Untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-104 (2012) Redaksi INDONESIA BERJUANG perlu menampilkan ulang makalah MD Kartaprawira "DENGAN PERSATUAN NASIONAL BANGKIT MELAWAN POLITIK NEOLIBERAL" (Memperingarti 100 Tahun Kebangkitan Nasional), sebab masih relevan untuk situasi Indonesia dewasa ini. Semoga tulisan tersebut menjadi masukan yang bermanfaat. Terima kasih.
Salam Juang, Redakasi.
Salam Juang, Redakasi.
DENGAN
PERSATUAN NASIONAL BANGKIT MELAWAN POLITIK NEOLIBERAL*
(Memperingati
100 Tahun Kebangkitan Nasional)
Oleh:
MD Kartaprawira
Kita
memperingati Hari Kebangkitan Nasional tidaklah hanya memperingati hari
lahirnya organisasi Boedi Oetomo saja. Tetapi memperingati proses panjang
perjuangan pembentukan nasionalisme patriotik yang dimulai dengan lahirnya
Boedi Oetomo, yang tanggal 20 Mei 2008 genap ke 100 tahunnya.
Sejak
timbulnya Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang dipelopori oleh para mahasiswa
Stovia (Kedokteran), a.l. Cipto Mangunkusumo dan Wahidin Sudirohusodo mulailah
bermunculan timbul banyak organisasi pergerakan (antara lain Sarekat
Islam pada tahun 1911). Memang Boedi Oetomo sebagai organisasi kebangsaan masih
dalam taraf terbatas ruang lingkupnya (Jawa-Madura) dan masih terkait dengan
suku Jawa-Madura. Meskipun demikian Boedi Oetomo yang menitik beratkan
gerakannya dalam lapangan pendidikan dan budaya mempunyai arti penting dalam
pembinaan jiwa nasionalisme. Pada perkembangan selanjutnya muncullah
organisasi-organisasi pemuda kedaerahan (seperti Jong Java, Jong
Sumatra, Jong Ambon, dan lain-lainnya) yang gerak langkahnya menjurus pada
jalan politik, sehingga pada tahun 1928 mengumandangkan
pernyataan "Sumpah Pemuda": "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu
Bahasa – INDONESIA".
Juga
di Negeri Belanda terjadi proses serupa. Ketika pada tahun 1928 Dr.Cipto
Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro diasingkan ke Negeri Belanda, sejak itu
Perhimpunan Indonesia yang semula adalah organisasi santai non politik, berubah
menjadi organisasi politik yang tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan Perhimpunan Indonesia mempunyai media yang namanya "Indonesia
Merdeka". Di samping itu Perhimpunan Indonesia tidak hanya
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, tapi sementara dari mereka juga berjuang
melawan Fasisme Jerman di Negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia telah banyak
menyumbangkan tokoh-tokohnya di dalam perjuangan menddirikan dan mempertahankan
negara Republik Indonesia (Ali Sastroamidjojo, Sartono, Sunito, Sjahrir, Hatta,
Abdulmadjid, Jusuf Muda Dalam, Setiadjid dan lain-lainnya).
Di
samping itu mulai tahun 20-an bermunculan partai-partai politik yang jelas visi
dan misinya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Itulah dialektika sejarah –
pantha re, mengalir terus kedepan, dari organisasi sosial budaya yang moderat
menuju organisasi politik yang tegas berjuang untuk kemerdekaan Indonesia (PNI,
PKI, GERINDO, PARTINDO, dan lain-lainnya). Gerakan Kebangsaan mencapai
klimaksnya dalam era di mana Bung Karno aktif berkiprah untuk pembentukan jiwa
kebangsaan Indonesia yang anti nekolim (neokolonialisme, kolonialisme,
imperialisme) untuk terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil makmur.
Nation
Building yang telah dilakukan oleh Bung Karno, meskipun pada waktu
itu Indonesia masih dalam situasi serba kekurangan, telah sukses
membina jiwa patriotisme bangsa Indonesia untuk berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Prioritas pertama
adalah perjuangan pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda sebagai
langkah untuk menciptakan kedaulatan penuh atas teritori Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. Tapi dalam tenggang waktu 32 tahun kekuasaan rejim Suharto
telah menggantikan hasil-hasil nation building dengan kebijakan-kebijakan garis
politik neoliberal di Indonesia: Semua kekayaan alam Indonesia dijual dan
diobral kepada kapital global
Bicara
tentang neo-liberalisme di Indonesia tidak bisa tidak menyinggung timbulnya
UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, yang merupakan pembuka pintu penetrasi
politik neoliberalisme di Indonesia. Politik Pintu Terbuka tersebut adalah
hasil kerjasama kaum neoliberal dengan antek-anteknya (Mafia Berkeley) di
Indonesia yang bersarang di dalam rejim Orde Baru/Suharto.
Dalam
waktu singkat akibat "Politik pintu terbuka" tersebut
sebagian besar sumberdaya alam Indonesia dikuasai oleh kapital finansial
global. Malapetaka kemudian timbul: hutan manjadi gundul – yang berakibat
timbulnya bencana tanah longsor, banjir, kehancuran lingkungan; hasil-hasil
pertambangan dikuasai dan dikuras oleh kapital monopoli asing , sehingga rakyat
tidak merasakan enaknya, sebaliknya sangat ironis: Indonesia sebagai negara
penghasil minyak tapi rakyatnya harus antri panjang untuk
mendapatkan minyak. Lebih celaka lagi harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah
dewasa ini. Maka gerakan menolak kenaikan harga BBM perlu didukung. Jelas Pasal
33 UUD 1945 oleh pemerintah telah diinjak-injak, dan dengan demikian rakyat pun
diinjak-injak haknya untuk menikmati kekayaan alamnya.
Ketika
ditandatangani 50 butir Kesepakatan IMF di waktu Indonesia dilanda krisis
ekonomi besar, maka Indonesia telah kehilangan kedaulatannya dalam lapangan
ekonomi: semua kebijakan pemerintah dalam lapangan ekonomi telah dikendalikan
dan dikontrol oleh IMF. Apalagi Indonesia yang APBNnya selalu defisit terpaksa
harus mengemis hutangan kepada sumber-sumber keuangan neoliberal (IMF, World
Bank, semacamnya), yang semuanya tentu memaksakan kebijakan neoliberlisme atas
Indonesia sebagai syaratnya. Ketika IMF menentukan syarat pencabutan subsidi
dan swastanisasi BUMN rakyatlah yang menanggung penderitaannya.
Pendidikan
yang pada jaman Soekarno diselenggarakan dengan segala kebijakan untuk
memajukaan bangsa, misalnya sekolah gratis di Sekolah Dasar, dikembangkan
sistem pendidikan kejuruan dimana pelajar/mahasiswa diberi bea siswa dari
sekolah tingkat SLTP sampai Universitas, demi pembangunan nasional. Dewasa ini
dalam sistem pendidikan telah disebar virus liberalisasi, sehingga hanya
mereka yang berduit bisa melanjutkan belajar. Bahkan anggaran pendidikan yang
sudah ditetapkaan dalam UUD 1945 sebanyak 30% dari APBN, dengan alasan yang
dicari-cari tidak dilaksanakan.
Sekali
lagi hal tersebut adalah pelanggaran UUD 1945 yang terang-terangan.
Dalam
bidang hukum begitu juga keadaannya. Gunung es korupsi yang muncul di
era rejim Suharto sampai sekarang masih megah berdiri, sebab
disangga oleh kekuatan orde baru yang masih eksis di semua lapangan.
Bagaimanapun, meski KPK belum bisa membongkar koruptor kakapnya yang
bersembunyi dibagian dasar gunung es, tapi dia setidak-tidaknya telah
membuktikan bahwa banyak intitusi negara telah menjadi sarang
korupsi.
Dalam
bidang penegakan HAM idem dito, sami saja. Belum ada kasus pelanggaran HAM masa
lalu yang dituntaskan. Meskipun sudah dibentuk UU Hak Asasi Manusia, UU
Pengadilan HAM dan telah diratifikasi beberapa Konvensi PBB tetapi
pelaksanaanya masih perlu dipertanyakan. Dan yang sangat menyedihkan korban
pelanggaaran HAM berkaitan peristiwa 1965 yang korbannya jutaan manusia sampai
sekarang tidak pernah disinggung penuntasannya oleh penyelenggara negara.
Kesimpulannya: kebenaran dan keadilan yang dijamin dalam UUD 45 tetap masih
belum ditegakkan.
Tidak
salah kalau dikatakan bahwa saat ini di Indonesia yang kaya raya sedang
mengalami proses "Keterpurukan Nasional" – menjadi salah
satu negara paling melarat di dunia, rakyat sengsara sedang negara
"kehilangan" kedaulatannya. Kita tidak melihat lagi wajah
nasionalisme yang membela rakyat. Di sinilah kita harus mulai bangun
bangkit kembali untuk menegakkan nasionalisme-kerakyatan – nasionalisme yang
patriotik menentang politik neoliberal.
Estafet
proses Kebangkitan Nasional dewasa ini agaknya lebih sukar dilakukan ketimbang
kebangkitan nasional pada jaman perjuangan pembebasan nasional melawan
kolonialisme Belanda. Sebab cengkeraman kaum neo-liberal sudah begitu dalam dan
mengakar, sehingga untuk mengatasinya perlu waktu panjang berkesinambungan.
Perjuangan panjang ke depan ini hanya bisa dilaksanakan oleh para generasi muda
yang sadar akan amanat pembebasan nasional melawan neoliberalisme, yang berani
berjuang untuk melanjutkan nation building sebagai yang telah dilakukan Bung
Karno dengan garis politik Persatuan Nasional.
Dasar
garis politik Persatuan Nasional telah dilukiskan Bung Karno pada tahun 1926
dalam artikel "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Kemudian garis
politik persatuan nasional tersebut menjiwai dasar negara Pancasila 1 Juni
1945. Dan ketika Bung Karno memegang kendali pemerintahan setelah Dekret
Presiden Juli 1959 garis politik persatuan nasional diwujudkan sebagai politik
"Nasakom" – Nasionalis, Agama, Komunis. (sesuai kondisi obyektif
waktu itu dalam menghadapi nekolim). Seperti kita ketahui sejak Nopember 1945
sampai Juli 1959 Bung Karno tidak mempunyai kekuasaan sebagai Kepala
Pemerintahan (Eksekutif), tetapi hanya sebagai Kepala Negara saja.
Dalam
sejarah telah terbukti bahwa dengan persatuan nasional kita berhasil mencapai
kemerdekaan, menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya
pembrontakan-pemberontakan dan disintegrasi, Irian Barat berhasil direbut
kembali dari cengkeraman penjajah. Sebaliknya ketika persatuan nasional diporak
porandakan oleh rejim Orba/Suharto, maka timbullah malapetaka di segala bidang
bagi bangsa dan negara.
Hal
ini nampak nyata antara lain dengan adanya kerusuhan-kerusuhan yang berlatar
belakang SARA di berbagai daerah yang telah mengorbankan banyak jiwa dan harta
benda . Sangat menyedihkan hal itu masih berlangsung terus sampai dewasa ini.
Maka
dalam menjawab situasi keterpurukan nasional dewasa ini adalah penting sekali
kita pakai "Jas Merah"nya Bung Karno : "Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah", artinya jangan meninggalkan sejarah tentang peranan
pentingnya Persatuan Nasional. Dengan demikian dalam perjuangan
menghadapi keterpurukan nasional dewasa ini penggalangan persatuan nasional
adalah conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak) untuk melawan
semua penyebab keterpurukan nasional, yang biangkeroknya adalah a.l. politik
neoliberal di Indonesia.
Tetapi
perlu diingat bahwa persatuan nasional bukanlah asal persatuan, melainkan
persatuan di bawah bendera Trisaktinya Bung Karno: agar Indonesia berdaulat
dalam bidang politik, tidak menjadi pion dan antek dari negara asing; agar
Indonesia yang kaya raya sumber daya alamnya mandiri di bidang ekonomi,
sehingga tidak tergantung pada bantuan dan hutangan luar negeri,
yang mengakibatkan Indonesia terjerat oleh kebijakan-kebijakan neoliberalisme;
dan agar kepribadian Indonesia mewarnai budaya kita kembali, bersih dari budaya
korupsi.
Sebagai
pelengkap, dalam memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional saya ingin sedikit
menyinggung tentang opini yang sedang beredar di media massa (cetak, internet)
yang menolak Boedi Oetomo sebagai organisasi yang patut dijadikan tonggak
hari kebangkitan Nasional, menurut mereka seharusnya Sarekat Islam.
Tapi kita perlu lihat realitas, bahwa kita tidak melihat malapetaka dengan
diakuinya Boedi Oetomo sebagai organisasi pemula kebangunan nasional. Yang kita
lihat adalah proses terbentuknya organisasi-organisasi dari taraf sederhana dan
moderat menuju terbentuknya organisasi-organisasi modern dengan garis politik
melawan penjajahan.
Adalah
tidak bijak memperpanas situasi politik yang carut marut dewasa ini dengan isu
yang mempertentangkan Boedi Oetomo dengan Sarekat Islam. Saya khawatir isu
tersebut memang sengaja untuk mengalihkan perhatian keterpurukan nasional
dewasa ini, atau untuk mempertegang hubungan kaum nasionalis yang
mempertahankan negara Indonesia berdasarkan Pancasila dengan sebagian kaum
muslim yang menginginkan negara atas dasar syariah? Mudah-mudahan kekhawatiran
tersebut tidak benar. Mungkin jalan keluar yang baik adalah pembentukan komisi
yang terdiri dari pakar sejarah untuk mengkaji ulang masalah tersebut secara
obyektif.
*)
Sambutan pada Peringatan
"100
Tahun Kebangkitan Nasional",
Diemen, Nederland, 18 Mei
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar