, Portugal, dan Italia menolak memberikan ijin melintas kepada pesawat Kepresidenan Bolivia karena diduga membawa pembocor rahasia Edward Snowden.
Presiden Bolivia Evo Morales duduk di sebuah kursi sofa di bandara internasional di Wina, Austria, Rabu (3/7), setelah pesawatnya terpaksa mendarat di Austria. Perancis, Spanyol, Portugal, dan Italia menolak memberikan ijin melintas kepada pesawat Kepresidenan Bolivia karena diduga membawa pembocor rahasia Edward Snowden.
Pesawat yang membawa Presiden Bolivia, Evo Morales, dipaksa mendarat di Austria, Rabu (3/7) pagi, setelah sejumlah negara Eropa menolak udaranya dilalui pesawat tersebut. Negara yang menolak tersebut adalah Perancis, Portugal, Spanyol, dan Italia.

Penolakan tersebut dipicu oleh ‘rumor bohong’ bahwa pesawat yang ditumpangi oleh Evo tersebut membawa serta Edward Snowden, pembocor rahasia intelijen AS. Sebelumnya, Presiden Evo melakukan kunjungan ke Rusia untuk mengikuti konferensi energi.
Pihak berwenang Austria sendiri sudah memastikan bahwa Snowden tidak berada di pesawat tersebut. 

Sementara Menteri Pertahanan Bolivia, Ruben Saavedra, menuding AS dibalik penyebaran rumor bohong tentang keberadaan Snowden di pesawat.
“Ini adalah dusta, inilah kepalsuan. Ini dibuat oleh pemerintah AS,” katanya. “Ini adalah pelanggaran terhadap Konvensi dan perjanjian transportasi udara internasional,” tambahnya.

Saavedra mengatakan, setelah Perancis dan Portugal membuat larangan terbang di atas udaranya, pemerintan Spanyol hanya mengizinkan pesawat tersebut mengisi bahan bakar di wilayahnya. Dari sini pesawat terbang menuju Wina, Austria.

“Keputusan Perancis dan Portugal membahayakan hidup Presiden,” kata Saavedra.
Ia menyebut kejadian ini sebagai “tindakan permusuhan” oleh AS dengan menggunakan negara-negara Eropa.

Wakil Presiden Bolivia, Alvaro Garcia Linera, yang berbicara di Televisi Bolivia Selasa (2/7) malam, menggambarkan kejadian ini sebagai ‘penyanderaan imperialis’. “Presiden (Evo) disandera oleh imperialis dan Ia masih di Eropa,” ujar Linera.

Seorang jurnalis radio Austria, Tanja Malle, mengunggah foto Presiden Evo Morales sedang duduk di sebuah kursi di bandara internasional di Vienna melalui akun Twitternya. “Morales tetap tersenyum, sementara awak (pesawat) berharap segera pergi,” tulis Tanya di Twitternya.

Setelah cukup lama menunggu di bandara Wina, Evo mendapat kabar bahwa Perancis dan Portugal mempertimbangkan untuk mengubah pendiriannya. Sementara Italia dan Spanyol masih tetap ngotot dengan keputusannya.
“Kami akan bersabar menunggu penyelesaian keputusan negatif Italia dan Spanyol menurut hukum internasional,” kata Saavedra.

Pejabat di Kementerian Luar Negeri AS belum mengomentari tudingan bahwa AS telah menggunakan pengaruhnya terhadap negara-negara sekutunya guna melarang pesawat Evo Morales melintasi udara mereka.

Pihak berwenang di Portugal, Perancis, dan Spanyol serta Otoritas Penerbangan Sipil setempat belum memberikan pernyataan resmi atas adanya larangan terbang terhadap pesawat Evo.

Sejumlah pemimpin Amerika Latin bereaksi keras terhadap tindakan Eropa mencegat pesawat Kepresidenan Bolivia. Menteri Luar Negeri Venezuela Elias Jaua mengutuk tindakan negara-negara Eropa tersebut. Ia menganggap tindakan itu dapat membahayakan hidup Evo Morales.
“Semua negara yang menolak penerbangan saudara kita, Presiden Evo Morales, harus bertanggung jawab atas keselamatannya dan martabatnya sebagai Presiden,” kata Jaua.

Protes keras juga dilancarkan oleh Ekuador. Menteri Luar Negeri Ekuador Ricardo Patino meminta negara-negara Amerika Selatan (UNASUR) segera menggelar pertemuan untuk membahas hal ini.
Hal senada diungkapkan oleh siaran pers Kementerian Luar Negeri Kuba. “Ini adalah sebuah tindakan yang tidak dapat diterima, tidak berdasar, dan sewenang-wenang, yang menyingungg perasaan Negara-Negara Karibia dan Amerika Latin,” kata pernyataan itu.

Presiden Argentina Cristina Fernandez langsung menghubungi Evo Morales via telepon. Ia menyatakan telah menyarankan kepada Presiden Peru Ollanta Humala untuk segera menggelar pertemuan Negara-Negara Amerika Selatan (Unasur) untuk membahas keadaan ini.
Presiden Austria, Heinz Fischer, mengunjungi Evo Morales di bandara internasional di Wina. Ia menyatakan bahwa Spanyol telah membuka jalur penerbangan dan menyatakan bahwa rute penerbangan sudah normal.

“Rute perjalanan normal, sejauh yang saya diberitahu. Lintas udara Spanyol saat ini juga terbuka untuknya. [Morales] akan melanjutkan perjalanannya segera,” kata Fischer.
Akhirnya, setelah tertahan 12 jam di Bandara Internasional di Wina, Presiden Bolivia Evo Morales bersama rombongan melanjutkan penerbangan ke La Paz, Bolivia.

Namun, bentrokan diplomatik akibat kejadian ini akan terus berlanjut. Perwakilan Bolivia di PBB telah meminta Sekjend PBB, Ban Ki-Moon, untuk turun tangan. “Kami menganggap ini sebuah agresi,” kata perwakilan Bolivia di PBB, Sacha Llorenti.

Belakangan, pihak berwenang Perancis dan Spanyol menyangkal telah menolak pesawat Kepresidenan Bolivia melintas di udaranya. Namun, banyak pihak menduga, tindakan Perancis, Spanyol, Italia, dan Portugal didalangi oleh Amerika Serikat.

Sebelumnya, ketika masih di Moskow, Rusia, Presiden Evo Morales menyatakan sedang mempertimbangkan untuk memberi suaka politik kepada Snowden.
“Jika ada permintaan, kita tentu akan mendiskusikan dan mempertimbangkan permintaan itu,” kata Evo. Meski demikian, Evo menegaskan bahwa Bolivia belum menerimaan permintaan suaka secara resmi dari Snowden.

Evo mengatakan, ia mengetahui bahwa negara-negara imperialis punya jaringan mata-mata dan digunakan untuk melawan negara-negara berkembang, terutama negara yang kaya sumber daya alam. “Bolivia, seperti juga Venezuela dan Ekuador, terus mendapat pengawasan dari Amerika Serikat,” katanya.
Raymond Samuel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar