Opini - Hari ini Pkl. 00:54 WIB
Oleh : Umbu TW Pariangu.
Jika Soekarno menggugat Indonesia soal nasionalisme, Hatta dengan ekonomi berdikarinya serta Syahrir dengan filosofi ekonomi sosialis-nya. Mungkin kaum muda di era sekarang akan menggugat bangsa ini dengan fenomena kegagalan demokrasi yang sudah di titik meragukan. Apakah Indonesia bisa melanjutkan revolusi demokrasi hingga di titian akhir riwayatnya atau menjadi onggokan sejarah yang terkapar di tengah-tengah labirin perebutan kekuasaan.
Jared Diamond (Viking, 2005) pernah memotret salah satu indikator negara gagal yakni ketika parpol sudah terjebak dalam orientasi puritan, memperoleh kekuasaan politik (seize political power) semata ketimbang memberikan pendidikan budaya politik masyarakat. Senada dengan ini, ketiadaan kesadaran dan kritisisme parpol dalam menyingkap persoalan sosial mau tak mau telah mengekalkan doxa (ide absolute) parpol pada kekuasaan. Terkait ini, Paulo Freire mengutip Fransisco Weffers (2000) telah menggugat, bahwa kekuasaan tanpa kesadaran kritis mengungkap tabir penindasan yang dialami rakyat merupakan pertanda kematian sebuah bangsa.
Indonesia, merupakan sebuah etalase kekhawatiran paling telak untuk menjelaskan feneomena di atas ketika revolusi demokrasi sejak tumbangnya Orde Baru justeru menuai paradoks lanjutan. Kematian rezim Soeharto di satu sisi memberikan kepastian pada jalan baru demokrasi namun di sisi lain kapasitas untuk itu tidak tersedia bahkan kian meretas pesimisme baru berikut, apakah konsolidasi demokrasi yang ditempuh lewat pemilu yang sudah tiga kali di era reformasi bisa memberikan sebuah perubahan politik?
Kekecewaaan publik pada demokrasi yang dijalankan tidak secara matang memang bukan monopoli Indonesia. Negara-negara di Amerika Latin (Kolombia, Equador, Venezuela, Argentina) bahkan dengan politisi sayap kirinya pun, mempraktekkan demokrasi yang masih amat superficial (Ellen Wood, 1996; Hollinger, 1996; Bowles & Gintis, 1987). Demokrasi yang mempopulerkan keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan cumalah sloganisme siang bolong yang mengisi ruang hampa fatalisme rakyat setelah dilibas krisis sebelumnya.
Politik Titular
Apa pun bentuk dan kekurangannya, demokrasi dalam perspektif konsolidasi yang sedang kita jalani setidaknya diharapkan memberi solusi bagi kedangkalan demokrasi yang menempatkan siprit dan visi bangsa sebagai kekuatan moral. Hanya saja sebelum itu tercapai, kita sekonyong-konyong diperhadapkan musim semi pengelolaan politik-kekuasaan titular.
Istilah ini penulis pakai untuk disandangkan di bahu elit-elit politik kita yang pintar memanfaatkan kata demokrasi dan kebebasan untuk membereskan kepentingan pribadinya dan kelompoknya, jauh dari langgam demokrat tulen.
Bayangkan, dalam dalam satu dekade lebih otonomi daerah ini, kita asyik mengisi kognisi publik dengan logika, kita tak kekurangan demokrat. Dengan desentralisasi kekuasaan diniscayakan munculnya para elit lokal yang memahami dan mampu menjelaskan otonomi politik secara nyata ke tengah masyarakat. Nyatanya sejumlah friksilah yang dituai baik itu dalam rupa otonomi yang kebablasan dan makin banalnya praktek korupsi.
Kita menyaksikan bagaimana NKRI ini perlahan-lahan dikoyaki hasrat binal korupsi yang melanda hampir seluruh pejabat di berbagai institusi yang gagal menempatkan aspirasi masyarakat sebagai dasar konstitusi. Belum lagi ritual kekerasan bertameng etnis, agama, bisnis-kepentingan di daerah yang mengangkangi prinsip Indonesia yang satu.
Pada dasarnya, demokrasi bukan saja dijadikan sebagai sesuatu yang bebas nilai namun juga telah diterjemahkan menjadi proyek pragmatis yang bisa mematikan seluruh harapan substansial berdemokrasi di tangan para politisi titular tersebut.
Pada kerisauan ini, kita patut menyesalkan bahwa ada yang terpenggal dan tertunggak dari pelaksanaan tahap dua revolusi demokrasi ini. Meminjam istilah Fadjroel Rachman, tahap pertama revolusi demokrasi adalah saat tumbangnya kekuatan orde baru dan tahap revolusi kedua merupakan momentum paling strategis dalam mengonsolidasikan politik kekuasaan ke dalam agenda dan praksis yang terinternalisasi sebagai budaya kekuasaan yang terukur. Baik dalam komitmen maupun cita-cita hingga kinerja nyata.
Defisit Demokrasi
Sayangnya di revolusi terakhir ini, pelaksanaan demokrasi telah melewatkan koridor penting dalam institusionalisasi kepemimpinan nasional yakni, Pertama, tidak terakomodirnya alternatif kepemimpinan menjelang pemilu 2014 selain diisi wajah-wajah politisi lama yang terbebani sejarah silam yang pahit.
Ini sama fenomenanya dengan pemilu 2009 lalu di mana Mahkamah Konsitusi menetapkan parpol sebagai satu-satunya embrio organik politisi. Itu sebabnya out put pemilu 2009 gagal menunjukkan profetisme politiknya, di mana pemain-pemain politik hanyalah hasil political laundry dari sisa-sisa elit lama yang mereinkarnasi dirinya secara lebih populis. Termasuk diuntungkan oleh modernya pencitraan politik yang dikemas dengan berbagai survei.
Kedua, gagalnya bagi kepemimpinan muda (main political leadhersihip) untuk mengisi kognisi kepemimpinan nasional yang ditandai maraknya korupsi seperti kasus gayus, Nazaruddin maupun rekening gendut PNS Muda yang setidaknya didukung oleh dua kekuatan konspiratif-pragmatis yakni jaringan dan finansial. Ironisnya kekuatan tersebut terinstitusionalisasi dalam riwayat partai politik yang dis-orientasi dan mengalami kelumpuhan ideologi.
Maka meski Indonesia sudah berada di panggung demokrasi terbuka selama belasan tahun namun karakter ideologi demokrasi kita masih tertutup (closed ideology) sehingga gagal membuka kemungkinan dan alternatif mengelola sirkulasi kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Dua hal inilah yang mendefisitkan seluruh pekerjaan demokrasi bangsa ini di tengah maraknya para politisi mencari dan menumpang ‘gelar dan identitasnya’.
Semoga gugatan itu terus menginspirasi kepemimpinan saat ini untuk memelihara komitmen dan pengorbanan memajukan kepentingan rakyat yang salah satunya dengan berani mati untuk melawan musuh bersama: korupsi.***
Penulis, Dosen FISIP, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Indonesia, merupakan sebuah etalase kekhawatiran paling telak untuk menjelaskan feneomena di atas ketika revolusi demokrasi sejak tumbangnya Orde Baru justeru menuai paradoks lanjutan. Kematian rezim Soeharto di satu sisi memberikan kepastian pada jalan baru demokrasi namun di sisi lain kapasitas untuk itu tidak tersedia bahkan kian meretas pesimisme baru berikut, apakah konsolidasi demokrasi yang ditempuh lewat pemilu yang sudah tiga kali di era reformasi bisa memberikan sebuah perubahan politik?
Kekecewaaan publik pada demokrasi yang dijalankan tidak secara matang memang bukan monopoli Indonesia. Negara-negara di Amerika Latin (Kolombia, Equador, Venezuela, Argentina) bahkan dengan politisi sayap kirinya pun, mempraktekkan demokrasi yang masih amat superficial (Ellen Wood, 1996; Hollinger, 1996; Bowles & Gintis, 1987). Demokrasi yang mempopulerkan keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan cumalah sloganisme siang bolong yang mengisi ruang hampa fatalisme rakyat setelah dilibas krisis sebelumnya.
Politik Titular
Apa pun bentuk dan kekurangannya, demokrasi dalam perspektif konsolidasi yang sedang kita jalani setidaknya diharapkan memberi solusi bagi kedangkalan demokrasi yang menempatkan siprit dan visi bangsa sebagai kekuatan moral. Hanya saja sebelum itu tercapai, kita sekonyong-konyong diperhadapkan musim semi pengelolaan politik-kekuasaan titular.
Istilah ini penulis pakai untuk disandangkan di bahu elit-elit politik kita yang pintar memanfaatkan kata demokrasi dan kebebasan untuk membereskan kepentingan pribadinya dan kelompoknya, jauh dari langgam demokrat tulen.
Bayangkan, dalam dalam satu dekade lebih otonomi daerah ini, kita asyik mengisi kognisi publik dengan logika, kita tak kekurangan demokrat. Dengan desentralisasi kekuasaan diniscayakan munculnya para elit lokal yang memahami dan mampu menjelaskan otonomi politik secara nyata ke tengah masyarakat. Nyatanya sejumlah friksilah yang dituai baik itu dalam rupa otonomi yang kebablasan dan makin banalnya praktek korupsi.
Kita menyaksikan bagaimana NKRI ini perlahan-lahan dikoyaki hasrat binal korupsi yang melanda hampir seluruh pejabat di berbagai institusi yang gagal menempatkan aspirasi masyarakat sebagai dasar konstitusi. Belum lagi ritual kekerasan bertameng etnis, agama, bisnis-kepentingan di daerah yang mengangkangi prinsip Indonesia yang satu.
Pada dasarnya, demokrasi bukan saja dijadikan sebagai sesuatu yang bebas nilai namun juga telah diterjemahkan menjadi proyek pragmatis yang bisa mematikan seluruh harapan substansial berdemokrasi di tangan para politisi titular tersebut.
Pada kerisauan ini, kita patut menyesalkan bahwa ada yang terpenggal dan tertunggak dari pelaksanaan tahap dua revolusi demokrasi ini. Meminjam istilah Fadjroel Rachman, tahap pertama revolusi demokrasi adalah saat tumbangnya kekuatan orde baru dan tahap revolusi kedua merupakan momentum paling strategis dalam mengonsolidasikan politik kekuasaan ke dalam agenda dan praksis yang terinternalisasi sebagai budaya kekuasaan yang terukur. Baik dalam komitmen maupun cita-cita hingga kinerja nyata.
Defisit Demokrasi
Sayangnya di revolusi terakhir ini, pelaksanaan demokrasi telah melewatkan koridor penting dalam institusionalisasi kepemimpinan nasional yakni, Pertama, tidak terakomodirnya alternatif kepemimpinan menjelang pemilu 2014 selain diisi wajah-wajah politisi lama yang terbebani sejarah silam yang pahit.
Ini sama fenomenanya dengan pemilu 2009 lalu di mana Mahkamah Konsitusi menetapkan parpol sebagai satu-satunya embrio organik politisi. Itu sebabnya out put pemilu 2009 gagal menunjukkan profetisme politiknya, di mana pemain-pemain politik hanyalah hasil political laundry dari sisa-sisa elit lama yang mereinkarnasi dirinya secara lebih populis. Termasuk diuntungkan oleh modernya pencitraan politik yang dikemas dengan berbagai survei.
Kedua, gagalnya bagi kepemimpinan muda (main political leadhersihip) untuk mengisi kognisi kepemimpinan nasional yang ditandai maraknya korupsi seperti kasus gayus, Nazaruddin maupun rekening gendut PNS Muda yang setidaknya didukung oleh dua kekuatan konspiratif-pragmatis yakni jaringan dan finansial. Ironisnya kekuatan tersebut terinstitusionalisasi dalam riwayat partai politik yang dis-orientasi dan mengalami kelumpuhan ideologi.
Maka meski Indonesia sudah berada di panggung demokrasi terbuka selama belasan tahun namun karakter ideologi demokrasi kita masih tertutup (closed ideology) sehingga gagal membuka kemungkinan dan alternatif mengelola sirkulasi kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Dua hal inilah yang mendefisitkan seluruh pekerjaan demokrasi bangsa ini di tengah maraknya para politisi mencari dan menumpang ‘gelar dan identitasnya’.
Semoga gugatan itu terus menginspirasi kepemimpinan saat ini untuk memelihara komitmen dan pengorbanan memajukan kepentingan rakyat yang salah satunya dengan berani mati untuk melawan musuh bersama: korupsi.***
Penulis, Dosen FISIP, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Senin, 05 Des 2011 07:55 WIB
Kamis, 01 Des 2011 16:31 WIB
Sabtu, 26 Nov 2011 06:37 WIB
Selasa, 25 Okt 2011 00:49 WIB
Minggu, 09 Okt 2011 04:00 WIB
Sabtu, 17 Sep 2011 06:46 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar