MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA (2012)
BUNG KARNO:
PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (IV)
Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di
Istana Negara
Tadi saya menandaskan kepada Saudara-saudara, cara hidup
manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mempengaruhi alam persembahannya --
kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di
dalam gua-gua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam
hutan, ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. la melihat
bulan dan bintang-bintang. la sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu
hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambamya. la menyembah
pada petir. la menyembah kepada sungai, yang memberi ikan kepadanya. la
menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bemaung di bawahnya. la
menyembah kepada awan yang berarak. la menyembah kepada matahari yang memberi
cahaya cemerlang pada siang hari. la menyembah kepada barang-barang yang
demikian itu. Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api,
berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan.
Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada
waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa
guntur dan petir, ia materialisir, ia materikan. Ia mendengar guntur
yang menggeludug. Apa itu? "0, itu Thor, yang turun dari satu mega ke lain
mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara." Kalau ia mendengar
guntur menggeledek itu, "Thor sedang berjalan" --"Thor sedang
naik kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan". Ia menyembah
sungai yang memberi makan kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang
masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga misalnya -- Bengawan Silugangga, kata
orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari zaman baheula.
Ia menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu. Di dalam Bhagawad
Gita diceriterakan, pada hakekatnya yang harus kita kenal dan kita hormati
bukan batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bhagawad
Gita, Kresna berkata kepada Arjuna: "Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah
angin. Aku tiada mula tiada akhir, aku ada di
dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai." Itu juga disembah.
Sang manusia zaman dulu -- fase pertama itu -- kalau samudra sedang
menggelora, membanting di pantai, menekukkan lututnya,
133
menyembah sebagaimana orang
Jawa pantai selatan dulu kalau mendengarkan Lautan Kidul sedang
menggelora, berkata: 'Lampor(33), lampor!" Manusia Jawa
zaman dahulu, menyembah Lautan Selatan.
Saya kembali kepada Bhagawad Gita. Bhagawad Gita berkata: "Aku ada di
dalam geloranya air laut yang membanting di pantai. Aku ada di dalam sepoinya
angin yang sedang meniup. Aku ada di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di
dalam awan yang berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku
ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinamya bulan. Aku di dalam senyumnya sang
gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir."
Bhagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada
yang disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubahubah. Zat yang ia sembah,
yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir,
berupa air laut, berupa sungai, sampai dimaterialisir: Thor, dewa dari donder.
(34)
Notabene,(35) Saudara-saudara, kita punya
perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, Saudara-saudara. Di daerah
Skandi-navia dewa langit dinamakan Thor. Geluduk, guruh, petir itu, orang
Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, Raja Thor. Perkataan
Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini karena pada
hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one -- manusia
itu satu sebetul-nya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya. The same under
the skin -- kata orang Amerika -- di bawah kulit sama saja. Kalimat itu
pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.
Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenamya,
yang tepat. Dia punya begrip itu, manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan
air sungai, Tuhan angin. Contoh dari restan-restan kepercayaan ini tadi
saya sebutkan. Di India orang masih menyembah Sungai Gangga. Di Jawa, lampor.
Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup: "Lampor,
lampor, lainpor!" Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di
luar rumah.
33 Suara gaduh dari
angin, menurut kepercayaan suara orang halus (bhs. Jawa). 34 Guntur (bhs.
Belanda).
35 Perhatikan (bhs. Belanda).
134
Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan,
terutama sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu,
daging, kulit kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada
binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan
kepada orang yang masih menyembah batu: "Masak batu disembah, pohon
disembah, sungai disembah. lni Tuhan yang betul, berupa binatang."
Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau
burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan
penyembahan binatang. Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika Saudara
mengganggu seekor sapi, Saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu
keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko,
masuk di mana-mana. Orang India yang masih kolot sakit, misalnya, minta tahi
sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang
sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk
membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Ya, oleh
karena dia anggap ini keramat, pagar penolak segala bahaya. Ini adalah restan
dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.
Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, Saudarasaudara, dia
punya begrip dari Tuhan itu kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian.
Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan.
Dewi-dewi yang memberkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekerefactor,(36)
tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, tergantung dari
banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia lantas
memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup
di dalam alam -- kata-karilah keagamaan, ketuhanan, religius -- tiap-tiap
bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere
factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa
memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia
memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan
pertanian: Dewi Sri, Dewi Laksmi,
36 Faktor yang tak
pasti (bhs. Belanda).
135
Saripohaci, godinnen van de landbouw.(37) Malahan dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam
pertama, tidak selalu dibentukkan manusia: pohon ya pohon, kayu ya kayu yang
disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam
alam kedua, peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi, buaya ya
buaya. Buaya disembah di alam Mesir yang dulu, coba lihat lukisan-Iukisan Mesir
dulu! Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular.
Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk "Tuhan" -- yang manusia
sembah -- dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph -- anthropus adalah
manusia, morph adalah bentuk
--berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi
Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi-dewi ini, manis, anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia dari- Tuhan-nya. Batu
pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus,
dewi.
Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu
dari alam pembuatan alam itu? Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal,
akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen(38) yang
waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding dari akal.
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bersarang -- di
sini -- di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di
dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak
bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba: batu bisa diraba, sungai bisa, sapi
bisa, dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun,
siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis
cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alim--ulama zaman itu --
ini dewi! Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung
Aphrodite, buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai
sekali, membuat patung wanita Aphrodite -- Dewi Asmara -- yang sampai sekarang
kalau orang melihat patungnya itu, "Bukan main!" Tetapi ia membuat
patung itu dari apa? Modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak.
37 Oewi-dewi pertanian (bhs. Belanda 38 Penemuan (bhs. Belanda).
136
Betul--betulan. Pada satu hari
di tempatnya itu ada pemilihan Dewi Asmara, seorang wanita yang cantik,
dikeramatkan menjadi Dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung,
modelnya, dus, benar-benar wanita itu, materi, zuiver mens(39)
dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib.
Tuhan di mana? Tidak kelihatan
tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh
karena akallah menjadi penentu dari hidup manusia.
Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih dari digaibkan.
Karena di situ manusia merasa dirinya -- atau sebagian dari manusia -- merasa
dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin
oleh manusia. Mau petir? Aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir.
Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit(40) sekian milyun
volt, aku buka dia punya stroom -- petir! Aku bisa membuat petir.
Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa membuatnya. Mau hujan?
Sekarang ada pesawat-pesawat pembikin hujan. Mau outer-space,(41) keluar
dari alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan,
persetan! Tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ! Sebagian dari manusia berkata:
"Tuhan tidak ada!" Saudara-saudara bisa mengikuti analisa ini? Batu
atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan, tetapi
tidak bisa dilihat, gaib. Nomor lima, sebagian dari manusia de heersers van
de industrie, de geleerden(42) -- banyak yang berkata:
"Tidak ada Tuhan!" Hilang sama sekali begrip
itu.
Nah, ini bagaimana? Saya menyelami rnasyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya
-- grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud -- saya melihat,
bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada
juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tetapi -- sebagai grootste
gemene deler, kleinste gemene veelvoud -- bangsa Indonesia percaya kepada
Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena
masyarakat Indonesia pada
39 Benar.benar orang
(bbs. Belanda). 40 Listrik (bhs.
Belanda).
41 Angkasa lu ar (bhs. Inggris).
42 Orang yang rnenguasai industri, ka urn ilrnuwan.
137
dewasa ini sampai kepada
penggalian-penggalian ke dalam, terutama sekali masih hidup di dalam alam
perpindahan keempat --- tiga keempat, dan empat kelima -- sebagian besar masih
agraris, dan tiap-tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian
hidup di dalam alam kerajinan. Tadi pun saya terangkan, rakyat yang hidup di
dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan
Tuhan yang gaib. Sebagian kecil telah hidup di dalam alam industrialisme itu.
Tetapi itu bukan lagi corak dari keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat
masyarakat kita pada saat sekarang ini, ter-utama sekali ialah sebagian
agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam
industrialisme.
Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu
rakyat yang mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan
sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya
tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen, dari
meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau
membuang satu elemen yang bindend(43), bahkan masuk
betul-betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia.
Kalau Saudara tanya kepada saya persoonlijk,(44) apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan? Ya, saya ini
percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya
betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho
lha kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian
gaib, apa Tuhan itu berubah--ubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat
ini tidak berubah-ubah, tetapi yang berubah-ubah ialah begrip manusia. Begrip
manusia itu yang berubah-ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara
hidupnya.
Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek,
atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita,
itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira
bahwa Tuhan berupa sapi. Átau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan
berupa Dewi Sri. Di dalam alam nijverheid,
43 Terikat (bhs. Belanda).
" Secara pribadi (bhs. Belanda).
orang memberikan mahligai
kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang
sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: Nonsens(45) Tuhan,
aku bisa membuat atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang
berubah, Tuhan-nya tetap.
Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di
Candradimuka. Ada lima orang -- kelima-limanya buta dan belum pernah melihat
gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah:
"He, kami lima orang kepingin tahu gajah." Boleh. Gajahnya besar
dikeluarkan dari kandangnya. "Nah, ini gajah yang berdiri di muka
Saudara-saudara. Coba Saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah
itu!" Si A maju ke muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya
oleh yang punya gajah: "Bung, bagaimana bentuk gajah?" Jawabnya,
gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke muka dan
ia meraba-raba mendapat kaki gajah. "Gajah itu kok begini, empuk, tetapi
seperti pohon kelapa. " C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang-pegang,
dapat telinga gajah. "Ya, gajah itu seperti daun keladi, Pak."
Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor gajah. "Seperti
pecut, cemeti." Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya
gajah. Tidak dapat pegang apa-apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung
itu gajah. "0, gajah itu seperti hawa".
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira
gajah seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip
manusia yang berbeda-beda.
Nah, Saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan
bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets(46)•
Di dalam tiap-tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya
sering minta apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu
memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. lni cerita persoonlijk: Saya
sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi -- dan
mimpi itu saya rasa, ini mimpi-mimpi betul -- biasanya keesokan harinya
teljadi. Bagi lain orang, lain barangkàli terjadinya itu, lain bulan dan
sebagainya. Bagi
45 Omong kosong (bbs.
Belanda).
46 Sesuatu yang
sungguh-sungguh (bhs. Belanda).
139
saya -- praktik saya, kalau
saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi-impian -- kontan keesokan
harinya terjadi. Hal-hal yang semacam itu memberi keyakinan kepada saya bahwa
Tuhan ada.
Bagaimana seluruh rakyat lndonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis
besarnya -- telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya
lihat dari sejarah keagamaan -- pada garis besamya rakyat Indonesia ini percaya
kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama
kita. Dan formulering (47) Tuhan Yang Maha Esa, bisa diterima oleh semua golongan agama di lndonesia
ini.
Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen
yang bisa mempersatukan batin bangsa lndonesia dengan cara yang
semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah
satu Leitstar yang utama, sebab
kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama,
untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar
kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini
dimasukkan.
Dan itulah sebabnya maka di
dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.
47 Rumusan (bhs.
Belanda).
140
(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA
ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika,
2005, hal.133-140)
Disiarkan ulang: MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
Disiarkan ulang oleh
INDONESIA BERJUANG, 01 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar