Message body
Kebablasan Soal Century
Kamis, 29 Desember 2011 | 04:59 WIB
Semua orang tentu setuju kasus bailout Bank Century dibongkar tuntas. Tapi keinginan sebagian politikus Senayan menyewa auditor internasional amatlah berlebihan. Sikap ini sama saja dengan tidak mempercayai audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan pengusutan lembaga penegak hukum.
Manuver kebablasan itu muncul setelah BPK dianggap tidak serius mengungkap aliran dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun. Hasil audit forensik ini tidak berbeda jauh dengan hasil laporan investigasi BPK pada 2009. Hanya, kali ini audit lebih berfokus pada sejumlah sasaran, antara lain transaksi surat berharga, pemberian kredit, transaksi letter of credit, dan transaksi kas valas.
BPK memang mengungkap beberapa transaksi aneh. Misalnya aliran dana ke saudara ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama periode 2006-2009. Juga ada aliran dana Rp 100 miliar ke perusahaan yang menerbitkan sebuah harian nasional. Hanya, BPK belum menemukan hubungan antara aliran dana tersebut dan kasus Bank Century.
Bila hasil audit itu dinilai belum cukup, orang tak habis pikir temuan seperti apa yang dicari oleh politikus Senayan. DPR sendiri bahkan telah mengusut kasus Century lewat pembentukan panitia angket. Penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, juga telah menanganinya. Pemilik bank ini dan sejumlah orang yang terlibat dalam kejahatan perbankan pun sudah dihukum.
Boleh jadi, sebagian anggota DPR tetap mengincar Menteri Keuangan waktu itu, Sri Mulyani, dan Gubernur Bank Indonesia saat itu, Boediono. Kita tahu kasus Bank Century ini bermula dari keputusan pemerintah memberikan dana talangan karena bank tersebut dinilai tidak sehat dan membahayakan dunia perbankan.
Politikus kemudian berupaya mengungkap kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang di balik keputusan ini karena banyak nasabah yang diuntungkan. Masalahnya, dalam penyelidikan kalangan Senayan itu tidak ditemukan bukti bahwa pejabat pembuat kebijakan tersebut mendapat keuntungan, apalagi menerima suap. Begitu pula dalam hasil penyelidikan KPK dan audit forensik BPK terbaru.
Boleh saja politikus Senayan kecewa terhadap hasil audit BPK. Tapi mereka semestinya tetap menghargai hasil kerja lembaga tinggi ini. Lagi pula, bukankah DPR sendiri yang dulu memintanya melakukan audit forensik? Sikap tidak percaya kepada BPK juga tampak aneh lantaran DPR-lah yang selama ini menentukan para pemimpin lembaga ini.
Begitu pula sikap politikus yang berlebihan dalam �menggoreng� kasus Century. Muncul kesan bahwa mereka tidak percaya kepada proses penegakan hukum, termasuk yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Manuver seperti ini menggelikan lantaran DPR pula yang selama ini memilih pemimpin KPK.
Kenapa anggota DPR sulit bersikap konsisten? Melakukan manuver politik tidaklah dilarang. Hanya, masyarakat justru sulit menerima jika politikus cenderung melecehkan akal sehat. Kalangan politikus seolah sengaja menjadikan kasus Century sebagai komoditas politik, dan bukan penyelesaian secara hukum.
29.12.2011 10:11
Kasus Century Bakal “Meledak” di 2012
Penulis : Bambang Soesatyo*
Potret penegakan hukum 2011 masih sangat mengecewakan. Masih banyak terjadi penjungkirbalikan fakta untuk membantah kebenaran dalam setiap kasus hukum.
Tahap demi tahap penyidikan, penyelidikan, hingga peradilan bahkan identik sandiwara. Ini karena “kebenaran” dan “keadilan” versi kekuasaan dan uang suap sudah dirumuskan, bahkan sebelum peradilan itu dimulai.
Tengok saja kasus Century. Publik tentu merasa geli menyikapi kebuntuan proses hukum Skandal Bank Century. Ketua KSSK mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp 680 miliar lebih dana talangan.
Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp 6,7 triliun, bukankah angka itu sudah menunjukkan adanya penyimpangan dalam bailout dan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti, itu jelas kebohongan.
Hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengecewakan. Laporan audit forensik BPK yang akan diserahkan ke DPR, Jumat (23/12), tidak memuat hal baru dan jauh dari harapan. Tekanan kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut.
Laporan BPK tidak beda jauh dengan laporan audit investigasi BPK yang pertama. Tidak ada pengungkapan aliran data detail yang kita harapkan dengan berbagai alasan. BPK hanya mengungkap ada aliran dana ke PT MNP, penerbit koran partai tertentu pada periode 2006-2009 senilai Rp 100,95 miliar.
Auditor forensik yang menangani audit lanjutan kasus Bank Century juga diduga telah membohongi publik. Pemimpin BPK mengatakan penanggung jawab audit investigasi lanjutan mempunyai sertifikat CFE, ternyata tidak. Auditor Forensik BPK itu adalah I Nyoman Wara, Novy Gregory Antonius Palenkahu, dan Harry Purwaka.
Di kasus lain, publik dibuat tercengang ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin.
Dakwaan itu memperlihatkan adanya penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin. Nama elite partai politik dan seorang menteri yang keterlibatannya telah berulang kali diteriakkan Nazaruddin sama sekali tidak disebut-sebut dalam dakwaan itu.
Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi publik praktis gagal total. Eksistensi mafia pajak berawal dari pengungkapan oleh seorang pejabat tinggi Polri. Karena disebut mafia, publik langsung mendeskripsikan kasus ini sebagai organisasi kejahatan dengan spesialisasi penggelapan atau pencurian pajak negara.
Organisasi mafia mempunyai anggota banyak dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan akhirnya berhasil dibawa pulang ke Jakarta oleh (katanya) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), publik membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan menyebut sejumlah nama.
Gayus memang melakukannya. Tetapi dalam proses penanganan kasusnya kemudian, penyidikan dan penyelidikan hanya fokus pada kasus Gayus, tidak menyentuh kasus penggelapan pajak lainnya, seperti dugaan manipulasi restitusi Wilmar Group, Asian Agrie, Ramayana Group, dan lain-lain yang pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) DPR.
Lagi-lagi, penegak hukum menghindar dari kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang diduga terlibat kejahatan.
DPR kemudian menggagas Hak Angket mafia pajak. Aneh bin ajaib, justru pemerintah dan partai pemerintah berupaya menggagalkan Hak Angket tersebut, sehingga 151 perusahaan kakap yang diduga “bermain” pajak menjadi bebas.
Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) pun sama menggelikan. Fakta dijungkirbalikkan sehingga justru yang melaporkan menjadi tersangka. Mantan panitera pengganti MK Zaenal Arifin Hoesein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sementara Andi Nurpati yang diduga memalsukan justru dilindungi. Publik melihat ada kejanggalan.
Jangan Hanya “Perang-perangan”
Kasus yang menjadi perhatian publik hingga kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Tanpa pernah mendengar keterangan dari pihak yang melakukan suap, sejumlah orang divonis bersalah dan dipenjarakan.
Setiap kali ditanyakan siapa penyuap sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum hanya bisa berdalih. Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk mengungkap sosok pemberi suap dalam kasus ini. Pulangnya Nunun akan mengungkap kotak pandora itu.
Menjelang tutup tahun 2011 ini, Jakarta dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan di Mesuji. Proses penanganan tragedi Mesuji terasa janggal.
Kalau terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (pemerintah pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian? Tidakkah berarti ada SOP yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?
Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh segera setelah terjadinya peristiwa. Ini menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka ke Komisi III DPR.
Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, ada pihak yang berupaya menyederhanakan kasus. Ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.
Tragedi Mesuji terjadi pada April 2011. Kalau tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap tragedi kemanusiaan. Ini jelas tidak wajar.
Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak penyerang tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional. Dengan begitu, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini. Apalagi, warga setempat mengaku selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman.
Bagaimana dengan 2012? Menurut saya, ke depan hampir tidak ada celah untuk terjadinya situasi hukum yang kondusif. Imbas politik sandera yang diterapkan Pemerintahan SBY-Boediono sejak 2009 pasti akan terus mewarnai tahun depan. Tetap akan ada tarik-menarik kepentingan elite. Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sikap ambigu dari SBY yang selalu menggembor-gemborkan penegakan hukum, tetapi pada kenyataannya tidak memposisikan diri sebagai panglima untuk pemberantasan korupsi, akan terus terjadi. Dinamika hukum yang terkesan saling sandera tetap dibiarkan, sebagai bentuk usaha lari dari tanggung jawab.
Tak aneh bila kemudian kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di 2011 akan terus menjadi batu sandungan pemerintahan SBY di 2012. Menurut saya, kasus Century di tahun depan akan “meledak” menjadi lebih besar.
Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil audit forensik BPK yang jauh panggang dari api, akan berujung pada Hak Menyatakan Pendapat. Bila itu terjadi bukan tak mungkin kegaduhan politik akan mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.
Belum terlambat untuk memperbaiki penegakan hukum dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Itu dapat dimulai dengan mengungkap kasus-kasus besar yang hingga kini masih mengendap di institusi penegak hukum, termasuk di KPK. Jika penegak hukum berhasil mengungkap kasus itu, yang lainnya juga akan terungkap.
Kita berharap pemimpin KPK yang baru bisa menunjukkan keberanian melawan segala bentuk tekanan dan intervensi yang dilancarkan kekuatan-kekuatan tertentu. Jika harapan publik itu tidak direalisasikan, pemimpin KPK yang baru harus merealisasikan janjinya untuk mengundurkan diri.
SBY juga harus menunjukkan kemauan politik untuk tidak diskriminatif lagi dalam penegakan hukum. Kalau perilaku pemimpin masih tetap “sontoloyo”, agenda penegakan hukum pasti terus karut marut. Tekad presiden dalam perang melawan korupsi pun tetap dibaca publik sebagai “perang-perangan” melawan korupsi.
*Penulis adalah Inisiator Hak Angket Century, anggota Komisi III DPR.
BPK Klaim Audit Century Sudah Maksimal
[JAKARTA] Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengklaim lembaganya sudah bekerja secara maksimal dalam pemeriksaan aliran dana kasus skandal dana talangan (bailout) Bank Century yang sekarang berganti nama menjadi Bank Mutiara. Bahkan, BPK pun berani menjamin tak ada intervensi dalam audit forensik kasus Century. Untuk itu, Ketua BPK Hadi Poernomo meminta pihak DPR tidak meragukan kinerja BPK.
“Bukan kami merasa maksimal, tapi memang sudah maksimal ini,” imbuhnya pada acara diskusi panel ”Mengupas Lebih Dalam Hasil Pemeriksaan Investigatif Lanjutan atas Kasus PT Bank Century Tbk” di gedung BPK, Jakarta, baru-baru ini.
Tambahnya, BPK mengaku tidak mengetahui apa penyebab hingga DPR terkesan tidak puas dengan hasil pemeriksaan Bank Century . ”(DPR) Kasih tau donk kurangnya dimana. Saya tidak tahu. Kalau anda tidak puas, tidak puasnya dimana, apakah saya termasuk banyak omong atau apa. Ibaratnya, saya disuruh masak nasi kuning dengan berbagai perangkatnya diminta oleh DPR, lalu saya masakin nasi kuning dan apa yang kurang, apa kurang telur puyuh atau sambal goreng atinya kan kita tanya. Tapi, kalau dikatakan tidak puas yah kami jawabnya gimana,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua BPK Hasan Bisri. Diakuinya, sejak awal BPK sudah menilai pasti akan ada pihak-pihak yang tidak puas akan hasil pemeriksaannya. ”Kami tidak bisa men-drive DPR akan puas atau tidak,” ungkapnya. Padahal, BPK sudah bekerja keras dengan melakukan dua kali audit pemeriksaan. ”Sehingga kalau tidak ditemukan seperti yang dikehendaki. Jangan kami dituduh mengeliminir laporan yang kami buat,” tukasnya.
Adapun, meski dua kali melakukan audit atas Century, namun BPK menganggap audit investigasi dan audit forensik itu sama. Di mana, dua hal itu, kata Hasan intinya adalah memastikan ada tidaknya pelanggaran hukum. Sehingga, hasil audit ini bisa dipakai oleh aparat hukum.
Lebih lanjut Hadi mengatakan, jikalau DPR sudah mengatakan sumber tidak puasnya dimana maka pihaknya berjanji agar segera menindaklanjutinya. Menurutnya, BPK sudah menjalani tugasnya berdasarkan fakta yang terjadi. Kalaupun belum, sambungnya itu karena terhalang batasan, beda halnya dengan aparat penegak hukum. “BPK sebagai auditor sama seperti orang tunangan, kalau aparat penegak hukum itu sudah nikah jadi bisa bebas. Sedangkan kita ada batasan,” ucapnya.
Dia pun mengakui mengalami sejumlah hambatan saat melakukan audit forensik Bank Century. Untuk itu, BPK meminta bantuan DPR untuk mendapatkan sejumlah data yang merupakan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK), dan Bank Indonesia (BI).
”Ada surat resmi dari Bapepam yang membuat kita tidak dapat masuk kepenyimpanan data itu. Padahal di undang-undang dikatakan, kalau Bapepam bisa membuka data ketika dibutuhkan. Sekarang ini dibutuhkan. Tapi kenapa tetap tidak bisa dibuka?. Kalau masuk ke BI ada undang-undang BI. BPK tidak bisa langsung, harus bekerja atas nama BI, makanya minta izin BI,” tuturnya.
Meski menyatakan diri sudah maksimal di tengah keterbatasannya dalam melakukan audit Century, pihaknya mengatakan tidak bisa meminta lembaga pemeriksa internasional untuk melakukan peer review hanya karena skandal Century semata. Namun, secara keseluruhan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 33 UU BPK, pihaknya memang akan memakai jasa BPK internasional untuk melakukan peer review terhadap keseluruhan hasil pemeriksaan BPK.
“Undang-undang memberikan kesempatan untuk menguji hasik BPK atau peer review dan ini pernah dilakuakan oleh dua BPK negara besar yakni Belanda (Algemene Rekenkamer) dan New Zealand (The Netherlands Court of Audit) terhadap hasil audit BPK. Pemeriksaan meliputi seluruh aspek kelembagaan. Namun, untuk ke depan negara mana maka akan dirapatkan dulu dan diserahkan ke DPR,” katanya. [O-2]
“Bukan kami merasa maksimal, tapi memang sudah maksimal ini,” imbuhnya pada acara diskusi panel ”Mengupas Lebih Dalam Hasil Pemeriksaan Investigatif Lanjutan atas Kasus PT Bank Century Tbk” di gedung BPK, Jakarta, baru-baru ini.
Tambahnya, BPK mengaku tidak mengetahui apa penyebab hingga DPR terkesan tidak puas dengan hasil pemeriksaan Bank Century . ”(DPR) Kasih tau donk kurangnya dimana. Saya tidak tahu. Kalau anda tidak puas, tidak puasnya dimana, apakah saya termasuk banyak omong atau apa. Ibaratnya, saya disuruh masak nasi kuning dengan berbagai perangkatnya diminta oleh DPR, lalu saya masakin nasi kuning dan apa yang kurang, apa kurang telur puyuh atau sambal goreng atinya kan kita tanya. Tapi, kalau dikatakan tidak puas yah kami jawabnya gimana,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua BPK Hasan Bisri. Diakuinya, sejak awal BPK sudah menilai pasti akan ada pihak-pihak yang tidak puas akan hasil pemeriksaannya. ”Kami tidak bisa men-drive DPR akan puas atau tidak,” ungkapnya. Padahal, BPK sudah bekerja keras dengan melakukan dua kali audit pemeriksaan. ”Sehingga kalau tidak ditemukan seperti yang dikehendaki. Jangan kami dituduh mengeliminir laporan yang kami buat,” tukasnya.
Adapun, meski dua kali melakukan audit atas Century, namun BPK menganggap audit investigasi dan audit forensik itu sama. Di mana, dua hal itu, kata Hasan intinya adalah memastikan ada tidaknya pelanggaran hukum. Sehingga, hasil audit ini bisa dipakai oleh aparat hukum.
Lebih lanjut Hadi mengatakan, jikalau DPR sudah mengatakan sumber tidak puasnya dimana maka pihaknya berjanji agar segera menindaklanjutinya. Menurutnya, BPK sudah menjalani tugasnya berdasarkan fakta yang terjadi. Kalaupun belum, sambungnya itu karena terhalang batasan, beda halnya dengan aparat penegak hukum. “BPK sebagai auditor sama seperti orang tunangan, kalau aparat penegak hukum itu sudah nikah jadi bisa bebas. Sedangkan kita ada batasan,” ucapnya.
Dia pun mengakui mengalami sejumlah hambatan saat melakukan audit forensik Bank Century. Untuk itu, BPK meminta bantuan DPR untuk mendapatkan sejumlah data yang merupakan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK), dan Bank Indonesia (BI).
”Ada surat resmi dari Bapepam yang membuat kita tidak dapat masuk kepenyimpanan data itu. Padahal di undang-undang dikatakan, kalau Bapepam bisa membuka data ketika dibutuhkan. Sekarang ini dibutuhkan. Tapi kenapa tetap tidak bisa dibuka?. Kalau masuk ke BI ada undang-undang BI. BPK tidak bisa langsung, harus bekerja atas nama BI, makanya minta izin BI,” tuturnya.
Meski menyatakan diri sudah maksimal di tengah keterbatasannya dalam melakukan audit Century, pihaknya mengatakan tidak bisa meminta lembaga pemeriksa internasional untuk melakukan peer review hanya karena skandal Century semata. Namun, secara keseluruhan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 33 UU BPK, pihaknya memang akan memakai jasa BPK internasional untuk melakukan peer review terhadap keseluruhan hasil pemeriksaan BPK.
“Undang-undang memberikan kesempatan untuk menguji hasik BPK atau peer review dan ini pernah dilakuakan oleh dua BPK negara besar yakni Belanda (Algemene Rekenkamer) dan New Zealand (The Netherlands Court of Audit) terhadap hasil audit BPK. Pemeriksaan meliputi seluruh aspek kelembagaan. Namun, untuk ke depan negara mana maka akan dirapatkan dulu dan diserahkan ke DPR,” katanya. [O-2]
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus Bank Century menjadi gempar bersamaan dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pertama kali, tahun 2008. Hingga di penghujung tahun 2011, kasus ini terus menjadi isu panas dalam penegakan hukum yang dilakukan.
Lembaga hukum adhoc, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) para pimpinannya sudah berganti. Pimpinan yang baru dibawah komando Abraham Samad, DPR menaruh harapan besar agar kasus ini tuntas, memproses hukum mereka yang dinyatakan bersalah dalam skandal menghebohkan selama pemerintahan SBY-Boediono mulai berdiri.
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang dilakukan Bank Century sebelum diambil alih. BPK mengungkap sembilan temuan pelanggaran yang terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh Boediono--sekarang wapres--dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)--saat itu diketuai Menkeu Sri Mulyani--dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank Century mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank Century dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa praktik perbankan yang tidak sehat.
Atas dasar laporan investigasi awal BPK inilah tak lama begitu DPR periode yang baru terbentuk periode 2009-2014, bergulir Hak Angket Skandal Bailout Bank Century Rp 6,7 triliun. Hiruk-pikuk kemudian terjadi. Saat itu, seluruh fraksi, termasuk fraksi Demokrat mendukung penuh Hak Angket Century. Pansus Angket Century itu sendiri, terbentuk setelah disetujui Paripurna DPR, pada 4 September 2009.
Satu persatu mereka yang dianggap relevan, baik keterangan para ahli, sampai mereka yang dituding terlibat dalam skandal bailout ini, dipanggil DPR. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di depan Pansus Angket Century, kemudian secara tegas mengatakan, bahwa pemberian suntikan dana ke Bank Century, adalah sebuah perampokan. Jusuf Kalla tegas mengatakan, Bank Century tidak berdampak sistemik terhadap bank-bank lain, jika ditutup.
Setahun kemudian, pada 3 Maret 2010, 6 fraksi (Golkar, PDI-P, Gerindra, Hanura, PKS, dan PPP) mendukung Opsi C yang setuju adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam mem-bailout Bank Century. Terjadi penyalahgunaan wewenang baik tindak pidana perbankan, tindak pidana umum, pencucian uang, sampai tindak pidana korupsi.
Jelang penghujung tahun, KPK sudah memeriksa sekitar 70 an saksi terkait kasus Bank Century ini. Mantan Menkeu Sri Mulyani, sampai Wakil Presiden Boediono, juga sudah diperiksa oleh KPK. Alhasil, Tim pengawas Kasus Century DPR yang terbentuk pasca keputusan kemenangan Opsi C, kecewa.
BPK, kemudian diminta untuk melalukan audit forensik untuk mendalami atas hasil audit investigasi yang dilakukan sebelumnya. Hasilnya, sudah diserahkan secara resmi oleh BPK kepada pimpinan DPR, pada 23 Desember lalu.
Fraksi-fraksi pendukung Opsi C tetap kecewa berat. Bahkan, memunculkan usulan agar audit forensik dilakukan oleh auditor independen. Muncul juga gagasan lain yang membuat kubu pemerintah sedikit was-was. Kasus Bank Century ini, lebih tepat diselesaikan secara politik melalui Hak Menyatakan Pendapat (HMP) oleh DPR.
Jelang pergantian tahun, kasus ini masih terus 'panas' menjadi pergunjingan para politisi di DPR mengiringi penantian aksi para pimpinan KPK yang baru, menuntaskan kasus skandal ini.
Fraksi-fraksi yang mendukung opsi C, samar-samar menyatakan dukungan bila HMP dilakukan. Kubu menolak opsi C, tentu bersikap sebaliknya.
"Tahun berganti, kasus hukum ini akan tetap menjadi 'bola liar', dan diyakini akan tetap heboh sampai kasus ini benar-benar tuntas. Tuntas diselesaikan secara hukum, mereka yang terlibat," kata politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, anggota timwas Century yang juga penggagas hak angket skandal perbankan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar