Rabu, 25 Mei 2011

ARSIP TULISAN 2005


ARSIP TULISAN 2005


MD Kartaprawira: Buku Prof.Dr.Dake Penyebar Racun Devide et Impera
BUKU PROF.DR. DAKE PENYEBAR RACUN DEVIDE ET IMPERA
(Tanggapan atas buku Prof.Dr.CA Dake “Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan”)


Oleh MD Kartaprawira

Sejak berdirinya Republik Indonesia sampai saat ini racun devide et impera terhadap Republik Indonesia tidak pernah surut disebarkan oleh mereka yang ingin melihat Indonesia kacau balau dan terpecah belah, yang tercermin dengan bermacam-macam bentuk aksi: penunggangan agama dalam tindak teroris sehingga menimbulkan keresahan dalam kehidupan ummat berbagai agama, tindak kekerasan yang bernuansa kebencian ras/etnis tertentu, aneka rakam gerakan separatisme yang dibungkus dengan kemasan HAM dan keadilan, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu mengarah pada satu tujuan agar Indonesia dapat dipecah belah, dikuasai dan kemudian dikuras kekayaannya demi kepentingan kaum neokolonialis-neoliberalis.

Buku baru Prof.Dr. Antonie CA Dake “Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan”, adalah salah satu pencerminan nyata dari salah satu usaha pecah belah tersebut. Maka wajar-wajar saja kalau Sukmawati dan Megawati, serta rakyat Indonesia marah atas kesimpulan Dake bahwa Bung Karno adalah dalang/mastermind kudeta G30S dan bahwa Soeharto tidak tersangkut dalam kudeta G30S.

Tampaknya Bung Karno dan ajaran-ajarannya masih tetap merupakan momok bagi para pendendam, yang dirugikan oleh politik dan ajaran Bung Karno tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kaum kolonialis, tentang persatuan demi perjuangan menuju Indonesia yang aman dan makmur, dan tentang perlunya berdikari dalam penyelenggaran negara. Politik dan ajaran Bung Karno tersebutlah yang dirasakan tetap menjadi penghalang bagi tujuan-tujuan kaum neo-kolonialis dan neoliberalis.

Penulis menyadari bahwa berkomentar atas sesuatu buku tentunya harus membaca buku yang bersangkutan lebih dulu. Tapi menanggapi sesuatu kesimpulan atas dasar logika juga tidak ada salahnya. Demikianlah penulis yang belum membaca buku baru Dake, karena belum sempat mendapatkannya, berusaha memberi tanggapan atas kesimpulan-kesimpulan Dake seperti yang sudah beredar di media massa.

Tudingan Dake bahwa bahwa Bung Karno merupakan dalang atau “mastermind” kudeta G30S bisa dibantah dengan alasan-alasan seperti berikut.

1. Dari logika elementer saja, yang selalu dikemukakan kebanyakan orang (tidak usah ahli politik) kesimpulan Dake sangat lemah sekali. Sebab tidak masuk akal, bahwa Soekarno melakukan kudeta terhadap diri sendiri sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang kekuasaannya berdasarkan UUD 1945 (seb. Amandemen) sangat besar.

2. Dake tidak mencermati bahwa Presiden Soekarno selain merupakan tokoh yang mempunyai kharisma luar biasa, berdasarkan hukum tatanegara Indonesia merupakan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI, yang kalau mau dia tidak akan mengalami kesukaran dalam menyingkirkan jenderal-jenderal lawannya, cukup dengan suatu keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI.
Untuk itu presiden Soekarno tidak perlu melakukan kudeta ataupun membunuh jendera-jenderal yang dianggap sebagai penentangnya. Tidak perlu diragukan bahwa Presiden Soekarno tidak melakukan kebodohan.

3. Lagi pula, kalau Soekarno ingin “menghilangkan” mereka (para jenderal) tentu tidak perlu melalui Kol.Untung dengan cara pengerahan pasukan militer untuk menangkap dan membunuhnya, melainkan melalui dinas intelejen yang sangat lihai dalam menghilangkan lawannya dengan berbagai macam modus operandi intelejen yang sangat canggih, hingga sukar dibuktikan.
Tentu Soekarno tidak akan menggunakan cara-cara yang begitu bodoh seperti yang dijalankan oleh G30S seandainya melakukan kudeta. Jadi adalah sangat naif kesimpulan Dake yang menuding Soekarno sebagai dalang kudeta dengan mengkaitkan hubungannya dengan Letkol Untung sebagai perwira pengawal istana.

4. Fakta bahwa Dewan Revolusi (G30S) mendemisionerkan Kabinet Pemerintahan Soekarno, sudah cukup dijadikan suatu bukti bahwa Soekarno dikudeta, bukannya sebaliknya mengkudeta. Apakah di sini Prof Dr. Antonie Dake tidak mengada-ada, sehingga menjadikan buku tersebut kehilangan arti ilmiahnya?

5. Seperti kita ketahui Supersemar dan penyalah gunaannya oleh Suharto adalah satu mata rantai dari proses tindakan kudeta oleh Suharto terhadap presiden Soekarno, yang bertitik akhir dengan dikeluarkannya TAP MPRS No.XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan Soekarno sebagai Presiden RI.
Ternyata logika Dake tidak sanggup melihat fakta berkaitan dengan Supersemar. Sungguh suatu ketidak wajaran kalau Prof. Dake mau membodohi rakyat Indonesia dengan kesimpulan yang begitu menggelikan (belachelijk).

6. Sejarah perjalanan Republik Indonesia telah membuktikan bahwa militerlah (jenderal-jenderal) yang selalu berusaha melakukan kudeta terhadap presiden Soekarno: kudeta Juli 1947 dilakukan oleh Mayor Jenderal Soedarsono bersama para politisi, percobaan kudeta Oktober 1952 dilakukan oleh Kolonel A.H.Nasution, pemberontakan panglima-panglima Daerah Militer 1958 (Kolonel Simbolon - Dewan Gajah, Letnan Kolonel Ahmad Husen - Dewan Banteng, Kolonel Barlian - Dewan Garuda,) yang menjadi pemberontakan PRRI-Permesta dll.
Adalah suatu keganjilan rasanya, kalau Presiden Soekarno malah yang dituduh melakukan kudeta. (Apalagi kudeta Presiden Soekarno terhadap Presiden Soekarno).

7. Dake seharusnya berhati-hati menggunakan istilah kudeta, yang tidak mungkin diterapkan terhadap kebijakan-kebijakan presiden Soekarno dalam proses penyelenggaraan negara selama hayatnya.
Seperti telah diutarakan di atas, pemberontakan/kudeta oleh militer semuanya ditujukan terhadap Presiden Soekarno, yang merupakan simbol kekuasaan sipil. Sehingga dengan demikian timbul dikotomi Sipil-Militer yang seharusnya tidak akan terjadi, kalau militer tunduk pada kekuasaan sipil (Presiden Soekarno).
Setelah Suharto berhasil melakukan kudeta (“merangkak”) terhadap presiden Soekarno, maka tak mengherankan kalau timbul doktrin Dwifungsi ABRI demi melanggengkan kekuasaan militer. Kenyataan ini tidak boleh tidak menepis tudingan Dake bahwa Soekarno melakukan kudeta (ataupun menjadi mastermind kudeta).

8. Ketidak-nalaran lagi ialah pernyataan Dake bahwa Soekarno meminta tolong kepada Untung untuk menghabisi para jenderal, termasuk jenderal A.Yani. Sebab Letjen Yani adalah jenderal yang sangat loyal kepada Presiden Soekarno.
Sebaliknya, malah membuktikan dugaan yang menuding Soeharto menghabisi jenderal-jenderal pesaingnya melalui/menunggangi skenario Gerakan 30 September.

Dari alasan-alasan tersebut di atas kiranya cukuplah untuk menangkis tuduhan dan tudingan bahwa Soekarno melakukan kudeta. Sebaliknya kita melihat kenyataan yang tidak dapat diputar-balikkan bahwa justru Soekarnolah yang menjadi korban kudeta oleh Suharto.
Maka dari itu buku Dake tersebut langsung menimbulkan suatu tudingan balik tentang adanya usaha-usaha devide et impera terhadap Republik Indonesia yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan tertentu melalui kanal “ilmiah” (buku Prof Dake). Apalagi dengan menyatakan Soeharto tidak terlibat/tersangkut dalam kudeta terhadap Soekarno, maka jelas dan lengkaplah skenario usaha devide et impera tersebut.
Soekarno yang adalah Bapak Nation Indonesia, Bapak Pemersatu Indonesia akan selalu menjadi sasaran pokok pembunuhan karakter oleh kaum neo-kolonialis dan kaum neo-liberalis global dan nasional. Rakyat Indonesia perlu waspada.

Nederland, 26 November 2005
posted by Indonesia Berjuang @ 12:14 PM 0 comments


THURSDAY, NOVEMBER 17, 2005
MD Kartaprawira: Gelapnya Jalan Menuju ke Kebenaran dan Keadilan
GELAPNYA JALAN MENUJU KE KEBENARAN DAN KEADILAN
(Kajian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau di Indonesia)


Oleh M.D. Kartaprawira*)

Penyelesaian secara tuntas dan adil kasus pelanggaran HAM berat masa lampau oleh rejim Suharto yang sudah bertumpuk-tumpuk jumlahnya mengalami hambatan serius. Padahal tokoh-tokoh penting yang terlibat sebagai pelaku, korban dan saksi dalam tindak pelanggaran HAM berat, yang seharusnya bisa diajukan ke pengadilan makin lama makin habis, karena meninggal dunia dan/atau menjadi pikun satu demi satu. Tentu saja timbul keheran-heranan dari banyak kalangan: Mengapa Suharto dan kawan-kawan sangat sukar diajukan ke pengadilan? Apakah keadilan sudah benar-benar menjadi barang langka di Indonesia, yang sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 adalah negara hukum? Quo vadis hukum dan keadilan di Indonesia?

* Penghalang jalan ke pengadilan pelanggaran HAM berat masa lampau *

Sesungguhnya dari titik pandang politik masalah sukarnya Suharto dan kawan-kawan diajukan ke pengadilan HAM adalah jelas, yaitu karena status quo peta politik dewasa ini tidak memungkinnya hal itu terjadi. Sayang hal yang jelas tersebut dijadikan tidak jelas oleh kalangan-kalangan tertentu yang merasa terancam kepentingannya kalau masalah tersebut menjadi jelas. Bahwasanya turunnya Suharto dari panggung kekuasaan pada th.1998 tidak berarti jatuhnya orde baru tidaklah diragukan oleh publik. Peristiwa tersebut hanya suatu pergantian pimpinan kekuasaan belaka, sedang papan bawahnya masih utuh di semua lapangan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena pada waktu itu gelombang semangat reformasi begitu dahsyat, maka mereka pun menyesuaikan diri ikut hanyut dalam arus gelombang reformasi, bahkan berteriak reformasi paling keras. Gebrakan-gebrakan pemerintahan Habibie di bidang politik dan perundang-undangan tidak lain hanyalah “upaya” agar mendapat pengakuan sebagai pemerintahan reformis. Hal itu dijajakan di media massa sedemikian rupa, sehingga banyak kalangan terkecoh. Bopeng hitam orde baru dengan serta merta disulap menjadi tidak nampak. Tidak berhenti sampai itu saja, mereka menyebar dan menyelinap ke setiap organisasi politik dengan mudah. Akibatnya bisa kita lihat bagaimana kacau balaunya kehidupan parpol-parpol dewasa ini. Maka tidak mengherankan dalam situasi di mana peta politik didominasi kekuatan orba betapa sukar Suharto dan kawan-kawan diadili. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak tokoh-tokoh orba tersangkut dalam kasus pelanggaran HAM dan kasus kriminal KKN yang harus diadili. Itulah kesukaran pertama dari spektrum politik makro di Indonesia mengapa Suharto dkk sukar diajukan ke pengadilan.

Bahwasanya Suharto sukar diajukan ke pengadilan adalah juga hasil skenario rekayasa yuridis orde baru. Memang diantara tokoh-tokoh orde baru terdapat perbedaan-perbedaan tertentu dalam strategi dan taktik untuk tetap berkuasa, tapi tidak dalam masalah menghadapi pengadilan HAM. Usaha menyelamatkan Suharto dari tanggung jawab hukum adalah suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka bersama juga. Karena RI adalah negara hukum, maka aspek yuridislah yang merupakan pilihan tepat dan penting mereka dalam penggarapan untuk membuat rambu-rambu agar pengadilan terhadap Suharto dapat dicegah. Kekuatan Orde baru yang praktis masih utuh di semua lembaga tinggi negara – terutama MPR -- dengan sangat lihay dan mulus memenangkan amandemen UUD 1945 dengan masuknya Pasal 28 (i) ayat 1, yang menetapkan penolakan asas RETROAKTIF. Bahkan pemberlakuan asas RETROAKTIF secara jelas dikwalifikasikan sebagai PELANGGARAN HAM I)Dengan demikian kalau tuntutan tanggung jawab Suharto atas pelanggaran HAM berat masa lampau (misalnya yang berkaitan kasus tahun 1965-66, kasus Tanjung Priok dll) diajukan ke pengadilan HAM, para advokat orde baru telah siap dan akan dengan mudah menangkis tuntutan tersebut atas dasar Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 (disyahkan 18 Agustus 2000).

Sangatlah aneh adalah munculnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, di mana Pasal 43 ayat 1 memberlakukan asas retroaktif, yang dengan demikian bertentangan dengan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945.II) Bukankah UUD mempunyai kekuatan hukum tertinggi atas semua peraturan-peraturan hukum lainnya (UU, Peraturan Pemerintah, Perpu, Keppres dll)?Jadi dengan demikian sesungguhnya semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum terbentuknya (disyahkannya) amandemen UUD 1945 tentang Pasal 28 (i) ayat 1, secara hukum tidak bisa diajukan ke pengadilan. Bahkan UU Pengadilan HAM tersebut ab ovo (dari permulaan) batal secara hukum, tidak tergantung apakah HAM tersebut sifatnya ad hoc atau bukan. Jadi Suharto tidak hanya sukar diadili atas kejahatan HAM berat masa lalu, tapi bahkan tidak bisa diadili di Pengadilan HAM.

Tetapi mengapa sampai saat ini para peduli dan pembela HAM membiarkan atau membuta adanya masalah kontraversial di dalam perundang-undangan berkaitan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi masa lampau? Seakan-akan kasus tersebut absolut bisa diajukan ke pengadilan HAM, padahal jelas hitam di atas putih pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 mengganjalnya. Dengan demikian terkesan para korban dininabobokkan dengan nyanyian harapan penuntutan keadilan atas pelakunya, yang sesungguhnya secara yuridis sudah tidak mungkin.Di sinilah suatu keanehan yang tidak aneh terjadi di Indonesia, di mana belum ada kepastian hukum, di mana hukum dijadikan sarana untuk menggaruk kekayaan (ingat ungkapan “UUD = ujung-ujungnya-duit”), di mana tindak tuna moral dan tuna keadilan secara politis dan yuridis ditunjang penguasa selama 32 tahun.

Adalah misterius sekali timbulnya Amandemen UUD (Pasal 28 I ayat 1) yang kemudian disusul lahirnya UU Pengadilan HAM. Pada hal proses pembuatan dua dokumen penting yang kontraversial tersebut terjadi di suatu kompleks bangunan MPR-DPR yang jaraknya hanya satu langkah. III) Apalagi semua anggota DPR berdasarkan UUD 1945 adalah juga anggota MPR. Mengapa kedua lembaga negara tersebut melahirkan peraturan perundang-undangan yang isinya bertolak belakang? MPR – menciptakan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, yang melarang azas Retroaktif, sedang DPR – menciptakan UU Pengadilan HAM, yang memperbolehkan asas Retroaktif. Apakah situasi “kacau” tersebut suatu kebetulan? Ataukah memang suatu rekayasa tingkat tinggi? Ataukah suatu kelalaian dari yang mulia para anggota MPR-DPR? Demikianlah antara lain pertanyaan-pertanyaan semrawut tapi wajar yang timbul di kalangan masyarakat.

Yang juga mengherankan adalah tidak adanya kegiatan atau gerakan menentang RANCANGAN Amandemen yang menghasilkan Pasal 28 (i) ayat 1 tersebut ketika itu. Sepertinya lembaga-lembaga pembela HAM, pakar-pakar hukum peduli keadilan semuanya kena obat bius, teler dan tidak melihat keanehan yang muncul di lapangan hukum di Indonesia. Padahal Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945 secara riil bisa diterapkan untuk menghadang agar kasus pelanggaran HAM masa lalu (Pembunuhan dan penahanan massal 1965-66, kasus Trisakti, kasus Tanjung Priok, Kasus Jl. Diponegoro, kasus Mei 1998 dll) tidak bisa diajukan ke pengadilan, sehingga para pelanggar HAM bebas dari tanggung jawab hukum dan bersamaan dengan itu impunity terus berdominasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Tentu saja rambu-rambu yuridis dari Pasal 28 (i) ayat 1 tersebut harus diletakkan pada posisi demi keadilan, sepanjang menyangkut masalah pelanggaran HAM BERAT. Maka perlu usaha gebrakan untuk mengadakan amandemen terhadap pasal 28 (i) ayat 1 tersebut: cukup dengan penambahan kata-kata “kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur selanjutnya dalam UU”. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara UUD (Pasal 28 (i) ayat 1) dan UU Pengadilan HAM ad Hoc dalam masalah asas retroaktif. Kalau hal ini tidak diterima oleh MPR, maka akan jelaslah di mana MPR berdiri menghadapi masalah keadilan bagi korban HAM masa lampau dan untuk kepentingan siapa MPR sesungguhnya melakukan fungsinya.

Rambu-rambu yuridis lainnya adalah ketentuan dalam Hukum Acara (Perdata maupun Pidana) di mana dikatakan bahwa tergugat/terdakwa dalam keadaan sakit tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Ketentuan demikian memang manusiawi dan berlaku di banyak negara di dunia, apalagi sudah tercantum lama di dalam hukum acara kita. Masalahnya adalah terletak pada independensi dan obyektivitas dokter yang memberi visum tersebut. Inilah kuncinya. Tapi mengingat moral kebanyakan para birokrat sudah terperosok ke dalam kubangan budaya KKN, tentunya akan meragukan peranan positif “kunci” tersebut.

Sementara ini para pendukung orba tidak tergesa-gesa memanfaatkan Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, sebab dengan Surat Keterangan Dokter saja sudah cukup untuk mencegah diajukannnya Suharto ke meja hijau, di mana belum menyangkut materi kasus pelanggaran HAM. Kapan kasus pelanggaran HAM Suharto dan kawan-kawan bisa digelar benar-benar? Pasal 28 (i) ayat 1 akan diluncurkan kalau masalah substansi pelanggaran HAM sudah dibuka di pengadilan.Tidak perlu heran kalau Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono memberi peringatan kepada Tim Penyelidikan Kasus Penghilangan Orang Tahun 1997-1998 Komnas HAM bahwa “UU HAM tidak bisa berlaku surut karena UU itu lahir setelah peristiwa terjadi. Jadi menurut kita (Dephan pen.) dan Mabes TNI, baik Pak Sjafrie, Pak Prabowo maupun Pak Wiranto tidak akan terkena". (http://www.indomedia.com/bpost/062005/7/nusantara/nusa1.htm)

Dalam peta politik yang penuh rekayasa dewasa ini pertanyaan pemimpi di siang bolong di atas tidak mungkin akan mendapat jawaban yang sesuai dengan keadilan, kecuali kalau penghalangnya diretool lebih dulu, yaitu Pasal 28 (i) ayat 1 diamandemen kembali lebih dulu sehingga asas retroaktif dapat diberlakukan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Di dalam media massa atau dalam diskusi/seminar sering diserukan agar Suharto diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Tentu saja seruan tersebut tidak tepat dan salah alamat. Sebab dari tiga mahkamah internasional di Den Haag tidak ada satu pun yang mempunyai kompetensi untuk mengadili kasus Suharto dan kawan-kawannya.Mahkamah internasional yang pertama – “International Court of Justice”, yang didirikan PBB setelah Perang Dunia II hanya mengadili perkara perselisihan antara negara dengan negara anggota PBB, antara organisasi-organisasi internasional atau antara suatu negara dengan organisasi internasional. Jelas mahkamah tersebut tidak bisa menangani kasus Suharto, sebab Suharto bukan negara dan bukan organisasi internasional.Mahkamah internasional yang kedua -- “International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia”, yang mengadili perkara-perkara kejahatan perang yang dilakukan oleh orang-orang bekas Yugoslavia. Jelas kasus Suharto tidak menjadi kompetensi mahkamah tersebut, sebab Suharto bukanlah orang Yugoslavia.Mahkamah internasional yang ketiga -- “International Criminal Court (berdasakan Rome Statute) juga tidak bisa mengadili kasus Suharto. Sebab pasal 24 Rome Statute of the International Criminal Court” menyatakan tidak berlakunya Asas Retroaktif.IV) Kasus Suharto adalah kasus yang terjadi lama sebelum ICC berdiri. Jadi ICC tidak punya kompetensi mengadili kasus Suharto, di samping Indonesia sendiri belum meratifikasi Rome Statute.Jadi dengan demikian, penanganan kasus Suharto dkk sebagai pelanggar HAM berat masa lampau tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri menghadapi kesukaran yang serius.

Tidak sedikit orang beranggapan bahwa berdasarkan hukum internasional Mahkamah Internasional dapat mengadili kejahatan-kejahatan HAM berat. Perlu untuk diketahui saja, bahwa Mahkamah Internasional ada yang bisa mengadili kejahatan HAM masa lalu atas asas retroaktif ( Pengadilan Neurenberg, Pengadilan Yugoslavia dan Rwanda), tapi ada juga yang tidak bisa mengadili kejahatan-kejahatan HAM masa lalu atas dasar asas Non-retroaktif (International Criminal Court di Den Haag). Sedang hukum internasional sendiri tidak mesti berlaku di semua negara dan tidak harus mempunyai kekuatan hukum lebih tinggi dari konstitusi negara bersangkutan. Mengenai tema ini perlu pembahasan tersendiri.

* Jalan lain penyelamatan pelaku pelanggaran HAM berat masa lampau *

Memang masalah penuntasan pelanggaran HAM berat tidak hanya terletak pada kemauan politik pemerintah atau presiden semata seperti dikatakan sementara kalangan, tetapi juga lembaga-lembaga negara lainnya (DPR, MPR, Yudikatif) yang masih dikangkangi oleh kekuatan orba. Di dalam kabinet Gus Dur dan Mega pun kekuatan-kekuatan orba tidak kecil peranannya. Hal itu bisa dimaklumi, sebab tanpa mengakomodasi unsur –unsur dari partai lainnya (meskipun terindikasi orba) tidak mungkin eksis kabinet Gus Dur dan Megawati. Bahkan Gus Dur, ketika menjabat presiden berusaha untuk membela para korban pelanggaran HAM berat, sampai-sampai mengusulkan pencabutan TAP XXV MPR. Megawati meskipun tidak berkoar-koar, tetapi melalui fraksi PDIP (satu-satunya) di DPR berusaha keras membela orang-orang mantan PKI di dalam perdebatan mengenai UU Pemilu yang diskriminatif. Tapi semuanya mengalami kegagalan, sebab peta politik di MPR/DPR memang tidak memungkinkan.

Jelaslah, bahwa meskipun Suharto sudah istirahat di dalam kotak politik, toh peranannya terus dilanjutkan oleh para pemainnya yang masih aktif, baik pemain utama maupun figuran,. Mereka bahkan telah berhasil melakukan konsolidasi dan mimikri ke semua lembaga negara dan kepartaian, termasuk LSM dan lembaga HAM. Inilah kehebatan dan kelihaian Orde Baru, yang secara substantif masih yang dulu-dulu juga, yang masih memikul dosa pelanggaran HAM.

Bahkan akhir-akhir ini timbul gejala aneh, yaitu banyak tokoh masyarakat dan politik yang antre menghadap Suharto dengan ciuman kemanusiaan diiringi curahan perasaan pemaafan atas dosa-dosanya selama 32 tahun terhadap bangsa dan negara Indonesia. Apakah gejala tersebut bukan suatu bentuk lain usaha-usaha agar perbuatan-perbuatan Suharto dkk. yang melanggar HAM tidak dipermasalahkan lagi?

Menurut pengamatan penulis, satu-satunya presiden yang sampai sekarang belum pernah sowan kepada Suharto hanyalah Megawati. Perjuangan Megawati terhadap orde baru jelas tidak pernah patah. Tetapi dapat dimaklumi kalau dalam zigzag gerak perjuangan politik memang tidak bisa berjalan dengan rumus matematik 2x2=4. Sehingga kalau tidak hati-hati orang dengan mudah terperosok dalam penilaian dan kesimpulan sesat, karena kepentingan sesaat yang pragmatis. Memang benar suatu adagium bahwa politik adalah suatu seni. Tentunya diharapkan agar Megawati yang sekarang memimpin partai oposisi (PDIP) tetap pada garis anti orbanya. Ikut-ikutan sowan cium kening/tangan Suharto dengan meneteskan air mata bisa mengaburkan perjuangan terhadap orde baru, meskipun ciuman tersebut dipulas sebagai ciuman kemanusiaan sekalipun. Dengan program Partai hasil Kongres Bali 2005 di mana tercantum pemberdayaan rakyat di seluruh bidang kehidupan , a.l. hukum dan HAM, PDIP hendaknya mampu membuktikan keseriusannya.

Dari uraian di atas jelas bagaimana beragamnya usaha-usaha kekuatan orba untuk menyelamatkan Suharto dkk dari jeratan tanggung jawab hukum. Tapi “kesuksesan” mereka di satu pihak, di pihak lain menimbulkan reaksi di tingkat nasional dan internasional, yang menuding Indonesia sebagai negara yang tidak menghiraukan keadilan, sebagai negara yang masih mempertahankan impunity bagi rejim otoriter orba, sebagai negara yang penuh dengan pelanggaran HAM. Maka dalam rangka menunjukkan “kepeduliannya” terhadap keadilan dan HAM, mereka – para pendukung orba - tidak menyia-nyiakan kesempatan melakukan jurus gerak zigzag di jalur rekonsiliasi sebagaimana tertuang dalam UU KKR, yang dijajakan sebagai barang reklame di pasar HAM nasional dan internasional.Sementara kasus Soeharto dan pelanggar HAM berat lainnya ditendang jauh keluar dari lapangan keadilan, maka secara “dipaksakan” melalui Dewan Perwakilan Rakyat keluarlah UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai gantinya. Dengan mencermati apa yang tertuang di dalam UU KKR, tampak bahwa UU tersebut tidak merupakan panacea bagi penderitaan korban pelanggaran HAM masa lampau. Sebab dalam UU KKR terdapat ketentuan-ketentuan yang sangat merugikan para korban HAM. Misalnya, berdasarkan Pasal 27 UU KKR kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan kepada korban apabila permohonan amnesti pelaku dikabulkan.V) Jadi ketentuan pasal tersebut sangat tidak adil. Seharusnya dengan adanya pengakuan dari pelaku tentang telah dilakukannya tindak pelanggaran HAM, korban harus dengan sendirinya sudah berhak menerima kompensasi dan rehabilitasi. Dan lagi kalau pelaku dalam sidang komisi KKR mengakui kesalahannya tapi tidak mau minta maaf dan kemudian permohonan amnestinya ditolak, maka dia bisa diajukan ke Pengadilan HAM (Pasal 29 ayat 3 UU KKR).VI) Kembali lagi persoalannya ialah apakah pengadilan HAM tersebut tidak akan terganjal oleh Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945, dengan demikian pelaku pelanggaran/kejahatan HAM akan selamat dari tanggung jawabnya? Dapat disimpulkan bahwa perspektif akibat Pasal 27 dan 29 ayat 3 UU KKR dapat menjurus kepada peniadaan kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, sedang pelakunya tidak dapat dapat diproses dalam Pengadilan HAM atas dasar asas non-retroaktif dari Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945.

Komisi harus mengungkapkan kebenaran tentang adanya pelanggaran HAM secara obyektif,. tidak tergantung ada-tidaknya pengakuan, permintaan maaf oleh pelaku dan pemberian amnesty kepada pelaku. Bersamaan dengan diungkapkannya kebenaran tersebut di atas, Komisi harus menegakkan keadilan dengan memberikan keputusan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban. Inilah esensi penting yang seharusnya terkandung dalam UU KKR.

KATA PENUTUP: Meskipun jalan menuju kebenaran dan keadilan masih diliputi kegelapan, dengan secercah sinar harapan semoga 3 perjuangan berikut bisa menembus kegelapan:

Pertama: Pasal 28 (i) UUD 1945 harus di amandir kembali dengan menambahkan kata-kata: “kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur dalam UU”.

Kedua: Pasal 27 dan 29 ayat 3 UU KKR perlu diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review karena bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi di dalam UUD 1945.

Ketiga: Mencabut semua perundang-undangan diskriminatif terhadap korban pelanggaran HAM dan membersihkan praktek penyelewengan pelaksanaannya.

------------------------------

*) Penulis adalah Anggota Indonesia Legal Reform Working Group, Negeri Belanda.

I ) Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

II) Pasal 43 aayat 1 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ad Hoc: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”.

III ) MD Kartaprawira, “Terbelenggu Sebelum Lahir”, GAMMA No.4 3-2, 19.02.2000;MD Kartaprawira, “Quo Vadis Reformasi Hukum di Indonesia”, KREASI No.1/2001.

IV) Rome Statute of the International Criminal Court, Article 24 Non-retroactivity natione personae (1): “No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”.

V ) Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesty dikabulkan

VI ) Pasal 29 ayat 3 UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: “Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesty dan diajukan ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc.”
posted by Indonesia Berjuang @ 1:21 PM 0 comments


MD Kartaprawira: Bung Karno Sebagai Bapak Pemersatu Bangsa Indonesia dan Ajarannya
BUNG KARNO SEBAGAI BAPAK PEMERSATU BANGSA INDONESIA DAN AJARANNYA


(Oleh: MD Kartaprawira)

PERJUANGAN BUNG KARNO MEMPERSATUKAN BANGSA

Bung Karno sebagai pejuang pemersatu bangsa, pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama selalu dikenal dan dihormati oleh rakyat Indonesia. Sebab selama hayatnya Bung Karno telah menyerahkan seluruh tenaga dan fikirannya untuk mempersatukan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa besar yang hidup dalam masyarakat berkeadilan dan berkemakmuran - masyarakat adil makmur, yang bebas dari penindasan manusia atas manusia, dan eksploitasi manusia atas manusia.Semua konsekuensi perjuangan untuk itu dia hadapi dengan berani, meskipun harus masuk keluar penjara, menjalani pembuangan dari satu tempat ke tempat lain, menghadapi pencaci-makian dari lawan-lawan politiknya, pengkhianatan dari kawan-kawan seperjuangannya, mempertaruhkan kekuasaan dan jiwanya pada saat kesehatannya yang sudah sa-ngat kritis.Kepeduliannya atas nasib rakyat Indonesia yang dijajah oleh kolonialisme Belanda adalah motor yang menggerakkan jiwa Bung Karno untuk menyerahkan seluruh jiwa raganya dalam perjuangan politik tersebut. Maka tidak mengherankan kalau garis perjuangan Bung Karno adalah melenyapkan kolonialisme untuk berdirinya Indonesia Merdeka. Bung Karno menyadari bahwa perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa lepas dengan perjuangan melawan kapitalisme. Maka perjuangan Indonesia Merdeka juga tertuju kepada terbentuknya masyarakat adil makmur (sosialisme Indonesia), yang bebas dari eksploitasi manusia atas manusia. Dan akhirnya, perjuangan untuk Indonesia Merdeka dan terbentuknya masyarakat adil makmur tidak bisa tercapai tanpa adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia.Atas dasar pokok-pokok pikiran tersebut di atas Bung Karno telah berhasil:
1. Menggugah rasa kebangsaan, sehingga bisa membangkitkan kesedaran diri bahwa harus bersatu padu untuk melawan penjajahan. Sebagai hasil proses kesadaran itulah maka lahir Sumpah Pemuda pada Oktober 1928 yang merupakan manifestasi tekad para pemuda untuk mewujudkan bangsa Indonesia bersatu di bawah semboyan satu bangsa - bangsa Indonesia, satu bahasa - bahasa Indonesia, dan satu tanah air - tanah air Indonesia.
2. Dengan dukungan rakyat, memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 45, yang diikuti dengan pembentukan UUD 1945, pemerintahan beserta alat perlengkapan negara lainnya.Indonesia Merdeka inilah yang selalu ditunggu segera kelahirannya, tanpa menunggu sampai rakyat bisa membaca, berbudaya tinggi dsb.
3. Memimpin bangsa untuk mempertahankan negara dari usaha-usaha come-backnya kolonialisme Belanda yang disertai dengan aksi kolonial pertama dan kedua. Bagaimanapun beratnya mempertahankan negara menghadapi lawan yang persenjataannya jauh melebihi, dengan persatuan seluruh kekuatan bangsa perjuangan dapat dimenangkan.
4. Menggagalkan politik devide et impera Belanda yang dengan mendirikan negara-negara boneka bertujuan untuk mengeroyok RI di dalam Republik Indonesia Serikat. Tetapi kenyataannya, negara-negara buatan van Mook tersebut satu demi satu bergabung dengan RI. Dan akhirnya RIS berubah menjadi NKRI secara konstitusional. Hal ini membuktikan api persatuan Bung Karno tetap membakar jiwa rakyat di daerah-daerah tersebut dan gagallah proyek federalisme van Mook.
5. Dengan tindakan tegas menyelamatkan negara dari bahaya separatisme dan gerombolan-gerombolan pembrontak (RMS, PRRI-Permesta, Di/TII, Gerombolan Andi Azis dll.) sehingga Indonesia terhindar dari ancaman disintegrasi yang sangat berbahaya bagi eksistensi negara Indonesia yang masih muda.
6. Memimpin perjuangan rakyat merebut kembali Irian Barat dari cengkeraman kolonialisme Belanda, sehingga tercapailah persatuan dan kesatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.Harus diakui bahwa perjuangan mempersatukan bangsa yang begitu majemuk suku bangsanya, etniknya, agamanya, tingkat budayanya, wilayah dan jumlahnya yang begitu besar, dan dilakukan dalam keadaan yang serba kekurangan adalah kesuksesan yang maha besar. Suatu bukti persatuan bangsa dapat memenangkan segala macam perjuangan.

SUMBER IDE PERSATUAN BUNG KARNO

Seluruh kiprah perjuangan Bung Karno yang telah berhasil mempersatukan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda, mendirikan Negara Republik Indonesia (bahkan menggalang solidaritas internasional melawan nekolim), adalah buah ide dan gagasan cemerlang yang dilahirkannya sejak masa mudanya.Suatu ide politik tidak akan lepas dari suatu situasi di mana penggagas berpijak. Ide Bung Karno lahir di mana bangsa Indonesia dalam keadaan nestapa karena penjajahan kolonialisme Belanda dan eksploitasi sistem kapitalisme. Maka tidak mengherankan kalau benang merah ide dan ajaran Bung Karno adalah persatuan bangsa Indonesia untuk mengubah kenestapaan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur yang bebas dari eksploitasi manusia atas manusia. Jelas ide persatuan tersebut mempunyai tujuan luhur, bukannya persatuan demi persatuan.
1. Ide persatuan yang pertama, dipublikasikan dalam sebuah artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marx-isme”. Dalam artikel tersebut dengan jelas ide persatuan antara tiga golongan itu menjadi intinya. Sebab masyarakat Indonesia pada dasarnya langsung atau tidak, terlibat dalam ketiga ideologi tersebut. Dan kenyataan tersebut tidak bisa dibantah oleh siapapun. Dalam artikel tersebut, yang ditulis pada tahun 1926 di dalam Suluh Indonesia Muda, dan dalam masa gawat-gawatnya perjuangan melawan kolonialisme Belanda, dengan jelas Bung Karno menganjurkan dan membuktikan bahwa persatuan antara masyarakat penganut Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme bisa terjadi.
2. Ide persatuan tercermin juga dalam ajaran Marhaenisme. Dalam Marhaenisme ini tercermin ide persatuan kekuatan akar bawah, sebab persatuan di sini terutama diarahkan kepada kaum: proletar, tani dan kaum melarat lainnya. Mereka inilah yang oleh Bung Karno disebut kaum marhaen.Untuk merekalah perjuangan terbentuknya masyarakat adil dan makmur dengan memegang panji-panji sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
3. Ide Persatuan tercermin dalam Pancasila, yang dilahirkan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 di dalam pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dengan jelas sekali ajaran persatuan nasional, persatuan bangsa Indonesia ini dituangkan dalam pidato tersebut.
Anggota BPUPKI yang terdiri dari bermacam-macam golongan ternyata bisa menerima Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia Merdeka. Bung Karno dalam pidatonya di Universitas Indonesia tahun 1953 yang berjudul “Negara Nasional dan cita-cita Islam” melukiskan bagaimana susah payahnya menghasilkan kompromi dalam sidang BPUPKI. Sebab kalau tidak menyetujui adanya Pancasila mungkin Indonesia tidak akan muncul sebagai Indonesia seperti dewasa ini. Mungkin di wilayah ex-Hindia Belanda ini yang muncul adalah negara Indonesia tanpa Minahasa, Bali, Batak Toba, Kep. Maluku, Timor, Flores dan lain-lainnya. Demikianlah Pancasila yang merupakan tuangan ide persatuan bangsa, yang kemudian dijadikan dasar filsafat negara RI.
4. Ide Persatuan tercermin juga dalam konsep NASAKOM (persatuan unsur Nasionalis, Agama dan Komunis). Nasakom ini sesungguhnya penyempurnaan dari ide yang tertuang dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Hanya saja unsur Islam diperluas menjadi unsur Agama(A), sehingga di dalamnya persatuan tersebut selain Islam terdapat agama-agama lainnya (Katolik, Protestan Hindu, Budha). Sedang unsur KOM adalah penegasan bahwa dialah yang karena tanpa tedeng aling-aling menonjolkan ide Marxisme, diakui sebagai unsur yang mewakili golongan marxisme. Dengan demikian NASAKOM merupakan realisasi ide persatuan Bung Karno sesuai konfigurasi peta politik konkrit pada waktu itu.

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PEDOMAN PERSATUAN NASIONAL

Semua ide Bung Karno tentang persatuan tersebut di atas terkonsentrir di dalam Pancasila, yang telah menjadi dasar negara RI. Maka uraian mengenai Pancasila akan mendapatkan tempat yang utama.Situasi politik di Indonesia yang sangat rawan akan ancaman disintegrasi bangsa adalah disebabkan karena akibat kekuasaan rezim orde baru yang telah menyelewengkan nilai-nilai Pancasila. Maka mengkaji, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila adalah salah satu usaha penting untuk menghindarkan bahaya disintegrasi bangsa dewasa ini.Fakta historis tanggal 1 Juni 1945 yang melahirkan Pancasila harus dijadikan titik tolak dalam mengkaji dan mengamalkan Pancasila, supaya tidak terjadi penafsiran kontroversial tentang hakekat Pancasila yang sebenarnya.

Adalah sangat penting untuk mengembalikan makna nilai-nilai Pancasila sesuai dengan apa yang digagas oleh Bung Karno. Maka dalam mengkaji balik Pancasila, pertama-tama harus kita akui bahwa Pancasila itu digali oleh Bung Karno, yang tertuang dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sebab dari situ kita akan menemukan inti filsafat Pancasila sebenarnya, yang langsung dari penggalinya - Bung Karno. Mengenai Pancasila, Bung Karno selalu menyatakan dirinya hanya sebagai Penggalinya. Tapi sesungguhnya pernyataan itu hanya sebagai pernyataan rendah hati. Yang tepat sesungguhnya Bung Karno tidak hanya sebagai penggali, tetapi juga penciptanya. ‘Menggali’ berarti mengambil sesuatu yang masih merupakan bahan mentah dari kandungan bumi. Sedang ‘mencipta’ berarti mengolah, membuat sedemikian rupa sehingga bahan-bahan galian yang masih mentah tersebut menjadi barang-jadi.

Seperti kita ketahui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, memang digali dari bumi Indonesia, dimana rakyatnya telah berabad-abad menganut berbagai macam agama. Tapi tergalinya fakta tersebut, belumlah cukup untuk mengatakan adanya atau terciptanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Falsafah Pancasila. Fakta tersebut masih merupakan bahan galian yang mentah. Sebab fakta adanya bermacam-macam agama belum merupakan konsepsi falsafah yang bisa menangkal kemungkinan timbulnya bentrokan atau peperangan antara penganut-penganutnya. Bahan galian tersebut baru menjadi salah satu sila dari Pancasila setelah diolah oleh Bung Karno menjadi suatu rumusan filsafat negara yang berintikan toleransi, saling menghormati dan persatuan dari para penganut berbagai-bagai agama untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Begitu juga sila Kebangsaan (nasionalisme, persatuan Indonesia) adalah hasil godogan Bung Karno dari rasa kesadaran sukubangsa-sukubangsa yang mendiami wilayah Indonesia sebagai kesatuan bangsa Indonesia dengan rasa kesadaran menghargai dan menghormati martabat bangsa lain. Dengan digalinya fakta bahwa di kepulauan Indonesia terdapat suku-suku bangsa yang bermacam-macam, belum bisa menjamin tidak adanya permusuhan antarsuku. Lebih dari itu Nasionalisme dalam filsafat Pancasila adalah Nasionalisme yang berpadu dengan Humanisme, yang oleh Bung Karno disebut sosio-nasionalisme (Ben Anderson menamakannya Nasionalisme Kerakyatan). Jadi jelas bukan nasionalisme sempit yang menuju kepada sovinisme, seperti yang berkembang di Eropah.Sedang sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat, atau Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan) adalah suatu hasil godogan antara galian yang berwujud musyawarah dan mufakat yang telah ada berabad-abad di kalangan masyarakat Indonesia dengan falsafah yang mengarah kepada tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat bersama. Maka demokrasi yang demikian itu bukanlah demokrasi yang menjurus ke anarkisme, yang liberal-liberalan untuk berlomba memupuk kekuasaan dan kekayaan bagi diri sendiri, keluarganya atau kelompoknya, hingga melupakan kepentingan rakyat. Demokrasi berdasarkan filsafat Pancasila oleh Bung Karno disebut Sosio-Demokrasi, yaitu Demokrasi yang bersenyawa dengan tuntutan Sila Keadilan Sosial, yang merupakan demokrasi di bidang politik, ekonomi dan budaya.

Demikianlah bahan-bahan mentah yang telah digali Bung Karno telah dia masak dengan ‘bumbu-bumbu’: toleransi, persatuan dan cita-cita masyarakat adil makmur sehingga tercipta menjadi Pancasila Dasar Filsafat Negara RI dan pedoman untuk perjuangan persatuan nasional. Kita tidak bisa memalsukan sejarah Pancasila, yang dilahirkan pada 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka segala tafsiran mengenai Pancasila haruslah bertolak pada sumber aslinya, kalau tidak mau dikatakan memutar-balikkan sejarah dan hakekat Pancasila.Selanjutnya Bung Karno menyatakan Pancasila bisa diperas menjadi Trisila (Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, Ketuhanan YME). Sedang Trisila bisa juga diperas menjadi Ekasila - Gotongroyong. Perasan terakhir ini mencerminkan inti dari Pancasila, yaitu persatuan seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk bersama-sama bergotong royong berjuang demi terbentuknya masyarakat adil dan makmur.Formulasi Pancasila seperti yang diucapkan Bung Karno di BPUPKI diformulasikan di dalam UUD 45 (dan konstitusi RIS, UUDS NKRI 1950) agak berbeda. Meskipun demikian Pancasila yang tercantum di dalam UUD 45 (Pembukaan) tidak bisa dikatakan bertentangan dengan Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Hanya dua hal yang menurut pendapat kami harus mendapatkan perhatian bahwa; 1. Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD 45, tetaplah Bung Karno sebagai Penggali/Penciptanya. 2. Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD 45 haruslah segala penafsiran dan pengamalannya sesuai dengan yang tersurat dan tersirat di dalam pidato Pancasila Bung Karno. Hal ini penting sekali untuk menghindarkan penyalah gunaan ajaran Pancasila.

LIKU-LIKU SEJARAH PERJALANAN PANCASILA

Di masa kekuasaan Orde Baru Pancasila selalu dijadikan label pada kegiatan dan kebijakannya. Nama Pancasila dicatut untuk menutupi kekuasaan fasis otoriter yang antirakyat, antinasional dan antidemokrasi. Demikianlah dengan pembubuhan kata Pancasila pada “Demokrasi” muncullah apa yang dinamakan “Demokrasi Pancasila”, dengan mana rezim Orde Baru selama 32 tahun telah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar Pancasila itu sendiri, UUD 45, HAM dan keadilan.Di samping itu Orde Baru tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai label belaka, tapi juga memperalat sedemikian rupa sehingga dengan mudah penguasa bisa mencap seseorang yang berbeda politiknya, melanggar atau mengkhianati Pancasila.
Dan bersamaan dengan itu penguasa menyebarkan “momok komunis/komunisme” untuk menakut-nakuti rakyat.

Rezim Orde Baru juga melakukan usaha-usaha untuk menghapus jasa-jasa Bung Karno dari sejarah Indonesia dan memanipulasi Pancasila. Misalnya, penguasa yang melalui mendikbudnya - Nugroho Notosusanto, berusaha memalsukan fakta sejarah, dengan pernyataannya bahwa penggali Pancasila bukan Bung Karno. Kita belum lupa penghapusan peringatan 1 Juni - Hari lahirnya Pancasila dan diganti dengan peringatan terbunuhnya para jenderal dalam peristiwa G30S dengan nama Hari Kesaktian Pancasila, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Pancasila. Dan sangat menyedihkan bahwa uang negara dihambur-hamburkan oleh rezim Orde Baru hanya untuk mengelola suatu badan yang bernama BP-7 (dbp. Alwi Dahlan), yang nota bene bertujuan agar “Pancasila” tetap bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk mempertahankan kekuasaan Orba.

Pada zaman Orde Baru, 5 paket UU politik dan Dwifungsi ABRI merupakan perangkat politik yang jelas-jelas menjegal realisasi sila Demokrasi (musyawarah-mufakat), sehingga mengakibatkan demokrasi menjadi lumpuh tidak berjalan.
Kekuasaan totaliter-militeristik Orde Baru selama 32 tahun mengakibatkan rakyat dewasa ini harus mulai belajar demokrasi lagi. Dan terasa sampai dewasa ini demokrasi hanya dijadikan alat untuk menang-menangan dalam perebutan kepentingan golongan, sehingga mengorbankan kepentingan rakyat.Kesenjangan sosial warisan Orde Baru sampai sekarang terus ditanggung rakyat. Kalau kesenjangan sosial ini diumpamakan sebagai rumput kering, maka siapa saja yang melempar api kepadanya akan terbakarlah rumput tersebut dan terjadilah malapetaka yang tragis. Api penyulutnya itu bisa dari perselisihan etnis, agama, politik, dan apa saja. Maka tidak mengherankan timbulnya keresahan-keresahan sosial di beberapa daerah sebagai pencerminan menipisnya nilai-nilai Pancasila di kalangan masyarakat.Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat ibadah lainnya, telah membuktikan tentang adanya bahaya yang mengancam ajaran toleransi kehidupan antaragama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan adanya bentrokan fisik antara orang-orang Dayak dan orang-orang Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang mengorbankan banyak nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam atas ajaran kerukunan antarsuku bangsa yang terkandung di dalam Sila Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Ucapan seorang menteri Orde Baru pada 17 Juni 1997 di Surabaya bahwa:”Halal darah dan nyawa para perusuh”, menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila direalisir oleh Orde Baru.Seandainya saja kue hasil pembangunan itu bisa mengucur dari atas ke bawah - ke rakyat, dari pusat ke daerah, mungkin keresahan sosial sedikit demi sedikit bisa diatasi. Tapi sampai sekarang kue pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Padahal untuk membiayai terciptanya ‘kue pembangunan’ ini telah dikeruk habis-habis kekayaan rakyat (minyak, gas, hutan, emas dll.) ditambah dengan hutang luar negeri yang berjumlah kurang lebih 150 milyar USD. Ada suatu anggapan bahwa kalangan lapisan atas dengan sengaja berusaha melupakan katakunci ‘pemerataan’, yang sejak dulu (sebelum adanya perestroikanya Gorbacev) telah merupakan tujuan dari Sila Keadilan Sosial. Sedang pembangunan yang berwujud gedung-gedung tinggi megah, obyek-obyek rekreasi mewah, jalan-jalan aspal halus dan sebagainya, bukanlah prioritas pembangunan yang diperlukan bagi kepentingan puluhan juta orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan.Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab) masih perlu diluruskan.

Adalah wajar bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum harus ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi jelas tidak wajar bahwa di dalam negara hukum Indonesia telah terjadi pembunuhan massal dan penahanan puluhan ribu orang selama bertahun-tahun tanpa proses hukum, yang sampai sekarang belum ada tanda-tanda penegakan hak azasi yang terlanggar tersebut. Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa orang yang menjadi korban penyerbuan (di gedung DPP PDI jalan Diponegoro tahun 1996) malah diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Dimana sila Kemanusiaan? Yang Adil dan Beradab? Nol besar, tidak ada kemanusiaan, tidak ada keadilan, apalagi yang beradab. Kasus-kasus yang terjadi di zaman Orde Baru tersebut, sampai sekarang dampaknya masih terasa dan belum terselesaikan.Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah Indonesia. Mengenang sejarah Pancasila mau atau tidak mau kita mengenang Bung Karno juga, yang telah berjasa menggali, menciptakan dan menempatkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia. Tidaklah salah kalau Pancasila dikatakan sebagai hasil pemikiran Bung Karno yang genial, yang mengandung nilai-nilai filsafat tinggi, yang bisa diterapkan tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain demi kerukunan ummat dan perdamaian dunia. Adalah suatu penyelewengan terhadap Pancasila, apabila penafsirannya tidak berdasarkan Pancasila-asli, seperti yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Mengenang Bung Karno adalah mengenang sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang mendambakan kerukunan, kemerdekaan, perdamaian, keadilan dan kemakmuran.

PERSATUAN UNTUK PERJUANGAN REFORMASI

Dalam era reformasi dewasa ini kiranya perlu dikobarkan lagi ide persatuan Bung Karno demi suksesnya gerakan reformasi, demi penghancuran sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan sistemnya. Hanya dengan demikianlah pengentasan bangsa dan negara dari kungkungan multikrisis bisa dilaksanakan.Ini berarti bahwa para elite politik harus menghentikan perang-tandingnya dalam perebutan kedudukan dan kekuasaan, mengarahkan moral intelektualnya kepada perbaikan nasib rakyat yang terpuruk dalam kubangan multikrisis dewasa ini. Para elit politik harus sadar diri akan perlunya membangun kembali toleransi dan hidup berdampingan secara damai antarumat beragama, perlunya kerukunan kehidupan antar suku-bangsa dan etnik, perlunya kesadaran akan supremasi hukum, HAM dan Keadilan sosial.Proses disintegrasi bangsa dan negara yang sedang berjalan dewasa ini adalah akibat dari proses pembodohan yang dilakukan oleh Orde Baru, yang mengakibatkan rakyat kehilangan jiwa dan semangat Pancasila, tidak mengenal kembali nilai-nilai Pancasila. Sebab Orde Baru sendiri tidak berkepentingan untuk merealisasi nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya, seperti apa yang diajarkan Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Tapi sebaliknya ajaran Pancasila bahkan diselewengkan dan ditunggangi untuk kepentingan kelanggengan kekuasaannya.

Dewasa ini, setelah jatuhnya rezim Suharto, muncullah ke permukaan alam nyata akibat pembodohan dan diselewengkannya Pancasila: di beberapa daerah timbul gerakan separatisme, kerusuhan yang bermuatan isu agama, pertentangan antara etnik dan lain-lainnya. Hal itu, seperti telah diuraikan di atas, menunjukkan hilangnya rasa sebagai satu bangsa, rasa toleransi dan saling menghormati dalam kehidupan beragama dan rasa kerukunan suku-suku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat. Sedang merebaknya organisasi-organisasi kemiliteran dewasa ini, yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk pengingkaran nilai-nilai Pancasila, jelas hanya menambah eskalasi keresahan di dalam masyarakat yang telah bosan akan keresahan.Dalam era perjuangan untuk reformasi dewasa ini perlu sekali satu poin penting dari Manipol (Manifesto Politik) diperhatikan. Yaitu pemisahan antara kawan dan lawan revolusi Indonesia. Tapi sesuai dengan perkembangan politik dewasa ini, poin tersebut harus diformulasikan sebagai pemisahan kawan reformasi dan lawan reformasi (atau Pro-Reformasi dan Kontra-Reformasi). Hal ini penting sekali di mana kekuatan orde Baru masih bertebaran di seluruh lembaga-lembaga negara dan kemasyarakatan. Jangan sampai yang kita rangkul adalah lawan reformasi dan sebaliknya kawan malah kita tendang. Bagaimana kita bisa mencapai tujuan reformasi, kalau di dalam barisan reformasi bercokol tokoh-tokoh antireformasi.

Bahwasanya Presiden Gus Dur dalam berbagai kesempatan mengangkat Soekarno dan ajaran-ajarannya, patutlah mendapatkan acungan jempol. Sebab apa yang dilakukan Gus Dur tersebut merupakan suatu hal yang sangat langka dilakukan oleh elit-elit politik lainnya. Mereka sebaliknya malah selalu menjelek-jelekkan Bung Karno, menyamakan Soekarno dengan Soeharto.Tapi dalam kaitannya dengan Pidato Perdamaian yang diucapkan Presiden Gus Dur, di mana diminta agar kita menghilangkan istilah orde-orde-an (Orba, Orla), agaknya perdamaian semacam itu dapat disangsikan kemaslahatannya. Hal itu sama saja mencampur harimau dan kambing dalam satu kandang, setelah penghapusan nama “harimau” dan “kambing”. Akibatnya hanya ketragisan yang akan kita peroleh. Sebaliknya kita seharusnya lebih jeli lagi melihat siapa kawan dan siapa lawan reformasi, kita harus lebih giat lagi mengekspos kejahatan-kejahatan Orba, yang telah mencelakakan Negara dan Bangsa. Menghilangkan kata “Orde Baru” (Orba) dalam kamus politik sama saja kita menghapus atau paling tidak melupakan kejahatan-kejahatan Orde Baru.Maka dari itu dalam perjuangan untuk reformasi, kita harus lebih menekankan perlunya persatuan bangsa atas dasar prinsip persatuan bangsa seperti yang tertuang dalam Pancasila ajaran Bung Karno, dengan tanpa melupakan siapa kawan dan lawan reformasi.Dari uraian di atas jelaslah bahwa ide dan ajaran Bung Karno tentang persatuan bangsa sangat relevan sebagai salah satu pedoman untuk mengatasi multikrisis di Indonesia dewasa ini.

Dalam memperingati HUT ke-100 Bung Karno sepantasnyalah kalau kita mengangkat salut setinggi-tingginya kepada Bung Karno, yang telah berjasa menanamkan ide persatuan bangsa dan yang dengan konsekuen mempertahankan ide tersebut dari masa mudanya hingga akhir hayatnya. Bahkan pencopotan jabatan presiden oleh MPR-Orba yang dipimpin jendral A.H.Nasution (dengan TAP MPR No.XXXIII/1967) tidaklah menggoyahkan konsistensinya atas ide dan ajarannya tersebut di atas. Dalam perjuangan reformasi dewasa ini, yang antara lain berjuang untuk menegakkan keadilan, maka selayaknyalah gerakan reformasi menuntut pencabutan TAP MPR No.XXXIII/1967, yang tidak adil dan inkonstitusional, sebagai tanda penghormatan atas jasa-jasa Bung Karno terhadap bangsa dan negara.

*Nederland, Juni 2001 (Pidato pada Peringatan ULTAH Ke-100 Bung Karno)
Kreasi, 3/2001
posted by Indonesia Berjuang @ 12:44 PM 2 comments


Kwik Kian Gie: Indonesia Dijerat Utang Untuk Dijajah
INDONESIA DIJERAT UTANG UNTUK DIJAJAH
Penuturuan John Perkins


Oleh Kwik Kian Gie

Beberapa hari terakhir beredar dokumen 5 halaman yang berjudul “Transkrip wawancara dengan John Perkins mantan anggota “perusak ekonomi” (Econominc Hit Men)” yang diterjemahkan oleh Setyo Budiantoro dari wawancara John Perkins dengan kantor berita Democracy Now (Amerika).

Dua hari yang lalu saya membeli buku yang ditulis John Perkins dengan judul “Confessions of an Economic Hit Man”. Buku ini diterbitkan di tahun 2004 oleh Berret-Koehler Publishers, Inc. San Francisco. Saya baru membaca sampai halaman 70 dari buku setebal 225 halaman. Tanpa komentar apapun, dalam tulisan ini saya kemukakan paragraf-paragraf yang sangat relevan buat Indonesia, yang tentunya saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara bebas.

Di halaman ix dikatakan : “buku ini saya dedikasikan kepada dua orang presiden dari dua negara yang pernah menjadi client saya dan yang sangat saya hormati dan yang selalu saya kenang dalam semangat persaudaraan, yaitu Jaime Roldós, presiden Ecuador, dan Omar Torrijos, presiden Panama. Kedua-duanya baru meninggal dunia dalam tabrakan (crash) yang sangat mengerikan. Kematian mereka bukan kecelakaan. Mereka dibunuh karena mereka menentang ‘persaudaraan’ (fraternity) dengan para pimpinan dari dunia korporasi, pemerintah dan perbankan yang tujuannya membentuk kerajaan (empire) dunia. Kami (EHMs – singkatan dari Economic Hit Man) gagal membawa Roldós dan Torrijos mengikuti perintah-perintah (to get them around) sang penguasa, dan hit men jenis lain, yaitu para penjagal CIA yang selalu di belakang kami mengambil alih (stepped in).

“Saya selalu berhasil diyakinkan tidak menulis buku ini. Selama dua puluh tahun terakhir saya mulai menulis buku ini empat kali. Setiap kali saya didorong untuk menulis oleh kejadian-kejadian yang penting, yaitu invasi oleh Amerika Serikat ke Panama di tahun 1989, Perang Teluk yang pertama, Somalia, dan bangkitnya Osama bin Laden.”

“Di tahun 2003, presiden dari sebuah perusahaan penerbit besar menolak menerbitkan buku saya ini, karena dia tidak dapat menanggung (afford) amarah dan penentangan oleh markas-markas besar organisasi-organisasi dunia. Dia menganjurkan saya untuk membuatnya seolah-olah fiktif, seperti gayanya John le Carré atau Graham Greene.”

Di halaman x : “Apa yang akhirnya membuat saya menyingkirkan ancaman dan sogokan supaya tidak menulis ?”, yang dijawabnya sendiri : “jawab yang singkat adalah anak tunggal saya, Jessica, yang sudah lulus universitas dan mempunyai kehidupannya sendiri. Setelah membicarakan rencana saya menerbitkan buku ini beserta ancaman-ancamannya, Jessica mengatakan : “Jangan khawatir ayah, kalau mereka membunuhmu (get you), saya akan melanjutkannya dari yang engkau tinggalkan. Kami perlu melakukannya untuk cucu-cucumu yang saya harap suatu hari akan saya berikan kepadamu.”

Di halaman 12 : “Saya hanya mengetahui bahwa penugasan sebenarnya yang pertama buat saya adalah Indonesia, dan saya akan menjadi bagian dari dua belas orang yang dikirimkan untuk membuat sebuah rencana strategi energi (to create a master energy plan) untuk pulau Jawa.”

“Saya tahu bahwa dari saya diharapkan menghasilkan sebuah model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa, dan saya memutuskan bahwa saya juga bisa mulai membuatnya untuk Kuwait.”

“…Saya menemukan bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang dikehendaki oleh sang analis untuk memperkuat kesimpulan-kesimpulan yang direkayasanya.”

Di halaman 14 Perkins menceriterakan bahwa dia dipersiapkan oleh Claudine Martin untuk menjadi EHM. Claudine antara lain mengatakan : “Engkau tidak sendirian, kita adalah sekelompok kecil manusia dalam bisnis yang kotor (a rare breed in a dirty business).”

Di halaman 13 : “Claudine mengatakan bahwa saya mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui MAIN dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui proyek-proyek enjenering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar MAIN dan kontraktor Amerika lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram (beholden) oleh para kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki (favors) seperti pangakalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya).”

“Faktor yang kritis dalam semua kasus adalah Produk Domestik Bruto. Proyek-poyek yang berdampak pada PDB yang tertinggi harus dimenangkan. Kalaupun hanya satu proyek yang menjadi pertimbangan, saya harus mampu menunjukkan (demonstrate) bahwa pembangunannya akan menghasilkan GNP yang superior.”

Halaman 15 akhir dilanjutkan dihalaman 16 : “…..tujuan membangun proyek-proyek tersebut yalah menciptakan laba sangat besar untuk para kontraktornya, dan membuat bahagia sekelompok kecil elit dari bangsa penerima utang luar negeri, sambil memastikan ketergantungan keuangan yang langgeng (long term), dan karena itu menciptakan kesetiaan politik dari negara-negara target di dunia.”

“Semakin besar jumlah utang luar negerinya semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang akan dikenakan pada negara-negara penerima utang akan menyengsarakan (deprive) rakyatnya yang termiskin dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya untuk berpuluh-pulih tahun lamanya tidak perlu menjadi pertimbangan.”

“Claudine dan saya mendiskusikan secara terbuka karakteristik dari GNP. GNP akan meningkat walaupun hanya membuat kaya satu orang saja, misalnya satu orang yang memenangkan pembangunan perusahaan uitility, walaupun mayoritas dari rakyatnya disengsarakan oleh utang pemerintahnya. Dari segi statistik, ini akan tercatat sebagai kemajuan ekonomi.”

“Engkau harus menghasilkan prakiraan yang optimistis tentang ekonominya, bagaimana akan berkembang seperti jamur setelah selesainya pembangunan pembangkit-pembangkit listrik beserta jaringan-jaringan transmisinya.”

Di halaman 17 : “Saya mengingatkan Claudine bahwa Tim MAIN yang akan dikirimkan ke Jawa termasuk sepuluh orang lainnya. Saya menanyakan apakah mereka menerima training yang sama seperti yang saya peroleh darinya. Claudine meyakinkan saya mereka tidak tahu apa-apa, sambil mengatakan “mereka adalah para insinyur yang membuat design pembangkit listrik, transmisi dan jaringan distribusinya beserta pelabuhan laut dan jalan-jalan raya yang memawa bahan bakar minyaknya. Prakiraanmu yang menentukan besarnya (magnitude) dari sistem yang mereka rancang – dan besarnya utang. Jadi engkau adalah kuncinya.”

Claudine mengatakan kepada saya : “Kami kelompok sangat kecil yang dibayar sangat mahal untuk menipu (cheat) negara-negara di seluruh dunia dengan jumlah uang milyardan dollar.”

Di halaman 18 : “Claudine menceriterakan bahwa sepanjang sejarah, empires dibangun atas kekuatan militer atau ancaman oleh kekuatan militer. Tetapi pada akhir perang dunia kedua, dengan bangkitnya Uni Sovyet, dan dengan ancaman kehancuran oleh nuklir (nuclear holocaust), pendekatan militer terlampau beresiko.”

Di halaman 18 juga ditulis bahwa ketika Inggris minta bantuan Amerika Serikat untuk menjatuhkan Mossadegh karena dia berani melawan BP (British Petroleum), AS memutuskan mengirimkan cucunya Presiden Theodore Roosevelt yang bernama Kermit Roosevelt untuk menjatuhkan Mossadegh tanpa pertumpahan darah dan tanpa senjata. Dia melakukannya dengan biaya beberapa juta dollar yang dipakainya untuk membiayai keonaran dan demonstrasi besar-besaran oleh rakyat Iran melawan Mossadegh. Sebelumnya Mossadegh dipuja-puji sebagai pembawa demokrasi untuk negaranya, dan majalah Time menobatkannya sebagai man of the year.

Semakin lama semakin seru, terutama kedatangan John Perkins di Indonesia yang berkantor di kantor PLN Bandung dan seterusnya. Tetapi kolom saya habis. Bacalah sendiri bukunya.
posted by Indonesia Berjuang @ 5:52 AM 0 comments


Tidak ada komentar:

Posting Komentar