Menguak Konspirasi Jahat AS Terhadap Indonesia,
Tentang Virus Flu Burung (H5N1)
Posted on Februari 4, 2012
Menguak Konspirasi
Jahat AS Terhadap Menteri Kesehatan Indonesia, Tentang Virus Flu
Burung (H5N1)
“Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan
peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia
menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu. Majalah The Economist
London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam
menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.”
Pada tahun 2005-2009 lalu, Menteri
Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah World Health Organization
(WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah berhasil menguak konspirasi AS
dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus
flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan
menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin
lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk
Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudulSaatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia,
Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judulIt’s Time for the World to Change.
Konspirasi tersebut, kata Fadilah,
dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada
penyebaran virus flu burung.
“Saya mengira mereka mencari keuntungan
dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah
kepada Persda Network di Jakarta.
Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan,
Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari
penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.
Karena itu pula, bukunya dalam versi
bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. “Kegerahan” itu saya tidak
tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan.”
“Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi
juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO,
lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada, kita sudah kaya,” ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana
bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia
maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
“Saat ini banyak yang meminta, jadi
dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau
cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini saya sedang
mencari dan membicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
Selain mencetak ulang bukunya, perempuan
kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
“Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu
akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan
58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk
kelontongan”, ujarnya.
“Virus yang saya kirimkan dari Indonesia
diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia
dari kalangan perempuan ini.
Siti enggan berkomentar tentang
permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari
peredaran.
“Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa
Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi
dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan,
tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan
militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku
setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan apapun komentar
pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara
protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO
sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50
tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban
tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai
tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu
burung.
“Menteri Kesehatan Indonesia itu telah
memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat
ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis
The Economist.
The Economist,
seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai,
Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam.
Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat
tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu
burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melaluiWHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong
memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah.
Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya
ternyata sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia
terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal
itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit
virus.
Dari
bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat
vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya,
yang tak terkena flu burung.
Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara
korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan,
harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas
dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN)
WHO.
Badan ini sangat berkuasa dan telah
menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110
negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu
menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin!
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah
kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO.
Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS.
Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak
diketahui. Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah
duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau
senjata kimia?
Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia
minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya
dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus
2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak
ketertutupan Los Alamos, telah memujinya!
Majalah The
Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi
transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar
mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi
Pentagon.
Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus
berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga terus melawan dengan cara tidak
lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu
mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski
Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya
dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO
akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan
GISN dihapuskan.
Jejak Chemtrail di
langit Jakarta
Jejak-jejak kimia berupa asap “tak alamiah” dari kondensasi pesawat berupa awan
memanjang (chemical trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang
juga berisi aerosol bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan.
Chemtrails sering disemprotkan di atas langit Jakarta untuk
“mempersiapkan” warga Jakarta dan sekitarnya “menerima” virus flu burung (H5N1)
yang telah dimodifikasi. Bagaimana kelanjutannya? Silahkan baca: Depopulasi
Dunia: Pesawat Semprot Zat Kimia Berupa “Chemtrails” di Angkasa (The Economist/icc.wp.com)\
http://indocropcircles.wordpress.com/2012/02/04/menguak-konspirasi-jahat-as-tentang-virus-flu-burung-h5n1/
Tentang Virus Flu Burung (H5N1)
Posted on Februari 4, 2012
Menguak Konspirasi
Jahat AS Terhadap Menteri Kesehatan Indonesia, Tentang Virus Flu
Burung (H5N1)
“Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan
peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia
menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman itu. Majalah The Economist
London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam
menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.”
Pada tahun 2005-2009 lalu, Menteri
Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah World Health Organization
(WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah berhasil menguak konspirasi AS
dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus
flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan
menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin
lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk
Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudulSaatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia,
Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judulIt’s Time for the World to Change.
Konspirasi tersebut, kata Fadilah,
dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada
penyebaran virus flu burung.
“Saya mengira mereka mencari keuntungan
dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah
kepada Persda Network di Jakarta.
Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan,
Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari
penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.
Karena itu pula, bukunya dalam versi
bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. “Kegerahan” itu saya tidak
tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan.”
“Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi
juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO,
lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada, kita sudah kaya,” ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana
bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia
maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
“Saat ini banyak yang meminta, jadi
dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau
cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini saya sedang
mencari dan membicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
Selain mencetak ulang bukunya, perempuan
kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
“Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu
akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan
58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk
kelontongan”, ujarnya.
“Virus yang saya kirimkan dari Indonesia
diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia
dari kalangan perempuan ini.
Siti enggan berkomentar tentang
permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari
peredaran.
“Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa
Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi
dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan,
tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan
militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku
setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan apapun komentar
pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara
protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO
sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50
tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban
tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai
tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu
burung.
“Menteri Kesehatan Indonesia itu telah
memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat
ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis
The Economist.
The Economist,
seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai,
Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam.
Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat
tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu
burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melaluiWHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong
memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah.
Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya
ternyata sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia
terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal
itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit
virus.
Dari
bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat
vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya,
yang tak terkena flu burung.
Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara
korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan,
harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas
dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN)
WHO.
Badan ini sangat berkuasa dan telah
menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110
negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu
menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin!
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah
kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO.
Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS.
Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak
diketahui. Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah
duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau
senjata kimia?
Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia
minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya
dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus
2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak
ketertutupan Los Alamos, telah memujinya!
Majalah The
Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi
transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar
mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi
Pentagon.
Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus
berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga terus melawan dengan cara tidak
lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu
mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski
Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya
dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO
akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan
GISN dihapuskan.
Jejak Chemtrail di
langit Jakarta
Jejak-jejak kimia berupa asap “tak alamiah” dari kondensasi pesawat berupa awan
memanjang (chemical trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang
juga berisi aerosol bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan.
Chemtrails sering disemprotkan di atas langit Jakarta untuk
“mempersiapkan” warga Jakarta dan sekitarnya “menerima” virus flu burung (H5N1)
yang telah dimodifikasi. Bagaimana kelanjutannya? Silahkan baca: Depopulasi
Dunia: Pesawat Semprot Zat Kimia Berupa “Chemtrails” di Angkasa (The Economist/icc.wp.com)\
http://indocropcircles.wordpress.com/2012/02/04/menguak-konspirasi-jahat-as-tentang-virus-flu-burung-h5n1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar