Selasa, 31 Mei 2011

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (II)


*BUNG KARNO:*

*PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA  (II)*

*Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 *
*di Istana Negara *



Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang
statis -- yang dapat mengumpulkan semua -- dan jikalau kita mencari suatu
*Leitstar *dinamis -- yang dapat menjadi arah perjalanan-kita harus menggali
sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah jelas kalau
kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus
terdiri dari elemen-elemen yang ada pada jiwa lndonesia. Kalau kita mau
masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa lndonesia, tak mungkin
dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.

Misalnya, kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran
Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak *in concordantie**(12)
** *dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat,
apalagi dasar yang harus mempersatukan. Demikian pula elemen-elemen
untuk dijadikan *Leitstar *dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul
menghikmati jiwa kita. Yang betul-­betul -- bahasa *Inggrisnya -- appeal**
(13)** *kepada jiwa kita. Kalau kita kasih *Leitstar *yang tidak *appeal *kepada
jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita
sendiri, ya tidak bisa menjadi *Leitstar *dinamis yang menarik kepada kita.

lni adalah satu soal yang susah, Saudara-saudara. Apalagi bagi
Saudara-saudara pemimpin -- yang salah satu tugas dari pemimpin itu
harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap-tiap Saudara-saudara yang ada di sini
ingin bisa menggerakkan rakyat, bisa menarik pengikut-­pengikut, tidak
pandang Saudara dari partai apa. Yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin
ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti
dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah,
Saudara-saudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerakkan
rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa
mengadakan *appeal. Appeal *yaitu ajakan, tarikan yang membuat si
rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya.

Jikalau Saudara baca mengenai hal ini -- saya ini sedang mengupas hal
*Leitstar -- baca *mengenai hal ini: bagaimana cara kita menggerakkan rakyat.
Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi kadang-kadang minta supaya mau
berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendeknya mau
menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi
kemauan untuk berjuang.

12 Sesuai (bhs. Belanda).

13 Memiliki daya tarik (bhs. Inggris).

120

Syarat-syaratnya ini apa? Kalau Saudara baca kitab-­kitab yang ditulis
pernimpin-pemimpin yang berpengalaman tentang hal ini, Saudara akan
melihat bahwa hal ini tidak gampang.

Baru sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu
gampang sekali. Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada
satu masyarakat yang manis, tiap­-tiap orang bisa. Asal bisa
*meng-iming-imingi *(membayang-­bayangkan).
Tetapi untuk menggumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad,
bahkan menjadi kerelaan berkorban, *that is another matter – *lain hal.
Kalau Saudara baca kitab-kitab yang menganalisa hal ini,maka Saudara
akan menemui tiga syarat:

Pertama, memang Saudara harus bisa menggambarkan, meng­*iming-iming:
*"Mari kita capai itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di
situlah kebahagiaan." Pemimpin yang tidak bisa meng-gambarkan, melukiskan
cita-cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. ia harus bisa
melukiskan cita-cita.

Di dalam sejarah dunia Saudara akan melihat bahwa pemimpin­pemimpin besar
yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin yang
bisa melukiskan cita-cita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di
dalam segala lapangan.

Ambil contoh Nabi-nabi, yaitu pemimpin-pemimpin besar sekali. Semua Nabi itu
pandai benar melukiskan cita-cita. Katakanlah *meng-iming-iming. *Misalnya
Nabi Muhammad: "Kalau engkau berbuat baik, engkau masuk di sana."
Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul indahnya sorga, nyamannya
sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah -- Quran sendiri-
di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya
enak, ada sungai-sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu,
atau air madu, dan berkeliaran bidadari-­bidadari di situ. Sehingga betul
*ter-iming-iming *umat Islam itu ingin masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan.
Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia ini, bagai-
mana pun bagusnya, kalah indahnya dari itu.

Ambil Nabi Isa: "Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagus-nya, kalah bagus
dengan Kerajaan Langit". *Het Koninkrijk der Hemelen -- *Kerajaan Langit --
dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai lawan dari kerajaan yang ada di
bumi ini.

121

Ambil pemimpin-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan
politik, bahkan yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitier, misalnya.
Hitler itu *kok *bisa sampai mendapat pengikut juta-jutaan dan pengikut yang
fanatik-fanatik? Oleh karena ia pandai memasangkan *Leitstar-nya. *

Hitier berkata: "Jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebih hebat daripada
sekarang, jangan kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus
mengadakan kerajaan yang ketiga, *das dritte Reich. Reich *yang pertama
masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum. "

Zaman *baheula,*(14) zaman ceriteranya Nibelungen, yang di dalam puisi
Jerman digambarkan sebagai zaman keemasan dari Germanentum, dengan
pahlawan-pahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Siegfried
jago yang tidak *tedas(15 ) *senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya
yang tidak kebal. Pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas
punggungnya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang
lain-lain kena air kebal. Zaman itu digambarkan oleh Hitier, belum, kurang
besar, kurang bagus.

"Kerajaan yang kedua -- di bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote --
zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak! Kita menghendaki
kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang-orang
yang berambut-jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan
darah Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang-orang yang
murni Ariers.(16) Kerajaan ketiga inilah, yang di dalamnya tidak ada
kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita-cita." Dengan jalan
demikian ia *meng-iming-iming *kepada rakyat Jerman.

Ambil Marx -- tadi saya ceriterakan kepada Saudara-saudara­ia dapat betul
menggambarkan satu -- bukan saja *klasseloze maatschappij, *tetapi
satu *staatloze maatschappij -- yang *di situ tidak ada penindasan.

14 Zaman dahulu, zaman kuno (bhs. Sunda).  15.Mempan, mampu dilukai.

16 Bangsa Aria, yang di zaman prasejarah tinggal di Iran dan India Vtara,
dianggap sebagai bangsa yang membawa kemajuan umat manusia. Menurut
Hitler, bangsaAria yang paling mumi adalah orang Nordis atau J ermania.

122

Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu
*staatloze *dan *klasseloze maatschappij *yang hanya ada kebahagiaan dan
kesejahteraan.

Demikianlah, Saudara-saudara, maka salah satu syarat untuk bisa menjadi
pemimpin ialah harus dapat *meng-iming-iming, *tetapi jangan *meng-
iming-iming *barang yang bohong. Itulah salah satu syarat. Perkataan saya saja
*meng-imng-iming,*tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan *Leitstar *

kepada rakyat.

Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikianlah, menganalisa
hidup, cara bekerjanya pemimpin-pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat
rasa mampu mencapai apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan
rasa mampu. Meskipun engkau bisa *meng-iming-iming, *tetapi jikalau engkau
tidak bisa mem­bangunkan rasa mampu di dalam rakyat bahwa rakyat bisa
mencapai apa yang engkau *iming-iming-kan, *ya, maka di dalam kalbu rakyat akan
hanya hidup *kepingin, *ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak,
kemauan, satu *wil. *Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, *toh *tidak
mampu.

Ibaratnya, engkau bisa *meng-iming-imingi *seseorang yang badan-nya lemah:
"Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak." Si
dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, *dus, *tinggal
kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, *wil *untuk mencapai
buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau 

iming-iming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah
milyuner: "Bung lihat, bukan main cantiknya!" Tetapi ia tidak mempunyai rasa
mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah
sekali, "Aku anak orang miskin, ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama
dia." Tidak akan timbul kehendak – wil -- untuk mengawini gadis itu.
Itu syarat nomor dua.

Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi
menanamkan kemampuan yang sebenar-­benarnya. Menanamkan kemauan memberi
kepada rakyat *de werkelijke kracht,(17) *dengan cara mengorganisir rakyat
itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh karena *ter-iming-iming, *keinginan
ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena Saudara bisa
memberi kepada rakyat itu 



17 Kekuatan atau yang sebenamya (bhs. Belanda).

123

rasa mampu, *krachtsgevoeI(18). Krachtsgevoel *ini dinaikkan setingkat lagi
rnenjadi de *werkelijke kracht, *dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau
tiga ini Saudara-­saudara sudah bisa dijadikan Trimurti -- artinya 

diper-satukan di dalam tindakanmu sebagai pemimpin -- Saudara akan bisa
menggerakkan massa.

*Dus, Leitstar *yang dinamis, Saudara-saudara, harus memberi kemungkinan
kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa "aku atau
kita bisa mencapai", dua. Tiga, bukan saja rasa  mampu, tetapi memang
mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat *meng-iming-iming, *dapat
memberi *krachtsgevoel, *tetapi Saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di
atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, "He, buah itu enak
betul, kepingin apa tidak?" Kepingin. "Mau apa ti dak?" Mau. Tetapi Saudara
lupa melatih dia untuk memanjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan,
tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 meter sudah jatuh
lagi. Tiga syarat ini harus dipenuhi.

*Leitstar *dari negara harus bisa *realiseren(19) *tiga syarat ini. *Dus, *
dasar  negara pertama harus bisa menjadi meja statis yang mempersatukan
segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara itu harus bisa merealisir
tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat yang
dinamakan negara dapat benar-benar mencapai apa yang *di-leitstar-kan *itu.
Maka berhubung dengan itu, elemen-elemen dari dasar ini harus elemen
yang tidak asing bagi bangsa lndonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen
yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar statis. Demikian pula tidak
bisa menjadi dasar *Leitstar *dinamis .

Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi­-kursi yang
dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata:
*une nation est une ame; een natie is een ziel -- ­*bangsa itu satujiwa.
Jangan kira bangsa itu adalah jumlah dari manusia itu dengan manusia itu,
seperti kursi-kursi dijajar. Benar bangsa itu terdiri dari manusia-manusia
yang berjiwa, malahan apalagi bangsa-­bangsa itu terdiri dari
manusia-manusia yang berjiwa, tetapi kecuali dari itu, bangsa itu

18 Perasaan mampu melakukan (bhs. Belanda).  

19  Merealisir atau mewujudkan (bhs. Belanda).

124

mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le Bon yang
mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak *het
algemeen totaal(20)  *dari si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa
sendiri. Satu bangsa adalah satu jiwa.

Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu
kita mernikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh
mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal-hal
di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya, bisa menghikmati satu dua,
seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa
tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita
sendiri. ltulah kepribadian. Tiap-tiap bangsa mempunyai kepribadiansendiri,
sebagai bangsa. Tidak bisa *opleggen(21) *dari luar. ltu harus *latent(22) *telah
hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya mana ini
elemen-elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi
*Leitstar *dinamis. Dicari­-cari, berkristalisir di dalam lima hal ini:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan
Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang
nyata selalu menjadi isi dari jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih
timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu *schakering(23)  *itu
lima ini.

Ada orang berkata: Pada waktu Bung Karno *mem-propageren(24) *Pancasila,
pada waktu ia menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-terangan yang
berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam,
tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa
dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak
Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat
dari galiannya itu Islam. Kenapa *kok *Pancasila ? Kalau ia menggali dalam
sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam. Saya ulangi,
saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam.
Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya
Islam.

20 Merupakan keseluruhan pada umumya (bhs. Belanda). 

 21 Memaksakan, mengambil (bhs. Belanda).
22 Terpendam (bbs. Belanda).
23 Terkelompok dalamjenis (bhs. Belanda). 

 24 Berusaha mencari (bhs.Belanda).

125

Dan saya meno lak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya
saya berkata, penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya
gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu.

Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf­safan. Saf ini di
atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf.
Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan
bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan
agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada zaman
pra-Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Profesor
Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia sebelum
kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya?
Tanam padi secara sawah sekarang ini jangan kira itu pembawaan orang Hindu.
Tidak, pra-Hindu! Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada Germanentum,
di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh Profesor Dr.
Brandes. Alfabet *ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, *jangan kira itu pembawaan
orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Profesor Brandes bukan pembawaan
orang Hindu. Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan
lakon, terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya
wayang kulit, tetapi belum dengan Mahabarata dan Ramayana. Sebagian dari
*restan (25) *wayang kulit kita dari zaman pra-Hindu, yaitu Semar, Gareng,
Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain-lain itu. Itu pra-Hindu! Kita dulu
mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanan--kepahlawanan kita,
sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan
Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal
yang baik, lakon-lakon itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan
dari wayang kulit kita. Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf
pra-Hindu.

Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma,
negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu
Sendok, negara Kutai, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi,
saf zaman kita 



25 Sisa (bhs. Belanda).

126

*(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”,
PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal. 120-126)*

*DISIARKAN ULANG:  MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009*

                                 INDONESIA BERJUANG, 01 JUNI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar