Rabu, 30 November 2011

Hadang Gerakan Separatisme di Papua


SBY: Hadang Gerakan Separatisme di Papua
"Papua adalah Indonesia, Indonesia adalah Papua, berikut ribuan pulau dan suku bangsa."

Sabtu, 29 Oktober 2011, 22:14 WIB

Pipiet Tri Noorastuti, Suryanta Bakti Susila

Kerusuhan pacsa Kongres Rakyat Papua III (REUTERS/ Stringer )

VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepakat dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie soal ketegasan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia sepakat untuk menindak tegas gerakan separatisme. 

"Kita perlu mempertahanklan NKRI dan menghadang gerakan separatisme terutama yang ada di Papua," katanya, dalam pidato di acara HUT Partai Golkar ke-47 di Senayan, Jakarta, Sabtu, 28 Oktober 2011.

Ucapan Yudhoyono itu merujuk pidato Aburizal yang mengajak seluruh komponen bangsa untuk sungguh-sungguh menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di Papua. "Kita juga harus arif dan berjiwa besar," kata pria yang akrab disapa Ical itu. 

Di hadapan Yudhoyono, Aburizal menegaskan bahwa NKRI adalah harga mati. Integritas bangsa adalah pertaruhan tertinggi, dan karenanya, bagi Golkar, tidak sejengkal pun tanah di Republik Indonesia yang boleh dipisah-pisahkan oleh siapa pun. "Pemerintah, didukung penuh masyarakat, harus bersikap tegas. Kita harus berani membela prinsip mulia tersebut dengan cara-cara yang terhormat."

Selain itu, dikatakan Aburizal, Partai Golkar mengajak semua yang terlibat dalam gerakan yang memproklamasikan negara transisi Papua untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. "Kita mencintai Papua. Papua adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Papua, berikut ribuan pulau dan suku bangsa lainnya." (umi)

KOMENTAR:
Masalah mempertahankan NKRI dengan harga mati dan menghadang gerakan separatism Papua (dan lain-lainnya) adalah kewajiban semua rakyat Indonesia bersama institusi Negara. Sebab kewajiban tersebut sesuai dengan UUD 1945.
Tetapi persoalannya tidak hanya sampai pada harga mati NKRI dan penghadangan separatisme saja. Harus ada kejelasannya apakah kekuasaan NKRI tersebut untuk kemakmuran rakyat Papua dan rakyat Indonesia pada umumnya? Dari praktek sejak berkuasanya rejim ordebaru/Suharto ternyata NKRI hanya sebagai  alat kepentingan penguasa   untuk menggadaikan dan/atau menjual obral SDN bangsa Indonesia yang kaya raya, supaya mendapatkan gerojokan utang dari luar negeri. Akibatnya SDN semua habis terkuras oleh kapitalis monopoli asing, sedang Negara tertimbun hutang dari luar negeri.. Rakyat sebaliknya tetap melarat dan hidup sekarat. Tanah air Indonesia yng indah, kini kotor penuh limbah.
Kini rakyat Indonesia dihadapkan  pada beberapa masalah yang sangat berat. Sebab meskipun NKRI bisa dipertahankan, tapi kalau penguasa Negara melaksanakan politik neoliberalisme sama saja Indonesia dijajah kaum neokolinialis. Tetap saja SDN kita terus dikuras habis-habisan bukan untuk kepentingan rakyat. Politik demikanlah yang selama 32 tahun dijajalankan rejim orba dan dilanjutkan rejim neo-orba  di era „reformasi“ ini.
Maka yang sangat penting adalah timbulnya pemimpin yang tegas, berani mempertahankan NKRI harga mati dan berpolitik melawan neoliberalisme. Pemimpin demikian tentu akan berani merebut kembali SDN Indonesia dari tangan kekuasaan neokolonialist/neoliberalist. Pemimpin yang demikian  sadar benar akan tugasnya melaksanakan secara nyata Pasal 33 UUD 1945. Freeport, misalnya, tentu tidak akan direlakan terus menguras kekayaan alam Papua  dan merusak lingkungannya. Memang sangat dinantikan timbulnya tokoh seperti Bung Karno, yang berani melarat demi kepentingan rakyat dan berani melawan kaum nekolim/neoliberalist, berani menasionalisasi kekayaan alam Indonesia yang dikangkangi asing.

„Angktan 66“ yang dengan bangga bersama rejim Orba  menggulingkan Pemerintahan Bung Karno tentu tidak bisa dan tidak perlu diharapkan untuk naik jadi pemimpin. Sejak permulaan para intelek angkatan tersebut sudah keblinger menbjadi buntutnya  jenderal Suharto melakukan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno. Tapi mereka sampai saat ini bungkam tidak ada yang dengan tulus dan jujur mengakui dosa mereka jadi pembuntut Suharto melakukan kudeta, mendirikan rejim dikmilfas Orba, yang mengakibatkan kehancuran bangsa dan negara di semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara  sampai di era „reformasi“ dewasa ini. Malah banyak yang dewasa ini duduk di papan atas meneruskan politik orde baru.
MD Kartaprawira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar