Minggu, 28 April 2013

Pancasila, Dasar Atau Pilar?



Pancasila, Dasar Atau Pilar?

BERDIKARIonline, Senin, 29 April 2013 | 0:34 WIB   

Lambang Pancasila
Lambang Pancasila
Tulisan Harry Tjan Silalahi berjudul “Sesat Pikir, Samakan Pancasila sebagai Pilar”, yang dimuat di Kompas tanggal 12 April 2013, mengeritik penyamaan Pancasila dengan pilar. Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara tidak sama dengan pilar.
Memang, sejak tiga tahun terakhir, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan sosialisasi “empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara”. Keempat pilar itu adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tulisan Harry Tjan itu menunai polemik. Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin, berusaha menangkis kritikan Harry Tjan itu. Menurutnya, penggunaan istilah “empat pilar” lebih kepada pertimbangan teknis komunikasi efektif. Lebih lanjut, ia mengatakan, istilah empat pilar itu justru akan meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara.

Perdebatan ini patut diapresiasi. Maklum, sejak Orde Baru mengkeramatkan Pancasila, perdebatan mengenai ideologi dan dasar negara nyaris tidak terjadi. Satu-satunya interpretasi yang berlaku adalah interpretasi orde baru. Padahal, di era Bung Karno, pendiskusian soal Pancasila cukup intensif.

Saya sendiri tidak setuju dengan penyamaan Pancasila sebagai dasar negara dengan sebagai salah satu pilar. Menurut saya, penyamaan Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar (UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), justru mereduksi esensi Pancasila sebagai dasar negara.

Untuk memahami makna Pancasila sebagai dasar negara, ada baiknya menyelami konteks dan esensi pidato tanggal 1 Juni 1945. Untuk mengerti konteksnya, menarik menyimak penuturan Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Setelah tentara sekutu mendarat di Okinawa, posisi Jepang mulai terjepit. Lantaran itu, pada tanggal 29 April 1945, Jepang menyetujui proposal pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab BPUPKI saat itu: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Tiga hari perdebatan tidak menemukan jawabannya. Barulah, pada tanggal 1 Juni 1945, yakni saat Bung Karno berpidato, jawabannya diketemukan.

Menurut saya, konteks pidato 1 Juni adalah adanya kebutuhan menyiapkan dasar negara untuk Indonesia Merdeka. “Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI) untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka,” kata Bung Karno.

Lantas, dasar negara yang seperti apa yang diminta? Bung Karno menjawab: “Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Artinya, dengan melihat konteks pidato 1 Juni 1945, saya menyimpulkan bahwa esensi Pancasila memang dasar negara. Menurut Bung Karno, hampir semua bangsa merdeka di dunia, seperti Rusia dan Tiongkok, itu punya “Weltanschauung” atau pandangan hidup. Dan di atas weltanschauung itulah dibangun Indonesia Merdeka.

Artinya, sebelum Indonesia ini mewujud menjadi negara merdeka, weltanschauung-nya sudah harus ada. Dan memang, sebelum proklamasi Kemerdekaan, penggodokan dasar negara ini sudah tuntas. Tanggal 22 Mei 1945, panitia kecil atau panitia 9 sudah menyelesaikan dasar negara itu dalam bentuk Piagam Jakarta. Dan UUD 1945, yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, mencantumkan Pancasila di mukadimah atau pembukaannya.

Tetapi, sebuah Weltanschauung haruslah berpijak pada realitas lingkungan, pengetahuan, prinsip hidup, dan kepribadian yang sudah lama hidup dan dianut oleh masyarakat bersangkutan. Dengan demikian, weltanschauung tidak bisa diimpor atau ditiru begitu saja dari luar.

Memang, seperti dijelaskan Prof Driyarkara SJ, kalau filsafat itu ranahnya di lingkungan ilmu pengetahuan, sedangkan weltanschauung adanya di lingkungan kehidupan. Maka, tidak salah kalau Bung Karno mengatakan, “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh Bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada Bangsa Indonesia kembali.”

Artinya, lima prinsip atau azas dalam Pancasila, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/Perikemanusiaan, Mufakat/Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan, pandangan kehidupan yang sudah ada di kalangan bangsa Indonesia sejak lama.

Bagi saya, Pancasila sebagai dasar negara maknanya adalah bernegara berdasarkan Pancasila. Manusia-manusia Indonesia “me-negara” berdasarkan ‘pandangan hidup’ Pancasila. Penyelenggara negara menjalankan praktek bernegara juga harus ‘berpandangan hidup’ kepada Pancasila.

Dalam konteks itu, misalnya, bagaimana supaya kesejahteraan sosial sebagai salah satu sila dari Pancasila bisa terwujud, maka perlu dibuatkan konstitusi/UUD yang mengatur kewajiban dan syarat-syarat mencapai tujuan itu. Atau, contoh lainnya, bagaimana supaya Kebangsaan Indonesia itu kuat, maka realisasinya adalah bentuk “Negara Kesatuan” dan “Bhineka Tunggal Ika”.

Makanya, saya juga berpandangan, cara pandang menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar sama saja dengan menyejajarkan Pancasila dengan tiga pilar lainnya (UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika). Cara pandang ini jelas mendegradasi Pancasila sebagai dasar negara atau weltanschauung.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa diubah lagi. Beda halnya dengan konstitusi, UUD 1945, bisa diubah sesuai dengan tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan hidup serta realitas perjuangan rakyat Indonesia. Tetapi, kalaupun ada penyusunan ulang konstitusi, konstitusi baru itu tetap harus sejalan dengan Pancasila.

Risal Kurnia, kontributor Berdikari Online

Sumber Artikel:
 http://www.berdikarionline.com/opini/20130429/pancasila-dasar-atau-pilar.html#ixzz2RjJO7Vi3 
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar