Merangkai Kembali Budaya Kemanusiaan
Penulis : Albertus Patty*
Rentetan kekerasan di negara ini terus berlanjut, seperti lupa kapan akan berhenti. Hukum menjadi macet. Komunikasi berhenti total. Kekerasan adalah bukti adanya “komunikasi bisu paling nyata,” kata Hannah Arendt.
Seperti semburan muntah, kekerasan meluah tak tertahan. Ia semakin melonjak kuantitas dan kualitasnya. Ironisnya, kekerasan dilantaskan bukan saja oleh sebagian warga, tetapi bahkan juga oleh aparat keamanan.
Kekerasan pun, meminjam istilah Anthony Giddens, distrukturasikan. Kekerasan diproduksi terus-menerus. Ia menjadi sesuatu yang biasa saja. Ada banalitas kekerasan! Tidak jarang kekerasan dilegitimasi oleh agama dan dibiarkan oleh aparat.
Orang kehilangan sensitivitas, bangsa kehilangan kemanusiaan, negara mengalami kelumpuhan moralitas. Sementara itu, pemimpin seperti tidak tahu dan tidak mau tahu gejolak dahsyat di akar rumput. Bangsa ini “bagaikan tinggal di kampung tak bertuan,” kata Buya Syafii Maarif.
Lepas Kendali
Ada dua respons berbeda yang diperlihatkan aparat keamanan kita terhadap berbagai persoalan dan gejolak di Tanah Air ini. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini telah mengusik rasa kemanusiaan kita yaitu ketika aparat keamanan kita, yang digaji dari pajak rakyat, cukup tega melakukan kekerasan brutal terhadap rakyatnya sendiri.
Brutalisme terhadap rakyat di Papua diikuti kekerasan di Mesuji, lalu diteruskan dengan kekejian yang sama di Bima. Puluhan nyawa rakyat dikorbankan. Ratusan dan bahkan ribuan lainnya hidup dalam ketakutan yang mencekam. Betapa hebatkah ancaman dari para petani dan rakyat jelata sehingga aparat perlu menggunakan peluru tajam untuk menghentikan mereka?
Meski kita tahu bahwa aparat keamanan pun manusia, tetapi dari rangkaian kekerasan yang sudah terjadi terlihat ada banalitas kekerasan aparat terhadap rakyatnya sendiri. Dialog digantikan dengan kekerasan! Rakyat pun menjadi ketakutan. Ironisnya, ketakutan itu bukan karena adanya ancaman bangsa asing, tetapi ketakutan terhadap aparat bangsanya sendiri.
Negara telah memunculkan dirinya bukan dalam posisi sebagai pembela rakyat, tetapi sebagai penghancur rakyat dan bangsanya sendiri. Yang menarik, ketiga kasus di atas memiliki kesamaan, yaitu tampaknya kekerasan itu terjadi karena aparat lebih membela kepentingan pemodal daripada membela hak-hak rakyat dan warga bangsa ini.
Kalau memang benar begitu, analisis yang pernah dikemukakan oleh Giddens benar bahwa pada zaman modern di mana kapitalisme makin merentangkan sayapnya ke segala penjuru, aparat dan negara akan lebih membela kepentingan kaum kapitalis dan pemodal karena kepentingan uang daripada membela kepentingan rakyatnya sendiri.
Pada sisi lain, masih banyak orang yang tidak percaya bahwa virus brutalitas dan kekerasan itu telah menjadi pandemi yang menjangkiti sebagian masyarakat kita. Masyarakat menjadi pelaku aktif kekerasan, baik yang atas nama agama maupun yang bukan atas nama agama.
Kekerasan antarkampus, antarsekolah, antarwarga kampung atau antarsuku makin ramai. Kekerasan atas nama agama terjadi di Cikeusik, Cikeuting, Lombok, Manislor, bahkan terhadap GKI Taman Yasmin, Bogor. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan betapa mandulnya hukum.
Pertanyaannya, di mana aparat ketika tindakan anarkistis itu berlangsung? Aparat keamanan ada, tetapi meresponsnya dengan cara yang janggal. Kali ini, oknum aparat seperti pengidap penyakit impotensi yang mengalami penyakit ketidakberdayaan.
Terjadilah politik pembiaran. Pelaku kekerasan bisa leluasa melakukan tindakan anarkistis terhadap sesama warga di depan batang hidung aparat keamanan. Tanpa takut, tanpa risih sedikit pun.
Kedua peristiwa tersebut menunjukkan adanya situasi lepas kendali. Anarkisme menjadi satu-satunya bahasa komunikasi. Hukum dan konstitusi diinjak-injak. Sebagian warga menjadi brutal. Aparat orderless! Bukan saja tidak tahu lagi mana yang benar, tetapi yang salah bisa dibenarkan, yang benar disalahkan.
Situasi ini tampak, salah satunya, dalam kasus GKI Taman Yasmin. Wali Kota Bogor yang jelas melanggar hukum karena tidak mematuhi hukum dibela aparat, sementara umat GKI Taman Yasmin yang hak beribadahnya dilindungi oleh hukum dan konstitusi melalui keputusan Pengadilan Tinggi Negeri dan Mahkaman Agung justru dilarang melaksanakan ibadah Minggu.
Kekacauan hukum menjadi kolektif ketika Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama terkesan mendukung Wali Kota Bogor. Giddens menyebut situasi di atas sebagai “Runaway World”, dunia yang berlarian tunggang langgang tanpa arah, kacau balau!
Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali.
Situasi lepas kendali yang terjadi di tengah bangsa ini adalah seperti kegelapan yang memunculkan kekacauan.
Kita semua tidak boleh bersikap apatis, apalagi berputus asa menghadapi kekacauan ini. Apa yang kita butuhkan adalah membangun kembali solidaritas antarsesama. Bangunlah rasa saling percaya di antara warga dan ciptakan budaya politik yang egaliter dan emansipatoris yang mampu mengontrol kinerja aparat negara.
Negara boleh gagal, tetapi bangsa tidak boleh gagal. Kita harus bangkit dan mulai bekerja sama merangkai dan merekatkan kembali serpihan budaya kemanusiaan yang selama ini dicampakkan. Semoga!
*Penulis adalah pendeta di Gereja Kristen Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar