Sabtu, 17 Desember 2011

KASUS RAWAGEDE DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA


KASUS RAWAGEDE DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA

(Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63)

Oleh MD Kartaprawira*

# Kasus Rawagede yang terlantar 64 tahun

Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional ke 63 tahun ini bertepatan dengan peristiwa penting sehubungan dengan Putusan Pengadilan Den Haag tanggal 14 September 2011 yang memenangkan gugatan para korban kejahatan kemanusiaan oleh tentara Belanda tahun 1947 atas 431 orang penduduk Rawagede dan pernyataan maaf Pemerintah Belanda secara resmi kepada para korban penduduk Rawagede, yang dilakukan oleh Tjeerd de Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia pada tanggal 9 Desember 2011. Siapapun tidak mungkin bisa menyangkal kenyataan adanya peristiwa kejahatan kemanusiaan terhadap bangsa Indonesia di Rawagede. Yang masih bisa diperdebatkan hanya masalah jumlah korban, yang menurut versi Indonesia 431 orang, sedang versi Belanda kira-kira 150 orang.

Selama 64 tahun pemerintah Belanda tidak punya kepedulian serius atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentaranya di Rawagede. Pada hal dalam hubungan internasional Belanda (dan Negara-negara Barat lainnya) selalu teriak keras mengkritisi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara lain. Apakah hal tersebut bukan kemunafikan? Yang lebih memalukan lagi adalah tidak-adanya usaha dari pemerintah Indonesia untuk menangani kasus Rawagede tersebut demi kebenaran dan keadilan bagi para korban, yang notabene adalah warganegaranya sendiri.

Dari tahun 1947 sampai 1965 memang Indonesia selain berjuang untuk pembangunan negara di segala lapangan, tapi juga menghadapi banyak masalah berat, yang tidak hanya menjadi penghalang perjuangan pembangunan Negara, tapi juga mengakibatkan tidak adanya kesempatan menangani kasus Rawagede. Masalah-masalah berat yang dimaksud adalah: 1. Konfrontasi dengan Belanda setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai th. 1962 (kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI), 2. Perjuangan menumpas pemberontakan-pemberontakan RMS, DI-TII-Batalion 426, PRRI-Permesta, 3. Pertentangan antara parpol-parpol akibat diberlakukannya sistem parlementer sejak Oktober 1945, yang hanya menciptakan kabinet-kabinet „seumur jagung“, yang berakibat tidak pernah bisa melaksanakan plan pembangunan negara (terutama dalam bidang ekonomi), 4. Perjuangan menghadapi politik intrig kaum nekolim yang mengancam kedaulatan RI di bidang politik dan ekonomi.

Tapi ketika jenderal Suharto berhasil melakukan kudeta (merangkak) melawan Pemerintahan Soekarno, rejim tersebut hanya sibuk membabati musuh-musuh politiknya (kaum komunis dan kaum nasionalis-Soekarnoist) demi melindungi kekuasaannya yang mengabdi kepada kepentingan kaum neoliberalis. Juga pada jaman „reformasi“ para penguasa negara sibuk mengurusi kepentingan pribadi, baik dengan cara2 KKN maupun sibuk memafaatkan „aji mumpung berkuasa“ untuk menyukseskan bisnis pribadinya. Sehingga kebijakan politik pemerintah di era reformasi dalam hal penegakan hak asasi manusia tidak bisa dibanggakan hasilnya, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-66). Begitu pula kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede, Makasar dan lain-lainnya.
Pemerintaah hanya menonjol-nonjolkan ke mana-mana bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menghormati hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam UUD, UU beserta peraturan-peraturan organiknya, konvensi-konvensi yang telah diratifikasi dll. Tapi pelaksanaannya ternyata minim sekali. Dapat dikatakan bahwa norma-norma hukum hak asasi manusia tersebut hanya jadi pajangan saja untuk menghiasi negara Indonesia agar disebut negara hukum.

Ketidak pedulian pemerintah Indonesia menangani dan membela korban pelanggaran HAM/kejahatan kemanusiaan atas penduduk Rawagede suatu hal yang tak mengherankan karenanya. Maka salut sebesar-besarnya harus diberikan kepada Sdr. Jeffry Pondaag bersama koleganya di yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang dengan gigih memperjuangkan digelarnya kasus Rawagede di Pengadilan Negeri Den Haag dengan sukses kemenangan bagi para korban. Seandainya Pemerintah Belanda tidak mau menerima putusan Hakim Pengadilan Den Haag, bisa naik banding. Tetapi kalau naik banding Pemerintah Belanda akan tambah tidak terhormat lagi di mata internasional, sebab ngotot membela tindak kriminal (kejahatan perang/kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat) yang merupakan aib di mata dunia internasional. Dan Pengadilan Banding pun kemungkinan besar akan membenarkan putusan Pengadilan Den Haag. Sebab sulit sekali untuk membenarkan tindak kejahatan kemanusiaan – pembantaian 431 pendudk Rawagede tersebut, yang tidak dapat dibedakan dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang diadili di Mahkamah pengadilan PBB bagi bekas Yugoslavia, Mahkamah Kejahatan Ininternasional di Den Haag, Mahkamah Pengadilan PBB di Ruanda dan lain-lainnya. Jadi logislah sikap pemerintah Belanda yang tidak mengajukan naik banding atas putusan Pengadilan Den Haag.

# Kasus Rawagede dan Pernyataan Maaf Pemerintah Belanda

Pernyataan permintaan maaf Pemerintah Belanda memang selayaknya dinilai positif secara wajar, tidak perlu berlebih-lebihan. Sebab permintaan maaf tersebut bukan tindakan suka rela, melainkan karena Pemerintah Belanda kalah dalam perkara perdata atas gugatan para korban yg jumlahnya 7 orang. Artinya, mau atau tidak mau harus mengakui kesalahannya. Tentang pernyataan minta maaf hanyalah masalah moral, yang sepatutnya diberikan oleh mereka yang melakukan kesalahan, terutama bagi mereka yang menamakan dirinya bangsa beradab. Lain halnya kalau tanpa gugatan di Pengadilan Pemerintah Belanda dengan sukarela dan ketulusan hati meminta maaf dan kemudian membayar ganti rugi, meskipun sudah terlambat 64 tahun. Langkah Pemerintah Belanda yang demikianlah yang bisa disebut langkah besar dan terpuji.

Tentu saja setiap permintaan maaf dari siapa saja yang merasa berbuat salah harus diterima dengan baik. Berkaitan dengan permintaan maaf pemerintah Belanda kepada para korban pembantaian di Rawagede kita harus tidak kehilangan obyektifitas historis dan yuridis. Pembantaian di Rawagede tersebut tidak bisa dikatakan bukan kejahatan kemanusiaan, apalagi dari sudut peradaban Eropa yang dianggap tinggi. Tetapi kenyataannya pernyataan maaf atas pembantaian tersebut, yang berarti juga pengakuan kesalahan atas tindak kejahatan kemanusiaan, baru dilakukan secara resmi tahun ini (09 Desember 2011), sesudah selama 64 tahun tidak digubris. Jelasnya, seperti telah disinggung di atas permintaan maaf tersebut adalah akibat adanya putusan Pengadilan Den Haag yang memenangkan kasus perdata para korban Rawagede yang menuntut ganti kerugian kepada pemerintah Belanda.

Kalau tidak ada putusan Pengadilan Den Haag tentu saja tidak jelas sampai kapan tindak kejahatan kemanusiaan tersebut diakui dan permintaan maaf dinyatakan oleh pemerintah Belanda. Maka dari itu, penulis sama sekali tidak setuju atas pendapat bahwa sikap pemerintah Belanda tersebut harus dicontoh sebagai pelajaran bagi pemerintah Indonesia (SBY dan lain-lainnya) dalam menangani kasus korban pelanggaran HAM di Indonesia. Tetapi pemerintah Indonesia siapapun presidennya harus tegas, jujur dan adil melaksanakan hukum tentang hak asasi manusia tanpa ditunda-tunda (apalagi sampai puluhan tahun), tanpa manipulasi dan diskriminasi.

# Masalah ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede

Perlu dicatat bahwa ganti rugi bagi para korban pembantaian di Rawagede hanya diberikan kepada 7 orang penggugat (keluarganya) masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per keluarga. Karena kasus tersebut adalah kasus perdata, maka yang bukan penggugat tentu saja tidak masuk hitungan dalam daftar yang berhak menerima ganti rugi. Mungkin dalam kasus tersebut pihak KUKB kurang teliti dalam membicarakannya dengan DR Liesbeth Zegveld (advokat). Padahal jumlah korban di Rawagede sebanyak 431 orang, yang semuanya (keluarganya) berdasarkan keadilan seharusnya berhak juga menerima ganti rugi. Adalah suatu langkah terpuji apabila Pemerintah Belanda berinisiatif sendiri untuk memberikan ganti rugi tidak hanya kepada 7 orang penggugat saja, tetapi kepada semua korban di Rawagede lainnya, tanpa melalui proses pengadilan. Barulah hal tersebut bisa dikatakan langkah besar.

Ada baiknya kita ketahui, bahwa dalam kasus ganti rugi kepada para korban pemboman oleh teroris terhadap pesawat Pan Am di Lockerbie, Scotland pada 1988 yang membawa korban 270 orang, Ghadafi (yang tersangkut dengan kasus tersebut) diwajibkan membayar ganti rugi kepada setiap keluarga korban sebanyak 10 juta US Dollar (Rp.90 milyar). Sungguh jumlah ganti rugi yang sangat luar biasa besarnya, jika dibandingkan dengan ganti rugi yang akan diterima setiap keluarga korban Rawagede hanya sejumlah 20.000 Ero (Rp. 220 juta). Meskipun demikian, kalau pemerintah Belanda dengan sukarela tanpa melalui pengadilan bersedia memberikan ganti rugi kepada seluruh korban Rawagede (431 keluarga) yang jumlahnya hanya kurang lebih 7 milyun Ero (Rp.75 milyar) saja, bangsa Indonesia akan memberi apresiasi tinggi.

Bagi pemerintah Belanda dengan putusan Pengadilan Den Haag tersebut masih ada kesempatan untuk memperbaiki citranya atas kejahatan kemanusiaan lainnya yang telah dilakukan di daerah-daerah Indonesia lainnya setelah berdirinya Republik Indonesia (a.l. pembantaian ribuan penduduk di Makasar oleh tentara Belanda yang dipimpin kapten Westerling). , yaitu tanpa melalui pengadilan mengakui tindak kejahatan kemanusiaan tersebut, meminta maaf kepada para korban dan kemudian memberikan ganti rugi. Hal itu satu-satunya jalan untuk mengembalikan nama baik Belanda sesuai norme dan warde (norma dan nilai) hak asasi manusia yang beradab.

Tentu saja masih banyak masalah hubungan Indonesia-Belanda yang harus diselesaikan, misalnya masalah pengakuan kedaulataan Republik Indonesia, di mana Belanda tetap tidak mengakui de jure pada 17 Agustus 1945. Tapi ini adalah masalah perselisihan hukum antara dua negara yang tidak mudah untuk menyelesaikannya. Untuk itu harus maju ke Mahkamah Pengadilan Internasional PBB (The International Court of Justice) di Den Haag. Apakah Indonesia cukup siap berhadapan dengan Belanda di Mahkamah tersebut, mengingat dalam sengketa dengan Malaysia mengenai kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (tahun 2003) saja Indonesia kalah. Tampaknya pemerintah Indonesia tidak berniat untuk mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah PBB, sebab tidak mau berisiko kalah dalam pengadilan atau rusaknya hubungan Indonesia-Belanda dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya yang sudah berjalan lancar. Misalnya dalam bidang pendidikan ribuan mahasiswa Indonesia mendapatkan fasilitas belajar di Negeri Belanda. Tapi yang pasti, baik Indonesia mau pun Belanda berusaha memelihara baik-baik hubungan bilateral yang saling menguntungkan dewasa ini.

# Penegak hukum Indonesia, belajarlah meski ke Argentina!!!

Harus diakui bahwa putusan pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede ini menunjukkan keobyektifan para hakim dalam memproses kasus tersebut. Mereka tidak terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif (pemerintah Belanda) yang selama ini masih berat untuk melepaskan tekanan-tekanan psikologis dari para veteran KNIL yang tidak mau disebut penjahat dalam kasus Rawagede dan daerah-daerah lainnya ketika melakukan agresi ke Indonesia. Dalam kasus Rawagede tersebut asas trias politica betul-betul ditegakkan: kekuasaan yudikatif membuktikan fungsinya yang tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif. Dalam kaitan inilah Institusi Yudikatif di Indonesia masih harus kerja keras untuk membuktikan bahwa tidak tergantung kepada kekuasaan eksekutif, tidak menjadi kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif dan bersih dari kendali mafia hukum.

Dengan dimenangkannya para penggugat terbukti juga bahwa Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede tidak menempuh arus yang bertentangan dengan praktek-praktek di mahkamah-mahkamah Internasional (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan International Criminal Court) yang telah atau sedang berjalan di Den Haag, yang mengadili kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat di Yugoslavia, Sera Leon dan lain-lainnya. Sayangnya kasus Rawagede di Pengadilan Den Haag tersebut hanya diproses dalam bingkai kasus perdata, yang menuntut ganti rugi bagi 7 korban. Maka dari itu bobotnya terlalu ringan, tidak sebanding dengan korban jiwa 431 orang penduduk Rawagede, yang seharusnya diproses dalam bingkai kasus pidana internasional.

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional kita perlu prihatin atas ketidak-berdayaan dan ketidak-pedulian penegak hukum atau institusi yudikatif Indonesia menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara serius, terutama kasus-kasus masa lalu, dengan jujur dan adil. Kalau benar-benar institusi yudikatif/penegak hukum Indonesia mau menegakkan kebenaran dan keadilan seharusnya belajar dari kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Argentina, Peru dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne (yang terpilih dalam pemilu 2007, anggota Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara menyatakan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM dan keluarganya (http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.com/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html).Beranikah para penegak hukum di Indonesia mengambil pelajaran dari pengalaman penegakan kebenaran dan keadilan di Argentina? Belajarlah, meski ke Argentina!!!

Nederland, 10 Desember 2011

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar