Sabtu, 01 Juni 2013

Ende, Flores, dan Pemulihan Soekarno

UNTUK MENYONGSONG HARI ULTAH LAHIRNYA PANCASILA DAN BUNG KARNO TAHUN 2013 "INDONESIA BERJUANG" AKAN MENAYANGKAN ARTIKEL-ARTIKEL BERKAITANNYA (4)

http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/06/ende-flores-dan-pemulihan-soekarno.html
Ende, Flores, dan Pemulihan Soekarno
Daniel Dhakidae  Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta;
Tulisan Ini Disarikan dari Edisi Khusus Prisma, ”Soekarno”
KOMPAS, 31 Mei 2013


Tanggal 1 Juni besok, situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran oleh
Wakil  Presiden Boediono, dengan taman dan penataan lanskap di lokasi ditempatkannya 
patung Soekarno. Patung karya pematung Hanafi tersebut berbeda dari patung Soekarno
mana pun di Indonesia. Patung-patung lain menggambarkan Soekarno beraksi, tangan 
teracung. Di Ende,Soekarno seorang pemikir reflektif, tenang, dan duduk. Koor gabungan 
1.000 siswa SMA Ende akan mengumandangkan lagu polifonik ”Io Vivat Nostrorum Sanitas” 
(sehat walafiatlah sobat-sobat kita) yang diajarkan Bung Karno untuk klub teaternya di Ende.

Kontribusi Ende

Soekarno dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami
 kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada pemenjaraan kedua,
1933, ampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah kolonial. Dalam keadaan begitu, Soekarno
menjejakkan kakinya di dermaga Pelabuhan Ende, Februari 1934.

Soekarno yang datang ke Ende adalah Soekarno yang ”secara politik mati”, kata Hatta. Namun,
di Ende, perlahan Soekarno membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi tahap.

Pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di
Bandung. Soekarno menanam sayur-mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya
demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang
Muslim yang taat—shalat sehari lima waktu dan setiap Jumat ke masjid.

Kedua, dari menjadi bapak keluarga, Soekarno perlahan-lahan menghidupkan kembali kegiatan 
intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa, keasyik-masyukannya
dengan  marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, tulisan 
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, 1926, adalah manifesto politik Soekarno muda yang 
brilian, 25 tahun—tidak kalah dari Marx (30) dan Engels (28); ketiganya berada dalam kurun 
umur  sama. Di Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar, dari kacamata marxisme yang menuntut 
simpati Islam terhadap marxisme karena Islam pada dasarnya adalah sosialis, demikian Soekarno. 
Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam.

Ketiga, Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena propaganda
kolonial: dia dianggap komunis. Soekarno mengeluh bahwa tidak ada orang yang mendengarnya
di Ende: ”Orang di sini yang mengerti tidak bicara dan yang bicara tidak mengerti.”

Karena itu, ”aku akan membentuk masyarakatku sendiri” dan mempersetankan ”orang pintar
 yang tolol itu”. Dia mendirikan ”Kelimoetoe Toneel Club”, dengan dukungan tukang jahit, sopir,
nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 
drama dalam tempo empat tahun! Rata-rata setiap triwulan satu drama. Dengan anggota antara 
56 dan 90 orang dia membentuk ”massa kecil”, kemudian jadi ”kampus” tempat diskusi. Soekarno 
menanam kesadaran akan kemerdekaan meski semuanya dalam bahasa simbolik teater karena 
lima polisi kolonial selalu mengawasinya.

Keempat, perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar
melangkah ke suatu kelompok berbeda, dengan para pastor/misionaris. Diskusi dalam bahasa 
Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang rata-rata seumur dengannya, 
35-40 tahun, saat pemuda Soekarno berumur 33 tahun.

Di sana dipelajari agama mondial dalam diskusi dengan dukungan buku di perpustakaan
pribadi para pastor itu. Sosialisme Soekarno dibandingkan langsung dengan sosialisme gereja 
yang dipelajarinya di sana.
Kelima, berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu membuai
Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu menggali dan merenung
tentang Pancasila yang dilukiskan Soekarno dengan begitu puitik.

Ende dan Sang Ideolog

Soekarno memang lebih menekankan renungan di bawah pohon sukun. Namun, menurut
penulis, Soekarno mengabaikan dua hal lainnya, karena gabungan ketiganya—diskusi, aksi 
teater, dan refleksi—secara gemilang mengantarnya menuju kesatuan mistik di bawah pohon 
sukun untuk menemukan sesuatu yang tujuh tahun kelak, pada 1 Juni 1945, disebutnya sebagai 
Pancasila. Maka, lahirlah seorang ideolog negara, state ideologist, di Ende.

Dengan demikian, Ende jadi penting bagi Soekarno. Jika Ende penting bagi Soekarno, dan
Soekarno penting bagi Indonesia, dengan sendirinya Ende harus penting bagi Indonesia.
Sebab, apa pun yang penting bagi Soekarno, penting bagi bangsa ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar