Minggu, 21 Oktober 2012

PIDATO MEGAWATI, RAKERNAS II PDI PERJUANGAN


Rakernas II
Selasa, 16 Oktober 2012 17:08 Array Cetak Array E-mail
Pidato Ketua Umum
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Damai sejahtera untuk kita semua,
Om swasti astu.
Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,

Merdeka!!!
Saudara-saudara,
Puji syukur karena dalam sepanjang sejarah perjalanan dari PDI hingga PDI Perjuangan, kita selalu mendapat rahmat dan bimbingan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Hari ini, kita berkumpul disini, untuk merapatkan barisan, menyatukan pikiran, dan membulatkan tekad untuk terus berjuang mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta mengawal proses demokrasi di Indonesia.

Rakernas II ini sangatlah penting, dan menjadi bagian dari perjalanan kepartaian kita yang telah melaksanakan tiga kali kongres Partai. Pada Kongres I kita telah mengubah nama dan simbol dari PDI menjadi PDI Perjuangan sebagai persyaratan keikutsertaan pada Pemilu 1999. Pada Kongres II, kita secara tegas memutuskan untuk menjadi partai modern tanpa kehilangan roh kerakyatan, dengan meletakkan Pancasila sebagai ideologi Partai.

Skala prioritas konsolidasi saat itu menitikberatkan pada konsolidasi struktur Partai. Kongres III Partai meletakkan fondasi yang makin kokoh sebagai partai ideologi dan menetapkan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai roh partai. Keputusan Kongres III ini sangatlah penting, meski berat dalam pelaksanaannya, karena menitikberatkan pada konsolidasi SDM partai.
Konsolidasi yang berorientasi pada jati diri “manusia Partai” harus dibangun melalui tiga wajah Partai, yakni struktural, legislatif, dan eksekutif Partai.
Saudara-saudara sekalian,

Dalam pidato politik kali ini, ada dua hal yang ingin saya sampaikan: persoalan internal partai dan persoalan eksternal, baik nasional maupun internasional. Ditinjau dari aspek internal, maka Rakernas II di Surabaya ini merupakan forum politik untuk mengevaluasi sejumlah rekomendasi Rakernas I; memeriksa tingkat kesiapan kita memasuki tahun 2013; menyelesaikan persoalan-persoalan politik yang masih tersisa dalam tubuh partai; dan mempertajam sejumlah agenda strategis Partai.

Seluruh agenda internal, terkait erat dengan agenda lima tahunan kita, yakni Pemilu 2014. Sebagai partai peserta pemilu, penting bagi kita untuk memiliki gambaran utuh mengenai hal-hal yang bersifat teknis-politis terkait dengan pemilu 2014. Kita perlu memahami dengan sebaik-baiknya alat ukur dan aturan bermain mengenai seleksi calon anggota legislatif. Kita perlu melihat kembali keseluruhan strategi, metode, teknis kampanye, dan juga peraturan permainan dalam sistem pemilu yang baru.

Hal ini penting mengingat watak dan spirit sistem yang ekstra liberal dan individualis saat ini memiliki implikasi yang berbeda dengan watak sistem pemilu sebelumnya, yang menekankan pada pentingnya partai politik dalam perspektif demokrasi Pancasila yang kita idealkan. Hanya saja, memahami hal-hal teknis-politis saja tidaklah cukup. Mengapa? Karena setiap perjuangan politik --- apakah melalui jalan pemilu atau jalan revolusi --- punya hukumnya sendiri-sendiri. Proklamator kita Bung Karno menekankan adanya hukum paling sederhana, yakni persatuan.

Sebagai contoh, nenek moyang kita merumuskannya secara puitik dalam sebuah adagium ”bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Akan tetapi, hukum ini pulalah yang justru paling sulit ditaati, dan paling banyak dilanggar di sepanjang sejarah politik, termasuk partai kita sendiri. Inilah ironinya, kita sangat paham bahwa tanpa persatuan, kemenangan akan tetap tertahan sebagai mimpi. Sayangnya, kita selalu saja menemukan alasan untuk bertikai dan melukai satu dengan yang lainnya.
Karenanya, saya ingin kembali ingatkan kepada setiap kader partai, bahwa begitu mulai tidak solid, setengah kekalahan sudah berada di tangan kita. Mengapa? Karena politik adalah soal “kolektivitas”, soal “bersama”, soal “kita”; bukan soal “individu”, bukan soal “orang-perorang”, atau soal aku, dan bukan pula soal banyak uang.

Tidak ada satupun individu yang cukup besar, dan cukup digdaya untuk bisa melaksanakan politik seorang diri. Tidak juga seorang pemimpin. Karenanya, politik mesti dikerjakan secara gotong-royong. Politik mesti dicapai secara bermusyawarah. Politik mesti dialirkan melalui organisasi dan jaringan.

Saudara-saudara setanah air yang saya cintai,
Persiapan memasuki Pemilu 2014 juga mengharuskan kita untuk menuntaskan sejumlah persoalan politik yang sudah menahun dalam tubuh kita. Kita harus memeriksa kembali mengapa politik anggaran di tingkat pusat dan daerah masih jauh dari standar ideologi Pancasila. Anggaran yang mestinya didedikasikan untuk kelompok miskin, untuk sektor pertanian dan kelautan, untuk sektor publik masih jauh tertinggal dibandingkan dengan anggaran belanja pegawai.
Kita harus kembali memeriksa mengapa masih banyak produk legislasi yang masih tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Kita juga harus memeriksa kembali mengapa penyakit lama -- konflik antar eksekutif dan DPRD, terutama di antara sesama kader PDI Perjuangan-- tetap awet di banyak daerah.

Kita juga harus punya jawaban atas macetnya pola hubungan sinergis - kemitraan tiga pilar – eksekutif, legislatif dan struktural partai – yang telah kita canangkan beberapa saat lalu. Yang tidak kalah pentingnya, kita perlu mengoreksi bersama perilaku patologis sejumlah kader. Perilaku dan mentalitas politik “pokok-e”, mau menang sendiri, feodal dan mengerasnya kecenderungan pembatasan rekrutmen jabatan politik hanya pada orang-orang terdekatnya, terus terjadi di berbagai daerah.

Berbagai realitas obyektif tersebut menuntut kita untuk melakukan koreksi bersama dan menyeluruh melalui forum Rakernas kali ini. Hal-hal di atas penting dipecahkan bersama sebelum kita memasuki Pemilu 2014, agar peristiwa Pemilu nanti tidak terjerumus menjadi sekadar alat konsolidasi semua penyakit politik yang justru ingin kita sembuhkan.
Saudara-saudara sekalian,
Berkaitan dengan evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu kepala daerah, kita tentunya wajib bersyukur, bahwa dalam dua minggu terakhir PDI Perjuangan telah memenangkan Pilkada di 8 daerah. Di antara kesemuanya, Pilkada DKI Jakarta adalah yang paling fenomenal. Saya bersyukur dan berbangga, Bapak Joko Widodo dan Bapak Basuki Tjahaja Purnama akhirnya memenangkan pertarungan.

Kita semuanya patut bersyukur dan berbangga karena kader terbaik kita dipercaya memimpin ibukota Negara. Demikian halnya kemenangan untuk kedua kali Bapak Cornelis dan Bapak Christiandy di Kalimantan Barat.
Saya dan kita semua wajib bersyukur karena pilkada DKI Jakarta telah memberikan kesempatan emas bagi partai untuk menjalankan proyek sejarah dan ideologi. Kesempatan untuk menguji sejauh mana imajinasi ideologis tentang Bhinneka Tunggal Ika, tentang nasionalisme, tentang persamaan hak warga negara sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat kita. Sayapun bangga karena melalui Pilkada Jakarta, kita bisa menyaksikan ada perdebatan publik yang keras dan luas mengenai isu-isu di atas, namun tetap berada dalam sebuah koridor demokrasi yang sehat dan santun.

Saya lebih bangga lagi, karena Pilkada Jakarta membuktikan bahwa Pancasila masih menyala di dalam dada dari bagian terbesar rakyat negeri ini. Kini menjadi nyata bagi kita, bahwa kemenangan Jokowi dan Basuki, adalah kemenangan suara diam rakyat yang tak tahan lagi menyaksikan betapa kebhinnekaan telah berubah seperti menjadi bencana, dimana toleransi menjadi kemewahan, dimana kekerasan dan penindasan atas nama agama, suku, kelompok menjadi bahasa umum; dimana diskriminasi menjadi perilaku normal.

Kini kita mendengar secara simbolik suara diam rakyat Jakarta yang mewakili seluruh rakyat Indonesia yang berujar lantang: kita adalah satu, kita adalah sama Indonesia, apapun perbedaan yang kita miliki. Kitapun boleh bangga dan merayakannya sebagai sebuah pencapaian penting dalam evolusi peradaban politik Indonesia.

Saudara-saudara,
Kita juga patut bersyukur karena Pilkada Jakarta juga telah menjadi medan ujian penting bagi sejumlah keyakinan dasar politik partai. Kita sekarang semakin paham dan yakin bahwa uang bukan fundamen paling penting dalam sebuah pertarungan politik. Mitos bahwa uang adalah segala-galanya, telah dipatahkan melalui Pilkada Jakarta. Kita semakin paham dan yakin bahwa politik pencitraan ternyata ada batasnya.

Pilkada Jakarta membuktikan, adagium bahwa kebohohongan yang terus diulang-ulang akan menjadi kebenaran, kini tidaklah terbukti. Kita kini semakin paham dan yakin bahwa gotong royong tetap menjadi hukum pokok dalam berpolitik di Negara tercinta ini. Pilkada Jakarta telah mengembalikan gotong-royong dari sekadar slogan menjadi spirit kerja konkret partai.
Rakyat pun bergerak secara sukarela dalam semangat perubahan ini. Pilkada Jakarta menunjukkan dengan jelas, politik bagi rakyat bukan soal transaksi, bukan soal untung-rugi. Rakyat menceburkan diri langsung dalam politik karena soal kepentingan umum, soal kemaslahatan publik, soal solidaritas dan soal kebersamaan.

Kita semakin paham dan yakin bahwa menangis dan tertawa bersama rakyat sebagaimana saya sampaikan dalam Kongres III lalu, tetap menjadi dasar dalam berpolitik kita. Inilah saudara-saudara pelajaran besar yang bisa kita petik dari kemenangan Pilkada di ibukota Jakarta.
Pelajaran yang harus terus-menerus kita rawat sebagai modal memasuki Pemilu 2014.
Hanya saja saudara-saudara, di tengah-tengah rasa syukur dan bangga, kita masih juga menyaksikan bagaimana kemenangan Jokowi-Widodo telah membuka jalan bagi banyak pihak untuk mengklaim sebagai yang paling berjasa. Pilkada Jakarta juga telah membuka jalan bagi para “penumpang gelap” untuk ikut menikmati sukses tanpa merasa terganggu sedikitpun secara moral.
Terlebih lagi, Pilkada Jakarta telah membuka tabir betapa sempitnya pemahaman banyak pihak terhadap politik. Kita menyaksikan bagaimana elit dan cerdik pandai berlomba merayakan kemenangan sambil menyingkirkan pihak yang kalah. Politik seakan menjadi hanya persoalan “menang-kalah”. Mereka dengan lantang seakan mengatakan, “menang” adalah puncak dari semua keagungan politik. “Kalah” adalah gambaran dari kebodohan dan keterbelakangan dalam politik.
Orang lupa bahwa politik bukan soal “menang-kalah” saja, betapapun itu penting. Orang lupa bahwa politik adalah proyek sejarah dan ideologi: kerja menyusun satu-demi-satu sendi-sendi kehidupan dan batu-batu peradaban yang memungkinkan keseluruhan kemanusiaan kita termanifestasi dan berkembang. Peradaban yang memungkinkan seluruh imajinasi ideologi bisa diimplementasikan secara nyata.
Saya ingin saudara-saudara paham akan hal ini. Jika politik hanya soal “menang dan kalah”, sudah pasti bukan seorang Jokowi atau Basuki yang saya rekomendasikan. Mengapa? Karena semua hasil survei menyatakan dengan sangat tegas: jangan pilih Jokowi maupun Basuki karena pasti akan kalah. Tetapi sebagai Ketua Umum saya justru memutuskan untuk merekomendasikan keduanya dengan cara-cara ideologis-politik yang saya pikirkan dan kembangkan.
Saudara-saudara,
Prioritas jangka pendek kita memang memenangkan Pemilu 2014. Tetapi ini tidak berarti mengabaikan tugas ideologis kita sebagai partai. Berulang kali saya sampaikan, bahwa tantangan ideologis kita terbesar saat ini adalah bagaimana menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang hidup, ideologi yang bekerja, ideologi yang membumi. Untuk itulah, Bung Karno telah menunjukkan jalannya, melalui apa yang disebut sebagai Trisakti, yakni berdaulat di bidang politik; berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Berbicara tentang berdaulat di bidang politik, saya tidak pernah bosan dan selalu bertanya, apakah kita sudah berdaulat secara politik? Dan dengan tegas saya mengatakan: belum. Mengapa?
Salah satu alasannya adalah karena politik legislasi nasional kita masih jauh dari gambaran sebuah Negara yang berdaulat. Saya telah meminta kepada fraksi di DPR untuk secara serius menyelaraskan semua produk UU dengan dasar ideologi Pancasila 1 Juni 1945.

Penuntasan perubahan KUHP, yang notabene merupakan warisan kolonial Belanda seharusnya perlu diprioritaskan untuk disinkronkan dengan hal-hal yang terdapat dalam UUD 1945. Apakah hal tersebut masih diperlukan ataukah seharusnya ditiadakan. Sebab bangsa yang berdaulat secara politik adalah bangsa yang ke dalam, mampu menegakkan aturan hukum nasionalnya. Demikian pula dengan serangkaian UU lainnya yang secara substantif bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Saudara-saudara sekalian,
Berdaulat di bidang politik juga mensyaratkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang mampu mengatasi fragmentasi dan disintegrasi antar lembaga-lembaga Negara. Konflik yang sangat memprihatinkan antara KPK-POLRI yang terjadi akhir-akhir ini, adalah gambaran konkret terjadinya krisis dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Konflik yang ada semakin menggambarkan tidak berfungsinya secara maksimal kepemimpinan nasional dan rendahnya kapasitas untuk memimpin. Alih-alih terwujudnya prinsip checks and balances, kita menemukan kecenderungan saling melemahkan antar lembaga-lembaga Negara. Hal ini semakin diperburuk oleh fakta, gaya kepemimmpinan nasional saat sekarang yang cenderung abai pada berbagai kekisruhan yang ada demi menjaga citra diri.
Inilah dua tantangan besar bangsa yang perlu mendapatkan pembenahan sangat segera secara nyata melalui rekonsolidasi kelembagaan Negara dan pentingnya ketegasan terus-menerus dari seorang pemimpin.

Saudara-saudara,
Aspek kedua dari trisakti, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. Tantangan di bidang ini juga maha dahsyat. Dan secara khusus saya meminta perhatian saudara-saudara pada potensi krisis kedaulatan pangan yang melanda negeri ini. Ancaman atas kedaulatan pangan sedemikian nyata dan siap merenggut masa depan anak-anak kita. Lebih dari sekadar memberikan perhatian, saya meminta saudara-saudara mulai mengindentifikasi persoalan dan menemukan jalan keluar dari masalah ini Kita sedang berhadapan dengan masalah kemampuan produksi yang terus merosot.

Perubahan iklim, diikuti oleh rendahnya kepedulian politik pemerintah pada sektor pertanian dan kelautan, membuat potensi produksi pangan bangsa semakin menurun. Persoalan distribusi juga menjadi hambatan serius. Kontrol oleh segelintir pengusaha yang berperilaku seperti kartel terhadap sejumlah komoditas kunci, telah menyebabkan kelangkaan sejumlah komoditas di berbagai daerah dan semakin meningginya harga-harga komoditas tersebut.

Perilaku makan yang bertumpu pada komoditas tunggal, sebagai contoh adalah beras, semakin memperburuk krisis kedaulatan pangan kita. Spektrum persoalan menjadi semakin serius, karena kita juga dihadapkan pada krisis air bersih yang merupakan tumpuan kehidupan manusia.
Krisis air yang terjadi harus dicermati secara tajam sebagai puncak peringatan karena rendahnya komitmen serta kepedulian terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan terjadi secara masif di banyak wilayah. Alih fungsi hutan yang tidak terkendali, perluasan pemukiman di daerah aliran sungai, industrialisasi perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, dan rendahnya komitmen terhadap penerapan tata ruang seperti yang selalu saya ingatkan dalam berbagai kesempatan, adalah penyebab utama semakin rusaknya lingkungan kita. Oleh sebab itu saya perlu tegaskan, bahwa kita harus melaksanakan dengan segera dan konsisten UU tentang Tata Ruang.
Saudara-saudara,
Dari perspektif internasional, ketergantungan Indonesia yang semakin ekstrem pada produk pangan luar negeri, kini mengantarkan bangsa ini pada fase yang sangat membahayakan. Apalagi dalam situasi global dimana kapitalisme sedang menghadapi pasang surut, suatu krisis yang sangat dalam.
Saya ingin tegaskan apa yang saya sampaikan pada Rakernas I bahwa Bung Karno telah mengingatkan kita aka hal ini 70 tahun yang lalu: “Penyakit kapitalisme adalah krisis. Penyakit krisis ini selalu menyerang tubuh kapitalisme…… Krisis yang satu belum selesai, sudah datang menimpa krisis yang baru.”

Apa yang saya khawatirkan selama ini kini terbukti. Kontraksi ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat terus saja berlangsung. Bahkan krisis tersebut semakin dalam dan kini melalui Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik menjadi 7,2 persen pada tahun 2012.
Bahkan, China sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia hanya bertumbuh 7,7 persen, turun dari 9,3 persen pada tahun 2011.
Karena itulah saya meminta agar saudara-saudara tetap awas, tetap waspada tanpa harus menjadi paranoid. Jangan lengah dan tertidur oleh buaian angka-angka statistik yang berkisah tentang ekonomi Indonesia yang seakan kebal dari sebuah krisis.
Krisis kapitalisme global sebagaimana direpresentasikan oleh krisis yang dalam di Eropa dan Amerika Serikat, satu saat akan menghampiri Indonesia. Hal inilah yang terus-menerus saya ingatkan sejak Rakernas I, bulan Desember 2011 yang lalu. Sama halnya dengan bangsa lainnya, kita pun akan terkena imbas dari krisis yang ada. Karenanya, saya minta setiap Kepala Daerah dari PDI Perjuangan untuk sungguh-unggguh mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Saya bukan bermaksud untuk membesar-besarkan persoalan krisis ini. Tetapi kita harus selalu bersiap diri ketika sebuah krisis itu datang menghadang di hadapan kita. Langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain, menginventarisasi semua potensi pangan di daerah masing-masing. Lakukan juga survei kecil-kecilan di lingkungan keluarga-keluarga sehingga kita punya gambaran yang lebih konket dan jelas apa yang sesungguhnya dikonsumsi rakyat kita sehari-hari. Dengan pengetahuan yang kita punyai, kita bisa membantu rakyat untuk mengenal sumber-sumber pangan alternatif yang bergizi dan berada di sekitar kita.
Saudara-saudara sekalian,
Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya dari Trisakti adalah mempunyai kepribadian dalam kebudayaan. Saya mencermati betapa bahayanya erosi budaya dalam kebudayaan kita.
Hal yang sederhana nampak pada rendahnya perhatian generasi muda terhadap seni budaya bangsa, termasuk kesenian dan tari tradisional atau lokal yang perlu dilestarikan. Sebaliknya, perhatian berlebihan justru diberikan pada kebudayaan asing. Saya ingin menegaskan, tidak ada modernisasi yang terlepas dari akar kebudayaannya. Bahkan, kalau kita berbicara tentang berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, sebenarnya hanya bisa terwujud, apabila rakyat hadir sebagai sumber kebudayaan yang penuh dengan daya cipta.
Saudara-saudara,
Akhirnya, melalui forum Rakernas kali ini saya minta setiap kader untuk menjadi duta-duta ideologis dari partai. Menjadi tugas kita untuk selalu membumikan Pancasila melalui jalan Trisakti.
Pada saatnya nanti, ketika saudara-saudara kembali ke daerah masing-masing, sampaikan kepada setiap anak bangsa yang kalian temui, bahwa telinga PDI Perjuangan selalu mendengar suara paling senyap sekalipun dari rakyat. Sampaikan bahwa PDI Perjuangan terus membuka mata untuk melihat derita rakyat dan berjuang untuk rakyat. Sampaikan bahwa PDI Perjuangan tetap mengasah nurani dan akal sehat untuk menemukan jalan keluar dari setiap kesulitan yang timbul. Sampaikan bahwa kita mendengar, kita melihat, kita peduli, dan kita tetap berada di setiap detak kegalauan rakyat.

Saudara-saudara dan hadirin yang berbahagia,
Hanya saja sebelum mengakhiri pidato ini, saya perlu menggaris-bawahi, kita lakukan kesemua hal di atas karena kita sadar-sesadarnya bahwa hakekat kekuasaan dan politik itu adalah rakyat.
Karenanya, dalam pengabdian pada rakyatlah kita menemukan arti dari hidup yang sesunggguhnya. Bung Karno mengingatkan kita:
“Yang berdiri disini bukan aku, kamu atau kita. Berdiri disini adalah rakyat. … merekalah yang punya kekuasaan dan kedaulatan penuh di negeri ini. ….. segala keinginan yang tertulis adalah keinginan rakyat. Aku berbicara karena rakyat ingin bicara. Aku melawan karena memang demikian seharusnya. Bukan aku bukan kamu dan bukan kita. … Yang kulakukan adalah berjuang dan berjuang untuk mereka. Memberikan apa yang mereka mau. Melakukan apa yang aku bisa dengan seluruh jiwa ragaku. Dan kebahagiaanku adalah melihat mereka bahagia. Maka demikianlah hidupku menjadi berarti”.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Surabaya, 12 Oktober 2012
Megawati Soekarnoputri
KETUA UMUM PDI PERJUANGAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar