Rabu, 25 Mei 2011

ARSIP TULISAN DESEMBER 2005

ARSIP TULISAN DESEMBER 2005

SATURDAY, DECEMBER 24, 2005
MD Kartaprawira: Pembunuhan Kekuasaan Konstitusional Soekarno
PEMBUNUHAN KEKUASAAN KONSTITUSIONAL SOEKARNO
Kajian sejarah politik dan hukum tatanegara Indonesia
(Re: Aswi Warman Adam, Pembunuhan Ketiga Soekarno, Jawa Pos, 24.11.2005)

Oleh MD Kartaprawira*

Sesungguhnya pembunuhan Soekarno sudah kesekian banyak kali, tidak tiga kali seperti yang ditulis oleh Aswi Warman Adam dalam artikelnya yang berjudul “Pembunuhan Ketiga Soekarno” (Jawa Pos, 24.11.2005). Sebab di samping pembunuhan phisik dengan cara penahanan Bung Karno yang sedang menderita sakit kronis berat tanpa mendapatkan perawatan semestinya sehingga wafat (Pembunuhan pertama), kemudian pelarangan peringatan hari lahir Pancasila oleh Kopkamtib, usaha penjungkir-balikan sejarah bahwa bukan Soekarno yang pertama mengungkapkan Pancasila (Pembunuhan Kedua) dan penerbitan buku Prof.Dr. Antonie CA Dake “Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan” (Pembunuhan Ketiga), masih banyak lagi macam-macam “pembunuhan” lainnya terhadap Soekarno, yang terjadi sebelum peristiwa G30S.

Salah satunya adalah pembunuhan kekuasaan konstitusional Soekarno, yang berdampak serius terhadap perkembangan politik dan nasib bangsa dan negara Indonesia. Pembunuhan kekuasaan konstitusional Soekarno terjadi dua kali.

Pembunuhan Kekuasaan Konstitusional Pertama: adalah keputusan penggantian sistem kabinet presidensiil dengan kabinet parlementer. Sebab dengan demikian maka secara resmi mulai saat itu kekuasaan Soekarno sebagai Kepala Pemerintahan dilucuti, yang tinggal hanya kekuasaan sebagai Kepala Negara yang praktis hanya sebagai simbol dalam sistem tatanegara.
Bersamaan dengan itu mulailah di Indonesia berlaku demokrasi liberal. Perubahan sistem kenegaraan demikian itu tercapai berkat modus operandi yang lihai, yaitu pertama-tama dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X 16 Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum terbentuknya MPR/DPR melakukan tugas-tugas legisltif. (1).
Dengan demikian KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga kepresidenan. Kemudian KNIP yang dipimpin Syahrir ini lebih berhasil lagi dalam mendorong Pemerintah – Wk.Presiden Hatta -- untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang pendirian partai-partai politik (3Nopember 1945) dan pemberlakuan Kabinet Parlementer (14 Nopember 1945). (2)

Seperti kita ketahui UUD 1945 menganut sistem kabinet presidensiil, di mana presiden memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Tapi dengan dikeluarkannya Maklumat Wk. Presiden No.X Oktober 1945, yang diikuti pengumuman Peraturan Pemerintah bulan Nopember tentang pendirian partai-partai politik dan pergantian sistem presidensiil menjadi parlementer, maka akibatnya mulai saat itu , presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan atau hak menentukan kebijakan jalannya pemerintahan, tapi hanya sebagai kepala negara yang berfungsi sebagai simbol atau tukang stempel. Semua kebijakan pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri bersama kabinetnya.

Sesungguhnya dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X secara yuridis tidaklah serta merta harus menghilangkan kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan, tapi hanya perubahan status KNIP dari pembantu presiden menjadi lembaga legislatif yang sederajad kedudukannya dengan presiden dan yang bersama-sama presiden mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. Hal itu bisa dilihat dalam praktek ketatanegaraan Indonesia di era pemerintahan Soekarno (setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959), era Suharto (sampai 1998), dan pemerintahan-pemerintahan pada era reformasi, di mana meskipun ada lembaga legislatif (MPR/DPR) presiden tetap memegang kekuasaan konstitusional sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Tampak jelas, perubahan sistem presidensiil ke sistem parlementer bukanlah suatu amandemen terhadap UUD 1945, melainkan pengebirian total UUD 1945, sebab semua apa yang tertulis dalam UUD 1945 tetap tidak berubah. Jadi pelucutan kekuasaan konstitusional
Presiden sebagai kepala pemerintahan melalui suatu maklumat yang isinya bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam konstitusi pada hakekatnya adalah “kudeta” terhadap kekuasaaan konstitusional Presiden Soekarno.

Memang situasi politik pada masa itu diliputi suasana gegap-gempitanya aliran demokrasi liberal, yang berlindung pada alasan-alasan politik bahwa UUD 1945 memberi banyak kekuasaan kepada presiden, yang bisa mengakibatkan timbulnya kekuasaan otoriter dan kediktatoran, sehingga dikhawatirkan Indonesia tidak akan mendapat dukungan negara-negara Barat. Bahkan berkembangnya isu provokatif tuntutan penyeretan Soekarno ke mahkamah internasional sebagai penjahat perang, karena dituduh berkolaborasi dengan fasis Jepang juga menambah dukungan gerakan demokrasi liberal. Ternyata gerakan politik tersebut berhasil menggalang suara di Komite Nasional Indonesia Pusat dalam mendorong Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X Oktober 16 Oktober 1945 beserta peraturan-peraturan berikutnya yang diperlukan untuk perubahan sistem presidensiil menjadi sistem parlementer. Dalam perjalanaan sejarah telah terbukti bahwa sistem parlementer hanya menelorkan “kabinet-kabinet seumur jagung”, yang tidak pernah sempat melaksanakan program-program pembangunan secara signifikan.

Fakta bahwa Maklumat Wk. Presiden No.X tersebut dikeluarkan saat ketika Presiden Soekarno sedang berada di Jawa Tengah, menguatkan pendapat bahwa terdapat suatu rekayasa kudeta dengan menggunakan situasi ketidak beradaan Presiden di Jakarta. Jika tiada perekayasaan kudeta tentunya harus menunggu kedatangan presiden Soekarno lebih dulu, apalagi mengenai masalah maha penting – pergantian sistem presidensiil ke sistem parlementer. Ben Anderson, Giebles (3) dan Bagin (4) pun berkesimpulan bahwa peristiwa itu adalah kudeta, yang mereka namakan silent coup d’etat.
Lebih dari itu, penulis berpendapat bahwa tidak hanya silent coup d’etat -- kudeta secara diam-diam -- tapi juga “kudeta merangkak”, yang di mulai dari pengumuman Maklumat Wakil Presiden No.X, disusul pengumuman Maklumat Pemerintah tentang pembentukan partai-partai dan akhirnya pengumuman tentang perubahan sistem presidensiil ke sistem parlementer, yang semuanya bertolak dari usulan komite Nasional Indonesia Pusat yang dipimpin Syahrir.

Tidak mengherankan kalau Y.B.Mangunwijaya (sebagai pengagum Syahrir) mempunyai pandangan berbeda, yang bahkan menamakan pergantian sistem presidensiil menjadi parlementer sebagai Revolusi Besar kedua setelah 17 Agustus 1945. Lebih dari itu di era reformasi ini Y.B.Mangunwijaya sebelum meninggal sempat menyerukan dilakukannya Revolusi Besar semacam itu lagi. (5)

Penelitian tentang peristiwa sejarah ketatanegaraan dan politik tersebut di atas sangat kurang sekali bahkan hampir terlupakan, yang seharusnya bisa menjelaskan pertanyaan-pertanyaan, misalnya: Bagaimana sikap atau reaksi Presiden Soekarno berhubung dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X oleh Drs Moh.Hatta?. Apakah Bung Karno begitu saja menyerah? Adakah rekayasa yang mengakibatkan Bung Karno tidak dapat berbuat apa-apa? Apakah Bung Karno mengalah demi persatuan bangsa, supaya tidak membahayakan eksistensi Republik Indonesia yang baru berumur 2 bulan? Ataukah Bung Karno mengalah demi mendapat dukungan negara-negara barat yang mendukung garis politik Syahrir? Seberapa jauh peranan barat dalam peristiwa pemberlakuan sistem parlementer – demokrasi liberal di Indonesia pada saat itu?
Satu hal yang penulis yakin, bahwa semangat (demi) persatuan bangsa yang selalu diserukan tanpa henti-hentinya oleh Soekarno, adalah jawaban yang dialektik dan benar, mengapa dia mengalah atas kudeta kekuasaan konstitusionalnya.

Hilangnya kekuasaan konstitusional presiden sesuai UUD 1945 tersebut berlangsung selama 14 tahun, yang sampai pada titik pemberhentian pada 5 Juli 1959 ketika presiden Soekarno mendekritkan Kembali ke UUD 1945 (tanpa embel-embel Maklumat Wakil Presiden No.X). Dengan dekrit tersebut presiden Soekarno mulai saat itu tidak lagi menjadi “tukang stempel”, melainkan sebagai pemegang kekuasaan Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Mulai saat itulah Bung Karno secara nyata berkuasa dalam pemerintahan di Indonesia sejak berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (disamping masa 2 bulan dari 17 Agustus sampai 16 Oktober 1945).
Dalam pidato Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1959, Bung Karno menamakan pidatonya dengan “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (The Rediscovery of our Revolution). Sejatinya memang sejak diberlakukannya sistem Kabinet Parlementer, revolusi Indonesia telah disesatkan ke arah jalan yang salah – jalan demokrasi liberal, yang kemudian dalam era globalisasi melahirkan aliran neo-liberalisme.

Pembunuhan kekuasaan konstitusional kedua: adalah ketika MPRS mengeluarkan TAP No.XXXIII Tahun 1967. Di sini tampaknya tindakan MPRS adalah “benar”, sebab berdasarkan UUD 1945 MPR memang mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan presiden dari jabatannya. Jelas sangat berbeda dengan Pembunuhan Pertama melalui Maklumat Wakil Presiden yang bertentangan dengan UUD 1945. Pembunuhan kedua ini benar-benar membunuh kekuasaan konstitusional secara nyata dan total, yaitu penghapusan kekuasaan Soekarno baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Dalam kaitannya dengan kasus ini, pembunuhan kedua juga dilakukan dengan menggunakan modus operandi kudeta “merangkak” oleh jenderal Suharto terhadap Presiden Soekarno, yang sangat dibenci oleh Barat (kaum nekolim, kaum neo-liberal) dengan tuduhan otoriter, diktator, pembela komunis. Kudeta “merangkak” yang startnya dimulai dari Penumpasan G30S, melalui pengkhianatan Supersemar, mencapai titik finish pada sidang MPRS, yang mengeluarkan TAP No.XXXIII/1967, yang akhirnya melahirkan rejim Orde Baru.

Mengenai masalah kudeta merangkak yang dilakukan oleh mayjen. Suharto sudah banyak ditulis oleh para pakar politik/sejarah dan para politisi, maka tidak perlu direntang lebih jauh di sini. Meskipun demikian, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa tampilnya tokoh-tokoh politisi mantan gerakan Maklumat Wk. Presiden No.X dalam pemerintahan rejim Soeharto/Orba dan di posisi penting dalam lembaga-lembaga negara membuktikan bahwa antara pembunuhan pertama dan kedua kekuasaan konstitusional presiden Soekarno terdapat titik konvergensi kepentingan, meskipun dalam situasi dan kondisi politik nasional dan internasional yang berbeda.

Tampak jelas bahwa garis politik dan ideologi Bung Karno yang anti nekolim-neoliberalisme, ajaran Pancasila dan Nasionalisme Kerakyatan kapan pun merupakan duri dalam daging bagi lawan politiknya di dalam dan di luar negeri. Politik persatuan lintas agama, suku, etnis , yang selalu diserukan oleh Bung Karno demi usaha dan perjuangan untuk terbentuknya masyarakat demokratik, damai, sejahtera berdasarkan Pancasila merupakan penghalang bagi tujuan kaum nekolim dan neoliberalis. Maka tidak mengherankan bahwa “pembunuhan” terhadap Soekarno bisa terjadi berkali-kali. Pemunculan buku Prof.Dr. Antonie Dake “Soekarno File ...” yang merupakan pembunuhan karakter terhadap Bung Karno tidak saja bertujuan untuk de-Soekarnoisasi, tapi juga untuk menyebarkan racun pecah belah bangsa/rakyat Indonesia. Hal tersebut tidak kebetulan dan tidak bisa dipisahkan dari offensif kaum nekolim dan kaum neo-liberal untuk menguasai Indonesia setelah jatuhnya rejim Suharto. Sejarah berjalan terus – panta rei -- ke depan. Tapi sejarah masa lalu yang bagaimana pun pahitnya harus menjadi pelajaran untuk melangkah ke masa depan yang “manis” dengan menghindari jauh-jauh jerat yang dipasang kaum neo-liberal.

*) Penulis Anggota Indonesia Legal Reform Working Group, di Nederland

Nederland, 08 Desember 2005
--------------------------------------------------------------------------------------------

(1) Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945) (Pramudya Ananta Toer, Kusalah Subagyo Toer, Ediati Kamil), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 1999, halaman 404.
(2) Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (1945) (Pramudya Ananta Toer, Kusalah Subagyo Toer, Ediati Kamil), KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 1999, halaman 86, 113, 149, 404, 438, 480.
(3) SOEKARNO Nederlandsch onderdaan Een biografie 1901-1950, Uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, 1999, pagina 396.
(4) BAGIN, Pemahaman saya Tentang Ajaran Bung Karno II, KKJ Berdikari Jakarta 2004, halaman 324.
(5) MD Kartaprawira, MASALAH UUD’45 DAN MASA DEPANNNYA DALAM ERA REFORMASI (½), Indonews 4 Dec 1998.
posted by Indonesia Berjuang @ 11:39 AM 0 comments
 
 
SUNDAY, DECEMBER 04, 2005
Tjipta Lesmana: Sekali lagi, Siapa Dalang G30S?
Sekali Lagi, Siapa Dalang G30S?

Tjipta Lesmana

Sehubungan peringatan 40 tahun tragedi Gerakan 30 September, telah terbit beberapa buku yang mencoba menguak kembali peristiwa berdarah itu. Buku-buku itu antara lain Saksi dan Pelaku GESTAPU, Siapa Dalang G30S? PKI/TNI?, dan Sukarno File.
Buku terakhir, aslinya, ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof Antonie CA Dake, ilmuwan Amerika keturunan Belanda. Buku Dake seakan hendak melawan arus kuat di negeri ini sejak Orde Baru tumbang. Sejak Soeharto lengser Mei 1998, telah beredar banyak buku tentang G30S; hampir semuanya termasuk sejumlah negara Barat, khususnya AS dengan CIA-nya menuding Soeharto sebagai dalangnya.

Namun, menurut Prof CA Dake, Presiden Soekarno-lah yang menjadi mastermind, bukan PKI, bukan pula Soeharto. Dake juga menepis tuduhan banyak pihak bahwa Amerika berkonspirasi dengan jenderal-jenderal kanan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Negara adidaya itu dikatakan tidak terlibat. Bagaimana Washington terlibat jika menjelang G30S pecah AS justru mengurangi jumlah staf kedutaannya di Jakarta.

Hingga kini tragedi G30S masih gelap meski sudah coba diungkap dalam puluhan buku dan ratusan artikel ilmuwan, politisi, dan wartawan Barat. Tentang dalang, para penulis umumnya terpecah dalam empat kelompok besar, masing-masing dengan argumentasinya sendiri.
Kelompok pertama meyakini, Partai Komunis Indonesia ada di belakang G30S. Selama 30 tahun lebih, pemerintahan Soeharto menyosialisasikan pendapat ini kepada bangsa Indonesia, termasuk melalui film G30S/PKI yang ditayangkan di televisi tiap menjelang peringatan G30S.

Kelompok kedua meyakini, G30S adalah karya ulung Soeharto dengan bantuan sejumlah negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. Orang-orang PKI setelah mengecap kebebasan penuh pasca-Orde Baru dan korban Soeharto lainnya paling keras menyuarakan pendapat ini. Di kalangan Barat, tidak sedikit yang berpendapat sama, antara lain Willem Oltman (almarhum), wartawan Belanda yang gigih menghantam rezim Soeharto serta Prof Scott dari Amerika.

Kelompok ketiga meyakini, Presiden Soekarno adalah dalangnya. Paling tidak, sejak awal Soekarno tahu tetapi membiarkannya karena sikapnya yang tidak suka terhadap jenderal-jenderal kanan pimpinan AH Nasution. Banyak perwira tinggi TNI mempercayai pandangan ini.

Kelompok keempat berpendapat, G30S sepenuhnya masalah internal Angkatan Darat (AD), yaitu perpecahan antara para Jenderal kanan yang borjuis dan para perwira revolusioner seperti Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Latief, dan Letkol Untung. PKI hanya korban. Soekarno menganut faham ini.

Versi mana yang mendekati kenyataan, masih diperlukan puluhan tahun lagi. Kelemahan pokok semua analis, menurut saya, karena (a) analisisnya tidak dilakukan secara komprehensif/kritis; dan/atau (b) didorong motivasi dendam sehingga menghilangkan unsur obyektivitas.
Sudah dijawab Soeharto

Tulisan ini bertujuan mengkritisi pendapat ketiga, yakni Soekarno otak G30S.
Pertanyaan apakah Soekarno terlibat atau mendalangi G30S, sebetulnya sudah dijawab Jenderal Soeharto, Maret 1967, dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara). Dalam pidato itu Soeharto selaku pemegang Supersemar mengemukakan, Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai penggerak langsung, dalang, atau tokoh G30S/PKI.
Kesimpulan itu didasarkan empat fakta.
Pertama, laporan mantan Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dani 29 September 1965 mengenai adanya rasa tidak puas sejumlah perwira muda anak buah Brigjen Soepardjo terhadap pimpinan AD. Atas laporan itu, Presiden memerintahkan Omar Dani dan Soepardjo untuk menghadap lagi pada 3 Oktober 1965.
Kedua, laporan Brigjen Sugandhi kepada Presiden Soekarno pada 30 September 1965 bahwa PKI mungkin akan melakukan coup. Atas laporan itu, Presiden memarahi dan memperingatkan Sugandhi.
Ketiga, pada 30 September 1965 malam setelah mengunjungi Mubestek (Musyawarah Besar Teknik) di Istora Senayan, Presiden tidak bermalam di Istana, tetapi di rumah Ny Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto. Pagi harinya, 1 Oktober sekitar pukul 06.00, Presiden bermaksud kembali ke Istana setelah minta pertimbangan dari pengawal dan mendapat laporan singkat mengenai peristiwa pagi itu.
Keempat, pada 30 September 1965 Presiden memanggil Jenderal Yani untuk menghadap pada 1 Oktober 1965. Rencananya akan membahas lagi tentang keberadaan Dewan Jenderal.
Dake menulis (dalam Sukarno File), penciutan staf Kedubes AS di Jakarta sebagai salah satu bukti ketidakterlibatan Washington. Itu keliru. Pengurangan staf Kedubes AS sengaja dilakukan dengan tujuan agar kekuatan antikomunis dan kaum ekstremis lain di Indonesia free to handle a confrontation, which they believe will come, without the incubus of being attacked as defenders of the neo-colonialists and imperialists (surat Dubes AS, Ellsworth Bunker kepada Presiden Lyndon B Johnson). Meski ada penciutan staf kedubes, Bunker menasihati Presiden Johnson agar Washington tetap aktif melakukan kontak rahasia dengan constructive elements of strength in Indonesia.

Lashmar dan Oliver dalam Britain Secret Propaganda War (1987) menulis, pada 1962 Presiden John F Kennedy dan PM Inggris Harold Macmillan mengadakan kesepakatan rahasia bahwa Soekarno harus dilikuidasi (baca: disingkirkan) karena dinilai telah mengancam stabilitas Asia Tenggara, selain telah membawa Indonesia ke gerbang komunisme. Namun, menurut Lashmar dan Oliver, secara fisik kedua negara Barat itu tidak berperan nyata dalam G30S. Yang digulirkan AS dan Inggris, bersama Malaysia dan Selandia Baru, adalah perang propaganda untuk memperlemah kekuasaan Soekarno, memperkuat anasir-anasir kekuatan militer pro-Barat dan memisahkan rakyat Indonesia dari PKI. Isu-isu Dewan Jenderal, rencana AD menggulingkan kekuasaan Soekarno, sakitnya Presiden Soekarno serta Dokumen Gilchrist, semua itu, menurut Lashmar dan Oliver, tidak lebih hasil gemilang propaganda dan perang urat saraf negara-negara Barat, khususnya dinas intelijen M-16 dari Inggris.
Artikel singkat Prof Benedict R Anderson dan Ruth McVey, What Happened in Indonesia? (1978), menarik dicermati. Ia pun menggugat sangkaan keterlibatan Bung Karno. Semua orang tahu, Aidit Ketua Umum PKI amat dekat dengan Soekarno. Semua orang tahu jika PKI meyakini AD akan melancarkan kudeta, terutama karena mengkhawatirkan keadaan negara jika Soekarno wafat.

Dari hasil Mahmilub atas diri Syam diketahui, sekitar pertengahan Agustus 1965 rapat pimpinan PKI menyimpulkan, PKI harus mendahulukan rencana kudeta AD. Pertanyaannya, tulis Anderson dan McVey, mengapa Aidit tidak mampu meyakinkan Soekarno bahwa kudeta AD pasti tak terhindarkan? Jika Soekarno terlibat G30S, mengapa ia tidak menggunakan kekuasaan besarnya atau menggerakkan dukungan populer rakyat Indonesia?

Hampir pasti, Soekarno tahu bakal ada aksi penculikan jenderal-jenderal oleh para perwira revolusioner. Tetapi, fakta ini tidak bisa dijadikan bukti keterlibatan Soekarno, apalagi mendalangi tragedi berdarah. Mengapa? Soekarno sebenarnya masih tidak yakin tentang keberadaan Dewan Revolusi (Dewan Jenderal? - IB) yang dijadikan alasan utama PKI dan perwira-perwira revolusioner melancarkan semacam preemptive strike.
Peristiwa G30S masih diliputi misteri yang belum terungkap, mungkin amat sulit diungkap sampai kapan pun. Maka, tidaklah bijak juga dalam situasi penuh kabut diambil satu atau dua konklusi definitif.

Tjipta Lesmana Pengajar Universitas Pelita Harapan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/03/opini/2257646.htm
posted by Indonesia Berjuang @ 7:12 AM 0 comments
Asvi Warman Adam: De-Soekarnoisasi Jilid Dua
De-Soekarnoisasi Jilid Dua

Asvi Warman Adam

Beberapa buku yang terbit belakangan ini mengarah kepada upaya de-Soekarnoisasi, menjadikan mantan Presiden RI pertama sebagai dalang peristiwa G30S/1965 dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.
Proses ini terkesan sebagai pengulangan dari yang dilakukan terhadap Bung Karno tahun 1970-an.

Pada 17 November 2005, di Jakarta diluncurkan buku Sukarno File, Berkas-Berkas Soekarno 1965-1967, dan Kronologi Suatu Keruntuhan yang ditulis Antonie CA Dake. Bukan hanya sekadar mengatakan bahwa Bung Karno biang yang sebenarnya dari apa yang terjadi pada paruh akhir 1965, Dake juga menuding bahwa sang proklamator secara langsung harus memikul tanggung jawab atas pembunuhan enam jenderal dan secara tidak langsung untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian.

Tuduhan Dake itu didasarkan pada hasil pemeriksaan ajudan Presiden Soekarno, Bambang Widjanarko, oleh Teperpu (Team Pemeriksa Pusat) Kopkamtib yang mengungkapkan bahwa tanggal 4 Agustus 1965 Bung Karno memanggil Brigjen Sabur dan Letkol Untung ke kamar tidurnya dan menanyakan apakah mereka bersedia menerima perintah yang akan mencakup tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal. Untung menyatakan kesediaannya. Keterangan Bambang Widjanarko itu yang dijadikan alasan Dake untuk menyimpulkan bahwa Soekarno bertanggung jawab secara langsung atas pembunuhan enam jenderal.

Dokumen Widjanarko itu sangat lemah dari sudut metodologi sejarah. Sebab, beberapa tahun setelah itu, ketika mendiskusikan buku Sewindu Bersama Bung Karno, Widjanarko mengakui bahwa dia mengalami siksaan selama ditahan dan pengakuan tersebut diberikan secara paksa.
Pengakuan Widjanarko itu diterbitkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris dengan kata pengantar dari Antonie Dake tahun 1974 di Belanda dengan judul The Devious Dalang. Yang menarik, Dake mengaku menerima laporan pemeriksaan itu di hotelnya di Jakarta melalui pos dengan tanpa alamat pengirim. Siapa yang mengirim dokumen itu?

Orang dekat Nasution

Dalam buku Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno (2005 hal 151) disebutkan, Hampir pasti bahwa seseorang yang dekat dengan Nasution yang menaruh bungkusan itu dalam kotak surat hotel. Mengapa Giebels berkesimpulan demikian? Tahun 1972 dalam sebuah acara televisi Nasution menuduh Bung Karno terlibat dalam kup Gestapu dengan menunjuk kepada interogasi Widjanarko. Kalau interogasi tersebut dianggap palsu atau telah diolah, maka Giebels lagi-lagi menuduh bahwa itu berasal dari Nasution (hal 152).

Buku Lambert Giebels itu bukan saja mendukung tesis keterlibatan Soekarno dalam G30S, tetapi juga mengungkapkan hal- hal yang bersifat pribadi. Mengenai istri beliau yang lebih dari satu, itu sudah diketahui umum. Tetapi, Giebels juga menuduh bahwa dalam kunjungan ke Sumatera Selatan tahun 1963, disediakan gadis-gadis berumur 16-17 tahun untuk melayani Presiden sewaktu makan dan harus siap bila bapak presiden masih mempunyai kebutuhan-kebutuhan lain (hal 42). Lambert tidak segan mengutip majalah gosip Jerman, Aktuell, yang menulis, Presiden Indonesia telah mengajak empat pramugari ke konferensi di Beograd dan untuk masing-masing disediakan apartemen di Hotel Metropole.

Sebelumnya terbit buku Victor Miroslav Fic yang menulis buku Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi. Penulisnya adalah profesor emeritus ilmu politik pada Brock University, Kanada, yang berasal dari Cekoslovakia. Fic dua kali datang ke Indonesia dengan difasilitasi Nugroho Notosusanto tahun 1968 dan 1971. Ia memperoleh banyak dokumen antara lain dari Letkol Djiwo Soegondo dari Teperpu Kopkamtib. Tahun 1996-1997 ia menjadi visiting fellow di CSIS Jakarta untuk merampungkan buku yang telah dimulai lebih dari 30 tahun sebelumnya. Buku tersebut bertujuan menjelaskan ancaman paling serius dari pemberontakan PKI terhadap pluralisme yang telah berkembang di Nusantara sejak dahulu kala. Buku yang kontroversial ini diluncurkan di Jakarta 30 September 2005 dengan pembahas Prof Taufik Abdullah yang memuji karya tersebut.

Menurut Fic, 1) Mao yang memerintahkan Aidit tanggal 5 Agustus di Beijing untuk melakukan kup; dan 2) Aidit membicarakan perintah Mao itu dengan Soekarno di Istana Bogor tanggal 8 Agustus 1965; 3) Soekarno setuju dengan usul Aidit dia akan membiarkan PKI mengambil alih kekuasaan negara. Setelah Aidit diangkat menjadi Perdana Menteri dengan kabinet mayoritas PKI, maka Soekarno akan beristirahat di Danau Angsa di China.
Tiga klaim Victor Fic ini luar biasa. Namun persoalannya, mana dokumen atau arsip yang mendukung pernyataan itu. Apakah mungkin Mao memerintah Aidit? Bagaimana mungkin Soekarno dengan sukarela melepaskan kursi presiden, untuk apa?

Soehartoisasi

Apa yang ditampilkan hari- hari ini merupakan pengulangan dari de-Soekarnoisasi (jilid satu) yang telah dimulai pasca-G30S/ 1965. Kelihatan makin sistematis sejak tahun 1970 dengan pelarangan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 1970 dan penerbitan leaflet Nugroho Notosusanto tentang lahirnya Pancasila. Bukan Bung Karno yang pertama berpidato, tetapi didahului oleh M Yamin dan Supomo. Pada saat yang sama diangkat kehebatan Soeharto dalam kasus Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan mendirikan dua monumen peringatan. Belum lagi beberapa film untuk menonjolkan Soeharto, seperti Pengkhianatan G30S dan Janur Kuning.
Yang menarik adalah upaya de-Soekarnoisasi belakangan ini seakan seiring dengan Soehartoisasi, yaitu memulihkan nama baik Soeharto seperti yang berkembang dalam Rapimnas Partai Golkar minggu lalu. Apakah ini suatu kebetulan atau memang sebuah rekayasa?

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/03/opini/2257660.htm
posted by Indonesia Berjuang @ 6:22 AM 0 comments

0 reacties:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar