OBITUARIIn Memoriam Ahmad Supardi Adiwijaya
Oleh Bonnie Triyana Minggu, 12 Februari 2012 , 07:02:00 WIB
A. SUPARDI ADIWIJAYA/RMOL
|
Sukarno memberangkatkannya, Soeharto menghalanginya. Kini dia berpulang untuk selamanya.
INGATAN saya melayang kembali ke empat tahun lampau, pada suatu hari di bulan Februari. Seorang pria tua bertopi menjemput di stasiun Hoofddorp. Tak sepadan dengan usianya, dia tampak masih enerjik. “Buat apa bapak jemput saya di sini? Saya bisa ke Zaandam sendiri,” kata saya. “Ah.. Bung kan tamu, harus saya layani,” balas pria itu sambil menepuk pundak saya seraya menggiring masuk ke ruang tunggu peron. Berlindung dari terpaan angin musim semi yang masih dingin menusuk. Tak lama, kereta datang. Kami duduk saling berhadapan. Dia bicara tentang masa lalunya yang tak putus sampai kereta tiba di stasiun tujuan.
“Biar bung saya bonceng. Biar gini-gini juga saya masih kuat balap lari dengan bung,” kata dia mempersilahkan saya menaiki sepeda jengkinya. Setahun kemudian dia cerita sepeda itu hilang dicuri kendati sudah digembok dobel. Lelaki itu mulai menggenjot sepedanya dengan barang muatan seorang pemuda plus tas ransel di punggungnya. Mungkin setara empat karung beras, tapi sepeda terus melesat.
Ahmad Supardi Adiwijaya, demikian nama lelaki yang selalu berdandan necis itu. Keberadaannya di Belanda punya riwayat panjang. Sebuah riwayat yang baru saja ditutup seiring kematiannya kemarin, Jumat (10/2) di Belanda. Pak Pardi, demikian saya memanggilnya, terkena serangan jantung saat bermain bulutangkis pada Minggu (5/2). Sempat dirawat dalam keadaan koma selama sepekan namun fisiknya tak lagi sekuat empat tahun lalu, saat memboceng “empat karung beras” tiba selamat sampai di rumahnya.
Supardi tak pernah bermimpi hidup di luar negeri. Tapi jalan hidup berkata lain. Dia, bersama banyak pemuda Indonesia terpilih lainnya, berangkat ke Uni Soviet sebagai mahasiswa ikatan dinas (Mahid) pada Agustus 1962. Sebelum berangkat, Supardi masih berstatus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Moskow yang dingin bersalju tak menurunkan elannya. Menjadi sarjana ekonomi dan bekerja di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) adalah cita-cita Supardi kelak. Dalam benaknya terbayang bahwa Indonesia adalah seumpama lahan subur yang terbentang luas dan memerlukan tenaga pemuda untuk menggarapnya.
Sebagai mahid, Supardi menerima tunjangan sebesar 90 rubel per bulan. Berdasarkan perjanjian dengan Kementerian PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) yang memberangkatkannya, setiap mahid (sejak tahun 1962) diberi tunjangan oleh pemerintah Indonesia setiap tahun untuk “uang pakaian” sebesar 125 US Dollar. Sedangkan beasiswa lainnya diberikan oleh pemerintah Uni Soviet sebagai wujud persahabatan. Berbekal uang itu Supardi bisa hidup sederhana dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Biaya kamar, kegiatan olahraga, buku-buku dan semua keperluan studi sepenuhnya ditanggung universitas alias gratis.
Pada saat kuliah, Supardi aktif mengikuti banyak kegiatan, mulai musik sampai olahraga. Dia belajar main drum agar bisa aktif dalam pertunjukan kesenian. Dalam bidang olahraga dia pun lihai bermain bulutangkis. Di luar kuliah, Supardi tergabung sebagai anggota Gerakan Pembela Ajaran Soekarno (Gepas). Organisasi mahasiswa nasional Indonesia yang berada di Uni Soviet itu menahbiskan diri sebagai pengikut ajaran Soekarno.
Pada 1 Oktober 1965, saat Supardi berada di pengujung masa studinya, dia mendengar berita dari radio tentang gerakan Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol. Untung di Jakarta. Supardi mengambil sikap mengutuk gerakan itu seraya tetap mendukung kepemimpinan Presiden Soekarno. Prinsip yang dipegangnya adalah perjanjian sebagai Mahid sebelum berangkat: akan tetap setia kepada Kepala Negara Republik Indonesia.
Keyakinan Supardi ternyata berpengaruh pada jalan hidupnya di kemudian hari. Soekarno dilengserkan secara perlahan oleh Soeharto. Seketika pula semua hal yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarno ditetapkan musuh utama Orde Baru. Tidak ada tempat bagi pendukung Soekarno.
Soeharto yang perlahan tapi pasti menduduki kekuasaan mulai melakukan konsolidasi. Kepada mereka yang berada di luar negeri, baik yang menduduki kedutaan besar maupun mahasiswa diberikan dua pilihan: mendukung Soeharto atau tidak. Bagi mereka yang mendukung selalu tersedia “tiket” untuk kembali pulang dengan aman. Sedangkan yang tak memberikan pilihannya pada kekuasaan Soeharto, tak ada pilihan lain kecuali bertahan di negeri rantau.
Supardi, seperti yang ia yakini sejak awal, tetap mendukung Soekarno. Bagi dia presiden Republik Indonesia yang resmi tetaplah Soekarno. Konsekuensi logis yang harus diterimanya adalah hidup jauh dari tanah air, tanpa mengetahui kapan bisa kembali menjejakkan kaki di tanah air.
Waktu terus bergulir. Harapan pulang dan kerinduan pada keluarga di kampung halaman tetap ada dalam benak Supardi. Sekali pun belakangan, disadarinya kalau itu ilusi belaka. Namun Supardi harus tetap bertahan pada keadaan yang dihadapinya. Layar telah terkembang, pantang perahu berlabuh pulang sebelum hasil boleh didulang. Pada 1967 Supardi berhasil meraih gelar master ekonomi dari Universitas Lumumba dan melanjutkan studinya ke jenjang doktoral di Universitas Negara Lomonosov. Pada masa kuliah doktor, dia memutuskan menikahi gadis Rusia, Tatiana, 25 Maret 1971.
“Saya melanjutkan pendidikan doktoral saya dalam bidang sejarah di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Negara Lomonosov. Jadi saya ini pemegang gelar Ph.D sejarah lho,” ujarnya sembari menunjukkan ijazah doktornya kepada saya saat bertandang ke rumahnya empat tahun lalu.
Pada 1975 Supardi berhasil jadi doktor. Bidangnya masih jarang ditemui di Indonesia: sejarah ekonomi. Disertasinya pun “mengerikan” untuk zamannya: “Persatuan Kaum Progresif Indonesia- Syarat Penting (untuk) Pencapaian Demokrasi dan Kemerdekaan Penuh (1959-1965)”. Berbekal doktor dalam kajian sejarah, Supardi melamar pekerjaan di Institute Oriental Studies, Moskow. Di sana dia bekerja sebagai pegawai bagian informasi ilmiah sejak tahun 1976 sampai dengan 1990.
Pada akhir tahun 1970-an, Supardi datang ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow untuk mengajukan permintaan mendapatkan izin pulang ke tanah air. Sesuai dengan prosedur yang ada di KBRI, Supardi mengisi formulir pendaftaran. Izin tak berbalas. Sepuluh tahun masa penantian sia-sia belaka. Supardi gagal pulang dan berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesia.
Pada 1989 ribuan rakyat Jerman Timur dan Barat berbondong-bondong menghancurkan tembok yang memisahkan mereka selama bertahun-tahun. Hancurnya tembok Berlin lambang keruntuhan komunisme di dunia. Perubahan yang diawali dari runtuhnya tembok Berlin menjalar ke Eropa Timur. Lambat laun gelombang perubahan pun menerpa Uni Soviet.
Mikhail Gorbachev mengumumkan kebijakan Glasnost dan Prestroika, dentang awal hadirnya kebebasan keterbukaan di seantero jagad Uni Soviet. Peluru kendali berhulu ledak nuklir milik Uni Soviet tak lagi diarahkan ke Amerika Serikat. Usai sudah perang dingin yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Sementara keadaan di Uni Soviet berubah dengan cepatnya, pada Mei 1990 Supardi bersama keluarganya memutuskan meninggalkan Uni Soviet menuju Belanda sebagai pencari suaka politik.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pada 1991 pemerintah Belanda menolak memberikan suaka politik kepadanya dengan alasan bukan orang komunis yang dikejar-kejar pemerintah Orde Baru. Berkat kegigihan dan bantuan “Stichting Vluchtelingen Werk” dan juga bantuan Rita Jongelingen, seorang Indonesianis yang humanis, Supardi dan keluarganya mendapat status A (kategori yang disandangkan kepada para pelarian politik).
Akhir tahun 1993, Supardi dan keluarganya memperoleh izin tinggal dari pemerintah Belanda. Untuk menopang hidup seorang istri dan empat anaknya, pada 1994 hingga 1997 Supardi bekerja di Holland Parcel Express, sebuah perusahan kurir di Amsterdam. Meski tak dapat uang pensiun (mengingat masa kerja yang sangat singkat), Supardi tetap bisa menikmati masa pensiunnya sebagai warganegara Belanda dengan jaminan sosial dari pemerintah.
Untuk mengisi masa pensiun dan menyalurkan hobi menulisnya, Supardi menjadi koresponden untuk situ berita Rakyat Merdeka Onlinedi Jakarta. Status sebagai wartawan membuatnya luwes bergerak dan menjangkau berbagai tokoh. Seringkali flat Supardi yang sederhana itu menjadi tempat persinggahan kolega Indonesianya yang datang dari berbagai latar belakang profesi: mulai diplomat sampai dengan wartawan. Satu hal yang terus diperjuangkan olehnya saat itu adalah mendapatkan kembali status warganegara Indonesia. “Paling tidak untuk anak-anak saya,” kata dia.
Supardi mencintai Indonesia sepenuh hati dan dia ingin keempat anaknya memiliki kecintaan yang sama pada negeri asal ayah mereka. “Agustina anak saya, itu pandai menari Bali lho,” katanya sembari menunjukkan foto anaknya. Untuk berkomunikasi dengan keempat anaknya Supardi menggunakan tiga bahasa sekaligus: Rusia, Indonesia dan Belanda.
Pada 2007, sepulangnya dari Belanda, saya sempat menulis sebuah feature panjang mengenai kehidupan warga Indonesia yang mendapat suaka politik di Belanda. Salah satunya tentang Supardi. Lucunya, ternyata dia pun menulis dua serial artikel mengenai diri saya yang dimuat di koran Rakyat Merdeka. Mungkin begitulah kalau dua wartawan bertemu, saling bicara, saling mendengar, saling mencatat dan hasilnya: sebuah kisah. Berbulan kemudian Supardi mengabarkan kepada saya kalau salah seorang anaknya telah memperoleh paspor Indonesia. Belakangan saya dapat kabar kalau Supardi pun sudah kembali punya paspor berlambang garuda.
Pada Oktober 2010, saya masih sempat bertemu dengannya di Amsterdam. Saat itu saya diundang untuk bicara pada sebuah diskusi mengenai sejarah Indonesia di rumah Mintardjo di Oestgeest, Leiden. Sama seperti Supardi, Mintardjo pun orang Indonesia yang jadi eksil. Waktu itu Supardi menawarkan agar kami, yang mau pergi ke Leiden, tak perlu naik kereta. “Naik mobil saya saja, saya ke Zaandam dulu. Ambil mobil. Kalian tunggu di sini,” kata dia sambil berlari gesit. Tak lama kemudian sebuah mobil sedan tua datang. Kami bersama pergi ke Leiden. Supardi menyetir mobil. Saya dan tiga kawan, menumpang. Tak dinyana itu pertemuan terakhir. Dia wafat pada sebuah laga, menyerah pada takdir hidup untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Pak Pardi. Selamat jalan, sahabat!! [***]
Penulis adalah sejarawan tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar