Perubahan Strategi Umum AS dan RRT di
Asia Pasifik
dan Sikap Indonesia
Pertarungan AS dan RRT
di Asia Pasifik.
Presiden Amerika
Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012 telah mengumumkan Strategi Baru AS
abad ke-21, diantaranya : merampingkan angkatan
bersenjata AS sehingga dapat mengurangi anggaran belanja militer,
menitik-beratkan hubungan politik, militer dan ekonomi dengan kawasan
Asia-Pasifik yang saat ini menjadi motor penggerak ekonomi dunia. Oleh karena
itu, AS akan mengubah cara mencapai tujuannya dengan apa yang disebut “smart
power” yang memadukan “soft power” dengan “hard power”. Strategi baru ini
merupakan penyesuaian terhadap strategi luar negeri AS sebelumnya yang dikenal
juga dikenal sebagai “Dokrin Bush” yang menekankan “hak AS melakukan
penghacuran terhadap sumber bahaya yang mungkin datang mengancam rakyat dan
kepentingan Amerika.”
Hal yang
menimbulkan kekuatiran Republik Rayat Tiongkok (RRT) adalah rencana AS
memperkuat kehadiran di Asia-Pasifik dan tidak akan mengurangi anggaran belanja
militer AS di kawasan tersebut. Sebagai bagian dari pelaksanaan strategi baru
ini, Amerika Serikat mengumumkan rencana untuk menempatkan 2.500 pasukan
marinir di Darwin, Australia dan disana akan dibangun tempat pelatihan militer
AS. Panglima Operasi Angkatan Laut AS,
Laksamana Jonathan Greenert menambahkan bahwa “Kami berencana menempatkan
beberapa kapal tempur pantai (littoral combat ship-LCS) di fasilitas angkatan
laut Singapura. Semua ini merupakan bagian dari strategi keseluruhan Amerika
Serikat di Asia Pasifik yang baru-baru ini diumumkan oleh presiden AS Obama.
Kantor Berita Pemerintah RRT, Xin Hua, tanggal 10
Januari 2012 menulis : ….fokus AS yang kembali ke Asia Pasifik telah membawa
pengaruh paling mendalam. ….. Atau dengan kata lain, AS berusaha mewujudkan
keseimbangan dalam pertarungan dengan Tiongkok di kawasan Asia Pasifik, dengan
titik beratnya mencegah keseimbangan strategis kawasan semakin condong ke
Tiongkok, agar AS jangan sampai tersisih dari kawasan ini. AS melaksanakan strategi baru di Asia
Pasifik dengan mengutamakan smart power dan menggunakan perselisihan Tiongkok
dengan negara-negara sekitarnya. Dalam kondisi itu, negara-negara lainnya
berusaha melakukan keseimbangan diplomatik di tengah pertarungan Tiongkok dan
AS. Mereka juga khawatir menimbulkan kemarahan Tiongkok kalau memihak AS,
sehingga tidak bisa berbagi keuntungan perkembangan ekonomi Tiongkok. Ini
menunjukkan lingkungan sekitar Tiongkok masih belum memburuk sepenuhnya,.... “.
CRI (China Radio International) tanggal 13
Januari 2012 yang lalu menyiarkan bahwa tujuan utama pengalihan titik berat
strategi AS ke kawasan Asia-Pasifik adalah untuk mengekang Tiongkok melalui
" pengekangan lunak.” Berkenaan dengan itu, Tiongkok perlu
melawannya dengan " pengekangan lunak” juga.
Selanjutnya mengenai
strategi apa yang akan diambil RRT menghadapi strategi baru AS tersebut, Xin
Hua menulis “Tiongkok perlu memasukkan Asia Barat dalam lingkungan eksternal,
merumuskan strategi dengan mempertimbangkan perpaduan kondisi laut dan darat,
barat dan timur, selatan dan utara, khususnya mempertimbangkan kekuatan AS,
Rusia, Jepang, India, Australia dan lain-lain dalam tatanan yang sama. Tiongkok
hendaknya menggunakan kekuatannya di bidang ekonomi, militer dan diplomasi
secara terpadu untuk menghadapi krisis, mendorong terbentuknya kerangka
interaksi positif antara Tiongkok, AS, dan negara-negara di sekitar
Tiongkok.”
Bagaimana Sikap Indonesia Menghadapi Perubahan Lingkungan
Sekitar ini ?
Politik luar negeri bebas aktif pemerintah
RI telah memainkan peranan penting dalam usaha mencapai pengakuan kemerdekaan
tahun 1949, pembentukan kekuatan Non-Blok dan perjuangan pembebasan Irian Barat
awal tahun 60-an. Sayang politik luarnegeri bebas aktif ini telah diselewengkan
oleh pemerintah Orde Baru Suharto.
Politik luar
negeri bebas aktif tersebut terbentuk pada masa perjuangan kemerdekaan sebagai
jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan kaum kiri yang meminta kepada
pemerintah RI agar menyatakan Indonesia berdiri di blok Uni Sovyet. Dalam
menjelaskan politik pemerintah RI ketika itu, perdana menteri Hatta mengatakan
bahwa “…..dasar politik pemerintah dapat dibulatkan sebagai berikut : Pemerintah berpendapat pendirian yang harus
kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan
sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia
merdeka seluruhnya.” (Hatta: “Jawaban Pemerintah Kepada BP KNIP”, 16 September
1948).
Ada 2 alasan
yang menjadi dasar politik bebas aktif RI yaitu: (1) tujuan perjuangan bangsa
Indonesia; dan(2) memelihara kebebasan sebagai subjek, jangan sampai menjadi
objek kekuatan asing. Tujuan yang harus menjadi landasan kebijakan dalam dan
luar negeri RI telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
* melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia;
* memajukan kesejahteraan umum;
* mencerdaskan kehidupan bangsa dan
* ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Yang menarik adalah munculnya ide “a Million Friends,
Zero Enemies” yang menjadi visi politik luar negeri presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Bahkan ada pula yang menyebutnya
sebagai pembaruan penafsiran dari prinsip “diplomasi bebas aktif”. Kali ini kita tidak akan membahasnya lebih
jauh, cukup hanya melihat praktek kebijakan luar negeri SBY saja.
SBY membiarkan pencaplokan wilayah perbatasan RI oleh Malaysia demi
menciptakan “zero enemies”. Karenanya kita kehilangan wilayah tanah air yang
seharusnya kita bela dengan sekuat tenaga. Membela seluruh tumpah darah
Indonesia adalah kewajiban sakral kita sebagai bangsa berdaulat! Terhadap
rencana Amerika Serikat menempatkan 2500 marinir AS di Darwin Australia, demi menciptakan
“zero enemies” SBY hanya mengamini saja
apa yang disampaikan oleh presiden AS Obama dan perdana menteri Australia Julia
Gillard: ..” bahwa hal itu (maksudnya : penempatan marinir AS) dilakukan hanya
untuk keperluan pelatihan militer serta untuk menghadapi ancaman non
tradisional, seperti bencana. Bahwa tidak ada niatan apapun untuk mengganggu
negara-negara di luar Australia. Tidak ada niat untuk mengganggu
siapapun," kata SBY kepada pers di Bali, Sabtu 19/11/2011 yang lalu. Lebih
jauh SBY membela kebijakan AS tersebut dengan mengatakan , baik Amerika maupun
Australia juga memiliki peran untuk menjaga stabilitas kawasan.”
RI mempunyai pengalaman buruk dengan AS. Ketika
pemerintah RI yang dipimpin oleh presiden Sukarno tidak mau mengikuti komando
AS, Amerika menggunakan pangkalan militernya di Filipina guna melatih
anggota-anggota militer PRRI/Permesta, mengirimkan senjata ke Permesta di
Sulawesi Utara dan PRRI di Sumatera Barat guna menumbangkan pemerintah RI yang
sah. Bukankah sejarah dapat terulang lagi dengan adanya pangkalan AS di Darwin,
bila pemerintah RI tidak bersedia mengikuti strategi baru AS di Asia Pasifik
dalam membendung pengaruh RRT ? Apakah RI bersedia menjadi objek/pion AS di
Asia Pasifik ? Sesuatu yang pasti akan ditentang oleh rakyat Indonesia !
Berbeda dengan visi luar negeri SBY, menteri luar
negeri RI Marty Natalegawa menafsirkan politik bebas aktif Indonesia dengan apa
yang disebut “dynamic equilibrium.”.
“Keseimbangan dinamis” berbagai kekuatan disatu kawasan, tidak sama dengan
seluruh kebijakan politik luar negeri “bebas aktif” Indonesia. Ia hanya dapat
dipandang sebagai satu keinginan tentang bagaimana persaingan berbagai kekuatan
disuatu kawasan dikelola agar tidak berubah menjadi konflik terbuka yang menjurus
ke peperangan. “Keseimbangan dinamis” dapat kita perjuangkan, tetapi apakah
dapat dipertahankan dalam jangka panjang, lebih banyak tergantung kepada perimbangan
kekuatan besar di suatu kawasan. Situasi ketidak-seimbangan --- keseimbangan
--- ketidak-seimbangan baru, akan selalu ada dalam kenyataan. Walaupun
demikian, dilihat dari reaksi Marty terhadap penempatan pasukan AS di
Darwin, ia berbeda dengan SBY. Bila SBY
menerima saja penjelasan AS, Marty menganggap hal itu dapat menimbulkan “a
vicious circle or tensions and mistrust or distrust” (lingkaran setan berupa
ketegangan dan kecurigaan atau
ketidakpercayaan) dikawasan Asia Pasifik. Marty ada keberanian
menyatakan sikapnya secara terbuka terhadap kebijakan AS.
Baik dokrin luar negeri SBY “a million friends, zero
enemies” maupun dokrin luar negeri Marty “dynamic equilibrium” berpusat kepada
“penciptaan suatu kondisi lingkungan ekternal” Indonesia. Tidak tergambar apa
yang menjadi tujuan perjuangan bangsa Indonesia. Sebaliknya dokrin politik luar
negeri “bebas aktif” seperti yang diuraikan Hatta mencakup dua isi, yaitu :
tujuan perjuangan bangsa serta menjaga kebebasan kita dalam setiap usaha
mencapai tujuan tersebut.
Kita hendaknya meninggalkan dokrin luar negeri “a
million friends, zero enemies” yang telah membuat Indonesia menjadi “the good
boy” yang penurut terhadap kebijakan AS ! Kita dapat menggunakan kebijakan
Marty “dynamic equilibrium” sebagai salah satu usaha menciptakan lingkungan
sekitar kita, tetapi bukan menjadikannya sebagai suatu dokrin kebijakan
luarnegeri kita secara keseluruhan. Dokrin kebijakan luarnegeri RI tetap harus
bebas aktif !
Menjalankan “politik bebas aktif” berarti membina
hubungan baik dengan semua negara termasuk dengan negara-negara besar yang
bertarung di Asia Pasifik. Tidak terjerumus kedalam keberpihakkan pada salah
satu negara besar yang berebut pengaruh, menentang pemaksaan kehendak
negara-negara besar kepada Indonesia, pandai menjaga keseimbangan kekuatan
negara-negara besar yang bertarung disekitarnya demi mempertahankan eksistensi,
kebebasan, kedaulatan, dan kemandirian bangsa demi kemajuan Indonesia.
Amsterdam, 18 Januari 2012
Burhan Azis
Ketua Korwil PDIP di Negeri Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar