Rabu, 25 Mei 2011

ARSIP TULISAN SEPTEMBER 2006

ARSIP TULISAN SEPTEMBER 2006

MONDAY, SEPTEMBER 25, 2006
A.Umar Said: MENGENANG KEBESARAN BUNG DJAWOTO
A. Umar Said

MENGENANG KEBESARAN BUNG DJAWOTO

Tulisan ini dibuat dalam rangka “Mengenang 100 Tahun Bung Djawoto” yang diselenggarakan di bawah koordinasi “Perhimpunan Dokumentasi Indonesia” yang berkedudukan di Amsterdam. Inisiatif untuk mengadakan berbagai kegiatan dalam mengenang kembali sejarah tokoh wartawan besar dan pejuang nasionalis terkemuka ini penting sekali bagi bangsa kita dewasa ini maupun bagi generasi yang akan datang.

Saya anggap bahwa memperingati 100 Tahun Bung Djawoto ini penting bagi kita semua, karena memang banyak aspek-aspek dari sejarah hidupnya perlu diketahui dan dikenang oleh banyak orang yang selama ini mencintai bangsa dan Republik Indonesia, yang menghormati Bung Karno beserta ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan besarnya, yang menentang segala politik yang anti-demokrasi dan anti-kemanusiaan dari rejim militer Orde Baru, atau yang anti-Suharto.

Terlebih dahulu patutlah kiranya dijelaskan bahwa tulisan ini lebih merupakan kenangan pribadi saya mengenai Bung Djawoto, yang di sana-sini bercampur dengan pendapat atau fikiran saya mengenai berbagai soal yang berkaitan dengan tokoh yang saya anggap besar ini. Saya akui bahwa tulisan ini terlalu singkat kalau dibandingkan dengan kebesaran sosoknya sebagai guru, yang kemudian dalam jangka yang lama sekali sebagai wartawan Indonesia yang terkemuka, dan akhirnya sebagai duta besar bangsa dan negara. Tulisan ini hanya dapat mengangkat beberapa aspek saja dari sejarah hidupnya dalam rangka peringatan ini.

Sejarah hidup Bung Djawoto menggambarkan dengan jelas bahwa sejak muda sekali ia sudah menjadi nasionalis kiri yang berjuang melawan kolonialisme Belanda, kemudian terjun dalam dunia pendidikan sebagai guru, sebelum dalam jangka waktu yang lama sekali menjadi wartawan dan pimpinan kantor berita nasional Antara, dan kemudian dipilih oleh Presiden Sukarno (dalam tahun 1964) menjadi dutabesar RI untuk RRT di Peking. Sikapnya sebagai nasionalis kiri yang mendukung – dengan gigih dan konsekwen -- berbagai politik Bung Karno tidak saja diembannya ketika ia bekerja sebagai wartawan, atau Ketua PWI-Pusat, atau sekretaris jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) melainkan juga ketika sudah menjadi dutabesar.

Justru karena keteguhan pendirian politiknya sebagai nasionalis kiri dan mendukung berbagai politik Bung Karno inilah ia mengambil keputusan yang berani dan mengagetkan banyak orang di Indonesia dan di luar negeri waktu itu (dalam permulaan tahun 1966), yaitu secara sukarela meletakkan jabatannya sebagai dutabesar RI dan meninggalkan posnya begitu saja. Ini dilakukannya dalam bulan April 1966, sekitar 7 bulan sesudah terjadinya peristiwa G30S dan makin jelasnya perkembangan situasi bahwa golongan militer di bawah pimpinan Suharto, bersama-sama sekutu-sekutunya di dalam negeri dan di luar negeri, telah menyerobot dan melemahkan kekuasaan politik Bung Karno dan menggiring Indonesia ke kanan, ke arah kubu nekolim, terutama AS.

Bung Djawoto dengan sukarela meletakkan ( dalam bahasa kasarnya mencampakkan) jabatan dutabesarnya sebagai protes keras atau tanda tidak persetujuannya dengan apa yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari berbagai tindakan pimpinan Angkatan Darat terhadap Bung Karno beserta para pendukungnya yang kebanyakan terdiri dari golongan kiri. Peletakan jabatannya secara sukarela sebagai dutabesar ini telah dilakukannya setelah terjadi pengkhianatan pimpinan Angkatan Darat dengan apa yang dinamakan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), yang sebenarnya adalah kudeta terselubung atau “penodongan” terhadap Bung Karno.

Sebagai seorang sesama wartawan yang mengenalnya sejak tahun 50-an, dan juga yang pernah bekerja di bawah pimpinannya, baik selama di Jakarta ketika ia menjadi Ketua PWI Pusat dan kemudian di Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) selama kurang lebih 5 tahun di Peking, saya dapat banyak kesempatan untuk mengenal berbagai aspek dari kepribadiannya, umpamanya cara hidupnya, kebiasaan kerja, pendirian politiknya atau pandangan hidupnya.

Pengenalan saya tentang berbagai aspek kepribadian Bung Djawoto ini dimungkinkan juga karena selama berada di Peking antara tahun 1966 sampai 1970 pernah tinggal bersama dengan seluruh keluarganya dalam satu gedung yang cukup besar dan bertingkat di Peking. Selama bertahun-tahun itu, saya menempati satu ruangan di tingkat atas, dan setiap pagi, siang dan malam makan bersamanya beserta keluarga. Jadi, selama itu banyak kesempatan untuk berbicara dengannya tentang macam-macam soal dan mengenal berbagai segi tentang kepribadian atau pandangannya.

Di samping itu, jabatan saya sebagai Kepala Sekretariat PWAA di Peking di bawah Bung Djawoto sebagai sekjennya, juga memungkinkan bagi saya untuk mengikuti banyak kegiatannya sehari-hari. Selain selalu ikut menghadiri sidang-sidang rutine Sekretariat PWAA (seminggu sekali) yang dipimpinnya, saya juga sering sekali hadir dalam pertemuannya dengan berbagai tamu. Karena itu, saya dapat mengenal garis-garis besar pandangannya tentang berbagai soal, umpamanya (antara lain) tentang: masalah nasional dan internasional yang dihadapi Indonesia waktu itu, tentang politik Presiden Sukarno, peran Tiongkok dalam masalah-masalah internasional, dan tentang perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.

Dari pengalaman mengikuti kegiatannya sehari-hari sebagai Sekjen PWAA di Peking selama lima tahun itu, dan juga mengamati kehidupannya, saya dapat menyimpulkan bahwa Bung Djawoto adalah orang besar! Ia adalah tokoh menonjol dalam dunia pers Indonesia. Ia adalah nasionalis yang teguh dalam perjuangannya. Ia adalah penganut yang setia gagasan-gagasan besar Bung Karno. Ia adalah tokoh penting dalam gerakan rakyat Asia-Afrika. Singkatnya, ia adalah orang besar yang patut mendapat penghormatan dari kita semua.

Karena itu, berbagai hal dapat diangkat dalam rangka mengenang sejarah kehidupan Bung Djawoto, yang sebagian juga telah banyak diungkap dalam bahan-bahan yang disajikan oleh teman-teman lainnya.

Sejak muda sudah berjuang

Bung Djawoto yang dilahirkan di Tuban (Jawa Timur) tanggal 10 Agustus 1906, sejak muda sudah ikut dalam perjuangan untuk memajukan bangsa dan melawan kolonialisme Belanda. Sejak tahun 1927 ia sudah menjadi sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia (yang dipimpin Haji Oemar Said Tjokroaminoto) di Makasar dan kemudian pindah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia yang dipimpin Bung Karno.

Selama 15 tahun Bung Djawoto mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan sebagai guru dalam berbagai sekolah-sekolah swasta, antara lain Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantoro, Pamong Putra, dan Tjahaya Kemadjoean. Rupanya, kehidupannya sebagai guru dan pejuang nasionalis dalam masa mudanya inilah yang kemudian telah menjadi ciri utama kepribadian sepanjang hidupnya, ketika ia menjadi wartawan terkemuka dalam jangka waktu yang lama, sampai ia diangkat oleh Bung Karno sebagai dutabesar.

Selama pendudukan tentara Jepang ia bekerja di kantor berita Domei bersama Adam Malik, dan kemudian, setelah Jepang kalah, ia bekerja di kantor berita Antara. Ia termasuk salah seorang yang bersama-sama dengan Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Anwar Tjokroaminoto, Pandu Kartawiguna, Wikana, Supeno, Trimurti dll terlibat dalam “Peristiwa Rengasdengklok”, yang memaksa Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Ia kemudian menjadi pimpinan kantor berita Antara ketika pusat pemerintahan RI terpaksa dipindahkan ke Jogyakarta dalam tahun 1946. Dalam suasana perjuangan revolusi 45 itu, sebagai pimpinan Antara ia dipilih oleh kongres ke-III PWI menjadi Ketua dalam tahun 1948. Kedudukan sebagai ketua PWI ini terus dipegangnya sebagai hasil Kongres ke IV PWI di Surabaya tahun 1950 dan juga kemudian Kongres PWI ke V di Jakarta dalam tahun 1951.

Sesudah terjadinya Konferensi Meja Bundar dengan Belanda dan seiring dengan berkembangnya situasi internasional akibat Perang Dingin (antara lain : lahirnya Republik Demokratik Vietnam dan Republik Rakyat Tiongkok, terusirnya Tjiang Kaishek ke Taiwan, pecahnya Perang Korea, hadirnya Armada ke-7 AS di Asia) fihak nekolim Barat melakukan segala jalan dan cara untuk mencegah meluasnya pengaruh komunisme di Asia dan berusaha menarik Indonesia ke dalam kubu mereka.
Sejak tahun 1950-an, nekolim Barat, terutama AS, meningkatkan penetrasi pengaruh mereka di kalangan pemerintahan Indonesia, partai-partai politik, golongan militer, intelektual, agama, dan pers.

Sejak tahun 1950 mulai juga tercermin dampak Perang Dingin dan usaha penetrasi pengaruh nekolim ini di kalangan pers. Dalam proses ini kita bisa melihat bahwa suratkabar Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis (dekat dengan kalangan Angkatan Darat), dan suratkabar Pedoman yang dipimpin oleh Rosihan Anwar (dekat dengan kalangan PSI) dan suratkabar Abadi yang dipimpin S. Tasrif (dekat dengan kalangan Masyumi) dengan berbagai cara dan bentuk mulai menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Bung Karno dan menyuarakan hal-hal yang tidak menguntungkan fihak-fihak yang menentang imperialisme AS.

Dalam perkembangan situasi yang demikian itu, golongan PSI dan Masyumi dalam dunia kewartawanan berhasil mendongkel Bung Djawoto sebagai pimpinan PWI. Ini terjadi dalam kongres PWI ke-VI di Salatiga dalam tahun 1952, dengan mengangkat Teuku Sjahril, yang mendapat dukungan dari kalangan PSI dan Masyumi. Kemudian, untuk jangka waktu yang lama sekali, dan melalui 4 kali kongres PWI, Teuku Sjahril tetap terus menguasai kedudukan sebagai ketua PWI, sampai terjadinya kongres PWI ke-X di Makasar dalam tahun 1961.

Peran PSI, Masyumi dan Angkatan Darat

Pengaruh PSI dan Masyumi dalam pers dan kewartawanan ini membesar ketika terjadi pergolakan-pergolakan di daerah luar Jawa, yang digerakkan oleh pimpinan Angkatan Darat setempat (di Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Selatan) dengan bantuan dari imperialisme AS. Tetapi, ketika pergolakan-pergolakan di daerah kemudian memuncak dan terang-terangan menjadi pembrontakan terhadap pemerintah pusat,
Masyumi dan PSI dinyatakan sebagai partai terlarang, karena banyak tokoh-tokoh utamanya menjadi pimpinan pembrontakan PRRI (antara lain : Mr. Syafrudin Prawiranegara, Moh. Natsir, Dr Sumitro Djoyohadikusumo). Seiring dengan perkembangan yang demikian ini suratkabar-suratkabar yang menjadi corong Masyumi dan PSI juga dilarang terbit.

Golongan pro-Masyumi dan PSI di kalangan PWI, yang pada pokoknya anti-Bung Karno, anti-Manipol dan anti-PKI, akhirnya dapat dikalahkan dalam kongres ke-X PWI di Makasar dalam tahun 1961. Dalam kongres di Makasar itulah Bung Djawoto dapat dimenangkan oleh golongan pendukung garis politik Bung Karno di PWI. Dalam memenangkan Bung Djawoto sebagai Ketua PWI Pusat yang baru (menggantikan Teuku Syahril) peran PWI Jakarta Raya yang dipimpin oleh Joesoef Ishak sangat besar.

Terpilihnya Bung Djawoto sebagai ketua PWI Pusat di Makasar mencerminkan kemenangan golongan pro Presiden Sukarno melawan kekuatan reaksioner dan kontra-revolusioner dalam negeri di kalangan pers. Ini juga mencerminkan perkembangan situasi politik sesudah kembalinya ke UUD 45, dihancurkannya pembrontakan PRRI-Permesta, dilarangnya Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) yang anti Bung Karno dan anti-PKI.

Konferensi Wartawan Asia-Afrika

Dalam suasana politik yang menunjukkan makin berpengaruhnya gagasan-gagasan besar Bung Karno itulah, wartawan-wartawan Indonesia yang tergabung dalam International Organisation of Journalists (IOJ) berhasil dalam tahun 1962 mengumpulkan tandatangan para wartawan Asia-Afrika di Budapest (Hongaria) untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Indonesia.

Untuk menyelenggarakan projek internasional yang penting dan besar itu telah dibentuk Panitia Nasional Persiapan KWAA yang diketuai oleh Bung Djawoto, sebagai tokoh wartawan yang dianggap paling pantas dan mampu, dan juga dapat menjiwai gagasan-gagasan besar Bung Karno. Ia adalah ketua PWI Pusat, anggota DPR-GR, pimpinan Lembaga Persahabatan IndonesiaTiongkok, di samping jabatannya sejak lama sebagai pimpinan kantor berita nasional Antara.

Pada tanggal 27 Oktober 1962 Presiden Sukarno mengirim surat kepada PWI Pusat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : “Saya menerima surat dari wartawan-wartawan Asia-Afrika yang mengemukakan keinginan mengadakan Konperensi Wartawan Asia-Afrika di Indonesia dalam waktu yang dekat. Mereka menegaskan kayakinannya akan benarnya gagasan-gagasan Indonesia tentang persatuan nasional dan perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Hal ini sangat saya hargakan.

Adalah tepat sekali bahwa semangat Konperensi Bandung akan digunakan sebagai dasar merintis kerjasama pers dan wartawan Asia-Afrika. Semoga usaha untuk mengadakan Konperensi Wartawan Asia-Afrika itu berhasil baik dan bermanfaat bagi perkembangan the new emerging forces ke arah Dunia Baru yang damai dan bebas dari imperialisme dan kolonialisme/neo kolonialisme.

Dengan ini saya memberi restu agar Konperensi Wartawan Asia-Afrika nanti berakhir dengan sukses yang besar dan saya percaya bahwa wartawan-wartawan Indonesia dapat menjadi tuan rumah yang baik”.

Adanya surat yang seperti itu dari presiden Sukarno kepada PWI Pusat yang diketuai Bung Djawoto menunjukkan dengan jelas bahwa gagasan wartawan-wartawan Indonesia untuk mengadakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika adalah sepenuhnya sesuai dengan berbagai politik presiden Sukarno yang tegas-tegas melawan imperialisme dan kolonialisme.

Oleh karena adanya restu atau dukungan presiden Sukarno yang demikian itu wartawan-wartawan Indonesia yang tergabung dalam Panitia Persiapan KWAA kemudian dapat mengerahkan banyak tenaga dan dana di seluruh Indonesia. Dengan mendapat bantuan dari pemerintah pusat dan daerah dan berbagai kalangan masyarakat telah dilangsungkan pengumpulan dana untuk penyelenggaraan konferensi internasional besar-besaran yang diselenggarakan oleh para wartawan Indonesia untuk pertama kalinya. Di Istana Bogor dan di berbagai daerah diadakan pengumpulan dana melalui lelang.

Maka, dalam suasana kemenangan Pemerintah Pusat melawan pembrontakan PRRI-Permesta yang disokong imperialisme AS inilah telah dilangsungkan Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta pada tanggal 24 April sampai 30 April 1963. Konferensi yang dihadiri oleh banyak delegasi wartawan dari negeri-negeri Asia dan Afrika, dan dipimpin oleh Bung Djawoto ini, dibuka oleh Presiden Sukarno dengan pidato yang panjang sekali.

Dalam pidatonya dalam bahasa Inggris yang amat bagus sekali dan mempesonakan banyak orang itulah Bung Karno menyebut Bung Djawoto sebagai “My dear brother Djawoto”, yang menunjukkan keakraban hubungan politik dan ideologis antara Bung Karno dan Bung Djawoto. Sebagai orang yang sudah lama masuk sebagai anggota PNI, dan sejak jaman revolusi 45 menjadi tokoh penting di kantor berita Antara, kegiatan dan sikap politik Bung Djawoto tentu diketahui atau dikenal oleh Bung Karno.

Diangkat oleh Bung Karno sebagai dutabesar
Bung Djawoto sudah lama dikenal sebagai nasionalis dan republiken yang ikut berjuang untuk kejayaan Republik Indonesia, untuk masyarakat adil dan makmur. Di bidang pers atau kewartawanan ketokohan Bung Djawoto sangat menonjol sekali. Dalam jangka waktu yang lama sekali ia menjabat pemimpin redaksi kantor berita nasional Antara, ketika pemerintahan RI mengalami perubahan kabinet berkali-kali. Dari segi ini pulalah Bung Djawoto kelihatan mempunyai integritas yang tinggi sebagai wartawan professional. Bukunya yang amat terkenal sekali “Jurnalistik dalam praktek”, merupakan sumbangan penting sekali dalam mendidik para wartawan muda dan memperkaya literatur mengenai jurnalisme di Indonesia.

Dalam tahun 1963 ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pers, suatu tanda bahwa ketokohannya di bidang pers Indonesia mendapat respek dan pengakuan dari berbagai fihak. Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI ia juga telah berjasa dalam menyusun Code Etik Jurnalistik untuk pertama kalinya di Indonesia. Itu semuanya menunjukkan bahwa Bung Djawoto berhak mendapat tempat yang terhormat dalam sejarah pers dan kewartawanan Indonesia.

Di samping itu, dengan kedudukannya sebagai pimpinan Lembaga Persahabatan Indonesia Tiongkok, suatu organisasi besar yang banyak mendapat dukungan dan simpati dari kalangan Tionghoa di Indonesia, Bung Djawoto merupakan tokoh yang penting bagi hubungan persahabatan antara Indonesia dan RRT. Apalagi setelah ia dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika, suatu organisasi internasional yang jelas-jelas merupakan kelanjutan Konferensi A-A di Bandung tahun 1955.

Penunjukan Bung Djawoto menjadi Duta Besar RI untuk RRT pada tanggal 6 Februari 1964 menunjukkan dengan jelas bahwa Presiden Sukarno memerlukan orang yang betul-betul bisa melaksanakan garis-garis besar politiknya dan bisa menjiwai gagasan-gagasannya di bidang internasional dalam perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Perlu diingat dalam rangka ini, bahwa pada waktu itu perang Vietnam melawan AS sedang dalam proses memuncak, dan ketegangan antara Taiwan (yang disokong besar-besaran oleh AS) dan RRT juga memanas, sedangkan perjuangan untuk pembebasan Irian Barat pun masih berlangsung, dan konfrontasi terhadap Malaysia dilancarkan (sejak akhir 1962).

Dalam situasi di Asia yang demikian “panas” dan situasi internasional yang cukup rumit karena pertentangan Moskow-Peking-Washington itulah garis politik internasional Bung Karno makin condong ke Peking. Sebenarnya, sejak dilangsungkannya Konferensi Bandung dalam tahun 1955, hubungan persahabatan antara Indonesia dan RRT berangsur-angsur menjadi semakin kokoh dan membesar. Dan, untuk memupuk hubungan persahabatan Indonesia-RRT dalam menghadapi musuh bersama waktu itu, yaitu imperialisme AS, Bung Djawoto memang merupakan sosok yang paling tepat atau cocok untuk dipilih sebagai dutabesar RI untuk Tiongkok.

Dengan diangkatnya Bung Djawoto sebagai dutabesar RI untuk RRT maka jabatan sekjen PWAA kemudian digantikan oleh Joesoef Isak (tahun 1964) , yang menduduki jabatan Ketua PWI Jakarta di samping jabatannya sebagai Wakil Presiden International Organisation of Journalists. Kecuali itu, ketokohan Joesoef Isak sejak ia menjadi wartawan harian Merdeka dan kemudian sebagai pemimpin redaksinya, dan juga kegiatannya sebagai wartawan Manipolis yang mendukung sepenuhnya garis-garis besar politik nasional dan internasional Bung Karno waktu itu, merupakan ciri-ciri yang cocok untuk menjabat sebagai sekretaris jenderal PWAA.

Sekretariat PWAA pindah dari Jakarta ke Peking

Setelah Bung Djawoto menjadi dutabesar RI di Peking, maka saya tidak mempunyai hubungan dengannya sampai permulaan tahun 1966, ketika saya mulai bermukim di Peking akibat terjadinya peristiwa G30S. Saya meninggalkan Jakarta 14 September 1965 menuju Santiago (Chili) untuk menghadiri konferensi International Organisation of Journalists (IOJ) bersama Francisca Fanggiday. Karena suratkabar saya Ekonomi Nasional dilarang terbit oleh fihak militer (bersama dengan suratkabar-suratkabar lainnya seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur, Suluh Indonesia dll) maka saya memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta dulu, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut.

Saya memutuskan untuk menggabungkan diri dalam delegasi ¨PWI yang dipimpin Bung Supeno yang waktu itu menjabat sebagai wakil direktur Antara. Delegasi PWI ini, yang jumlah anggotanya cukup besar, diundang oleh pemrintah RRT untuk menghadiri perayaan Hari Kemerdekaan 1 Oktober 1965
Sementara itu, mulai akhir 1965 dan permulaan 1966 para sekretaris internasional anggota Sekretariat PWAA yang berkantor di gedung Press House di Jakarta (sekarang dijadikan Grand Hotel Hyatt), mulai meninggalkan Indonesia satu demi satu, berhubung dengan situasi yang menunjukkan bahwa Presiden Sukarno makin dimusuhi oleh Suharto dkk.

Para sekretaris internasional (antara lain dari Jepang, Srilangka, Siria, Afrika Selatan) ini akhirnya berkumpul di Peking. Atas usul wakil Tiongkok di sekretariat PWAA kemudian diputuskan bahwa sekretariat yang tadinya bermarkas di Jakarta dipindahkan ke Peking. Dengan diletakkannya kedudukan Bung Djawoto sebagai Dutabesar RI maka sidang pleno sekretariat mengangkat kembali Bung Djawoto sebagai sekretaris jenderalnya, sedangkan saya sebagai kepala sekretariatnya.

Penghormatan yang tinggi untuk Bung Djawoto

Selama mendampingi sekjen PWAA Bung Djawoto itulah saya sebagai kepala kantor dapat mengetahui dengan jelas sekali betapa besar penghargaan kalangan Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok (All China Journalists Association) dan pemerintah Tiongkok terhadap bung Bung Djawoto. Sekadar untuk memberi gambaran sedikit tentang penghormatan atau penghargaan terhadap Bung Djawoto adalah hal-hal sebagai berikut :

Ia mendiami (bersama keluarganya) suatu gedung yang besar, yang tadinya dipakai oleh kalangan diplomatik dari negara sahabat Tiongkok. Untuk keperluan sehari-hari disediakan satu mobil limousine yang besar sekali, serupa yang dipakai oleh para pemimpin tertinggi Tiongkok, bersama sopirnya, yang siap setiap waktu ketika dibutuhkan. Untuk menjaga keselamatan atau keamanan Bung Djawoto kalau pergi ke manapun selalu ada pengawalnya atau ajudannya. Di pintu gerbang tempat tinggalnya bersama keluarga, ada paling sedikit satu regu TPRT (Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok) yang secara bergiliran menjaga kompleks itu siang malam.

Penghargaan yang tinggi terhadap Bung Djawoto tercermin juga dari seringnya ia mendapat undangan untuk menghadiri upacara dan peristiwa-peristiwa penting. Entah sudah berapa kali ia naik di bangunan kuno yang terkenal di seluruh dunia, Tian An Men, bersama Ketua Mao Tsetung, PM Chou En-lai dan pembesar-pembesar pemerintah dan Partai Komunis Tiongkok ketika merayakan hari nasional 1 Oktober. Dan entah berapa kali ia diundang untuk hadir dalam jamuan-jamuan makan (bangket negara) yang diselenggarakan di Gedung Kongres Rakyat yang megah itu, yang biasanya disediakan untuk tokoh-tokoh penting dan tamu-tamu terhormat.

Penghormatan dari pemerintah dan rakyat Tiongkok terhadap Bung Djawoto ini tidak hanya karena ia menjabat sebagai sekretaris jenderal suatu organisasi internasional saja, tetapi juga karena kualitasnya sebagai sahabat Tiongkok, yang sudah disandangnya sejak di Indonesia ketika ia menjadi pimpinan Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok.

Boleh dikatakan bahwa ketokohan Bung Djawoto di Tiongkok sebagai sekjen organisasi internasional yang mendapat dukungan besar dari RRT, yaitu PWAA, adalah sejajar dengan tamu-tamu atau sahabat-sahabat Tiongkok asing lainnya, umpamanya, antara lain : Anna Louise Strong (dari Amerika), Israel Epstein (Amerika), Rewy Alley (Selandia Baru), Muller (Jerman) Sidney Shapiro (Amerika). Mereka ini merupakan nama-nama yang terkenal sekali di Tiongkok sebagai sahabat yang sudah puluhan tahun, bahkan jauh sebelum Tiongkok dibebaskan.

Latar belakang kebesaran Bung Djawoto

Melihat betapa besarnya penghargaan Tiongkok terhadap Bung Djawoto itulah maka setiap ia muncul di layar televisi atau film berita, saya sebagai orang Indonesia merasa ikut bangga. Karena, ketika ia dinyatakan sebagai orang yang berbahaya atau sebagai “persona non grata” oleh rejim militer Orde Baru, ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang amat tinggi di negara lain, yaitu Tiongkok.

Menurut penglihatan saya, Tiongkok sangat menghargai Bung Djawoto, karena ia menduduki sekretaris jenderal PWAA yang sepenuhnya didukung oleh pemerintah Tiongkok. Tetapi, bukan itu saja. Tiongkok mengetahui bahwa Bung Djawoto adalah pilihan Presiden Sukarno yang tepat sekali untuk menjembatani persahabatan antara dua negara dan dua rakyat, ketika dua negara dan dua rakyat ini sedang menghadapi musuh bersama, yaitu imperialisme AS.

Status saya sebagai kepala sekretariat PWAA di Peking selama kira-kira 5 tahun memungkinkan untuk mengetahui dari dekat sekali sikap Bung Djawoto yang dengan amat setia menjalankan garis politik presiden Sukarno yang anti-imperialisme AS ini. Sikap semacam ini merupakan peningkatan lebih lanjut dan lebih jauh lagi dari apa yang telah dicapai oleh Konferensi Bandung tahun 1955 di mana Presiden Sukarno dan PM Chou En-lai memainkan peran yang besar sekali. Garis politik presiden Sukarno mengenai penggalangan setiakawan rakyat-rakyat dan negara-negara Asia-Afrika dan Amerika Latin adalah sejalan dengan garis politik Tiongkok waktu itu. Karena itu jugalah Bung Djawoto sangat dihormati oleh Tiongkok.

Jadi, bolehlah kiranya disimpulkan bahwa salah satu aspek kebesaran Bung Djawoto adalah kesetiaannya kepada garis politik Bung Karno. Dan hal inilah yang tercermin dalam rapat-rapat rutine sekretariat PWAA, dalam percakapannya dengan berbagai tamu, dan juga dalam kehidupannya sehari-hari di rumah.

Dengan wafatnya Mao Tse-tung pada tanggal 9 September tahun 1976 ketika ia umur 83 tahun, maka secara setapak demi setapak atau bertahap, politik dalam negeri dan luar negeri Tiongkok mengalami perubahan. Wafatnya Ketua Partai Komunis Tiongkok ini didahului oleh wafatnya PM Chou En-lai beberapa bulan sebelumnya, yaitu pada tanggal 6 Januari 1976. Dengan wafatnya kedua tokoh besar ini, maka perkembangan situasi di Tiongkok menjadi berlainan dari pada tahun-tahun sebelumnya, terutama semasa Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP).

Dampak besar wafatnya Bung Karno

Dari itu semua dapat dibayangkan betapa besar rasa sedih Bung Djawoto ketika ia mendengar berita tentang wafatnya Bung Karno dalam tahun 1970. Apalagi ketika ia membaca bahwa Bung Karno wafat dalam keadaan sakit, dan dalam status tahanan rumah yang ditrapkan oleh Angkatan Darat sejak beberapa tahun, terpisah dari anak istri dan kawan-kawan seperjuangannya yang terdekat. Rasa sedihnya ini dapat dimengerti kalau diingat bahwa baginya sendiri perjuangan politik bung Karno sejak mudanya sampai menjadi pemimpin besar bangsa dan presiden Republik Indonesia adalah sejalan dengan pandangan hidup Bung Djawoto sejak mudanya juga ketika ia masuk sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia dan kemudian Partai Nasional Indonesia.

Dengan wafatnya Bung Karno dalam tahun 1970, dan dihancurkannya kekuatan kiri pendukungnya oleh Angkatan Darat, berbagai gerakan setiakawan rakyat-rakyat Asia-Afrika kemudian berangsur-angsur mengalami kemunduran. Dari segi ini kelihatan nyatalah bahwa politik Bung Karno, yang disokong oleh kekuatan kiri Indonesia, terutama oleh PKI, merupakan motor atau sumber insiprasi bagi perjuangan rakyat berbagai negeri dalam melawan neo-kolonialisme dan imperialisme.

Wafatnya PM Chou En-lai dan Ketua Mao Tse-tung dalam tahun 1976, mempunyai dampak dalam perjuangan rakyat berbagai negeri dalam melawan imperialisme AS. Dalam situasi internasional yang demikian inilah Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) setapak demi setapak, atau secara bertahap, mengalami juga perubahan. PWAA yang lahir di Jakarta tahun 1963 dan di-“bidani” oleh Bung Karno dengan semangat Konferensi Bandung-nya, dan yang sejalan atau searah dengan politik internasional Tiongkok, kemudian tidak lagi memainkan peran dan missinya yang semula..

Pindah bertempat tinggal di Negeri Belanda

Karena perkembangan situasi internasional yang demikian inilah maka sekretariat internasional PWAA yang berkedudukan di Peking tidak berfungsi seperti sediakala lagi. Juga dengan berbagai pertimbangan lainnya, maka dalam tahun 1981 Bung Djawoto beserta keluarganya memutuskan untuk pindah bertempat tinggal di negeri Belanda. Sampai saat-saat terakhir sebelum kepindahannya ke negeri Belanda itu, Bung Djawoto beserta keluarganya tetap mendapat pelayanan terhormat atau perlakuan penuh respek dari pemerintah Tiongkok.

Bung Djawoto wafat pada tanggal 24 Desember 1992 dalam usia 86 tahun (ia lahir pada 10 Agustus 1906), dan dimakamkan di negeri yang jauh dari tanah-air yang dicintainya, dan terpisah jauh dari rakyat dan bangsanya , yang pernah ia ikut memperjuangkan kemerdekaannya, sebagai guru dan kemudian sebagai wartawan dan dutabesar RI.

Saya masih ingat pada upacara penghormatan terhadap jenazahnya, yang dihadiri oleh begitu banyak orang, yang berdatangan dari berbagai negeri di Eropa. Saya sendiri bersama istri memerlukan secara khusus datang dari Paris untuk menyampaikan rasa ikut berdukacita kami kepada Ibu Djawoto beserta putera-puterinya, serta menunjukkan rasa hormat kami kepada sosok besar ini.

Banyaknya jumlah orang-orang Indonesia dari berbagai kalangan yang hadir dalam upacara penghormatan terhadap jenazahnya adalah cermin bahwa Bung Djawoto memang mendapat respek yang tinggi dari banyak orang. Ia disegani oleh lawan-lawan politiknya, dan dihormati atau dicintai oleh orang-orang yang mengenalnya dari dekat. Hal ini tidak saja terjadi di luar negeri, melainkan juga jauh sebelumnya, sejak di tanah-air.

Peringatan 100 Tahun Bung Djawoto kali ini yang diselenggarakan di negeri Belanda merupakan kesempatan yang sangat baik dan juga sangat penting untuk mengingatkan kembali kita semua bahwa bangsa Indonesia pernah mempunyai tokoh pejuang yang besar, yang bernama Bung Djawoto. Kita patut ikut merasa bangga mempunyai orang besar sekaliber Bung Djawoto sebagai kawan seperjuangan kita bersama.

Sebab, jelas bahwa Bung Djawoto adalah tokoh besar sebagai pejuang nasionalis, besar sebagai wartawan, besar sebagai Sukarnois, besar sebagai pejuang rakyat Asia-Afrika, dan besar sebagai sahabat rakyat Tiongkok. Dan ia menjadi lebih besar lagi, karena dalam segala kebesarannya itu ia selalu tetap bersikap rendah hati, hidup sederhana, tidak suka menyombongkan diri, dan tidak suka menyakiti hati orang lain.

Oleh karena itu, kalangan wartawan atau dunia pers Indonesia perlu sekali mengetahui lebih banyak dari sejarah kehidupan dan perjuangan Bung Djawoto ini, terutama kalangan pers sejak berkuasanya rejim militer Orde Barunya Suharto. Generasi sekarang dan juga yang akan datang perlu tahu, dan juga ikut merasa bangga, bahwa bangsa Indonesia pernah mempunyai putera yang punya martabat nasional dan internasional yang begitu tinggi. Tetapi sayang sekali bahwa tokoh yang sama-sama kita cintai dan hormati ini justru tidak dihargai oleh para pembangun dan pendukung Orde Baru, yang bersekongkol dengan imperialisme, dan terutama imperialisme AS.

Mengingat itu semuanya, sudah sepatutnya, bahkan seharusnya, bahwa sejarah pers Indonesia khususnya dan sejarah bangsa kita pada umumnya menempatkan Bung Djawoto selayaknya atau setepat-tepatnya. Sebab ia adalah orang besar. Peringatan 100 Tahun Bung Djawoto kali ini merupakan sumbangan yang berharga dan penting sekali untuk usaha bersama kita ke arah itu. Ini penting bagi bangsa kita dewasa ini, dan juga bagi generasi bangsa kita yang akan datang.


Paris, 20 September 2006

Sumber: http://perso.club-internet.fr/kontak
posted by Indonesia Berjuang @ 2:53 AM 0 comments


SUNDAY, SEPTEMBER 24, 2006
Full Text of Chavez's UN Speech
Full text of Chavez's UN speech:
Venezuelan President, Hugo Chavez, Delivers Remarks to U.N. General Assembly,
New York,September 20th, 2006

HUGO CHAVEZ, PRESIDENT OF THE OLIVARIAN REPULIC OF VENEZUELA

Madam President, Excellencies, Heads of State, Heads of government andother government's representatives, good morning.First, and with all respect, I highly recommend this book by Noam Chomsky,one of the most prestigious intellectuals in America and the world, Chomsky. One of his most recent works: Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance (The American Empire Project) . It's anexcellent work to understand what's happened in the world in the 20thCentury, what's currently happening, and the greatest threat on this planet; the hegemonic pretension of the North American imperialism endangers the human race's survival.

We continue warning about this danger and calling on the very same U.S.people and the world to stop this threat, which resembles the Sword ofDamocles over our heads. I had considered reading from this book, but forthe sake of time, I shall just leave it as a recommendation. It reads easily. It's a very good book. I'm sure, Madam, you are familiar with it.

(APPLAUSE)

The book is in English, in Russian, in Arabic, in German.I think that the first people who should read this book are our brothers and sisters in the United States, because their threat is in their ownhouse. The devil is right at home. The devil -- the devil, himself, is right in the house.

And the devil came here yesterday.

(APPLAUSE)

Yesterday, the devil came here. Right here. Right here. And it smells ofsulfur still today, this table that I am now standing in front of.

Yesterday, ladies and gentlemen, from this rostrum, the president of the United States, the gentleman to whom I refer as the devil, came here,talking as if he owned the world. Truly. As the owner of the world.

I think we could call a psychiatrist to analyze yesterday's statement made by the president of the United States. As the spokesman of imperialism, hecame to share his nostrums, to try to preserve the current pattern ofdomination, exploitation and pillage of the peoples of the world.

An Alfred Hitchcock movie could use it as a scenario. I would even proposea title: "The Devil's Recipe."

As Chomsky says here, clearly and in depth, the American empire is doingall it can to consolidate its system of domination. And we cannot allow them to do that. We cannot allow world dictatorship to be consolidated.

The world parent's statement -- cynical, hypocritical, full of thisimperial hypocrisy from the need they have to control everything.

They say they want to impose a democratic model. But that's theirdemocratic model. It's the false democracy of elites, and, I would say, avery original democracy that's imposed by weapons and bombs and firingweapons.

What a strange democracy. Aristotle might not recognize it or others whoare at the root of democracy.

What type of democracy do you impose with marines and bombs?

The president of the United States, yesterday, said to us, right here, in this room, and I'm quoting, "Anywhere you look, you hear extremiststelling you can escape from poverty and recover your dignity throughviolence, terror and martyrdom.

"Wherever he looks, he sees extremists. And you, my brother -- he looks at your color, and he says, oh, there's an extremist. Evo Morales, the worthypresident of Bolivia, looks like an extremist to him.The imperialists see extremists everywhere. It's not that we areextremists. It's that the world is waking up. It's waking up all over. And people are standing up.

I have the feeling, dear world dictator, that you are going to live therest of your days as a nightmare because the rest of us are standing up,all those who are rising up against American imperialism, who are shouting for equality, for respect, for the sovereignty of nations.

Yes, you can call us extremists, but we are rising up against the empire,against the model of domination.

The president then -- and this he said himself, he said: "I have come to speak directly to the populations in the Middle East, to tell them that mycountry wants peace.

"That's true. If we walk in the streets of the Bronx, if we walk around NewYork, Washington, San Diego, in any city, San Antonio, San Francisco, and we ask individuals, the citizens of the United States, what does thiscountry want? Does it want peace? They'll say yes.

But the government doesn't want peace. The government of the United Statesdoesn't want peace. It wants to exploit its system of exploitation, of pillage, of hegemony through war.

It wants peace. But what's happening in Iraq? What happened in Lebanon? InPalestine? What's happening? What's happened over the last 100 years in Latin America and in the world? And now threatening Venezuela -- new threats against Venezuela, against Iran?

He spoke to the people of Lebanon. Many of you, he said, have seen howyour homes and communities were caught in the crossfire. How cynical canyou get? What a capacity to lie shame facedly.

The bombs in Beirut with millimetric precision? Is this crossfire?

He's thinking of a western, when people would shoot from the hip andsomebody would be caught in the crossfire.

This is imperialist, fascist, assassin, genocidal, the empire and Israel firing on the people of Palestine and Lebanon. That is what happened. Andnow we hear, "We're suffering because we see homes destroyed.

'The president of the United States came to talk to the peoples -- to the peoples of the world. He came to say -- I brought some documents with me,because this morning I was reading some statements, and I see that hetalked to the people of Afghanistan, the people of Lebanon, the people of Iran. And he addressed all these peoples directly.

And you can wonder, just as the president of the United States addressesthose peoples of the world, what would those peoples of the world tell himif they were given the floor? What would they have to say?

And I think I have some inkling of what the peoples of the south, theoppressed people think. They would say, "Yankee imperialist, go home." Ithink that is what those people would say if they were given the microphone and if they could speak with one voice to the American imperialists.

And that is why, Madam President, my colleagues, my friends, last year wecame here to this same hall as we have been doing for the past eight years, and we said something that has now been confirmed -- fully, fullyconfirmed.

I don't think anybody in this room could defend the system. Let's accept-- let's be honest. The U.N. system, born after the Second World War, collapsed. It's worthless.

Oh, yes, it's good to bring us together once a year, see each other, makestatements and prepare all kinds of long documents, and listen to goodspeeches, like Evo's yesterday, or President Lula's. Yes, it's good for that.

And there are a lot of speeches, and we've heard lots from the presidentof Sri Lanka, for instance, and the president of Chile.

But we, the assembly, have been turned into a merely deliberative organ. We have no power, no power to make any impact on the terrible situation inthe world. And that is why Venezuela once again proposes, here, today,September 20th, that we re-establish the United Nations.

Last year, Madam, we made four modest proposals that we felt to be crucially important. We have to assume the responsibility, our heads ofstate, our ambassadors, our representatives, and we have to discuss it.

The first is expansion, and Lula talked about this yesterday right here: The Security Council's expansion, both regarding its permanent andnon-permanent categories. New developed and developing countries, theThird World, must be given access as new permanent members. That's stepone.

Second, effective methods to address and resolve world conflicts,transparent decisions.

Point three, the immediate suppression -- and that is something everyone'scalling for -- of the anti-democratic mechanism known as the veto, the veto on decisions of the Security Council.

Let me give you a recent example. The immoral veto of the United Statesallowed the Israelis, with impunity, to destroy Lebanon. Right in front ofall of us as we stood there watching, a resolution in the council was prevented.

Fourthly, we have to strengthen, as we've always said, the role and thepowers of the secretary general of the United Nations.

Yesterday, the secretary general practically gave us his speech of farewell. And he recognized that over the last 10 years, things have justgotten more complicated; hunger, poverty, violence, human rightsviolations have just worsened. That is the tremendous consequence of the collapse of the United Nations system and American hegemonistic pretensions.

Madam , Venezuela a few years ago decided to wage this battle within theUnited Nations by recognizing the United Nations, as members of it that we are, and lending it our voice, our thinking.

Our voice is an independent voice to represent the dignity and the searchfor peace and the reformulation of the international system; to denouncepersecution and aggression of hegemonistic forces on the planet.

This is how Venezuela has presented itself. Bolivar's home has sought anonpermanent seat on the Security Council.

Let's see. Well, there's been an open attack by the U.S. government, animmoral attack, to try and prevent Venezuela from being freely elected to a post in the Security Council.

The imperium is afraid of truth, is afraid of independent voices. It callsus extremists, but they are the extremists.

And I would like to thank all the countries that have kindly announced their support for Venezuela, even though the ballot is a secret one andthere's no need to announce things.

But since the imperium has attacked, openly, they strengthened theconvictions of many countries. And their support strengthens us.

Mercosur, as a bloc, has expressed its support, our brothers in Mercosur.Venezuela, with Brazil, Argentina, Paraguay, Uruguay, is a full member of Mercosur.

And many other Latin American countries, CARICOM, Bolivia have expressed their support for Venezuela. The Arab League, the full Arab League hasvoiced its support. And I am immensely grateful to the Arab world, to ourArab brothers, our Caribbean brothers, the African Union. Almost all of Africa has expressed its support for Venezuela and countries such asRussia or China and many others.

I thank you all warmly on behalf of Venezuela, on behalf of our people,and on behalf of the truth, because Venezuela, with a seat on the Security Council, will be expressing not only Venezuela's thoughts, but it willalso be the voice of all the peoples of the world, and we will defenddignity and truth.

Over and above all of this, Madam President, I think there are reasons to be optimistic. A poet would have said "helplessly optimistic," becauseover and above the wars and the bombs and the aggressive and thepreventive war and the destruction of entire peoples, one can see that a new era is dawning.

As Silvio Rodriguez says, the era is giving birth to a heart. There arealternative ways of thinking. There are young people who thinkdifferently. And this has already been seen within the space of a mere decade. It was shown that the end of history was a totally falseassumption, and the same was shown about Pax Americana and theestablishment of the capitalist neo-liberal world. It has been shown, thissystem, to generate mere poverty. Who believes in it now?

What we now have to do is define the future of the world. Dawn is breakingout all over. You can see it in Africa and Europe and Latin America andOceania. I want to emphasize that optimistic vision.

We have to strengthen ourselves, our will to do battle, our awareness. Wehave to build a new and better world.

Venezuela joins that struggle, and that's why we are threatened. The U.S.has already planned, financed and set in motion a coup in Venezuela, and it continues to support coup attempts in Venezuela and elsewhere.

President Michelle Bachelet reminded us just a moment ago of thehorrendous assassination of the former foreign minister, Orlando Letelier.

And I would just add one thing: Those who perpetrated this crime are free.And that other event where an American citizen also died were Americanthemselves. They were CIA killers, terrorists.

And we must recall in this room that in just a few days there will be another anniversary. Thirty years will have passed from this otherhorrendous terrorist attack on the Cuban plane, where 73 innocents, in aCubana de Aviacion airliner, died.

And where is the biggest terrorist of this continent who took the responsibility for blowing up the plane? He spent a few years in jail inVenezuela. Thanks to CIA and then government officials, he was allowed toescape, and he lives here in this country, protected by the government.

And he was convicted. He has confessed to his crime. But the U.S.government has double standards. It protects terrorism when it wants to.

And this is to say that Venezuela is fully committed to combating terrorism and violence. And we are one of the people who are fighting forpeace.

Luis Posada Carriles is the name of that terrorist who is protected here.And other tremendously corrupt people who escaped from Venezuela are also living here under protection: a group that bombed various embassies, thatassassinated people during the coup. They kidnapped me and they were goingto kill me, but I think God reached down and our people came out into the streets and the army was too, and so I'm here today.

But these people who led that coup are here today in this countryprotected by the American government. And I accuse the American governmentof protecting terrorists and of having a completely cynical discourse.

We mentioned Cuba. Yes, we were just there a few days ago. We just camefrom there happily.

And there you see another era born. The Summit of the 15, the Summit ofthe Nonaligned, adopted a historic resolution. This is the outcome document. Don't worry, I'm not going to read it.

But you have a whole set of resolutions here that were adopted after opendebate in a transparent matter -- more than 50 heads of state. Havana wasthe capital of the south for a few weeks, and we have now launched, once again, the group of the nonaligned with new momentum.

And if there is anything I could ask all of you here, my companions, mybrothers and sisters, it is to please lend your good will to lend momentumto the Nonaligned Movement for the birth of the new era, to prevent hegemony and prevent further advances of imperialism.

And as you know, Fidel Castro is the president of the nonaligned for thenext three years, and we can trust him to lead the charge very efficiently.

Unfortunately they thought, "Oh, Fidel was going to die." But they'regoing to be disappointed because he didn't. And he's not only alive, he'sback in his green fatigues, and he's now presiding the nonaligned.

So, my dear colleagues, Madam President, a new, strong movement has beenborn, a movement of the south. We are men and women of the south.

With this document, with these ideas, with these criticisms, I'm now closing my file. I'm taking the book with me. And, don't forget, I'mrecommending it very warmly and very humbly to all of you.

We want ideas to save our planet, to save the planet from the imperialistthreat. And hopefully in this very century, in not too long a time, we will see this, we will see this new era, and for our children and ourgrandchildren a world of peace based on the fundamental principles of theUnited Nations, but a renewed United Nations.

And maybe we have to change location. Maybe we have to put the United Nations somewhere else; maybe a city of the south. We've proposed Venezuela.

You know that my personal doctor had to stay in the plane. The chief ofsecurity had to be left in a locked plane. Neither of these gentlemen was allowed to arrive and attend the U.N. meeting. This is another abuse andanother abuse of power on the part of the Devil. It smells of sulfur here,but God is with us and I embrace you all.

May God bless us all. Good day to you.


Sumber:
----- Original Message ----- From: "Didik Prasetiyono" didik@mail....
Sent: Saturday, September 23, 2006 4:59 AM
Subject: [marhaenis] Pidato Chaves di PBB / Full text of Chavez's UN speech
posted by Indonesia Berjuang @ 9:28 PM 0 comments
MONDAY, SEPTEMBER 18, 2006
PENGINGKARAN TERSELUBUNG TINDAK KEJAHATAN HAM TERHADAP WNI DI LUAR NEGERI: Catatan Sejarah HAM
INDONESIA BERJUANG, 18 September 2006
http://indonesia-berjuang.blogspot.com

PENGINGKARAN TERSELUBUNG TINDAK KEJAHATAN HAM TERHADAP WNI DI LUAR NEGERI: Catatan Sejarah HAM
(Dialog Redaksi "INDONESIA BERJUANG" dengan MD Kartaprawira)

Pada hari Senin, 11 September 2006, seorang kawan ex-mahid dari Swedia Sdr. Tom Iljas berhasil berbincang-bincang dengan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di sela-sela acara temu muka Presiden SBY dengan masyarakat Indonesia di Helsinki. Rencana semula Sdr. Tom Iljas akan berusaha berbincang-bincang dengan Presiden SBY dan menyampaikan surat tanggapan atas kebijakan pemerintah berkaitan dengan pemberian paspor/kewarganegaraan kembali kepada ex- mahasiswa ikatan dinas (selanjutnya - mahid). Berikut ini adalah dialog "INDONESIA BERJUANG" dengan Bpk MD Kartaprawira dari Indonesia Legal Reform Working Group, Negeri Belanda tentang kebijakan pemerintah SBY tersebut.

INDONESIA BERJUANG (selanjutnya IB): Tentunya anda telah membaca di beberapa milis laporan ex mahid yang tinggal di Swedia Sdr. Tom Iljas tentang perbincangannya dengan Menteri Hamid Awaluddin di Helsinki sekitar masalah wacana-kebijakan pemerintah terhadap ex-mahid di luar negeri yang dicabut paspornya oleh penguasa Orde Baru. Perbincangan tersebut berakhir dengan perbedaan pendapat yang tak dapat ditemukan. Apakah anda terkejut dengan hasil pembicaraan tersebut?

MD Kartaprawira (selanjutnya MDK): Oh tidak, sama sekali tidak terkejut. Dari permulaan sudah dapat diduga bahwa kebijakan pemerintah tersebut hanya sebatas pemberian paspor/kewarganegaraan saja, tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah paling pokok -- masalah pelanggaran HAM. Di samping itu, wacana-kebijakan tersebut banyak diliputi bermacam-macam sinyalemen yang mencurigakan bagi para ex-mahid dan "orang yang terhalang pulang" (selanjutnya - OTP). Misalnya dalam wacana tersebut, baik dari Hamid Awaluddin maupun Hasan Wirayuda (ketika berada di Belanda 28.08.2006) tidak sepatah kata pun menyinggung "HAM" (apalagi "Pelanggaran HAM"), penonjolan masalah ex-mahid dengan menyingkirkan orang-orang non-mahid padahal mereka nasibnya sama-sama dicabut paspornya. Dari balik kebijakan pemerintah tersebut sudah dapat diperkirakan akan munculnya sesuatu yang tidak bersih, sehingga tidak akan membuat ex-mahid/OTP terkejut dan kaget.

IB: Bisakah anda mengomentari hal-hal penting dalam percakapan Sdr. Tom Iljas dengan Hamid Awaludin yang menemui jalan buntu?

MDK: Dalam percakapan singkat tapi panas tersebut Hamid Awaludin dengan jelas menyatakan penolakannya untuk membicarakan masalah politik. Dia dengan suara keras dan nada marah berkata: "Tak bisa, tak bisa ! Kalau paspor dan kewarganegaraan kita urus. Kalau itu (yang dimaksud aspek politiknya -red) tak bisa!" (Lih.Laporan Tom Iljas, http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/40002 - red). Artinya dia secara tidak langsung tidak mau mengakui bahwa pencabutan paspor secara sewenang-wenang terhadap para mahasiswa dan non mahasiswa di luar negeri - suatu tindak pelanggaran HAM. Pernyataan Awaluddin demikian itu sudah menunjukkan ke arah mana masalah mahid/OTP ini dibawa. Tentu saja bukan ke arah penyelesaian untuk mengungkapkan dan menegakkan Kebenaran dan Keadilan, tetapi kearah jalan gelap sehingga masalah pelanggaran HAM itu hilang digelapkan dalam kegelapan. Modus operandi Orba macam demikian tentu akan mengalami kegagalan, sebab dalam tahap perkembangan politik di Indonesia dewasa ini -- era reformasi -- segala tipu muslihat gelap akan tersorot dengan jelas oleh masyarakat yang tidak bisa diperbodoh lagi.

Dalam wawancara saya dengan Patria Indonesia Bakti yang lalu (Lih. INDONESIA BERJUANG, Friday Sept. 01, 2006 http://indonesia-berjuang.blogspot.com - red.) saya tegaskan bahwa "penguasa negara mau tidak mau pada suatu saat akan terpaksa menangani masalah ex-mahid/OTP" yang oleh rezim Orde Baru telah dilanggar hak asasinya. Kebijakan pemerintah yang dibawakan Hamid Awaluddin membuktikan bahwa prediksi tersebut di atas tidak meleset. Tetapi konyolnya kebijakan pemerintah tersebut tidak didasari oleh pengakuan pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa negara/orba masa lalu.
Adalah suatu keblingeran apabila pemberian paspor/kewarganegaraan kembali dianggap seakan-akan sudah merupakan penyelesaian segala-galanya, bahkan dianggap "anugerah" agung yang harus disambut dengan badan membungkuk serendah mungkin di hadapan "pahlawan penyelamatnya". Saya kira para korban pelanggaran HAM di luar negeri tidak bisa tidak sadar akan siasat "selubung anugerah" tersebut, yang bertujuan mengubur fakta sejarah pelanggaran HAM terhadap warganegara Indonesia di luar negeri, yang sudah 40 tahun belum terselesaikan masalahnya sampai detik ini. Dan dengan siasat tersebut diharapkan para korban (ex-mahid/OTP) tidak lagi mempermasalahkan pelanggaran HAM di luar negeri, seakan-akan tidak pernah terjadi.
Jadi kalau selubung tersebut disingkap, maka kebijakan pemerintah berkaitan dengan ex-mahid/OTP yang tidak didasari pengakuan pelanggaran HAM, akan tampak jelas kebijakan tersebut sebagai pengingkaran terjadinya tindak kejahatan HAM yang dilakukan oleh negara.
Adalah suatu kenaifan apabila pemerintah memimpikan selubung tersebut tidak akan tersingkap.

IB: Jadi kalau dibulatkan, persoalan pokok apa yang harus dipecahkan untuk penyelesaian masalah ex-mahid/OTP?

MDK: Masalah pokok yang harus diselesaikan, kalau penguasa negara ini beriktikad baik mau menyelesaikan secara jujur sesuai jiwa rekonsiliasi nasional, maka haruslah pertama-tama KEBENARAN ditegakkan. Artinya, harus diakui bahwa penguasa negara -- Orde Baru -- telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warganegara Indonesia di luar negeri, yang karena mempunyai pandangan politik mendukung garis politik resmi pemerintah syah Soekarno dicabut paspornya.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa tuntutan penegakan Kebenaran dan Keadilan berkaitan dengan masalah korban pelanggaran HAM di luar negeri adalah sesuai dengan jiwa UUD 45 dan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), sehingga dengan demikian pemberian kembali paspor dan kewarganegaraan tidak lain adalah salah satu konsekwensi logis ditegakkannya Kebenaran dan Keadilan, bukannya anugerah atau hadiah pemerintah.

IB: Terima kasih atas kesediaan bapak berbincang-bincang. Selamat berjuang.

MDK: Selamat berkarya dengan iringan harapan sukses.


http://indonesia-berjuang.blogspot.com
INDONESIA BERJUANG, 18 September 2006
posted by Indonesia Berjuang @ 2:23 PM 0 comments
FRIDAY, SEPTEMBER 01, 2006

“Orang-orang Terhalang Pulang” 41 Tahun Tanpa Perhatian Negara: Catatan Sejarah HAM

(Dialog Redaksi “PATRIA INDONESIA BAKTI” dengan MD KARTAPRAWIRA)

PENGANTAR

Seperti kita ketahui masalah orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya karena dicabut paspornya oleh KBRI di luar negeri dengan sewenang-wenang setelah pecahnya peristiwa G30S tahun 1965 sampai saat ini – sudah 41 tahun lamanya -- belum mendapat penyelesaian dari penyelenggara negara, meskipun sudah diprakarsai oleh Presiden (mantan) Abdurrahman Wahid pada tahun 2000. Betapa tampak paradoksnya kebijakan pemerintah terhadap orang-orang GAM yang jelas-jelas melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia dibandingkan dengan kebijakan terhadap orang-orang yang dicabut paspornya tersebut di atas. Bahka n orang-orang GAM tersebut diberi berbagai macam santunan dan fasilitas yang jumlahnya cukup banyak. Di bawah ini adalah dialog santai Redaksi “PATRIA INDONESIA BAKTI” dengan Bpk. MD Kartaprawira, dari Indonesia Legal Reform Working Group di Negeri Belanda mengenai masalah-masalah berkaitan dengan “Orang Terhalang Pulang” di luar negeri.

Singkatan kata:
PIB – “PATRIA INDONESIA BAKTI”; MDK – MD Kartaprawira; OTP -- Orang Terhalang Pulang; Mahid -- Mahasiswa Ikatan Dinas


PIB: Banyak tulisa n di media cetak dan internet, termasuk tulisan-tulisan anda, mengenai :. Bisakah dijelaskan, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan OTP?

MDK: Yang dimaksud dengan “Orang Terhalang Pulang” - OTP yalah orang-orang yang pada waktu meletusnya peristiwa G30S di Indonesia sedang melakukan tugas di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat negara, delegasi, wartawan dan lain-lainnya) yang oleh KBRI di negara mereka berada dicabut paspornya atau dianulir keberlakuan paspornya karena persoalan politik, sehingga akhirnya berakibat kehilangan kewarganegaraan Indonesia, menjadi stateless – apatride. Dengan demikian mereka praktis tidak bisa ke mana-mana, termasuk pulang ke tanah air. Dari mereka ini kebanyakan adalah mantan mahasiswa-mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah Soekarno untuk tugas belajar ke negara-negara sosialis. Mereka ini juga dikenal sebagai “mahid” – mahasiswa ikatan dinas, sebab sesudah tamat belajar mereka diwajibkan berdinas pada negara dalam jangka waktu tertentu.Karena mereka tidak bisa selama-lamanya hidup sebagai orang stateless, maka akhirnya terpaksa memutuskan menerima paspor negara-negara di mana mereka berdomisili, agar secara yuridis terlindungi kehidupannya baik dari segi ekonomi maupun keamanan serta bisa menjenguk sanak keluarganya atau bervakansi ke Indonesia. Saya kira istilah “OTP” ini lebih tepat dibaca/diartikan sebagai “Orang Korban Pelanggaran HAM di Luar Negeri oleh Rejim Orba”.

PIB: Tapi apakah semua “mahid” menjadi OTP?

MDK: Pertanyaan bagus sekali, sebab banyak orang mengira bahwa semua mahid adalah OTP. Padahal tidak begitu kenyataannya, bahkan sebagian besar mereka bisa pulang dengan lenggang kangkung setelah tamat studinya.

PIB: Bisakah hal itu dijelaskan lebih jauh, mengapa ada mahid yang jadi OTP dan ada yang tidak – bahkan bisa lenggang kangkung pulang?

MDK: Seperti kita ketahui pada waktu Pemerintahan Soekarno Nasakom ( persatuan Nasionalis, Agama dan Komunis) adalah salah satu garis politik negara. Meskipun semua orang menyatakan mendukung Nasakom, tetapi kenyataannya terdapat golongan secara tidak terbuka menentangnya. Pada umumnya mereka ini anggota/pendukung parpol yang anti komunis. Maka di Indonesia terjadi dua kubu: pendukung politik pro-Nasakom dan pendukung politik anti-Nasakom. Peta politik demikian itu pun berimbas di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri, termasuk di kalangan mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa yang pro-Nasakom inilah yang dicabut paspornya oleh KBRI setempat. Padahal politik Nasakom ini adalah garis resmi politik pemerintah Soekarno, yang mengirimkan ke luar negeri, sehingga tidak ada salahnya sedikitpun kalau mahasiswa juga berorientasi pada politik pemerintah. Saya pada waktu itu adalah salah satu dari mereka yang sedang studi di Moscow (Uni Soviet).Ketika meletus G30S pun kami bingung, tidak tahu binatang apa gerangan G30S tersebut. Makanya absurd sekali ketika kami dituduh tersangkut G30S. Dan adalah kebijakan yang sangat brutal sekali ketika paspor kami dicabut atau dianulir keberlakuannya.Kami yang belajar di luar negeri, yang sedikit banyak bisa belajar tentang demokrasi dengan cepat mengerti dan menyadari bahwa itulah praktek fasis semacam yang pernah terjadi di negara-negara fasis. Proses hukum yang membuktikan kami bersalah sehingga harus dicabut paspornya tidak pernah dilakukan. Dan itu wajar di dalam negara fasis.

PIB: Mahasiswa yang belajar di Uni Soviet kala itu besar sekali jumlahnya. Bagaimana penguasa KBRI di Moscow mengetahui siapa-siapa yang harus dicabut paspornya?

MDK: Dengan timbulnya peristiwa G30S, maka para mahasiswa yang anti Nasakom mempererat hubungannya dengan KBRI yang didominasi oleh Atase Militernya dan mereka kemudian mendirikan KAMUS (Kesatuan Aksi Mahasiswa-Indonesia di Uni Soviet) yang serupa politiknya dengan KAMI dan KAPI di tanah air sebagai pendukung dan tulang punggung rejim Orde Baru/Suharto.Anggota-anggota KAMUS inilah yang mengetahui kehidupan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di universitas-institut di Uni Soviet. Mereka inilah sumber informasi intel-intel KBRI untuk menentukan siapa-siapa mahasiswa kiri pendukung Presiden Soekarno, untuk dituduh tersangkut G30S dan tidak loyal kepada RI yang harus dicabut atau dinyatakan tidak berlaku paspornya.

PIB: Bagaimana kehidupan anda dan mahid lainnya yang dicabut paspornya?

MDK: Setelah paspor kami dicabut atau dianulir, kami terus melanjutkan studi sampai tamat di Universitas masing-masing. Untungnya, dan kami berterima kasih sekali, bahwa pemerintah di mana kami studi bisa mengerti keadaaan kami, sehingga masalah pencabutan paspor tersebut tidak menjadikan masalah kelangsungan studi dan keberadaan kami.Saya pada awalnya mempunyai prediksi, bahwa keadaan carut marut di Indonesia karena peristiwa G30S akan cepat terselesaikan. Tapi kenyataannya bicara lain, bahkan pemerintahan Soekarno yang mengirimkan kami belajar ke luar negeri ditumbangkan oleh rejim jenderal Suharto setelah secara merangkak kudetanya mencapai titik finish di MPRS, yang dipimpin oleh jenderal Nasution dengan keputusan dicabutnya kekuasaan Presiden Soekarno.Menurut pendapat saya peristiwa tersebut suatu pukulan berat bagi gerakan pembebasan nasional rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan nekolim untuk mendirikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis politik Trisakti.Setelah saya tamat studi di Universitas, ternyata situasi yang saya harapkan tidak terjadi. Maka saya memutuskan untuk melanjutkan studi lagi pada jenjang lebih tinggi di Universitas Negara Lomonosov , Moscow (Uni Soviet) dalam bidang hukum internasional sehingga tamat. Sedang harapan akan perubahan politik di Indonesia tetap ada dalam benak saya. Sementara teman-teman mahid lainnya ada yang memilih bekerja dari pada studi.Tentu saja kehidupan di negara asing tidak se”nyaman” di negerinya sendiri, apalagi dari sudut pandang ideologi yang saya pegang - Marhaenisme Bung Karno. Ketidak cocokan ideologi inilah yang sering mengakibatkan kesulitan-kesulitan dalam kehidupan pribadi maupun organisasi. Meskipun demikian kesulitan-kesulitan tersebut dengan tabah bisa dihadapi dan diatasi. Setelah berhasil menamatkan studi lanjutan saya diterima bekerja di suatu institut penelitian sebagai peneliti senior selama 17 tahun. Di antara para mahid ada yang nasibnya lebih jelek (juga karena perbedaan politik dengan penguasa negara setempat), setelah tamat belajar diberi pekerjaan di kota-kota terpencil, jauh dari masyarakat Indonesia. Sehingga mereka merasa di”buang”.

PIB: Menurut anda apa yang harus dilakukan pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah
OTP pada umumnya dan mahid pada khususnya?

MDK: Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan benar-benar. Bagi kami pencabutan paspor tersebut di atas merupakan tindakan pelanggaran HAM. Sebab pencabutan paspor tersebut akhirnya berakibat mereka kehilangan kewarganegaraan Indonesia, menjadi stateless, apatride. Mereka tidak bisa pulang ke tanah air, terpaksa berpisah dengan keluarga, kehilangan karier di tanah air sebagai sarjana setelah tamat belajar, tidak dapat menyumbangkan tenaganya untuk bangsa dan negara. Anda bisa bayangkan betapa sedih-pilunya ketika ayah dan ibu meninggal dunia, di mana saya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa mengubur sebaik-baiknya sebagai anak yang telah dibesarkan. Saya tidak bisa membalas jasa ayah-ibu, padahal berdasarkan budaya Jawa adalah penting sekali ajaran “Mikul dhuwur, mendhem jero”. Kenyataannya saya di tanah seberang “tidak dapat memikul tinggi-tinggi dan tidak dapat mengebumikan dalam-dalam”. Mungkin anda bisa merasakan bagaimana sedihnya mengalami hal tersebut. Keseluruhan penderitaan tersebut saya simpulkan sebagai akibat pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa negara – Orde Baru terhadap saya (dan kami OTP pada umumnya).
Maka dari itulah penguasa Republik ini harus arif menyelesaikan masalah pelanggaran HAM tersebut dengan didasari penegakan kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi:1. Pemerintah harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh penguasa negara (Orde Baru) terhadap warganegaranya di luar negeri (OTP). Konsekwensi logis dari tindak pelanggran HAM tersebut pemerintah/negara harus secara jantan meminta maaf kepada para OTP tersebut di atas. Dengan demikian kebenaran tidak diplintir dan dijungkir balikkan. . Pemulihan hak-hak kewarganegaraan tanpa permintaan maaf sama saja dengan pengingkaran terselubung atas tindak kejahatan HAM terhadap OTP. Kebenaran inilah yang harus ditegakkan.2. Berdasarkan keadilan para korban pelanggaran HAM mestinya mendapatkan keadilan riil-materiil, selain paspor/kewarganegaraan. Ini prinsipnya. Tapi karena negara dalam keadaan melarat, maka semuanya dapat diatur secara lain. Berbahagialah para anggota GAM meskipun memberontak melawan negara Indonesia ternyata mendapat santunan dan fasilitas banyak. Sedang para OTP yang cinta NKRI, Pancasila, anti separatisme dan tidak memberontak, sampai sekarang tidak mendapat perhatian negara. Bisakah pemerintah menegakkan keadilan?3. Pemerintah tidak boleh mengulangi lagi praktek-praktek yang diterapkan kepada para korban pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu melakukan tindakan-tindakan diskriminatif, bersih lingkungan dan semacamnya. Dan pemerintah harus menjamin keamanan mereka ketika berada/bertempat tinggal di Indonesia.4. Pemenrintah tidak perlu memprasyaratkan agar para OTP mengangkat sumpah setia kepada negara untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya kembali (sebagaimana yang diminta Yusril Ihza Mahendra ketika pada tahun 2000 diutus Presiden Gus Dur ke Den Haag). Persyaratan demikian adalah penghinaan terhadap para OTP, yang cinta NKRI, Pancasila, tidak pernah memberontak, anti separatisme. Persyaratan demikian hanya cocok dan patut diterapkan kepada para pemberontak (GAM, OPM dll.).
PIB: Andaikata pemerintah mengeluarkan keputusan politik tentang pemulihan kewarganegaraan, kira-kira apakah para OTP akan menggunakan kesempatan tersebut?
MDK: Baiklah, mari kita berandai-andai. Andai kata nanti pemerintah benar-benar mengeluarkan keputusan politik tentang pemulihan kewarganegaraan kepada OTP, menurut pendapat saya mereka absolut berhak mempertimbangkan dan memutuskan menerima atau tidak kewarganegaraan tersebut. Sebab mendapatkan kembali kewarganegaraan adalah hak, bukan kewajiban. Kalau ada seseorang OTP tidak menggunakan kesempatan tersebut tentu ada sebab-sebabnya. Sebab bisa dimengerti secara praktis pemilikan kembali kewarganegaraan tidak memberi perobahan-perobahan riil dalam kehidupan, kecuali pembebasan visa kalau pergi ke Indonesia, pemilikan hak pilih dalam Pemilu dan untuk tinggal di Indonesia (bagi mereka yang kondisi jasmani dan finansinya memungkinkan).
PIB: Seandainya nanti Pemerintah membuat keputusan politik tentang pengembalian hak-hak kewarganegaraan para OTP, apakah mereka akan pulang kembali ke Indonesia?
MDK: Hak untuk menentukan tinggal di negara mana saja adalah hak asasi setiap orang, tidak tergantung pemilikan kewarganegaraan Indonesia. Jadi permasalahan pokok bukan masalah pulang, soal tempat tinggal, soal domisili, tetapi penegakan kebenaran dan keadilan. Apalagi kondisi obyektif kebanyakan para OTP tidak mudah untuk hijrah ke negeri mana pun, termasuk ke Indonesia. Sebab mereka sudah lanjut usia, menderita berbagai penyakit, di Indonesia tidak punya rumah, uang pensionnya tidak besar. Maka apabila di Indonesia jatuh sakit, keuangan mereka tidak cukup untuk membayar ongkos pengobatan di rumah sakit. Inilah masalah serius bagi OTP yang semuanya sudah dalam kategori manula dan selalu sakit-sakitan. Lain masalahnya kalau mereka tinggal di Belanda, Jerman, Swedia dll, masalah pengobatan tidak akan timbul, sebab sudah ditanggung oleh perusahan asuransi. Saya sangat menyangsikan apakah pemerintah menaruh kepedulian akan masalah-masalah tersebut.

PIB: Ada yang berpendapat bahwa OTP yang tidak memiliki paspor/kewarganegaraan Indonesia sudah tidak punya jiwa patriotisme lagi. Bagaimana komentar anda?

MDK: Pendapat demikian itu sangat tidak benar dan picik. Sebab patiotisme dari seseorang tidaklah dapat diukur dengan pemilikan kewarganegaraannya – paspornya. Hal itu sudah dibuktikan selama mereka menjadi OTP di luar negeri, di mana paspor yang dimiliki adalah paspor negara asing. Misalnya, mereka selalu mengadakan kegiatan-kegiatan (seminar, temu wicara, peringatan 17 Agustus, peringatan Hari Sumpah Pemuda, peringatan 100 Tahun Bung Karno, dan lain-lainnya) yang bertujuan untuk mendukung dan mengembangkan demokratisasi, tegaknya HAM, hukum dan keadilan di Indonesia. Mereka dengan tegas menentang separatisme. Mereka mempertahankan NKRI dan Pancasila. Mereka dengan tulus ikhlas memberikan perhatiannya atas musibah-musibah yang menimpa di tanah air, misalnya dengan pengumpulan dana bantuan untuk korban tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogya dan Klaten dan lain-lainnya.
Perlu diketahui bahwa mereka pada umumnya mempunyai idealisme tinggi. Bagi mereka untuk berbakti dan mencintai Indonesia, membantu tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia tidak dipersyaratkan adanya paspor/kewarganegaraan Indonesia, seperti yang telah dilakukan bertahun-tahun selama ini di luar negeri. Bahkan sejatinya pemilikan paspor/kewarganegaraan Indonesia sama sekali tidak menjamin bahwa pemiliknya adalah seorang patriot, bukan koruptor, bukan penjarah uang rakyat, bukan teroris penyebar bom yang mengacaukan keamanan, menyengsarakan rakyat Indonesia dan menjatuhkan nama Indonesia di mata internasional.Jadi terserahlah kepada setiap OTP yang bersangkutan untuk menentukan menerima kembali kewarganegaraan Indonesia atau tidak. Andaikata mereka tidak ingin menerima kembali kewarganegaraan Indonesia tidak dapat dikatakan bahwa mereka bukan bangsa Indonesia lagi. Apalagi, saya ulangi lagi, patriotisme tidak ditentukan oleh pemilikan paspor/kewarganegaraan.

PIB: Apa komentar anda atas berita-berita di media massa tanggal 25 Agustus 2006 tentang rencana pemerintah untuk mempersilahkan “ex-mahasiswa era Orde lama” yang kini berdomisili di luar negeri agar pulang ke tanah air?

MDK: Hal itu bisa saya ko mentari demikian:
1. Berita-berita tersebut baru suatu wacana-kebijakan pemerintah, tetapi belum dituangkan dalam wujud Keputusan/Peraturan konkrit dan jelas. Maka untuk mengomentari secara benar kita perlu menunggu Keputusan Pemerintah secara resmi.
2. Meskipun demikian sudah nampak kesalahan pandang pemerintah seakan-akan masalah pokok berkaitan dengan para ex-mahasiswa (Mahid) adalah semata-mata hanya kepulangan ke tanah air dan pemilikan paspor/kewarganegaraan. Padahal masalah-masalah tersebut sudah tidak urgen lagi dan merupakan bagian kecil dari masalah besar/pokok. Sebab kapan saja para ex-Mahid bisa pergi ke Indonesia bernostalgi dengan kampung halaman dan kangen-kangenan dengan sanak keluarga. Masalah pokok adalah penegakan Kebenaran dan Keadilan. Tentu saja dapat dimengerti bahwa masalah Rehabilitasi tidak akan timbul kalau penguasa negara tidak mau menegakkan Kebenaran dan Keadilan.
3. Saya kira kebijakan pemerintah tersebut merupakan bukti bahwa penguasa negara mau tidak mau pada suatu saat terpaksa harus menangani masalah ex-mahid ( dan OTP pada umumnya) di luar negeri yang dicabut paspornya. Sebab masalah tersebut menyangkut pelanggaran HAM oleh negara, yang tidak dapat dibungkus dan disembunyikan selama-lamanya.
4. Berdasarkan pengalaman 6 tahun lampau di mana mereka merasa dibohongi oleh Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, maka berita tentang akan diturunkannya kebijakan baru pemerintah sekarang ini ditanggapi sangat hati-hati oleh OTP.
5. Sangat diragukan dan mengundang kecurigaan: mengapa kebijakan tersebut hanya diberlakukan kepada para ex-mahasiswa saja, tidak menyinggung orang-orang non-mahasiswa yang juga dicabut paspornya? Apakah kebijakan tersebut bukan suatu diskriminasi penanganan masalah korban pelanggaran HAM? Atau apakah kebijakan tersebut bukan trik-trik tertentu pemerintah yang dewasa ini sedang kalang kabut menghadapi masalah-masalah berat? Atau trik lain yang bersangkutan dengan TAP MPR No. XXV/1966?
6 Saya condong ingin sependapat dengan seorang sahabat yang melihat bahwa kebijakan tersebut hanya untuk membuat imej kepahlawanan yang seakan-akan membela OTP (khususnya ex-mahasiswa) sikorban pelanggaran HAM. Tapi apakah hal itu bukan pahlawan kesiangan? Demi terlaksananya impian tahun 2009?

PIB: Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk berdialog dengan kami. Semoga Bapak selalu sehat dan sukses.

MDK: Terima kasih kembali, juga saya ucapkan anda sukses.“DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-61 DAN HIDUP PANCASILA!!!”

“PATRIA INDONESIA BAKTI”, 27 Agustus 2006
http://patriaindonesiabakti.blogspot.com
posted by Indonesia Berjuang @ 9:42 AM 0 comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar