Sabtu, 02 Juni 2012

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (III)

MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA (III)


BUNG KARNO:
PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA  (III)
Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara
Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintara, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur-leburnya negara kita, hancur-leburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd.
Jadi empat saf: saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo - gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting -- sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu.
Jadi, saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Saya lantas berkata, kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, insya Allah, seluruh rakyat lndonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu-padu.
Ambil misalnya hal sila yang per-tama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek(26) bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa lndonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan dari sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya -- saya ulang-­ulangi pada umumnya -- sebab sila-sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud (27)
Jadi jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa ber­Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaan-nya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia menyala-nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai
26 Tabiat khas. (bhs. Belanda).
27 Istilah bhs. Belanda untuk Pembagi Persekutuan Terbesar dan Kelipatan Persekutuan Terkecil.
Maksudnya: Hasil garis besar, sebagai keseluruhan
127
Keseluruhan -- grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud ­saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, groot-ste gemene deler itulah. Het kan niet anders(28) daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.
Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders --  tidak bisa lain -- bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannya, tempat kepercayaan.
Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua­gua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase dari kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab -- dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut -- apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil dari evolusi. Saya cuma menceriterakan saja ada satu cabang ilmu pengetahuan, bahwa manusia itu adalah hasil dari evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bemama Adam dan satu manusia bemama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusia-manusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan. Mungkin uga dulu berupa een cellige wezens -- sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren.(29) Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap, tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki.
Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini.
Mula-mula hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi, evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus ribu tahun:
28 Tidak bisa la in (bhs. Belanda).
29 Hewan tidak bertulang punggung (bhs. Belanda).
1?R

PANCASILA BUNG KARNO
Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti dari teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi, di desa Trinil, terdapat tulang-tulang dari makhluk yang demikian ini.
Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet, tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang itu. Sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam -- entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa -- katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhimya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih dari setengah juta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini berasal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.
Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. ltu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senjata Màuser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling(30) ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mempertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mempengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-­gua, di bawah pohon-pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.
Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua.
Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyong-konyong. Tidak. lni adalah satu pertumbuhan yang evolusioner: Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari perburuan dan mencari ikan,
30 Pendirian (bhs. Belanda).
129
mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu­memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa berkembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali -- garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud --hidup dari peternakan, memelihara binatang.
Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini -- setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian menjadi peternak -- ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama-lama ia tahu bahwa inakanan yang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah-buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui -- biasa baginya -- bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. Tetapi lambat-laun ia berpengalaman, bahwa tanaman pun bisa ditanam. Tumbuh­tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buah-buahan bisa ditanam.
Dan terutama sekali, Saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi salut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. la melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek, menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa dari wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang
130
PANCASILA BUNG KARNO
yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain -- barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar. Dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah -- zaman dahulu itu orang masih makan darah -- harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek-korek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip(31)   wadah. Bahkan -- karena barangkali tidak ada buah labu -- wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat primitif, akhirnya menjadi semacam periuk.
Wanita yang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belum rumah seperti sekarang, meskipun rumah desa pun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama dari atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapatkan apa yang di-namakan civilization, peradaban.
Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar, wanita yang bercocok tanam mula-mula.
Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi, bisa ditanam. Lama-lama si laki pun mening­galkan cara hidup beternak, capek selalu mencari tempat penggem­balaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindah-pindah, nomade. Tatkala ia beternak pun -- tingkat yang kedua -- tidak mene­tap, berpindah-pindah mencari makanan untuk ternaknya, nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki­ dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian -- manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch, menjadi orang-orang yang menetap.
Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi. Pertanian, lama-lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-lama timbul pikiran akan
31 Pengertian, paham.
131
semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat; aku membuat bajak; aku membuat cangkul; aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa menggelinding. Lama-lama menjadi begrip gerobak. Geiobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari-hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpulkan serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari-hari mengumpulkan serat-serat untuk menenun -- kelas penenun.
Demikianlah seterusnya timbul golongan-golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. "Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu." Begrip ruilhandel,(32)  tukar-menukar timbul.
Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup dari apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul, membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian -- ruilhandel.
Evolusi lagi. Akhimya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan dari nijverheid ini, membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya mesin uap dan lain-lain -- industrialisme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalarni, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia Barat, di Amerika dan di Eropa.
Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa mahusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Bertemak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. lndustrialisme, lima.
Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum dari masyarakat manusia.
32 Perdagangan secara tukar-menukar (bhs. Belanda).
132

(Arsip – K.Prawira: BUNG KARNO “PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA”, PANCASILA BUNG KARNO, Paksi Bhineka Tunggal Ika, 2005, hal.127-132)
Disiarkan ulang: MD Kartaprawira, Nederland 02 Juni 2009
Disiarkan ulang oleh INDONESIA BERJUAMG, 01 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar