Rabu, 25 Mei 2011

ARASIP TULISAN MEI 2006

dinsdag 17 mei 2011


ARSIP TULISAN MEI 2006

WEDNESDAY, MAY 31, 2006
MD Kartaprawira: MEMAAFKAN KEJAHATAN SUHAARTO MEMASUNG KEADILAN
MEMAAFKAN KEJAHATAN SUHARTO MEMASUNG KEADILAN

Oleh MD Kartaprawira

Dewasa ini sedang berkecamuk hiruk pikuk upaya untuk menutup kasus kejahatan korupsi Suharto dan memberi maaf kepadanya. Daya upaya tersebut , meskipun didukung oleh Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi dan tokoh-tokoh orba lainnya. mendapat tentangan hebat dari kalangan luas. Sebab penutupan kasus kejahatan Suharto tidak bisa lain hanya menunjukkan tindakan yang bertentangan dengan keadilan dan hukum (acara). Demikian hebatnya kepedulian para pendukung Suharto/Orba agar setelah meninggalnya terbebas dari beban “dosa” yang dilakukannya.

Semestinya, kalau bicara tentang pemaafan kepada Suharto, haruslah ditetapkan lebih dulu kesalahan-kesalahannya. Dan kesalahan-kesalahan tersebut lebih dahulu harus diakui oleh Suharto in concreto. Jangan hanya secara umum saja, yang terasa basa basi. Dus, kosong tanpa arti. Sesudah itu dipertimbangkan kelayakannya untuk dimaafkan. Sampai detik ini Suharto belum mau mengakui kesalahannya secara konkrit tanpa basa-basi. Dan yang lucu para penganjur dan promotor pemaafan Suharto juga tidak menjelaskan kesalahan-kesalahan Suharto yang mana yang harus dimaafkan. Total semuanya?

Kalau mau retrospeksi ke lembaran sejarah di masa lampau, akan menemukan bahwa Suharto telah melakukan banyak dosa besar terhadap bangsa dan negara saat melaksanakan kekuasaannya (maaf ini bukan barang baru lagi) antara lain:

1. Membunuh demokrasi di Indonesia: Suharto sebagai presiden -- pemegang kekuasaan eksekutif -- telah mengursupasi kekuasaan legislatif dan yudikatif, baik secara licik maupun secara brutal. Ingat di dalam MPR masa Orde Baru 60% anggotanya diangkat oleh Suharto. Kapan saja produk MPR/DPR akan mengabdi kepada kepentingan dan kekuasaan rejim Orde Baru/Suharto. Bersama Golkar yang merupakan partai terbesar penyangga kekuasaan Orde Baru, Suharto telah menjelma menjadi pemegang kekuasaan absolut dan sewenang-wenang yang menepuk dada dan berteriak: "L e'tat c’est moi" -- Negara adalah saya (MD Kartaprawira, “Demokrasi di Indonesia: Quo Vadis?” (10) Sistim Demokrasi ‘Pancasila’: Jalan Lain ke Otoritarisme?, Indonesia-L 23 Sept 1996). Maka demokrasi dibunuh tidak hanya melalui produk-produk legislatif saja tapi juga melalui repressi fisik yang bertentangan dengan hukum dan HAM (pembunuhan massal, pembuangan, penghilangan dan penahanan orang tanpa proses hukum, dan lain-lain kejahatan terhadap HAM), diiringi dengan ancaman "gebug" kepada siapa saja yang tidak loyal. Bahkan Suharto begitu tega tega membunuh presiden Soekarno secara perlahan-lahan yang sedang menderita sakit keras di dalam tahanan. Inilah kenyataannya dan bukan cerita fantasi lagi.

2. Menyebarkan virus budaya korupsi di Indonesia: Kesuksesan dalam penghancuran demokrasi di Indonesia dilanjutkan dalam bidang lain yaitu yang menyangkut penjarahan kekayaan negara. Rejim Suharto bersama kroni-kroninya dengan leluasa melakukan praktek KKN dan sekali gus menyebarkan virus budaya korupsi di masyarakat. Akibatnya semua lapisan dari presiden sampai camat/lurah dan dari jenderal sampai bintara melakukan korupsi, demikian juga di lembaga peradilan dan kejaksaan. Rakyat dewasa ini sudah merasakan semua akibatnya.
Sehingga di tiap sudut tanah air orang menyerukaan pemberantasan korupsi. Bagaimana kenyataan pemberantasan korupsi? Bisa dihitung dengan jari kasus korupsi yang sudah dituntaskan, kecuali beberapa orang yang dijadikan tumbal. Sedang lautan koruptor (termasuk koruptor no.1 -- Suharto --) aman-aman saja, sebab dijaga dan diamankan oleh lautan pengaman.

3. Menjadikan Indonesia negara jajahan kaum neoliberal: Setelah sukses dalam kudeta (dengan bantuan kaum imperialis/CIA) terhadap pemerintahan Soekarno, Suharto melakukan politik ekonomi "pintu terbuka" bagi kapital asing selebar-lebarnya. Sehingga semua sektor vital ekonomi Indonesia berada di bawah kekuasaan asing. Akibatnya semua sumber alam dan hutan Indonesia ludes.
Tidak hanya itu saja, Orde Baru yang hobbynya mencari hutang dari IMF dan World Bank telah mengakibatkan Indonesia terjerat lehernya, sehingga harus menurutkan apa saja garis politik ekonomi yang disodorkan oleh IMF/World Bank. Hutang yang menumpuk segunung tidak terbayangkan kapan bisa dilunasi oleh anak cucu kita.

Karena ketiga bentuk kejahatan tersebut di atas telah mengakibatkan malapetaka besar besar bagi bangsa dan negara, sehingga tidak ada alasan untuk memberi maaf kepada Suharto (terutama kejahatan HAM berat), walaupun proses kasus kejahatan Suharto harus dilanjutkan. Pemaafan kejahatan tersebut di atas sama saja artinya membenarkan impunitas, pemutihan atas kejahatan dan menganggap hukum sebagai gombal yang sewaktu-waktu bisa dipakai untuk membersihkan kotoran dan bisa seenaknya dilempar ke keranjang sampah. Inilah yang tidak bisa diterima oleh keadilan. Pembunuhan massal 1965/66, pembuangan/penahanan massal tanpa proses hukum, penghilangan para aktivis yang sampai sekarang tidak diketahui di mana kuburnya adalah pelanggaran HAM berat seperti yang dilakukan rejim Nazi Hitler, yang sampai sekarang mereka yang tersangkut masih menjadi buronan untuk dihadapkan ke pengadilan (tidak pandang mereka sudah uzur).

Tidak ada maaf bagi penjahat-penjahat HAM NAZI dan juga semacamnya di Indonesia. Seharusnya para legislator Indonesia bercermin pada pengalaman-pengalaman internasional dalam menangani kasus kejahatan HAM berat tersebut, sehingga hukum dan keadilan bisa ditegakkan. Bahwasanya Suharto dewasa ini sudah uzur dan dalam keadaan sakit (otaknya rusak), bukanlah alasan untuk memaafkan kejahatannya. Sungguhlah absurd kalau ide tersebut dilaksanakan, sebab akan menjadi preseden buruk dalam yurisprudensi di Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh para penjahat untuk menihilkan kejahatannya dan merealisasi impunitas. Sebab logika akan mengarah pada rujukan: “Kalau presiden bisa dimaafkan kejahatannya, mengapa yang lain tidak??? Bukankah hukum berlaku bagi semuanya?”

Ketika masih berkuasa (selama 32 tahun) Suharto tidak pernah sedikitpun merasa bersalah, tapi sebaliknya dia selalu mengancam meng"gebug" siapa saja yang tidak sejalan dengan politiknya. Hanya jatidiri seorang diktator otoriter kejamlah yang selalu tercermin di balik senyumnya. Tapi ketika dia lengser dari kepresidenan baru mau minta maaf atas kesalahan-kesalahannya selama berkuasa. Bukankah hal itu menunjukkan ketidak jujurannya yang dibungkus dengan basa-basi?
Dan tidak mengherankan serta dapat dimengerti mengapa dewasa ini para pengikut setia Suharto giat melakukan usaha-usaha agar Suharto dimaafkan.

Demi keadilan, masalah pemaafan terhadap Suharto hanya bisa dibicarakan setelah kasus kejahatan Suharto dituntaskan di pengadilan.
Memang benarlah bahwa balas dendam harus disingkirkan. Tapi penegakan hukum dan keadilan bukanlah balas dendam. Oleh karenanya proses hukum kasus Suharto harus dilanjutkan, jangan ditutup: Suharto harus tetap diadili.
Berhubung dengan itu SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) yang dikeluarkan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh harus dinyatakan tidak sah demi hukum. Sedang pernyataan anggota-anggota Parlemen (PDIP) agar Jaksa Agung dipecat atau mengundurkan diri harus didukung. Juga tuntutan beberapa organisassi masyarakat yang mempraperadilankan Jaksa Agung harus didukung.

Kiranya rakyat perlu lebih jeli melihat segala penyalah-gunaan kekuasaan yang bertujuan untuk melindungi tindak pidana korupsi dan kejahatan HAM berat Suharto dan kroni-kroninya, yang tidak pernah kunjung lelah. Bagaimanapun keadilan harus ditegakkan, sedang pemaafan atas kejahatan Suharto adalah pemasungan terhadap keadilan.

Nederland, 31 Mei 2006
posted by Indonesia Berjuang @ 9:37 AM 0 comments
TUESDAY, MAY 30, 2006
Ahmad Syafii Maarif: Tragedi Pancasila
REPUBLIKA
Selasa, 30 Mei 2006

Tragedi Pancasila
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Salah satu prinsip moral yang dapat diambil dari al-Muqaddimah Ibn Khaldun (1332-1406) adalah bahwa seorang peneliti atau pengamat tidak boleh membesar-besarkan tokoh yang disukainya atau sebaliknya mengecilkan tokoh yang tidak disukai.

Dalam kaitannya dengan Pancasila pernah dikemukakan pendapat bahwa penggali Pancasila bukan Bung Karno, tetapi Yamin. Ini berdasarkan buku Yamin yang mengatakan bahwa Lima Prinsip Dasar itu telah dikemukakannya sebelum 1 Juni 1945 mendahului Bung Karno yang menyampaikan pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945 di depan BUPKI, sebuah pidato tanpa teks yang kemudian diberi nama Lahirnya Pancasila.

Hasil penelitian saya menemukan bahwa adalah sebuah kebohongan historis bila ada pendapat yang mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang pertama kali mengemukakan Lima Dasar itu, tetapi orang lain. Memang, Bung Karno tidak menempatkan Sila Ketuhanan sebagai yang teratas, tetapi sebagai prinsip pengunci. Pancasila yang ada sekarang adalah hasil rumusan 22 Juni 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta minus tujuh kata yang semula mengiringi Sila Ketuhanan, dalam format ''dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.'' Tujuh kata ini kemudian diganti dengan atribut Yang Maha Esa, yang kabarnya diusulkan Ki Bagus Hadikusomo, tokoh puncak Muhammadiyah ketika itu.

Resonansi kali ini tidak ingin berpanjang-panjang berbicara tentang proses historis Pancasila ini, sebab seluruh UUD yang pernah dikenal dalam sejarah Indonesia sebelum dan pasca-Proklamasi, tidak ada yang tidak menempatkan Pancasila pada posisi teratas. Tetapi, yang ingin ditegaskan adalah bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya yang dahsyat itu telah mengalami tragedi demi tragedi, tidak dalam kata, tetapi justru dalam laku, sebagaimana yang sering saya kemukakan di berbagai forum. Dalam ungkapan lain, jika kita memperkatakan Pancasila, implementasi nilai-nilai luhur inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian utama, bukan memperdebatkannya secara teoretikal.

Bagi saya semua nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas, tidak perlu orang terlalu berbelit-belit menyikapinya. Sila pertama, ''Ketuhanan Yang Maha Esa,'' jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus dan otentik. Sila kedua, ''Kemanusiaan yang adil dan beradab,'' tidak bisa ditafsirkan selain bahwa bangsa ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Penyimpangan dari perilaku adil dan beradab adalah pengkhianatan terhadap sila ini.

Dan inilah yang sering berlaku selama hampir 61 tahun kita merdeka. Pengkhianatan ini tidak semata-mata dalam bentuk upaya sementara orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain. Tetapi laku yang beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, menggarong harta bangsa, main hakim sendiri, merusak milik negara sekalipun itu dengan meneriakkan Allahu Akbar, semuanya adalah perbuatan khianat dalam perspektif sila kedua.

Kemudian, sila ketiga berupa ''Persatuan Indonesia,'' bukan ''Kesatuan Indonesia,'' semestinya membimbing bangsa ini dalam kebhinnekaan (pluralisme) yang kaya dalam mosaik budaya yang beragam. Tetapi, yang terjadi selama sekian dasawarsa adalah politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistem sosial budaya lokal secara paksa melalui undang-undang. Ini adalah bentuk pengkhianatan konstitusional yang telah menimbulkan keresahan dan perlawanan diam-diam dari berbagai subkultur Indonesia yang kaya itu.

Sila keempat, ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'', tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang betanggung jawab dan dengan lapang dada. Di luar cara-cara ini, sila kerakyatan yang memuat prinsip demokrasi itu hanyalah akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah menjadikan rakyat banyak sebagai kelinci percobaan politik yang amoral.

Perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi tampaknya semakin jauh dari roh Pancasila dalam pengertiannya yang utuh dan padu. Ini adalah bentuk tragedi yang selalu saja ditimpakan orang pada Pancasila. Terakhir, sila kelima, ''Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,'' telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah dan DPR yang benar-benar dibimbing oleh sila ini.

Rakyat dari masa ke masa tidak semakin merasakan keadilan, tetapi penindasan berencana via undang-undang, apakah undang-undang itu berupa darurat militer, undang-undang hubungan pusat dan daerah, undang-undang penanaman modal asing, dan lain-lain. Oleh sebab itu, matahari sudah condong ke barat bagi kita semua untuk berhenti menjadikan Pancasila sebagai retorika politik yang kosong dan menipu. Pancasila di bawah sinar wahyu harus menuntun seluruh laku kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekarang dan untuk selama-lamanya, jika Indonesia memang masih mau dipertahankan.
posted by Indonesia Berjuang @ 3:55 AM 0 comments
THURSDAY, MAY 25, 2006
Kwik Kian Gie: Logika Utamg Jongkok
Kolom Kwik Kian Gie
Logika Utang Jongkok

Rakyat Merdeka, Selasa, 16 Mei 2006

MINGGU yang lalu media massa dipenuhi oleh pernyataan dan penjelasan dari Gubernur Bank Indonesia (BI) yang penuh keraguan tentang kapan utang kepada IMF dikembalikan dan dengan cara yang bagaimana? Apakah sekaligus, dicicil dua kali atau tiga kali?

Buat saya dan banyak orang lain sangat-sangat mengherankan bahwa sampai saat ini masih belum ada keputusan tentang hal ini. Begitu hubungan dengan IMF dalam bentuk Extended Fund Facility berakhir di tahun 2003, saya dengan beberapa kawan bersuara sangat keras dan berulang-ulang supaya saldo utang kepada IMF yang ketika itu sebesar US$ 9 miliar dikembalikan segera.

Para kroni kartel IMF segera saja juga secara bertubi-tubi menyuarakan dengan keras bahw pikiran mengembalikan utang tersebut sangat keliru dan sangat berbahaya. Presidennya yang mempunyai kekuasaan tertinggi tidak mengerti apa-apa tentang ekonomi. Jadi yang diturut ya para menterinya yang mempunyai backing dari kartel IMF.

Yang sangat menyedihkan dan kasihan terhadap bangsa ini yalah logika yang demikian sederhananya tidak dimiliki. Mengapa kami berteriak supaya utang kepada IMFsegera dikembalikan semuanya?
Karena utang kepada IMF itu tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisa milik kita sndiri habis. Pada akhir tahun 2003 cadangan devisa milik Indonesia sendiri sebesar US$ 25 miliar dan utang kepada IMF sebesar US$ 9 miliar. Yang US$ 9 miliar ini tidak boleh disentuh sebelum yang US$ 25 miliar terpakai habis. Maka utang dari IMF yang US$ 9 miliar itu baru relevan kalau pemerintah Indonesia dapat mengumumkan kepada masyarakat dunia bahwa cadangan devisa milik Indonesia yang US$ 25 milyuar itu habis total. Tetapi untunglah masih ada utang dari IMF sebesar US$ 9 miliar yang sekarang bisa dipakai.

Sekarang bantahannya dari para kroni kartel IMF. Mereka mengatakan bahwa kalau utang dari IMF yang US$ 9 miliar dibayar, kita harus mengumumkan kepada masyarakat dunia bahwa cadangan devisa Indonesia merosot dari US$ 34 miliar menjadi US$ 25 miliar. Pengumumnan seperti ini akan mengguncangkan kepercayaan masyarakat dunia terhadap Indonesia.

Jadi ada dua pilihan. Yang pertama mengumumkan bahwa cadangan devisa kita turun dari Rp. 34 miliar menjadi US$ 25 miliar karena dalam jumlah US$ 34 miliar itu terdapat utang dari IMF sebesar US$ 9 miliar yang tidak boleh dipakai sebelum cadagnagn miliknya sendiri yang US$ 25 miliar habis total.

Saya menarik kesimpulan dari pernyataan ini bahwa utang dari IMF yang US$ 9 miliar itu hanya relevan ketika kita harus mengatakan bahwa cadangan devisa kita yang US$ 25 miliar habis total, tetapi kita beruntung masih mempunyai cadangan sebesar US$ 9 miliar yang hasil utangan dari IMF. Menurut logika saya, pengumuman seperti ini akan membuat kepercayaan terhadap Indonesia lebih jebol ketimbang pilihan lainnya. Yaitu mengatakan bahwa cadangan devisa kita masih US$ 25 miliar setelah utang dari IMF yang US$ 9 miliar dikembalikan semuanya...

Logika yang segamblang ini tidak dilihat, tidak dimiliki dan tidak dijadikan kebijakan.
Yang membuat kita menangis, sampai detik ini pimpinan BI masih tidak mau melihatnya. Sementara itu bunga harus dibayar terus tanpa ada gunanya sama sekali. Pemandoran atau post program monitoring dijalankan terus.

Herankah kita kalau Indonesia yang sangat kaya raya sumber daya alam ini akhirnya menjadi negara miskin yang hina dina, dengan utang yang menumpuk, dengan pengangguran dan kemiskinan yang luar biasa, dengan kerusakan infra struktur yang hebat dan sebagainya? Logika yang sangat jongkok ini tidak diterapkan pada kebijakan utang dari IMF saja, tetapi pada sangat banyak hal lainnya. Maka tinggal modar sajalah bangsa ini.
posted by Indonesia Berjuang @ 2:09 PM 0 comments
Guruh Soekarnoputra: Bung Karno Bukan Terpidana
http://www.gatra.com/artikel.php?id=94607
[Gatra Nomor 27, 15 Mei 2006]

Guruh Soekarnoputra"Bung Karno Bukan Terpidana"

NIAT pemerintah merehabilitasi nama Soekarno, berkaitan dugaan penyalahgunaan kekuasaan, ditanggapi dingin oleh putra bungsu Presiden pertama RI itu, Guruh Soekarnoputra. Ia tak ingin wacana rehabilitasi mantan Presiden kedua RI Soeharto, dikait-kaitkan dengan ayahnya.Menurutnya, tanpa rehabilitasi pun, rakyat Indonesia sudah mencatat bahwa Bung Karno adalah pendiri NKRI, dan Bapak yang memiliki jasa yang tak ternilai dalam membangun bangsa ini. Sebaliknya, ia meminta pemerintah sekarang untuk meminta maaf kepada Bung Karno, sesuai proporsinya, bukan hanya sebagai Pahlawan Proklamator dan Presiden pertama RI, tetapi sebagai Bapak Bangsa dan penggali Pancasila --dasar negara RI.Berikut petikan wawancara Gatra.com, sebelum konser "mengenang 50 Tahun karya Titiek Puspa" digelar, pertengahan pekan lalu:Apa tanggapan Anda atas keinginan pemerintah yang ingin merehabilitasi nama Bung Karno?Saya rasa kalau pakai istilah rehabilitasi, tidak tepat. Bung Karno bukan seorang terpidana, beliau bukan kriminal, bukan orang jahat. Tapi, beliau pada waktu itu dalam posisi didzalimi. Korban fitnah.Kalau ternyata direhabilitasi?Jadi kalau direhabilitasi, seolah-olah sudah menjadi terpidana.Bukan begitu. Tetapi justru bangsa Indonesia, melalui pemerintah, bukan soal merehabilitasi, melainkan minta maaf kepada beliau. Mengembalikan beliau kepada proporsinya. Bukan hanya sebagai Proklamator dan sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, tetapi sebagai Bapak Bangsa, Bapak penggali Pancasila yang menjadi dasar negara kita.Selama didzalimi tersebut, apa yang dirasakan keluarga saat itu?Kami kurang enak kalau membeberkan masa lalu yang pahit. Artinya, keprihatinan kami adalah, kalau sebagai manusia, kok bisa sedemikian tega. Beberapa anak bangsa memperlakukan seorang Bapak Bangsa yang berjuang memerdekakan kita, sehingga kita bisa mempunyai Negara Kesatuan Republik Indonesia, diberlakukan sedemikian rupa.Terutama ketika sewaktu kondisi kesehatannya semakin memburuk. Bukannya ada upaya maksimal, tapi seperti ya... kayak didiemin aja.Apakah penolakan terhadap istilah rehabilitasi ini, dari Anda sendiri, atau termasuk anak-anak Bung Karno lainnya?Iya, kami semua. Tapi dengan bahasa yang lain-lain ya. Artinya, kalau mau mengembalikan Bung Karno, saya rasa sebagai bangsa yang ber-Tuhan dan ber-Pancasila, nomor satu kita patut minta maaf kepada Bung Karno.Mungkin juga melalui pemerintah. Dari segi politis, yang membuat Bung Karno seperti ini secara legal adalah tap MPRS Tahun 1967 --saya agak lupa nomornya-- itu harus dicabut.Tanggapan keluarga bagaimana berkaitan dengan pemulihan itu?Lihat caranya. pemulihan itu untuk apa. Terutama juga, jangan dikait-kaitkan dengan soal Pak Harto. Ada upaya pengampunan terhadap Pak Harto, tiba-tiba dihubungkan dengan rehabilitasi (terhadap Bung Karno --Red). [EL]
geovisit();
posted by Indonesia Berjuang @ 1:51 PM 0 comments
TUESDAY, MAY 23, 2006
Liputan6: Gerakan Adili Soeharto Memperadilan Kejagung
http://www.liputan6.com/view/2,123261,1,0,1148398345.html
23.05.2006 - 22:32:51 WIB

Kasus Soeharto
Gerakan Adili Soeharto Mempraperadilankan Kejagung

Suasana saat anggota PBHI melapor ke PN Jaksel.
22/05/2006 19:07 Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto mempraperadilankan Kejaksaan Agung yang mengeluarkan SKP3 terhadap mantan Presiden Soeharto. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jaksel.

Liputan6.com, Jakarta: Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Agung yang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap mantan Presiden Soeharto. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)) yang ditunjuk sebagai kuasa hukum mendaftarkan gugatan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Kita minta supaya pengadilan memerintahkan kepada jaksa agar melaksanakan dan mempertanggungjawabkan keputusan kasasi Mahkamah Agung di depan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Johnson Panjaitan dari PBHI.

Gugatan dilayangkan sebagai reaksi atas langkah Kejagung yang dinilai merugikan kepentingan bangsa dan negara [baca: Soeharto Sakit, Terbitlah SKP3]. Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto yang hadir antara lain Rachlan Nashidik dari Imparsial dan Asmara Nababan dari Demos. Jumat silam, gugatan serupa didaftarkan Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM.

Di tempat terpisah, Ketua Fraksi DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, dan Partai Golongan Karya menjenguk Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jaksel [baca: Jaksa Agung Dicecar soal Status Hukum Soeharto]. Walau hanya melihat kondisi Soeharto dari kaca tanpa bisa berkomunikasi, mereka menyimpulkan sudah waktunya masyarakat Indonesia memaafkan Pak Harto. Alasannya Soeharto juga berjasa selama 32 tahun memimpin. Apalagi Jaksa Agung sudah mengeluarkan SKP3.

Ketua Fraksi PPP di DPR Endin A.J. Soefihara mengatakan, dengan hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan Soeharto masih sakit, maka perintah MA tidak bisa dijalankan. "Ada baiknya kejaksaan meminta kembali MA mengambil persidangan yang mengatakan Pak Harto sudah tidak bisa lagi disidangkan karena alasan kesehatan." Dia menambahkan, bila secara kesehatan Soeharto tidak bisa diadili, ya, Pak Harto sudah bebas dari tuntutan hukum itu.

Sementara itu, keputusan Kejagung mengeluarkan SKP3 korupsi dengan terdakwa mantan Presiden Soeharto memancing reaksi dari sejumlah daerah di Tanah Air. Kelompok yang setuju terhadap keputusan Kejagung dan kubu yang ingin pengadilan untuk mantan penguasa Orde Baru itu turun ke jalan, hari ini.

Di Pontianak, Kalimantan Barat, mahasiswa yang mendesak pemerintah mengadili Soeharto bentrok dengan satuan polisi pamong praja dan polisi di kantor gubernur. Kontak fisik terjadi ketika mahasiwa berusaha menurunkan bendera Merah Putih menjadi setengah tiang sebagai simbol dukacita atas kasus Soeharto yang tak kunjung selesai. Aparat berusaha mencegah aksi demonstran, apalagi gubernur menolak menemui mahasiswa yang hedak menyampaikan tuntutan.

Unjuk rasa mendesak pemerintah segera mengadili Soeharto juga berlangsung di Surakarta, Jawa Tengah. Aksi mahasiswa dan warga ini digelar tepat di kediaman Soeharto di Ndalem, Kalitan. Mereka menentang keputusan pemerintah mengampuni Soeharto secara hukum karena Presiden kedua RI ini dianggap telah banyak merugikan rakyat. Sebagai protes secara simbolis massa menyegel kediaman Pak Harto ini.

Lain lagi dengan aksi di Ambon, Maluku. Tadi siang sekelompok orang menggalang tanda tangan mendukung Soeharto yang dinilai telah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia. Pengumpulan tanda tangan ini dilaksanakan di emperen toko di Jalan A.Y. Patty, Kota Ambon. Kegiatan ini cukup menarik perhatian warga. Tidak cuma kalangan tua saja yang membubuhkan tanda tangan. Kalangan muda juga bersemangat memberi tanda tangan sebagai wujud simpati.

Aksi simpati terhadap Soeharto juga ditunjukkan kalangan lintas agama di Manado, Sulawesi Utara. Mereka berdoa bersama bagi keselamatan dan kesehatan mantan presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu. (TNA/Tim Liputan 6 SCTV)
posted by Indonesia Berjuang @ 5:05 PM 0 comments
SPD: Menggugat Kroni Soeharto
http://www.suarapembaruan.com/News/2006/05/23/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY

Menggugat Kroni Soeharto

"KEBIJAKAN-kebijakan itu, kan, lewat persetujuan DPR," kata Muchtar Arifin, Jaksa Agung Muda Intelijen, Senin (22/5) sore, pada jeda rapat kerja (raker) Komisi III DPR dengan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, di DPR.

Penanya pertama pada raker Komisi III itu, Yasonna Laoly, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P), menyebut banyak kebijakan Soeharto yang menguntungkan keluarga serta kroninya, dibungkus prosedur, dan ketentuan hukum.

Oleh karenanya, dia menilai gugatan perdata Jaksa Agung terhadap Soeharto tidak tepat. "Kita paham benar, bahwa pada perkara perdata yang dicari kebenaran formil, bukan materiil. Jaksa akan kesulitan mencari bukti-bukti formil pelanggaran yang dilakukan Soeharto," katanya.

"Seperti kasus mobil nasio-nal (mobnas), dengan kebijakan pembebasan bea masuk untuk Timor," sebutnya. Keluarga, kerabat, dan banyak orang terdekat mantan penguasa Orde Baru (Orba) itu, berhasil meraup banyak kekayaan negara melalui berbagai kebijakan itu.

Berbagai kebijakan itu bisa menjadi dasar tuntutan hukum, dengan digunakannya UU No 31/1999. "Seperti yang saudara gunakan pada para anggota DPRD itu. Maka pembuktiannya akan lebih mudah," tandasnya.

Perbuatan melawan hukum yang digunakan sebagai formulasi gugatan perdata Soeharto, juga dinilai Gayus Lumbuun (FPDI-P) tidak tepat, karena apa yang dilakukan Soeharto merupakan perbuatan melawan hukum pada jabatannya. Hingga tidak masuk dalam kompetensi pengadilan perdata, melainkan pengadilan pidana.

Upaya membebaskan Soeharto dari hukum, diikuti pernyataan-pernyataan yang menimbulkan banyak pertanyaan. Gegar logika hukum terjadi, dinilai karena kurang matangnya penyiasatan atas hukum, yang telah dilakukan sejak reformasi bergulir delapan tahun lalu.

Gugatan perdata yang disiapkan Jaksa Agung, dinilai Laoly hanya kamuflase, atau pengalih perhatian. Seperti halnya objek hukum yang dikenakan pada Soeharto sendiri, yaitu soal tujuh yayasan. Tidak sedikit yang mempertanyakan, mengapa hanya yayasan. Dituding tuntutan terhadap Soeharto memang cuma sekedarnya.

Arbab Paproeka, dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), bahkan menyebut Jaksa Agung bodoh.

Panda Nababan (FPDI-P) menyatakan agar Jaksa Agung sebaiknya mundur, atau diberhentikan. "Saudara Jaksa Agung tidak punya kemampuan. Jadi lebih baik Anda mengundurkan diri, atau diberhentikan. Daripada kita berputar-putar seperti tadi," ujarnya.

Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3), berulangkali dipertanyakan anggota Komisi III. Berulangkali juga, jawaban Jaksa Agung dinilai tidak memuaskan. Soal gugatan perdata apalagi, Jaksa Agung terkesan tidak siap memberi penjelasan.

Tuntutan

Tuntutan hukum terhadap Soeharto, hanya untuk posisinya sebagai ketua Yayasan Supersemar, Dharmais, Damandiri, Dakab, YDGRK Siti Hartinah Soeharto, YAMP, dan Trikora. Untuk kasus ini, tidak ada kroni maupun keluarganya yang dapat diproses hukum. Lantaran tidak ada fakta yang mengarah pada tindak korupsi oleh orang lain. Kesalahan ada pada Soeharto yang memberi perintah, selaku ketua yayasan.

Muncul dugaan pesimistis, proses hukum terhadap keluarga dan kroni Soeharto bakal terlantar. Hal itu dibantah. Soal perkara korupsi kroni Soeharto, Muchtar menyebut selama ini sudah ditangani Kejaksaan. Contohnya proses hukum yang telah dijalani Bob Hasan, Bedu Amang, dan Tommy Soeharto.

Ada anggapan, hukuman minimal yang mereka jalani, hanya untuk membentuk opini, seolah telah ada proses hukum, yang sekaligus digunakan untuk menutupi juga daftar dosa mereka yang lebih berat. Lebih lanjut soal kroni, pertanyaannya adalah siapa saja yang terlibat?

Soeharto, dan kroninya, kata Sekretaris Jenderal Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Achmad Baskara memiliki makna lebih luas sebagai simbol dari sistem kekuasaan yang korup. Itu yang dituntut agar segera dibersihkan. "Penyelesaian sebuah sistem Orba," katanya.

Seperti sudah dikutip pada awal tulisan ini, berbagai kebijakan Soeharto yang dituding jadi dasar tindak KKN itu, disetujui DPR. Itu yang menurut Muchtar, jadi alasan bakal sulit menjadikan kebijakan-kebijakan itu terbukti sebagai kesalahan. Jadi, sulit menuntut Soeharto dalam kaitannya sebagai presiden yang melakukan KKN.

Soal kebijakan Soeharto selama Orba, siapa saja yang diuntungkan? Para menteri, dan pe- jabat selama 32 tahun Orba? Para anggota MPR/DPR yang dengan fungsi pengawasan, dan kontrol terhadap pemerintah, telah membiarkan, bahkan mendukung keluarnya sekian banyak kebijakan itu?

Perhatian kita arahkan pada Pemerintah, juga DPR, tempatnya para politisi yang menyatakan dirinya mewakili rakyat, yang ada sekarang ini. Bagaimana dengan kebijakan saat reformasi bergulir sekarang ini.

Impor beras, pemberian kontrak ladang minyak Cepu kepada ExxonMobil, pupuk, revisi Un- dang-undang Ketenagakerjaan, kenaikan harga BBM?

Apa bedanya dulu dan sekarang? Iwan Fals membuat lagu berjudul, nyanyian lagu setuju, untuk DPR masa lalu, yang dinilai melulu mengeluarkan persetujuan untuk tiap kebijakan Soeharto. Sekarang ini, suara DPR beragam, banyak kritik. Tunggu pertemuan dengan presiden di Istana, baru setuju.

Sejauh mana Soeharto dan para kroninya bakal diproses? Tidak jelas. Tapi bila sempat kita mendengar banyak anggota DPR mendukung dibebaskannya Soeharto, jangan heran. [Pembaruan/Berthus Mandey]
Last modified: 23/5/06
posted by Indonesia Berjuang @ 4:54 PM 0 comments

-------------------------------------------------------------------------------------

SATURDAY, MAY 20, 2006
Harsono Sutedjo: JEJAK HITAM SOEHARTO (1-9)
JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, 19:18:18

(1) Senyum Suharto: Yang Buram dari Manusia Langka
Penulis : Harsono Sutedjo

SUMBER informasi tentang Jenderal Suharto tentulah cukup melimpah, baik sumber “klasik” seperti karya OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, Prof Dr Donald W Wilson, The Long Journey From Turmoil To Self-Sufficiency, tentu saja juga otobiografinya yang dituliskan oleh Brigjen G Dwipayana dan Ramadhan KH dan masih banyak lagi, tentu termasuk buku yang dicetak luks, Jejak Langkah Pak Harto. Belakangan terdapat cukup banyak sumber “posmo” seperti Soeharto, Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat, berisi kajian kepribadian dan tingkah laku politik, dan masih banyak lagi seputar Suharto dalam hubungannya dengan pembahasan rezim Orba dengan segala macam aspek dan tetek bengeknya (lihat Daftar Pustaka). Dan yang mutakhir adalah karya akademisi Australia Robert E Elson, Suharto, A Political Biography (Oktober 2001) yang diluncurkan di Jakarta pada 21 Januari 2002 di CSIS.

Hal ini amat berbeda bila kita hendak mencari informasi tentang DN Aidit, Syam Kamaruzaman, Letkol Untung dan yang lain. Apalagi bahan-bahan tentang mereka ini telah diringkus oleh penguasa Orba, selama 32 tahun bagi mereka yang mencoba-coba hendak menyentuhnya serta merta terkena palu subversi. Tentulah daya tarik Suharto jauh lebih hebat, juga setelah tumbang, dengan bahan bertebaran di seluruh media massa selama 32 tahun kekuasaan dan sesudahnya.

Hal itu tidak berarti bahwa segala sesuatu tentang Jenderal Suharto lalu menjadi terang benderang. Masih sederet masalah yang buram, atau barangkali sebagian akan tetap buram di sepanjang sejarah sampai ia meningggalkan kita semua. Mungkin menarik untuk dianalisis dari segi ilmu psikologi seperti yang dicontohkan oleh Laboratorium Psikologi Sosial Universitas Indonesia terhadap Suharto berupa analisis psikobiografi dan analisis kualitatif terhadap pidato-pidato nonteksnya (Bagus Takwin cs 2001:8).

Mungkin saja Suharto menikmati timbulnya keburaman sejarah seputar dirinya seperti soal Surat Perintah 11 Maret. Sedang keburaman tentang soal Serangan Umum 1 Maret 1949, belakangan dengan telak telah dibuktikan bahwa dengan sengaja telah disebarkan oleh Suharto. Pembengkokan dan pemalsuan sejarah yang dilakukannya sekedar untuk memberikan tambahan legitimasi terhadap dirinya.

Tidak berlebihan kalau sosok Suharto disebut sebagai manusia langka. Selanjutnya muncul berbagai macam spekulasi akan latar belakang keluarga, budaya, pendidikan, serta strategi dan taktiknya untuk mendapatkan kekuasaan (Bagus Takwin cs 2001:11). Mungkin sekali hal ini berhubungan dengan berbagai keburaman yang sengaja atau tidak sengaja ditebar sekitar dirinya sebagaimana riwayat Ken Arok pun penuh misteri, yang melalui pundak kambing hitam Kebo Ijo telah melakukan kudeta terhadap raja Jayakatwang dari Tumapel pada abad ke 13, bahkan sekaligus mempersunting permaisuri cantik jelita Ken Dedes.

Buku asli OG Roeder berjudul The Smiling General, President Soeharto of Indonesia (Gunung Agung, 1969). Seperti kita ketahui di depan publik Suharto memang boleh dibilang selalu tersenyum. Dalam kata pendahuluan ditulis, “Dengan senyum khas menyelubungi segala emosi yang sanggup membikin para diplomat kehilangan akal...” (Roeder, 1977:xiii).

Dalam buku lain yang ditulisnya, Indonesia, A Personal Introduction (1987), Roeder mengartikan senyum orang Indonesia dapat juga “be ironical, cunning and tricky” (“berarti kebalikannya, licik dan penuh tipu daya”), kita tidak tahu yang mana mungkin hendak diterapkan oleh Roeder untuk senyum Suharto.

Suharto memulai karier militernya sebagai kopral KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) alias tentara penjajah Belanda pada 1940-an di Batalion XIII di Rampal, Malang. Karena prestasinya ia segera naik pangkat menjadi sersan. “Kariernya menjadi buah pembicaraan kawan-kawan sesama tentara, oleh karena umumnya orang-orang dari Jawa mengalami diskriminasi dalam KNIL jika dibandingkan dengan orang Maluku dan Sulawesi Utara yang dianggap ‘lebih setia’…” (Roeder 1977:171).

Perjalanan karier yang cemerlang ini di samping karena ketekunan Kopral KNIL Suharto tentunya juga kesetiaannya menjadi pertimbangan penting. Pada saat yang sama Bung Karno dan banyak pemimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda sedang mengalami pembuangan; bahkan seorang jurnalis perintis, pemimpin Sarekat Islam sekaligus sastrawan komunis Mas Marco telah beberapa tahun meninggal di pembuangan Boven Digul*. (Bersambung)

*Mas Marco [Kartodikromo] (1890-1935), pernah menjabat Sekretaris Sarekat Islam Sala, pendiri Inlandsche Journalisten Bond 1914. Karena artikel-artikelnya ia dijebloskan ke penjara pada 1917-1919. Ia masuk PKI bersama Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin dsb. Dibuang ke Boven Digul pada 1927 dan meninggal di sana pada 1935. Salah satu novelnya Student Hijo (1918) telah diterbitkan kembali pada tahun 2000 dalam dua versi masing-masing oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya dari Yogya.



JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, 19:55:23
(2) Suharto dan Tujuh Jenderal Korban G30S
Penulis : Harsono Sutedjo

PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan ketujuh jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S. Menurut Letkol Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen Panjaitan.

Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Suharto tersebut akhirnya dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18).

Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung. Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Suharto benar-benar tidak “sebodoh” yang diperkirakan Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno.

Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto

Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya. Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan alumni Seskoad.

Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245).

Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat besar perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka Seskoad menjadi pusat pemikiran politik serta menghadapi perkembangan PKI (Hidayat Mukmin 1991:125). Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia, orang penting dalam Rand Corporation, kelompok pemikir (think tank) CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai negara dalam negara, membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai perjanjian kerjasama dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI.

Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran Suharto dalam civic mission menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi 1998:20-25).

Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu doktrin strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses ideologis mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan kekuasaan. Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang penting sebagai penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut yang mewarnai pernyataan Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker bahwa AD harus memainkan peran kepeloporan di semua bidang (Scott 1999:82).

Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad pada hari tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan Supersemar oleh MPRS berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup luas. Hal itu merupakan penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya dan AD khususnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan AD untuk memiliki peran politik mandiri disusun kembali oleh Jenderal Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan lebih lanjut seperti penekanan Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott 1999:82-83). Dengan belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan restu Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for Strategic and International Studies) sebagai think tank Orde Baru. (Bersambung)

* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU Amerika (USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang dilakukannya di samping masalah-masalah militer juga meliputi masalah politik, sosial, ekonomi, budaya, hubungan internasional, kekuatan-kekuatan lokal-regional-global. Kaki mereka berpijak pada pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan perusahaan-perusahaan industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan hubungan informal termasuk dengan Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan Silalahi ‘Think Tank’ dalam CSIS Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1985:334-341).



JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Kamis, 18 Mei 2006, 17:42:25
(3) Suharto dan Feodalisme Baru
Penulis : Harsono Sutedjo

SEMENTARA orang menganggap Suharto termasuk tokoh langka, ia berkuasa selama 32 tahun terus-menerus tanpa istirahat sejenak pun. Sepanjang kekuasaannya ia terus-menerus mematerikan sosok dirinya agar menjadi ciri tak terpisahkan dari bangsa ini. Ia biasa berbicara dengan menggunakan akhiran ‘ken’ dan ‘aken’ yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar alias bahasa baku, dan ini memang digunakan oleh banyak penutur bahasa Jawa ketika berbahasa Indonesia, terutama dalam jaman baheula. Di samping itu ia tak putus-putusnya menggunakan gaya bahasa khas dirinya yakni ‘daripada’ dan ‘semangkin’ yang sudah begitu dikenal oleh seluruh bangsa dan yang sering membuat kesal pemerhati bahasa Indonesia. Dan pada jamannya gaya itu, lengkap dengan ‘ken’ dan ‘aken’, beramai-ramai diteladani oleh para pembesar Orde Baru, sejak yang berasal dari suku Batak sampai Papua dan suku lain, tak usah dibilang lagi yang berasal dari suku Jawa. Ketika berkuasa Suharto amat menyukai segala macam upacara seremonial yang biasanya menghabiskan waktu dan biaya serta melibatkan banyak tenaga. Upacara-upacara semacam itu tentu saja beramai-ramai diteladani juga oleh para pengikutnya yang takut ketinggalan kereta. Pada ujungnya upacara semacam itu melibatkan para pengusaha dan rekanan dengan punglinya. Hal ini selalu diacungi jempol oleh Suharto sebagai memelihara dan melestarikan budaya bangsa, sementara apa yang dinamai pembangunan telah merusak budaya suku-suku Papua atau Dayak misalnya, sementara rezim Orba sedang membangun dan memelihara feodalisme baru. Seperti kita ketahui Suharto amat menyukai simbol-simbol budaya Jawa. Ketika membicarakan Bapak Bangsa Sukarno lama setelah wafatnya, tak jemu-jemunya ia mengucap mikul dhuwur mendhem jero, seolah ia benar-benar orang yang menghormati Bung Karno, menghormati jasa-jasanya, tidak ingin dan tidak suka mengungkit-ungkit kesalahan dan aibnya, seolah tak ingin sedikit pun melukai hati para kerabat dan pengikut setia Bung Karno. Tetapi apa sebenarnya yang telah diperbuatnya terhadap Bung Karno sebagai Presiden maupun sebagai pribadi setelah kekuasaannya ia jarah? Terutama pada tahun-tahun akhir hayatnya, Bapak Bangsa itu sungguh-sungguh diperlakukan dengan tidak adil dan sewenang-wenang oleh rezim Suharto dan Suharto pribadi. Mungkin ada orang yang mengatakan berlebihan kalau penulis menyimpulkan bahwa Suharto merupakan tipe orang yang munafik, bertolak belakangnya antara kata dan perbuatan. Coba bayangkan Suharto dengan senyum tipis cerah memberikan perintah kepada seorang komandan tempur: “Bereskan!” Sang komandan bisa berdegup jantungnya karena itu artinya tak lain daripada ‘bunuh’. Kata-kata mikul dhuwur mendhem jero itu ia ulangi berkali-kali pada masa akhir kekuasaannya. Agaknya ia memberikan sinyal atau menuntut diperlakukan sebaik-baiknya ketika tak lagi menjadi presiden nanti karena jasa-jasanya telah memberikan corak warna luar biasa pada negara dan bangsa ini, lengkap dengan juara dunia korupsinya. Pendeknya jangan diungkit-ungkit aib korupsi yang memalukan bangsa ini, sedang jutaan rakyat menderita berkepanjangan antara lain karena ulah para koruptor itu. Ungkapan Jawa itu pun diartikan Suharto sebagai menjaga rahasia keluarga, kalau perlu dengan pengorbanan jiwa dan raga. Dalam rangka menjaga nama baik keluarga inilah diduga orang sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku politiknya, terutama dalam menutupi dan membela perilaku buruk [dan jahat, hs] bisnis anak-anaknya (Bagus Takwin cs 2001:25). Ada ungkapan-ungkapan Jawa lain yang tidak begitu populer. Suharto pernah mengucapkan tekad yang berbunyi apa mukti apa mati, tekad itu diperkuat dengan tiji tibeh (mati siji mati kabeh), mati untuk mukti bersama kroninya, sesuatu yang tidak dikenal dalam ajaran Jawa. Suharto juga dikenal sebagai “penganut kejawen”, antara lain melaksanakan apa yang disebut sebagai laku prihatin, yang konon dipraktekkan oleh Suharto misalnya dengan kungkum di sungai pada tengah malam gelap gulita sesuai dengan petunjuk sang “penasehat spiritual” alias pak dukun sebagai yang sering didesas-desuskan. Masih dalam kerangka petunjuk ini terdapat catatan seorang mantan tapol di Nusakambangan yang mungkin belum pernah diceritakan orang. Menjelang pemilu tahun 1971, dengan helikopter datang tamu istimewa ke Nusakambangan, Brigjen Sujono Humardani, pembantu [dukun] penting Presiden Suharto. Ia tidak mengenakan seragam jenderalnya, tetapi memakai pakaian adat Jawa, juga semua pengiringnya. Maka sejumlah [budak bernama] tapol dikerahkan untuk memikul perahu kayu ke pantai selatan Nusakambangan dengan menembus hutan bagi rombongan sang jenderal untuk mengangkutnya menuju sebuah pulau kecil tak jauh dari pantai. Konon di pulau itu tumbuh kembang Wijayakusuma yang sudah begitu tersohor dalam dongeng di kalangan suku Jawa. Jenderal Humardani bertapa seorang diri di pulau tersebut, menunggu merekahnya kembang Wijayakusuma. Konon hal itu atas permintaan Suharto, atau barangkali usulan Humardani yang disetujui Suharto. Tugas pun diselesaikan dengan sukses karena bunga Wijayakusuma kembang merekah ketika Jenderal Humardani menyepi di situ, hal itu pertanda pemilu akan dimenangkan oleh Golkar. Demikian catatan yang sempat dibuat seorang tapol (Ir Djoko Sri Muljono, naskah belum terbit, 1999). Tentu masih segar dalam ingatan kita semua akan kata-kata Suharto yang juga diucapkan beberapa kali sebelum benar-benar turun, atau terpaksa turun oleh tekanan rakyat dengan mahasiswa sebagai pelopornya, lengser keprabon, atau lengkapnya lengser keprabon madeg pandhito ratu. Memang selama berkuasa ia bertindak sebagai Raja RI. Ketika Ramadhan KH mulai menyusun Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, maka Brigjen G Dwipayana begitu hormatnya dengan bahasa Jawa krama halus sambil mengangkat ibu jarinya dengan kata-kata meniko, meniko (Ramadhan dalam Chambert-Loir1999:585).* Dalam salah satu kesempatan Ramadhan, si penulis mempertanyakan kalimat Suharto berikut kepada Dwipayana, “Mengenai kesalahan, saya berpikir, ‘Siapa yang mengukur salah itu? Siapa yang menyalahkan?’ Sekarang, misalnya, pekerjaan saya sudah saya laksanakan, berjalan baik dan berhasil, menurut ukuran saya. Tetapi kalau ada orang lain yang melihat hasil pekerjaan saya itu dari segi yang lain, lalu menilai salah atau gagal, maka saya akan berkata, ‘Itu urusan mereka’. Saya percaya, bahwa apa yang saya kerjakan, setelah saya memohon petunjuk dan bimbingan-Nya, itu adalah hasil bimbingan Tuhan” (Soeharto 1989:563). Maka Dwipayana menjawab, “Begitulah Pak Harto. Dan pemimpin Jawa tidak boleh kelihatan cacatnya di depan rakyat” (Ramadhan/Chambert-Loir 1999:599). Demikianlah pada saat Sang Raja RI tanpa cela mengundurkan diri baik-baik dengan kemauan baiknya untuk selanjutnya mengabdikan dirinya kepada Yang Maha Agung sebagaimana dongeng raja-raja jaman dahulu kala, tentulah akan diperlakukan baik-baik juga. Bagaimana mungkin seorang yang mempunyai kemauan begitu baik, mengundurkan diri dan melepaskan diri dari segala kekuasaan, guna mengabdi kepada sesuatu yang lebih tinggi, akan diseret sebagai koruptor penjahat kriminal? Bagaimana mungkin seorang semacam itu hendak diseret ke pengadilan lain karena kejahatan terhadap kemanusiaan? Bahkan Prof Richard Tanter dari Kyoto Seika University menyarankan adanya pengadilan internasional bagi Jenderal Suharto dan sejumlah jenderal lain karena kejahatan terhadap kemanusiaan, paling tidak dua kejahatan besar yakni pembunuhan besar-besaran pada 1965/1966 serta pembunuhan ratusan ribu warga Timor Lorosae ketika dicaplok oleh Indonesia Orde Baru (Tanter Inside Indonesia Jul-Sept 1998:1). Ada kejahatan “lebih kecil” yang terang-terangan diakui Presiden Suharto pada 1988 dalam otobiografinya, yakni apa yang disebut ‘penembak misterius’ alias ‘petrus’ yang telah membunuh ribuan mereka yang disebut terlibat kejahatan kriminal keterlaluan. Suharto mengakui bahwa itu perintahnya. “Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan…” (Soeharto 1989:389-390). Dengan yang “kecil” ini saja Suharto sudah dapat diseret ke meja hijau. Seperti kita ketahui para ‘petrus’ itu setelah membunuh korbannya secara gelap, sering memasukkan mayat itu ke dalam karung dan meletakkan di pinggir jalan, di perempatan, dilempar ke kali dsb yang mudah dilihat khalayak ramai. Sebelumnya ketika PBB pun mempersoalkan kejadian itu, maka bahasa diplomatik pun menjelaskan sebagai “itu terjadi karena tembak-menembak antargeng” (Ramadhan/Chambert-Loir 1999:590). (Bersambung) 1 Ketika Ramadhan menjawab mau pikir-pikir untuk menuliskan riwayat Suharto, maka Birgjen G Dwipayana menyatakan, “…saya tidak mau dengar Pak Ramadhan menolak!” Sang penulis pun seperti terpaksa mengingat isterinya sebagai pegawai negeri, “…Mau coba-coba melawan keinginan Presiden Soeharto waktu itu?” Selanjutnya “…di tengah suasana yang sudah mencekam terbentuk menakutkan kalau kita melawannya”. Pada penutup penuturannya Ramadhan menyatakan, “Waktu pekerjaan saya rampung sudah dan bukunya terbit, bukan main senangnya saya…”.

JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 11:52:53
(4) Suharto, Semar dan Supersemar
Penulis : Harsono Sutedjo

Seperti kita ketahui dalam pewayangan Jawa, Semar bukan sekedar ayah spiritual anak-anaknya yakni Gareng, Petruk dan Bagong, ia juga pengasuh para ksatria. Di samping itu Ki Semar juga merupakan aktualisasi atau penjelmaan Dewa dari kahyangan untuk ikut melempangkan kehidupan dunia manusia yang carut-marut. Ki Semar dan kerabatnya selalu membuat gara-gara dalam artian positif dalam adegan goro-goro ketika para penonton wayang kulit semalam suntuk mulai mengantuk maka mereka perlu dibangunkan dengan mengocok perut, berisi celetukan dan sekaligus kritik santai dan kocak tentang kehidupan sehari-hari. Ki Semar selalu memberikan pendapat dan nasehatnya yang bijak bestari bukan saja kepada kerabatnya, utamanya juga kepada para ksatria yang resminya menjadi majikan tempat mereka mengabdi. Dalam banyak kesempatan pada puncak kekuasaannya, Suharto mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Semar, penjelmaan sang dewata. Bagi Suharto bukanlah kebetulan kalau ia ditakdirkan untuk menjadi pengemban apa yang disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), Semar yang super, lebih dari sekedar Ki Semar. Jean-Luc Maurer menyebut akronim ini sebagai “mahabintang permainan kata-kata akronim” sepanjang Orba. Seperti ditulis Niels Mulder, “…tak bisa disangkal bahwa banjir formula bak mantra (seperti Kebangkitan Nasional Kedua, tinggal landas, manusia Pancasila, Pesta Demokrasi, poleksosbudhankam….), semakin menggila pada zaman Orde Baru. Kemunculannya saja sudah diawali dengan kata bertuah Supersemar, yang mendatangkan berkah Tuhan Jawa, nenek moyang ras Jawa. Kata Super itu bahkan menunjuk manifestasi ketuhanannya yang sempurna…” (Mulder 2001:99). Di sepanjang sejarah modern di Jawa ketika krisis memuncak dan terus-menerus mendera kehidupan rakyat luas sebagai tak tertanggungkan, maka harapan akan datangnya Ratu Adil menjadi kepercayaan yang menghibur rakyat banyak dan membuatnya bertahan hidup. “Belakangan harapan mesianistis seperti itu tampaknya dilekatkan pada Semar, roh penunggu Jawa jang… mereprentasikan rakyat jelata berikut kesengsaraan mereka” (Mulder 2001:24). Dengan raibnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sampai saat ini, sedang yang ada dua macam fotokopi, maka tak lain seluruh tindakan Jenderal Suharto berdasarkan surat perintah palsu atau yang dipalsukan. Dan itulah yang selalu digembar-gemborkan Suharto sebagai tindakan konstitusional yang diamini lembaga tertinggi negara MPRS dan para pakar pendukungnya. Suharto: ‘Mr Alibi’ Dengan agak kocak tetapi dengan landasan sejarah yang amat menarik untuk diteliti lebih cermat, sejarawan Dr Asvi Warman Adam memberikan julukan kepada Jenderal Besar Suharto sebagai ‘Mr Alibi’. Yang dimaksudkan sejarawan ini, Suharto ahli dalam mencari alibi, orang patut mencurigainya. Ketika terjadi G30S ia berada di rumahnya di Jl Haji Agus Salim setelah pulang dari RSPAD Gatot Subroto dan segera tidur. Waktu Supersemar ia tidak menghadiri sidang kabinet dan juga tidak menghadap Presiden Sukarno dengan alasan sakit, padahal malam harinya memimpin rapat di Kostrad. Ketika terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998 ia ada di Kairo. Julukan Mr Alibi ternyata tepat bila kita runut riwayat Suharto ke belakang. Sejak dini sebagai Republik muda, negeri ini telah diliputi gonjang ganjing politik di samping menghadapi ancaman kembalinya penjajah Belanda. Salah satu peristiwa menggemparkan yang tersohor selama revolusi fisik yakni penculikan Perdana Menteri Syahrir pada 28 Juni 1946 dan percobaan kudeta yang terkenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Letkol Suharto sebagai Komandan Resimen yang membawahi Yogyakarta sebagai ibukota Republik ketika itu berada juga di balik komplotan tersebut. Pada 2 Juli 1946 dua batalion tentara komplotan berkumpul di markas Letkol Suharto, lalu dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Satu batalion di bawah Letkol Suharto, yang lain di bawah Mayor Abdul Kadir Yusuf. Setelah itu mereka menyerbu penjara Wirogunan untuk membebaskan para penggerak penculikan Syahrir dan dibawa ke markas Suharto. Keesokan harinya percobaan kudeta 3 Juli 1946 gagal. Pada saat yang tepat Suharto berbalik arah, ia menangkapi anggota komplotan, yang sebagian sudah ada di markasnya. Ia berdalih keberadaannya dalam komplotan untuk menggagalkan mereka. Seperti dicatat dalam sejarah komplotan itu dikendalikan oleh kelompok Tan Malaka bersama Mayjen Sudarsono, Panglima Divisi III Yogyakarta, atasan langsung Letkol Suharto. Menurut pengakuan Suharto kepada penulis biografinya, setelah ia dipanggil oleh Presiden Sukarno yang ketika itu mengambil alih pemerintahan untuk sementara di tangannya dengan perintah menangkap Mayjen Sudarsono, ia “mengundang” atasannya itu ke markasnya dan melakukan “musyawarah”. Selanjutnya pengakuan Suharto menyatakan ia akan melindungi pemerintah terhadap komplotan jahat dari perwira-perwira yang memberontak. Kemudian Suharto juga mencatat bahwa karena atasannya Mayjen Sudarsono hendak menipu dirinya karena ia dianggap tidak mengerti persoalannya, maka ia pun kemudian ganti menipunya dengan melaporkan ke Istana Presiden tentang rencana atasannya tersebut. Keesokan harinya pada 3 Juli ketika Mayjen Sudarsono cs muncul di istana, mereka ditangkap pengawal (Soeharto 1989:38). Dengan berlalunya berbagai kemelut maka Suharto muda mencatat, “Saya sebagai perwira muda saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik. Saya membaca berbagai peristiwa politik itu, dan dengan diam-diam saya menganalisanya” (Soeharto 1989:50). Benar, Suharto berulang kali berhasil berkelit dan melewati berbagai kemelut dan krisis, pada puncaknya dengan sukses ia memanjat pundak mereka yang dikorbankannya pada 1 Oktober 1965. Pada akhir 1956 ketika rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam Diponegoro bocor, terjadi rapat gelap di Kopeng dihadiri sejumlah perwira yang dikoordinir oleh Letkol Suharto melalui anak buahnya Mayor Yoga Sugomo sebagai Asisten I Divisi di Semarang, Suharto sendiri tidak hadir. Dari puluhan perwira yang hadir hanya Kolonel dr Suhardi yang menandatangani setuju pencalonan Letkol Suharto dan menolak pencalonan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam. Suharto yang ingin merebut kedudukan ini berpacu dengan waktu karena pencalonan Bambang Supeno tinggal menunggu tanda tangan Presiden. Akhirnya komplotan tersebut berhasil. Seandainya tidak, maka rapat gelap itu akan diusut, dan yang paling terbukti adalah Kolonel dr Suhardi, sedang Suharto tidak terbukti tersangkut karena Suharto menjadi ‘Mr Alibi’. Masalah tersebut dicatat juga oleh Ali Murtopo yang ketika itu Kapten dan Komandan Raiders yang diminta Yoga Sugomo untuk melakukan operasi intelijen soal pencalonan Suharto (Yoga Sugomo 1990:20-30). Selanjutnya Yoga Sugomo mencatat bahwa rapat di Kopeng itu dihadiri oleh Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno, Surono, Pranoto, Suwito Haryoko (Asisten II), Suwarno (Asisten IV), dan Munadi (AsistenV). Ia dan Mayor Suryo Sumpeno berangkat ke Jakarta menemui Kolonel Zulkifli Lubis di MBAD untuk menggagalkan pencalonan Bambang Supeno dan menggantinya dengan Suharto. Usaha mereka berhasil (Yoga Sugomo 1990:80-82). Inilah trio pertama Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugomo. Trio ini pula kelak melakukan usaha-usaha menikam politik konfrontasi Presiden Sukarno dengan penyelundupan ke Malaysia dan Singapura serta kontak-kontak politik gelap dengan pihak Malaysia melibatkan tenaga militer, politisi sipil anti komunis, pengusaha. Kontak-kontak trio ini di lapangan melibatkan Ali Murtopo, Benny Murdani, AR Ramly, selanjutnya di Malaysia dengan Des Alwi, Prof Sumitro (Yoga Sugomo 1990:139; Hanafi 1998:206). Trio ini pula kemudian menangani peristiwa G30S. Pagi-pagi pada 1 Oktober 1965 sebelum orang lain mengetahui keadaan yang sebenarnya, Kolonel Yoga menyatakan, “…Ini mesti perbuatan PKI…”. Selanjutnya, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Selanjutnya Letkol Ali Murtopo mencatat, “…berdasar penjelasan Pak Yoga kepada Pak Harto, maka kita bertiga kumpul lagi di ruang Pak Harto. Disini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya” (Yoga Sugomo 1990:37,148). Yang dimaksud Ali Murtopo dengan kata ‘lagi’ dalam “Di sini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya”, bahwa komplotan semacam itu telah pernah mereka lakukan sebelumnya ketika merancang operasi intelijen perebutan jabatan Panglima Diponegoro untuk Suharto seperti tersebut di atas. Ketika Jenderal Suharto sudah menjadi Pejabat Presiden, pada 7 Juli 1967 di Yogya para Panglima AD se Jawa dan Panglima Kostrad serta RPKAD mengeluarkan pernyataan keras agar diambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang hendak mengembalikan kekuasaan pemimpin Orla Dr Ir Sukarno. Dalam ‘Sumpah Yogya’ ini tidak terdapat tandatangan Jenderal Suharto (Roeder 1977:249). Rupanya ini ‘Mr Alibi’ yang lain. Demikianlah Suharto dengan amat cerdiknya bagaikan dongeng Sang Kancil selalu berada di tempat yang aman, berkelit dari berbagai macam gejolak dan memetik buah untuk keuntungannya sendiri, muncul dengan senyum tipis penuh misteri sebagai pemenang. (Bersambung)


JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 11:59:51
(5) Suharto Penuh Dusta
Penulis : Harsono Sutedjo

DALAM analisis psikobiografi dan analisis kualitatif berdasar teori kepribadian dan tingkah laku politik oleh Laboratorium Psikologi UI disebutkan bahwa ungkapan verbal Suharto tampil sebagai upaya untuk memberikan penjelasan sekaligus memberikan dalih (Bagus Takwin cs 2001:44) alias alasan yang dicari-cari untuk membenarkan tindakan itu. Di samping itu terdapat sejumlah indikasi kebohongan dalam penjelasannya. Ketika menjelaskan pembelian kapal perang bekas dari Jerman, Suharto menyatakan tidak setahu Menristek Habibie, karena yang bersangkutan ketika itu tidak dapat dihubungi, ternyata ia pergi ke Jerman (Bagus Takwin cs 2001:45-46). Terdapat penjelasan terhadap serentetan kejadian yang nampak jelas Suharto cenderung berbohong, atau kemudian terbukti jelas-jelas berbohong. Riwayat Suharto sendiri di sana sini terdapat beberapa hal yang buram, tentang ayahnya, tentang saudara-saudaranya, hingga timbul berbagai spekulasi. Konon ia mempunyai seorang saudara tiri bernama Tek Kiong alias Sutikno, seorang pengusaha yang siap menggantikannya masuk tahanan dalam hubungannya dengan kejahatan ekonomi yang dilakukan Kolonel Suharto sebagai Panglima Diponegoro (D&R, 3 Oktober 1998:18). Suharto membentuk geng ekonomi bersama Lim Siu Liong, Bob Hasan, anak angkat Jenderal Gatot Subroto dan Tek Kiong, sang saudara tiri. Di masa konfrontasi terhadap Malaysia, Indonesia melakukan embargo terhadap Malaysia dan Singapura. Sementara itu AL dan AU melakukan penetrasi ke kedua tempat tersebut, kebanyakan mengalami kegagalan. Dalam suatu rapat ketika Ali Sadikin sebagai Menteri Perhubungan Laut mempertanyakan adanya penyelundupan ke Malaysia dan Singapura, Suharto menjelaskan bahwa sudah lama ia melakukan penetrasi pasukannya ke Malaysia. Martadinata sebagai Menteri Panglima AL membantah kebenaran keterangan Suharto, dengan kata lain hal itu bohong belaka. Yang terjadi sebenarnya adalah penyelundupan barang dagangan atas perintah Suharto (Omar Dani 2001:49-51). Perbuatan Suharto ini tentu saja merupakan pelanggaran berat, karena berarti memberikan bantuan kepada musuh. Membantu musuh adalah suatu pengkhianatan. Tentang Jenderal Nasution, Suharto mencatat pada 1 Oktober 1965, “Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam muncullah Jenderal Nasution di Kostrad, atas permintaan saya, agar lebih aman bagi beliau daripada di tempat persembunyiannya yang tidak terjaga” (Soeharto 1989:126). Suharto sama sekali tidak mencatat adanya pesan Nasution dalam kapasitasnya sebagai Menko Hankam/Kasab yang dikirimkan jam 09.00 pagi hari itu, kemudian disusul instruksi tertulis kepadanya dalam menghadapi situasi. Keduanya dikirimkan dari persembunyian Nasution (Nasution 6 1988:229-230). Dalam hal ini pembaca buku otobiografi Suharto mendapatkan kesan bahwa seolah-olah Jenderal Nasution tidak mempunyai peran apa pun, sekedar sebagai tokoh luluk bawang yang meminta perlindungan di markas Suharto, meskipun setelah menunjukkan isi hatinya tentang musibah yang menimpa sang senior, Suharto menulis, “Tetapi kami orang-orang lapangan mengerti apa yang disebut tugas” (Soeharto 1989:126). Terbayang pada pembaca, Jenderal senior yang kakinya sedang cedera itu seolah tenggelam dalam kesedihan tanpa daya karena menunggu nasib anaknya yang terluka parah karena tembakan yang ditujukan pada dirinya. Ketika markas Kostrad membentuk Posko-2 di Senayan dan Posko-3 di Cipete, tak sepatah pun Suharto mencatat inisiatif yang dilakukan jenderal senior itu. Juga tidak pembicaraan mereka berdua di ruang makan di sebuah rumah bertingkat tempat pemondokan para olahragawan di Senayan pagi hari 2 Oktober 1965. Nasution membuat rencana secara maksimal mempertahankan Jenderal Suharto pada posisinya, sekaligus Nasution akan melanjutkan tekanannya kepada Jenderal Pranoto (Nasution 6 1988:255-256). Daftar dusta Suharto cukup panjang. Ia berdusta dan memalsu tentang SU 1 Maret 1949, ia berdusta ketika melakukan penyelundupan di Jawa Tengah disebutnya sebagai menolong rakyat yang kelaparan. Ia berdusta dan menusuk dalam lipatan ketika melakukan penyelundupan ke Malaysia selama konfrontasi. Ia berdusta terhadap pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD Gatot Subroto pada 30 September 1965, dusta ini amat kritis sifatnya karena menunjukkan keterlibatan Mayjen Suharto dengan G30S yang tak terbantahkan. Begitu tega ia mengorbankan sejumlah jenderal teman-temannya sendiri. Dusta ini masih dilengkapi dengan dusta pidatonya pada 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya. Sepanjang kekuasaannya selama 32 tahun rezim Orba Suharto antara lain dilandasi dengan dusta konsepsional seperti anggaran berimbang [tentu saja ini melibatkan para teknokrat profesor doktor jawara ekonomi yang secara sadar ikut membodohi rakyat yang untung tidak seluruhnya bodoh], dan setumpuk dusta yang tak habis-habisnya untuk ditulis. Betapa celakanya, ketika ia sudah tumbang, Jenderal Besar Suharto masih berdusta di hadapan 200 juta rakyat dengan mengatakan tidak punya simpanan sesen pun! Apa ora hebat dustanya! Ketika G30S telah lewat dan Jenderal Suharto menjadi Presiden RI, ia suka menyampaikan kisah kepada para diplomat bahwa sebenarnya nama Mayjen Suharto juga masuk daftar hitam G30S yang hendak dibunuh. Dengan geli ia menceritakan akan kebodohan para pelaku G30S yang kebingungan akan tempat Suharto berada, dan itu menyebabkan ia lolos dari maut (Crouch 1999:148). Rupanya ia menganggap para diplomat itu pun orang-orang yang mudah dibodohinya dengan kisah menggelikan yang tidak lucu itu. Hal ini bertentangan dengan cerita Suharto sendiri kepada Roeder. “Kemudian ketika ditanya, Jenderal Suharto menyatakan acuh tak acuh bahwa namanya tidak tercantum dalam daftar nama-nama yang akan diculik, ‘Karena mereka menganggap saya sebagai seorang perwira bawahan yang dapat diurus kemudian’” (Roeder 1977:31). Prof Dr Donald Wilson juga menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh soal sepele saja yakni karena perangai Suharto yang pendiam dan low profile, maka pemberontak luput perhatiannya,“…simply overlooked because of his quiet and low profile to be on the assassins’ list,” (Wilson 1989:1). Paling tidak terdapat tiga puncak yang menjulang dari dusta Suharto yakni soal Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai landasan legitimasi historis, tragedi G30S dengan perannya sebagai penyelamat negara dan bangsa, serta Supersemar sebagai landasan konstitusional yang begitu diagungkan. Tentu saja puncak tertinggi gunung es itu adalah tragedi G30S beserta pembunuhan para jenderal dan pembantaian berdarah yang mengikutinya. Sekedar untuk mendapatkan legitimasi lebih kokoh dari sejarah hidupnya, ia tidak malu-malu berbohong dan melakukan pemalsuan, seolah semuanya bakal langgeng karena semuanya berada dalam cengkeraman kekuasaannya. Padahal masih cukup banyak saksi hidup yang jujur yang akan memberikan kesaksian apa adanya tanpa terpengaruh cengkeraman kekuasaannya. Terlebih lagi terdapat dokumen yang menunjang seperti kasus klaim Suharto terhadap SU 1 Maret 1949. (Bersambung)


JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 12:09:58
(6) Suharto dan SU 1 Maret 1949
Penulis : Harsono Sutedjo

PERTAMA-TAMA perlu kita kutipkan versi Suharto tentang kejadian sejarah yang cukup menarik ini. Pertama versi yang ditulis oleh OG Roeder pada tahun 1976 antara lain berdasar wawancara intensif dengan Suharto. Si penulis mengaku bahwa selama itu ia berada dekat dengan Suharto pribadi (Roeder 1977:xi). “Beberapa kali Suharto sendiri menjalankan tugas rahasia masuk kota yang diduduki Belanda itu. Dengan berpakaian seperti seorang petani ia membawa buah-buahan ke dapur kraton Sultan... menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Diadakanlah perundingan-perundingan yang lama... Sri Sultan, yang disegani oleh rakyat maupun pemimpin, menjadi jantung dari perlawanan nasional terhadap penjajahan Belanda di Jawa Tengah. Dan Letnan Kolonel Suharto adalah komandan lapangan yang paling dipercaya…. Dalam salah satu perundingan rahasia... telah diambil suatu keputusan yang berani untuk mengadakan serangan umum terhadap Yogyakarta dan menduduki kota “sekalipun hanya untuk beberapa jam”. Tujuannya adalah, menunjukkan kepada dunia bahwa perlawanan Indonesia yang gigih tidaklah patah seperti yang pernah dinyatakan oleh Wakil Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa” (Roeder 1977:205-206). Serangkaian pertemuan tersebut diadakan sebelum 1 Maret 1949. Jadi menurut versi ini SU 1 Maret 1949 antara lain merupakan pelaksanaan hasil dari pembicaraan beberapa kali pertemuan antara Suharto dan Sri Sultan, “…dalam salah satu perundingan rahasia...telah diambil suatu keputusan yang berani untuk mengadakan serangan umum terhadap Yogyakarta dan menduduki kota itu…”. Selanjutnya Roeder melukiskan serangan itu berdasar kisah Suharto sbb: “Pada tanggal 1 Maret 1949, tepat pada jam 6.00 pagi, ketika sirene meraung-raung menandakan berakhirnya jam malam, pasukan gerilya memasuki kota. Suharto berada dalam pasukan yang akan memberikan pukulan, dengan senapan Owen yang berat di tangannya. Prajurit-prajurit menggunakan daun kelapa muda [janur kuning, hs] yang digantungkan di bahu sebagai tanda pengenal. Serangan itu berjalan lancar. Pusat kota dapat diduduki....” (Roeder 1977:207). Perlu ditambahkan bahwa Roeder menulis biografi Suharto atas restu sang jenderal. Kolonel Latief sedikit menyinggung tentang SU 1 Maret 1949 yang dikemukakannya di depan sidang Mahmilti pada tahun 1978 yang tidak pernah ditanggapi oleh Suharto. Selama kekuasaan Suharto pembelaan Latief tersebut dalam kenyataannya merupakan bacaan terlarang. Seperti kita ketahui pada tahun 1949 Kapten Latief adalah Komandan Kompi di bawah Suharto yang ikut melakukan serangan umum pada 1 Maret 1949. Ketika pasukan Latief mengundurkan diri keluar kota, ia melapor kepada Suharto tentang keadaan pasukannya, ketika itu Suharto sedang menikmati makan soto babat…(Latief 1999:95). Tidak disebut apakah Letkol Suharto memegang senjata Owen yang berat itu. Dalam versi lain yang tercantum dalam otobiografinya yang ditulis pada tahun 1989, 13 tahun setelah “versi Suharto/Roeder”, Suharto mengaku bahwa sejak pendudukan Yogya oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 ia telah mempunyai gagasan untuk melakukan serangan umum. “Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI. Bagaimana meyakinkan mereka, bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan” (Soeharto 1989:58). Pendeknya Suharto mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penggagas, pemikir, pengambil inisiatif dan pelaksana SU 1 Maret 1949, lengkap dengan strategi dan seluruh taktiknya. Rupanya Suharto perlu melandasi diri lebih kokoh dalam memberikan legitimasi sebagai seorang pemimpin cemerlang dan sama sekali patut untuk dikokohkan kembali sebagai Presiden RI lebih lanjut. “Persis pada waktu saya menyetel radio memantau siaran luar negeri bersama-sama dengan Purhadi, perwira PHB yang sekarang sudah tiada, terdengar siaran luar negeri mengenai perdebatan di PBB. Belanda mengatakan bahwa tindakan polisionilnya,... telah berhasil. Yogya telah mereka duduki, pemerintahan Belanda berjalan lancar, TNI sudah tidak ada, ekstrimis sudah di luar kota, katanya. Hati saya melawan mendengar siaran itu… Seketika itu saya berpikir, “Bahan apa yang akan digunakan Palar, Wakil RI di PBB untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu?” Maka muncul keputusan dalam kepala saya: Kita harus melakukan serangan pada siang hari , supaya bisa menunjukkan pada dunia kebohongan si Belanda itu” (Soeharto 1989:60). Banyak orang yang mengalami masa gerilya di Jawa Tengah pada tahun 1949 dan juga para pelaku meragukan bahwa pasukan Suharto memiliki radio di daerah pedalaman pada masa gerilya yang serba sulit itu. Ajaib bahwa apa yang dikatakan Suharto itu amat mirip dengan apa yang dikatakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam sambutan pembukaan monumen 1 Maret 1949 di depan Presiden Suharto pada 1973, 16 tahun sebelum klaim Suharto dan tidak dibantah olehnya. “Maka kira-kira tanggal 10 Februari [tepatnya 14 Februari] kita mengadakan perundingan, kami laporkan kepada Pak Harto mengenai suasana di kota ini dan beranggapan bahwa satu-satunya jalan adalah SO yaitu Serangan Oemoem. Kebetulan saya mendengar dari radio bahwa soal Indonesia akan dibicarakan di dalam United Nations pada kira-kira akhir Februari, maka saya usulkan agar dijadikan satu saja, untuk memberikan semangat kembali kepada penduduk di kota dan untuk menarik perhatian daripada United Nations. Mengenai teknis pelaksanaan saya serahkan kepada Pak Harto segala resiko adalah pada saya…” (Suwarno 2000:135). Hal yang sama ini kemudian juga terdapat dalam wawancara Sri Sultan yang termuat di Asiaweek pada tahun 1986, jadi 3 tahun sebelum klaim Suharto. Berbeda dengan versi Roeder/Suharto pertama di atas yang mengakui sejumlah pertemuan dengan Sri Sultan sebelum 1 Maret 1949, maka dalam versi otobiografinya ia mengatakan bahwa pertemuan dengan Sri Sultan terjadi baru pada pertengahan Mei 1949, jadi jauh sesudah SU 1 Maret. “Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949” (Soeharto 1989:66). Pada tahun 1960 Mayjen TB Simatupang, bekas Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI menerbitkan memoarnya, Laporan Dari Banaran. Memoar ini ditulis berdasar buku harian dan catatan-catatannya yang telah dibuatnya selama perang gerilya di Jawa Tengah dalam kapasitasnya sebagai seorang Kolonel dengan jabatan Wakil II KSAP, sedang KSAP dijabat oleh Jenderal Sudirman. Ketika itu Kolonel AH Nasution menjabat Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD), markasnya disebut Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Sedang Komando Sumatra di bawah Kolonel Hidayat. Kedua komando berada di bawah Panglima Besar Sudirman (Simatupang 1981:3). Catatan dan buku harian itu meliputi periode 19 Desember 1948 sampai dengan 27 Desember 1949. Di dalamnya terekam juga serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sbb: “Tanggal 1 Maret 1949,.... Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka sedang menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan “SO” atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan “SO” ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatra dan New Delhi, yang kemudian akan menyiarkan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sesnsasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek yang sangat baik bagi kita” (Simatupang 1981:69). Selanjutnya catatan Kolonel Simatupang merekam nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai memberikan pegangan yang kuat kepada semua orang, baik militer, pamongpraja, pemuda, pelajar dan orang desa, dengan sikap tegas membantu perjuangan serta menantang tawaran-tawaran Belanda (Simatupang 1981:69,74). Setelah hengkang dari Yogya, Kolonel Simatupang dalam kapasitasnya sebagai Wakil II KSAP melakukan perjalanan ke banyak basis gerilya di wilayah pedalaman Yogya, Surakarta dan Kedu dengan markasnya di Banaran, kira-kira 50 km barat laut Yogya. Ketika serangan 1 Maret terjadi, Kolonel Simatupang sedang berada di desa Wiladeg, kira-kira 65 km sebelah timur Yogya, bertemu dengan petugas penerangan yang bersiap-siap menyiarkan berita serangan umum. Selama perjalanannya ke tiga wilayah tersebut ia mencatat banyak nama pejabat sipil dan militer yang ditemuinya maupun yang telah melakukan tugas di tempat lain. Nama-nama itu misalnya kedua petugas penerangan tersebut di atas, kemudian juga Mayor Daeng dari Siliwangi, Letkol Sudarto, bekas mahasiswa teknik Bandung, Daan Yahya dari Siliwangi, Letkol Taswin seorang komandan brigade, Kemal seorang komandan batalion, Princen, Mokoginta komandan PM, Chairul Saleh, Letkol Sadikin, Letkol Kusno Utomo. Ketika bertemu Mayor Wiluyo, yang bersangkutan sedang ditugaskan oleh Kolonel Bambang Sugeng untuk menghubungi Letkol Yani di Kedu, Letkol Suharto di Yogya, dan Letkol Bachrun di Pekalongan, dan masih banyak para pembesar sipil dan militer lain sehubungan dengan tugasnya masing-masing (Simatupang 1981:27). Simatupang pun membuat berbagai analisis dalam catatannya tentang keadaan politik internasional sehubungan dengan situasi Indonesia, organisasi perang rakyat dsb. (Simatupang 1981:37-39) dan masih banyak analisis yang lain. (Bersambung)


JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 12:14:08
(7) Peran Sejarah Sri Sultan dan Panglima Besar Sudirman Dipreteli
Penulis : Harsono Sutedjo

BERDASARKAN catatan harian Kolonel Simatupang jelas bahwa rencana serangan umum 1 Maret 1949 merupakan suatu topik yang menjadi bahasan serius di kalangan pimpinan teras atas AD, antara lain antara Kolonel Simatupang sebagai Wakil KSAP II dengan Kolonel Bambang Sugeng sebagai Panglima Divisi III. Buku peninggalan almarhum Simatupang ini merupakan salah satu bahan sejarah yang tidak bisa dibohongi oleh seorang Jenderal Suharto sekalipun. Entah, barangkali Suharto tidak pernah membaca tulisan seniornya tersebut yang telah dibuat pada 1959 dan terbit pertama kalinya pada 1960, ketika Kolonel Suharto baru saja dipecat sebagai Panglima Diponegoro karena kasus penyelundupan, lalu masuk ke Seskoad di Bandung. Dalam hubungan dengan serangan umum ini nama Letkol Suharto sama sekali tidak terekam dalam catatan Wakil II KSAP Kolonel Simatupang. Mungkin sekali menurut Simatupang komandan serangan itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang ditugaskan, tidaklah terlalu penting. Ketika itu yang berada di wilayah tersebut adalah Letkol Suharto. Pastilah catatan dan tulisan Simatupang tersebut yang didasarkan pada buku hariannya sama sekali tidak terpengaruh oleh rezim Orba yang kemudian berdiri. Hal ini sedikit berbeda nuansanya dengan tulisan Jenderal Nasution yang baru disusunnya pada masa puncak rezim Orba. “…Sesuai dengan perkembangan diplomasi, dalam rangka tahap ke-2 perlawanan kita maka Letkol Suharto mengambil keputusan untuk menyerang kota Yogya tanggal 1 Maret, sehingga mata internasional, melalui KTN, dan lain-lain dapat menyaksikan. Terjadilah serangan umum 1 Maret. “enam jam di Yogya” – yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka taktis ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima Bambang Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang, dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat)” (Nasution 2A 1989:229-230). Jenderal Nasution pun mencatat bahwa serangan itu bagian dari gerakan Divisi III Jawa Tengah bagian barat yang meliputi Yogya, Semarang, Kedu, dan Banyumas di bawah Panglima Kolonel Bambang Sugeng. Kemudian seluruh divisi di Jawa melakukan hal yang sama. Buku Jenderal Nasution itu memuat lampiran laporan wawancara Sri Sultan dengan BBC pada 23 November 1985. Disebutkan bahwa selama pendudukan Belanda Sri Sultan terus-menerus mendengarkan siaran radio luar negeri termasuk tentang akan diadakannya perdebatan tentang Indonesia di PBB awal Maret 1949. Maka Sri Sultan melakukan kontak dengan Panglima Besar Sudirman tentang usulan serangan umum pada siang hari. Jenderal Sudirman menyetujui ide tersebut dan meminta Sri Sultan menghubungi komandan pasukan setempat, Letkol Suharto. Pertemuan dengan Letkol Suharto diadakan pada 14 Februari 1949 (Nasution 2A 1989:323). Selanjutnya dimuat juga wawancara Jenderal Suharto yang berisi klaimnya tentang kejadian sejarah yang sudah kita kenal itu yang juga termuat dalam otobiografi Suharto (Soeharto 1989:56-64). Rupanya Jenderal Nasution dengan sengaja tidak memberikan komentarnya untuk menghindari polemik dengan Jenderal Suharto yang sedang berada di puncak kekuasaannya. Pendeknya catatan-catatan sejarah serta kesaksian para pelaku membuktikan dengan telak bahwa Jenderal Suharto telah berdusta dengan sadar tentang klaimnya terhadap SU 1 Maret 1949 di Yogya, bahkan dengan tidak tahu malu menentang keterangannya sendiri kepada penulis biografinya OG Roeder yang memuji-mujinya begitu tinggi. Kenekatan Suharto masih berlanjut dalam hal SU. Ia sama sekali tidak menyinggung nama Panglima Besar Sudirman, seolah panglima ini sudah berada di tempat jauh, tidak berdaya karena sakit-sakitan dan tidak memiliki kemampuan untuk menghubungi anak buahnya di sekitar Yogya. Nama petinggi militer lain pun tidak pernah disebutnya, Suharto mencatatnya sebagai berikut, “Waktu itu tidak ada komunikasi antar pimpinan TNI. Pak Dirman sudah berada di dekat Jawa Timur. Mungkin sudah di Pacitan. Mungkin sudah di desa Sobo. Komando Panglima Divisi ada di Ngangkrik, Magelang. Kita memerlukan waktu berhari-hari untuk dapat sampai ke sana” (Soeharto 1989:60). Pendeknya hanya Suharto yang berpikir keras dan melakukan daya upaya dalam hubungan dengan ibukota Republik, yang lain sedang bersembunyi jauh di sana di gunung dan hutan mencari selamat. Padahal Jenderal Sudirman terus-menerus berhubungan dengan sejumlah anak buahnya, pernah melakukan kontak surat menyurat dengan Sri Sultan sebelum SU melalui kurirnya seperti yang diungkapkan Cokropranolo dalam bukunya Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman. Cokropranolo sebagai utusan Jenderal Sudirman yang membawa surat untuk Sri Sultan berangkat dari Pacitan 8 Februari 1949. Karena Yogya sedang panas maka ia menuju markas Letkol Suharto dan menemuinya. “Dalam pertemuan itu disampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya ke Yogya. Selanjutnya karena situasi kondisi kota yang diketahui Pak Harto dengan baik, saya mohon pertolongan untuk menyampaikan surat Pak Dirman kepada Sri Sultan secara aman dan rahasia. Dengan senang hati beliau menerima surat Pak Dirman untuk disampaikan kepada Sri Sultan. Jawaban atas surat Pak Dirman itu akan disampaikan oleh seorang perwira utusan Pak Harto” (Tjokropranolo 1992:167). Di sini jelas Suharto benar-benar tidak tahu malu, begitu nekat dan tega telah mempreteli peran sejarah Sri Sultan untuk dikenakan pada dirinya sendiri bagai merebut pakaian bekas Sri Sultan untuk dikenakan pada dirinya, bak Petruk menjadi raja. Bahkan sekaligus mengabaikan peran tokoh-tokoh terhormat seperti Panglima Besar Sudirman, Kolonel Simatupang, dan Kolonel Bambang Sugeng dsb sekedar sebagai tokoh kelas pinggiran. Kalau dalam versi pertamanya Suharto masih mengakui serangkaian pertemuan dengan Sri Sultan sebelum SU, maka dalam versi keduanya ia telah “lupa” dengan pengakuannya itu. Ia mengatakan, “Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949” (Soeharto 1989:66). Jadi kali ini Suharto versus Suharto. Dalam hal ini Suharto dengan mudahnya menelan ludahnya sendiri, padahal ludah itu sudah tersebar luas dalam bentuk buku OG Roeder yang direstuinya. Setelah mengumpulkan banyak data yang selama ini tidak diungkapkan dilengkapi setumpuk kesaksian mereka yang masih hidup dan menjadi pelaku langsung sejarah ketika itu, maka tim penulis buku Pelurusan Sejarah SO 1 Maret 1949 menyimpulkan bahwa hal itu merupakan hasil perenungan seorang konseptor yang berwawasan kenegarawanan, memiliki wewenang besar untuk memobilisasi dan memfasilitasi berbagai aspek dan komponen serta memberikan komando aksi dengan menyiapkan suatu skenario yang tepat dengan berbagai improvisasi. Hal demikian ketika itu hanya mungkin dilakukan oleh sosok seperti Sri Sultan HB IX atau Jenderal Sudirman, dan bukan pada level operasional bawah (Tataq Chidmad cs 2001:4), seperti misalnya Letkol Suharto, yang ketika itu “hanya” salah seorang Komandan Resimen, yang dalam keadaan bergerilya di pedalaman tentunya hanya mempunyai fasilitas yang amat terbatas. Menurut hemat saya salah satu nama yang perlu ditambahkan dari pimpinan tingkat atas itu ialah Wakil II KSAP Kolonel Simatupang dan Kolonel Bambang Sugeng, paling tidak ikut mendiskusikannya seperti terekam di dalam bukti sejarah di atas. Semasa berkuasa Jenderal Suharto mendengar juga desas desus pembicaraan yang tidak sependapat dengan klaim Suharto sebagai konseptor yang brilian sekaligus eksekutor yang sukses SU 1 Maret 1949, antara lain di kalangan pelaku sejarah yang masih hidup termasuk yang pernah membantunya. Dengan enteng Suharto bereaksi, “Tapi harus diingat saya yang memimpin dan melaksanakan rangkaian serangan-serangan tersebut. Kalau ada orang yang mengatakan itu bukan ide saya boleh-boleh saja, tapi kalau ide itu tidak dilaksanakan, tentu hanya ide, sudah dilaksanakan baru orang mencari siapa yang punya ide, ini kan aneh…” Dalam hal ini Suharto merasa menjadi orang yang tak tergantikan untuk melaksanakan serangan umum terhadap kedudukan Belanda di Yogya. Bagi penyelidikan sejarah mencari konseptor yang sebenarnya dari suatu inisiatif bersejarah adalah hal biasa saja, sama sekali tidak aneh. Tapi rupanya bagi Suharto hal itu tidak perlu dipertanyakan, karena toh yang memberikan kesaksian adalah seorang Jenderal Suharto, Presiden RI, Mandataris MPR, tak mungkin salah karena ia pemegang amanat kebenaran. Dalam kasus Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogya yang diduduki tentara Belanda tersebut, pendeknya catatan-catatan sejarah serta kesaksian para pelaku membuktikan dengan telak bahwa Jenderal Suharto telah berdusta dengan sadar tentang klaim peran dirinya, bertentangan dengan keterangannya sendiri kepada penulis biografinya OG Roeder. Untuk itu ia pun tega mengorbankan bekas anak buahnya salah seorang saksi hidup, Marsudi, seorang perwira intelnya di masa itu yang mengantarnya masuk ke keraton Yogya. Ia dipenjara selama lima tahun selama Orba karena tidak mau didekte Suharto. Kecenderungan Suharto untuk berbohong terdapat dalam serangkaian kejadian seputar tragedi G30S, mulai fitnah keji terhadap Gerwani sampai pembantaian jutaan rakyat. (Bersambung)


JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 12:18:06
(8) Memuji Suharto, Menendang Sukarno
Penulis : Harsono Sutedjo

SETELAH Supersemar berada dalam genggaman erat Jenderal Suharto serta berbagai tindakan keras telah diambil, seorang yang menamakan dirinya sebagai wartawan freelance OG Roeder menulis bahwa ketika orang-orang lain merasa beruntung telah mendapat kesempatan yang baik dalam pendidikan, latihan karier dan pengalaman dalam masalah kenegaraan, tidak demikian dengan Suharto. Akan tetapi ia telah bertindak, dan bertindak dengan bijaksana, sedang yang lain telah mengikuti khayalan yang tidak berdasar pada kenyataan, atau tetap tinggal apatis (Roeder 1977:244). Tidak jelas apakah Jenderal Nasution ia masukkan juga dalam golongan pengkhayal, atau barangkali Jenderal Yani yang telah menjadi korban. Ketika Jenderal Suharto menguraikan tuduhannya akan keterlibatan Sukarno dengan G30S di MPRS Maret 1967, hal itu disebut Roeder sebagai pendekatan berhati-hati dan bertanggungjawab dalam mengakhiri yang “lama” dan dalam menguatkan yang “baru”. Hal ini sama sekali berbeda dari perebutan kekuasaan yang “klasik” dari seorang diktator yang hanya mementingkan kenaikannya sendiri sebagai pemimpin besar (Roeder:246). Memang Jenderal Suharto amat “bijaksana” dalam melakukan kudeta merangkak terhadap Presiden Sukarno, semuanya konstitusional. Juga berlandaskan konstitusi ketika ia dan rezim militernya memburu, menangkap, memenjarakan bertahun-tahun tanpa proses, membuang dan mengasingkan, menjarah harta benda, memperkosa, membantai jutaan orang sipil tanpa senjata. Memang ada sejumlah pengadilan, pengadilan penuh sandiwara dengan pelanggaran hak-hak dasar terdakwa. Bagi Roeder belum afdol kiranya jika hanya memberikan puja puji ke atas, perlu juga dilengkapi dengan tendangan kaki ke bawah berupa serapah untuk Bung Karno yang disebutnya sebagai, “Degil dan keras kepala seperti anak kecil…” (Roeder:248). Beberapa Intelektual dan Suharto Jenderal Suharto dengan entengnya telah memalsu dan melecehkan sejarah bangsa sekedar untuk meningkatkan legitimasi pribadi dan rezimnya. Tidak seorang ahli sejarah pun yang memprotesnya secara terbuka, kalau ada yang nekat tentu akan segera digebuknya. Sebagian kecil intelektual melacurkan diri pada kekuasaan Orba dengan menjual keahlian dan otoritas dirinya sebagai ilmuwan ataupun intelektual. Contoh yang amat mencolok didemonstrasikan oleh sejarawan Prof Dr Nugroho Notosusanto dalam sejumlah buku yang ditulisnya maupun buku yang ada dalam arahan dia. Dengan demikian sejarawan ini telah menjadi corong kekuasaan Orba dalam mengarahkan penulisan sejarah. Ketika orang sudah bosan dengan calon tunggal, tak dinyana pada Maret 1997 seorang Prof Dr Juwono Sudarsono muncul melakukan pembelaan dengan analisisnya bahwa hanya militer yang siap, orang sipil tidak. Artinya cuma Suharto yang siap menjadi Presiden RI untuk ke sekian kalinya! Dan orang yang paling siap ini beberapa waktu kemudian tumbang di depan barisan mahasiswa dan rakyat yang telah muak dengan Suharto dan Orbanya pada Mei 1998. Pak Profesor pun mengagumi loncatan PDB yang sebesar US$85 pada 1967 menjadi US$1300 pada 1997. Itu semua menurutnya dapat dikembalikan pada jasa ABRI yang bersejarah yakni menyelesaikan dasar negara secara tuntas. Adakah ia tertipu, silau atau menipu diri sendiri? Di mana dan pada siapa konsentrasi dana itu berada, dari mana saja sumber-sumbernya dan untuk apa? Berapa utang yang telah ditumpuk dan dikorup? Tak aneh jika Juwono menyatakan dengan segala otoritas ilmunya bahwa cukup banyak hal bagus yang diperbuat rezim Suharto. Seorang pakar manajemen yang biasa dijuluki Manajer Satu Miliar, Tanri Abeng MBA membuat ulasan buku Manajemen Presiden Suharto. Disebutkan bahwa Suharto memiliki kompetensi tinggi sebagai pemimpin. Ia memiliki berbagai kualitas pribadi yang unggul, orientasi pada rakyat termasuk petani, berakar kuat pada budaya bangsa, visioner, dsb. dsb. Pendeknya Suharto memiliki sejumlah kualitas manajerial yang luar biasa unggulnya yang sangat bermanfaat bagi perjalanan sejarah bangsa ini (Tanri Abeng 1997:231-251). Selanjutnya Tanri Abeng menyebutkan Suharto memiliki kualitas pribadi kekeluargaan dan kebapakan, terbuka, nguwongke orang lain, berakar kuat pada budaya bangsa, tegas, mengedepankan cara-cara demokratis, percaya penuh pada staf, bersahaja, sangat sabar tetapi sangat kreatif alias “banyak akal”. Tanri Abeng tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan “banyak akal” dalam tanda petik itu, kita hanya bisa menduga-duga dengan imajinasi kita sendiri berdasar sepak terjang Suharto selama ini. Tanri Abeng menuliskan ulasannya pada akhir 1996. Baru satu setengah tahun lewat dan Suharto yang disebutnya sebagai “mempunyai pandangan dan wawasan jauh ke depan” itu tumbang. Barangkali yang dimaksudkan Tanri Abeng dengan mempercayai staf itu berupa tingkah Suharto yang mengangkangi Mobnas, pembelian kapal perang bekas dari Jerman, lahan gambut sejuta hektar yang berakhir dengan kehancuran ekologi sejuta hektar. Semua kualitas yang diulas dengan takzim dan rapi oleh pakar manajemen ini berbalik seratus delapan puluh derajad dengan kenyataannya. Rupanya pengamatan dan kesimpulan Tanri Abeng tentang wawasan Jenderal Suharto yang jauh ke depan itu didasarkan fakta semu dan data sulapan yang sudah umum berlaku di bawah rezim Orba, menjadi acuan yang menipu diri sendiri maupun menipu orang banyak. Di kemudian hari Daniel Dhakidae menyebut berbagai ulasan itu sebagai puja puji begitu tinggi yang tidak mampu lagi membedakan keputusan bebas dalam manajemen dengan keputusan dengan kekuatan negara beserta aparat yang siap memaksakannya (Kompas 8 Juni 2002:25). Prof Dr Robert Elson dari Griffith University, Brisbane, setelah kejatuhan Suharto menyatakan Jendral Suharto merupakan sosok pemimpin tanpa visi, dan ini merupakan kelemahan dasarnya. Bertahun-tahun lamanya ia nampak hidup sederhana, karena ia memang hanya tertarik memanipulasi dan mengatur uang demi kekuasaan. Ia memberikan pengaruh buruk pada lembaga politik. Pada saat menginginkannya, dengan kekuatan uang ia bisa menjadi Indonesia (Tempo 17 Maret 2002:62,69). Betapa hebatnya Suharto, sosoknya menjadi Indonesia itu sendiri ketika ia menginginkannya! Maka tak aneh jika ia membangga-banggakan kepribadian Indonesia dalam pikiran, ucapan dan tindakan dirinya sendiri. Suharto dan Kehancuran Ekologi Sejuta Hektar Begitu banyak kerusakan telah dibuat oleh rezim Suharto di segala bidang, salah satu yang amat mencolok adalah proyek berikut ini. Masih segar dalam ingatan kita, Jenderal Suharto yang mengaku anak petani itu menggagas sebuah proyek pertanian hebat untuk menunjukkan bahwa dirinya memang pantas mengaku sebagai anak petani dengan penuh perhatian terhadap pertanian. Proyek spektakuler itu disebut proyek ‘Pengembangan Lahan Gambut’ (PLG) sejuta hektar yang suatu kali keluar dari benak Bapak Pembangunan. Sekian ratus miliar rupiah uang rakyat telah dihamburkan. Hasilnya nol besar alias perusakan ladang gambut sejuta hektar, telah menyengsarakan rakyat setempat di Kalimantan yang kehilangan mata pencahariannya dari ladang gambut. Proyek PLG yang terletak di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah itu gagal total karena semuanya dilakukan bertentangan dengan kaidah ilmu. Coba bayangkan proyek itu telah mengeluarkan biaya sebesar Rp1.200.000.000.000 (Rp1,2 trilyun) ketika Suharto tumbang. Pertanian yang dilakukan tidak menjanjikan karena keasaman tanah yang tinggi. Sebelum panen hama tikus dan hama lain lebih dahulu merusaknya. Proyek itu pun mempunyai dampak terhadap ekosistim, merusak habitat flora dan fauna. Debit air sungai-sungai besar, Sungai Barito (900 km), Sungai Kapuas (600 km), dan Sungai Kahayan (600 km) pun merosot secara drastis. Sebanyak 64.000 transmigran dari Jawa dan lokal yang telah diboyong ke tempat tersebut hanya memanen penderitaan belaka (Alfridel Jinu, Kompas 20 Februari 2002:26). Dampak ekologi tersebut masih akan berlanjut di hari depan yang panjang yang diwarisi anak cucu kita semua. Masih banyak lagi proyek di seluruh Indonesia, besar maupun kecil, oleh pemerintah pusat maupun daerah, BUMN dan yang lain yang tidak pernah mempunyai kegunaan apa pun, terbuang sia-sia karena berpedoman asal bapak senang, asal bapak dapat komisi dan perencana serta kepala proyek dapat korupsi. Selama 32 tahun telah dibabat tandas lebih dari 45 juta hektar hutan di seluruh negeri hijau ini, sebagian besar telah hancur sebelum flora dan faunanya diinventarisasi untuk dilestarikan. Apa yang disebut dana reboisasi hanyalah ladang korupsi yang dilindungi berbagai macam aturan. Hai para ahli dan pakar penasihat di sekeliling Suharto! Adakah kalian masih nyenyak tidur dengan menyembunyikan kesalahanmu sementara kamu mengantongi uang rakyat dari nasehatmu yang edan itu? Apakah kamu masih akan terus berkelit dan bersembunyi di ketiak Suharto? Akuilah kesalahanmu secara terbuka di hadapan rakyat Indonesia sebelum maut menjemputmu! (Bersambung)


JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 12:22:03
(9) Harta Suharto dan Korupsi
Penulis : Harsono Sutedjo

SEPANJANG kekuasaannya selama 32 tahun Suharto dengan rezim Orbanya telah melaksanakan strategi yang berkesinambungan berupa bagi-bagi rezeki serta bagi-bagi jabatan dan kekuasaan bersama tiga pilar kekuasaannya yakni ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG). Pelaksanaannya berupa pembiaran merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pada setiap tingkat dengan sistim upeti pada atasan, bagian dari pelestarian kekuasaan. Keadaan itu masih dilanjutkan oleh pemerintah Habibie, bahkan rohnya masih berlanjut sampai dewasa ini karena mesin kekuasaan rezim Orba nyaris utuh. Rezim lama yang masih dalam kekuasaan maupun di luarnya dalam lingkup strategi di atas telah menjarah kekayaan negeri ini secara sistemik selama lebih 30 tahun, menumpuknya di dalam maupun di luar negeri dengan lindungan hukum nasional maupun internasional. Kekayaan amat besar yang telah dihimpun dan dikendalikannya itu dengan mudah dapat mempengaruhi secara pasif (maksudnya dengan melalui sistim keuangan, perbankan dan ekonomi “wajar” yang ada alias kapitalisme plus kejahatan masa lampaunya) dan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi secara aktif keadaan politik, ekonomi, keamanan, sosial budaya Indonesia hari ini maupun esok dengan segala macam rekayasanya. Sejak lama kita mendengar adanya tarikan US$2 untuk tiap barel minyak yang harus disetor kepada Yayasan milik Suharto. Informasi ini antara lain berasal dari narasumber yang dekat dengan beberapa menteri Suharto bidang energi yang pernah ikut serta dalam perundingan perminyakan. Seperti kita ketahui menurut persetujuan OPEC Indonesia mendapat quota untuk memproduksi minyak 1,4 juta barel/hari. Kita anggap saja yayasan Suharto menarik bagiannya selama 20 tahun dari sejuta barel, maka akan didapat US$2 x 1 juta x 20 x 365 = US$14.600 juta, lebih dari US$14 milyar. Ini belum termasuk bunganya selama 20 tahun itu. Berapa miliar lagi yang dikumpulkannya dari Bulog, Telekom, bank-bank milik negara, segala macam BUMN, Freeport dan tambang lainnya, hutan Kalimantan, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Tak lama setelah kejatuhannya, dengan senyum simpul Suharto menjelaskan kepada para pemirsa televisi bahwa tidak benar ia mempunyai simpanan besar di luar negeri. Dengan mantap ia mengatakan bahwa ia tidak mempunyai simpanan sesen pun di luar negeri. Seorang konglomerat berkomentar bahwa tentu saja Suharto tidak bodoh, ia dapat menyimpan atas nama orang lain, anak-anak, cucu atau yang lain. Menurut Solihin GP, yang pernah dekat dengan Suharto selama 16 tahun di Bina Graha ketika menjabat Sesdalobang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan) menyatakan bahwa apa saja yang bisa memasukkan uang untuk bantuan presiden (banpres) semuanya digali. “Dia memang senang mengumpulkan uang”. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika uang minyak mengalir deras maka ia mengukur segala sesuatu dengan uang, sesuatu yang merupakan sifat asli Suharto. Pada permulaan tahun 1980-an warkat kliring dalam perbankan yang terdiri dari cek dan giro paling besar biasanya terdiri dari ratusan juta rupiah di luar pinjaman antar bank. Di masa itu secara teratur Suharto menerbitkan cek sebesar Rp1 (satu) miliar kepada Bob Hasan untuk dibelikan dollar, ketika itu dengan kurs US$1=Rp625, jadi Rp1 miliar =US$1,6 juta. Uang ini kemudian ditransfer ke Singapura, selanjutnya ditransfer lagi ke tempat-tempat lain seperti Hongkong, Swis dsb. Demikianlah secara teratur Suharto membeli dollar untuk disimpan di luar negeri. Kenapa mesti berkali-kali ditransfer, sedang tidak ada transaksi nyata seperti membayar impor barang misalnya. Tentu ada udang di balik batu, agar sulit dilacak di belakang hari. Demikian narasumber lain seorang pegawai yang pernah punya posisi di sebuah bank asing menyampaikan pengalamannya. Kalau hal itu dilakukannya sebulan sekali dengan jumlah yang sama selama 20 tahun maka akan terhimpun kekayaan: US$1,6 juta x 12 x 20 = US$384 juta. Kalau hal itu dilakukan di 10 bank = US$3,84 miliar yang bunga berbunga. Tidaklah berlebihan apabila majalah Forbes menyebut kekayaan Suharto dan keluarganya mencapai US$40 miliar. Menurut Jeffrey Winters berdasar sumber-sumber intelijen di kedubes AS di Jakarta kekayaan Suharto dan keluarganya sebesar US$30 miliar (Winters 1999:5). Kemudian majalah Time pada penerbitannya 24 Mei 1999 menyebut tentang adanya gerakan kekayaan amat besar yang terkait dengan Indonesia dari bank di Swis ke Austria karena negeri ini dianggap lebih aman, selanjutnya disebut adanya tranfer sebesar US$9 miliar milik Suharto ke rekening tertentu (nominee bank account) (Lubis cs 2001:3). Cobalah simak angka-angka yang tersebut di atas dan cocokkan. Di Singapura terdapat jenis simpanan uang dalam valuta asing yang terkenal dengan nama Asian Currency Unit (ACU). Simpanan ini dilindungi peraturan khusus yang kerahasiaannya amat ketat serta bebas pajak. Nara sumber kita di atas pernah bertugas di bank asing di Singapura, beberapa bulan berada di departemen tersebut. Arus uang masuk berasal dari seluruh penjuru dunia, terutama negeri-negeri Asia seperti Indonesia, Bangladesh, Filipina, Muangthai, India, Pakistan. Dapat ditambahkan bahwa pada tahun buku 2001 jumlah simpanan warga Indonesia di ACU sebesar US$150 miliar, setara dengan jumlah utang luar negeri kita. Dari Indonesia tentunya kebanyakan transfer dari Jakarta. Ketika boom kayu Kalimantan di pasar dunia, arus dollar yang asal usulnya dari pulau itu membanjir antara lain ke rekening ACU. Dari pengamatan menyeluruh selama beberapa bulan dapat ditengarai bahwa banyak di antara pemilik uang itu terdiri dari gubernur, jaksa, hakim, panglima tentara, menteri, dirjen dst. Sekali lagi terbukti strategi Suharto untuk bagi-bagi kekuasaan dan rezeki berjalan baik. Sebagai ilustrasi narasumber masih ingat betul nama seorang nyonya dengan simpanan besar yang suaminya jatuh dalam kudeta di Bangladesh. Memang korupsi bukan monopoli Indonesia, cuma negeri ini mungkin paling jempolan dalam hal korupsi tanpa koruptor. Para gembong koruptor [dan narkotika, hs] dapat menyimpan uangnya di luar negeri dengan cara memberikan surat “kuasa pengacara” kepada pengacara yang bekerja untuk dirinya. Pengacara ini selanjutnya membuat perjanjian serupa dengan pengacara kedua, selanjutnya ketiga dan keempat dst. atas nama firma mereka. Ujung dari rangkaian ini adalah rekening di Swis atau Austria. Pengacara di sana tidak akan tahu bahwa ia sedang “menadahi” uang Suharto misalnya. Cara ini akan aman karena tiap pengacara hanya mendapat informasi terbatas dari orang sebelumnya. Tekanan internasional agar bank melakukan investigasi elementer untuk jumlah uang yang besar semacam itu hampir tidak dipatuhi oleh semua bank (Winters 1999:113). Bagi pengelolaan kekayaan berupa saham dan properti, dalam sistim perbankan sebagai bagian dari sistim kapitalisme mengenal apa yang disebut nominee dan trustee, suatu rekening atas nama dan di bawah wewenang suatu badan hukum yang mengelola kekayaan pihak lain lewat jaringan perbankan. Para gembong koruptor dan gembong narkotika banyak menggunakan jasa badan semacam di atas yang keberadaannya merupakan bagian dari sistim kapitalisme dunia. Ini yang disebut money laundering (pencucian uang). Paling tidak untuk sementara mereka selamat. Yang disebut sementara itu bisa puluhan tahun bahkan sampai mati dan dipindahkan kepada pewaris. Tentunya para pembantu dan orang gajian Suharto cukup mempunyai ilmu dan piranti untuk dapat menyembunyikan kekayaannya di luar negeri (juga di dalam negeri) dengan peluang yang diberikan sistim hukum dan perbankan yang ada. Melalui badan semacam itu terdapat setumpuk peluang untuk melakukan berbagai macam investasi di seluruh dunia. Memang tidak satu sen pun, karena buntut berupa sen yang mungkin mengganggu pembukuan ini tiap detik dapat didermakan pada rakyat yang kelaparan. Sejarawan Dr Asvi Warman Adam menyimpulkan bahwa “Sejarah Suharto hari ini adalah sejarah KKN dan pelanggaran HAM. KKN tidak dilakukannya sendirian, tetapi ‘jasa’ Suharto adalah menciptakan kondisi agar KKN itu terterima dalam masyarakat sebagai sesuatu yang wajar. Bila orang memiliki rumah megah atau mobil mewah dari hasil korupsi, masyarakat diam saja. Tetapi bila ada maling ayam atau pencuri sandal bolong, dia bisa dibakar massa. Ironi sosial ini yang diciptakan rezim Suharto”. Ini salah satu kejahatan Suharto yang tak terampuni. Jenderal Suharto telah mewariskan sebuah negeri yang porak poranda, miskin dan sarat dengan permasalahan mendasar yang berat dan nyaris bangkrut. Itulah berkat pemerintahannya selama 32 tahun yang sentralistik, penuh rekayasa penipuan dan kesombongan, represif, penuh korupsi dan segala macam penyalahgunaan wewenang. Rezim Orba telah menanam bom-bom waktu berupa ketidakpuasan daerah, masalah etnik yang rumit, pelanggaran aturan pertanahan, penggunaan angkatan bersenjata untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia di seluruh negeri dengan alasan demi stabilitas dan pembangunan. Itulah rupanya yang disebut Prof Juwono Sudarsono dengan penyelesaian tuntas. Kaum intelektual pun memiliki kepentingan-kepentingan kelompok yang diwakilinya, apakah pemerintah diktator atau pemerintah demokratis, segala macam rekayasa yang menipu atau kebenaran dan keadilan. Setelah Jenderal Besar Suharto ditumbangkan, kuku-kukunya sebagai bagian dari rezim Orba masih mencengkeram berbagai aspek kehidupan bangsa dan negeri ini. Bersamanya terdapat suatu lapisan militer dan sipil yang telah mencengkeram akumulasi kekayaan amat besar negeri ini yang kemudian menjadi sah secara hukum yang akan tetap memberikan pengaruhnya dalam jangka panjang ke depan dalam bidang politik maupun ekonomi terutama melalui apa yang disebut money politics alias politik suap yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya korupsi rezim Orde Baru. Mungkin saja hal itu dihentikan dengan drastis jika terjadi perubahan fundamental yang didukung seluruh rakyat. (Selesai)
posted by Indonesia Berjuang @ 4:10 AM 0 comments

0 reacties:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar