http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/mouloudji.html
Mouloudji
Untuk kawan-kawan saya, F.S., M.F., dan R.K.
Windu W. Jusuf
SAYA bayangkan laki-laki Arab berwajah murung itu duduk di pojok sebuah kamar siaran radio. Hari itu Dien Bien Phu, satu daerah di Indochina, diserbu oleh militer Prancis dari segala penjuru. Dalam waktu yang berdekatan, Prancis mengirim pasukannya ke Aljazair untuk ‘membersihkan ekstremis’—dan kita pun tahu, negeri-negeri yang diserbu ini di kemudian hari merdeka melalui perjuangan yang berdarah-darah. Dua agresi tersebut menuai protes dari sejumlah kalangan, yang awalnya terdengar sayup-sayup karena sensor pers.
Marcel Mouloudji nama pria Arab itu. Di radio nasional Prancis, ia menyanyikan satu lagu protes yang kemudian tersohor, ‘Desertir’ (‘Le Déserteur’) yang ditulis oleh Boris Vian, karibnya sesama musisi. Tak lama setelah diputar ‘Desertir’ pun kena cekal, tidak boleh dimainkan di radio maupun di muka khalayak hingga sepuluh tahun kemudian. Karir Mouloudji sendiri sempat mandeg. Apa lacur, di kalangan musisi ‘Desertir’ telah tersebar. Pada biduan dan biduanita dunia yang membenci perang lekas-lekas menyadurnya ke dalam bahasa masing-masing.
Lirik ‘Desertir’ sebenarnya sederhana saja.
Tuan Presiden
Kukirimkan sepucuk surat
Mungkin Anda akan membacanya
Di saat senggang.
Kukirimkan sepucuk surat
Mungkin Anda akan membacanya
Di saat senggang.
Baru saja kuterima
Surat panggilan tugas
Untuk bersiap ke garis depan
Sebelum Rabu malam
Surat panggilan tugas
Untuk bersiap ke garis depan
Sebelum Rabu malam
Mouloudji, penyanyi blasteran Prancis-Aljazair, memang tidak tinggal di tanah jajahan. Ia lahir dan besar di Paris. Karirnya mencuat dari pengamen di kedai-kedai minum di distrik mesum Belleville ke dapur rekaman. Ia, yang juga anggota Partai Komunis, boleh jadi tak sempat menyaksikan kemelaratan, rasisme, dan kebrutalan polisi di tanah kelahiran bapaknya. Namun tiap orang Aljazair agaknya tahu peristiwa bulan Mei 1945: ketika warga Paris tengah merayakan kekalahan Jerman, ratusan orang yang berpawai merayakan peristiwa yang sama di koloni dibantai militer Prancis. Alasannya: mereka membawa bendera nasionalis Aljazair.
Dalam ‘Desertir’: Aku tak sudi membantai orang-orang miskin itu/kuputuskan untuk desersi.
Barangkali yang membuat lagu itu kuat bukan liriknya yang menyebut-nyebut kekejian terhadap kaum papa, mungkin juga bukan karena ‘Desertir’ keluar dari mulut Mouloudji, yang sebagai keturunan orang jajahan seringkali dianggap warga kelas dua. Memang ada baris-baris eksplisit seperti: ‘Sejak aku lahir/tlah kusaksikan ayahku mati/kusaksikan abang-abangku minggat/anak-anakku menangis’ atau ‘Dalam kuburnya/ibuku menertawai bom/menertawai cacing-cacing.’ Tapi bukan itu intinya.
Khalayak luas mengenal ‘Desertir’ sebagai bagian dari tradisi complainte, tembang keluhan, lagu cengeng. Lain dari ‘Desertir,’ ada banyak sekali keluhan yang dilantunkan Mouloudji: ‘Keluhan dari bukit,’ ‘Keluhan si Kafir,’ ‘Keluhan si Partisan.’ Dalam sejarahnya, complainte lahir dari syair-syair lisan para trubadur yang mengiringi prajurit-prajurit rendahan zaman kuno. Tema liriknya seputar jauh dari rumah, rindu istri, keinginan cepat pulang dan kembali berladang, kesepian, kebosanan di barak, dan seterusnya. Melodinya mirip-mirip. Mungkin inilah yang membuat ‘Desertir’ begitu sensitif di telinga penguasa: ia berbicara dari kacamata seorang tentara rendahan yang sehari-harinya diplonco para komandan-kariris. Malah, martabat sang desertir justru nampak ketika ia menampik perintah dan rela menebusnya dengan nyawa.
Kalau kau memburuku
beri tahu polisi-polisimu
‘Aku tak bersenjata’
biar mereka gampang membedilku.
beri tahu polisi-polisimu
‘Aku tak bersenjata’
biar mereka gampang membedilku.
Protes kecil Mouloudji di radio nasional tidak percuma. Di tahun-tahun setelahnya ada banyak tentara yang desersi, melawan atasan yang memerintahkan penyiksaan atas tahanan, atau sekadar memberikan ransumnya ke laskar musuh. Jumlahnya kian bertambah. Beberapa merasa bahwa perang ini sia-sia; orang Aljazair sudah saatnya merdeka. Beberapa yang lainnya mulai menyamakan serbuan ke koloni, ke Aljazir dan Indochina, dengan invasi Nazi ke tanah air mereka.
Di zaman perang yang sama, sutradara kiri Jean-Luc Godard merilis Serdadu Kecil, yang sempat juga dilarang beredar. Serdadu Kecil menuturkan kisah Bruno, agen rahasia Prancis yang ditugaskan memata-matai FLN, organisasi pro-kemerdekaan Aljazair di Swiss. Di tengah cerita, ia jatuh hati pada Veronica, seorang perempuan muda yang ternyata adalah simpatisan FLN. Jatuh ke kandang macan, Bruno disiksa habis oleh militan FLN. Konon Serdadu Kecil tidak dilarang karena memuat adegan-adegan kekerasan yang eksplisit. Ia dilarang karena menampilkan sosok aparat negara yang lemah, yang hatinya gampang luluh oleh gadis di kubu musuh dan—di akhir cerita—kecewa berat lantaran sang gadis disiksa sampai mati oleh kawan-kawannya sendiri.
Jauh sebelum tahun-tahun itu, agaknya orang kiri di sana paham benar cara menangkap keresahan sehari-hari tentara rendahan, lalu memanfaatkannya sebagai bahan kampanye anti-militeris. Roman Perjalanan ke Ujung Malam terbit di tahun 1930-an, ketika Hitler merebut kekuasaan di Jerman. Jangan kira karya ini ditulis orang kiri; sebaliknya, ia lahir dari pengalaman Louis Ferdinand Céline, seorang penulis ultra-kanan dan anti-semit. Dalam roman biografis tersebut, tokoh utamanya, Ferdinand Bardamu, dikisahkan masuk militer bukan karena ‘nurani kebangsaan’ dan hal-hal semacamnya. Ia mendaftar karena ingin membuat orangtuanya kesal, karena darah muda. Bardamu harus menunggu agak lama untuk turun ke parit-parit Perang Dunia I yang legendaris itu. Namun begitu terjun ke garis depan dan menyaksikan kolonelnya mati dengan usus terburai, Bardamu langsung kecut hati. Ia mundur teratur dan akhirnya desersi. Orang kiri—juga banyak veteran perang—menyambut baik Perjalanan ke Ujung Malam,‘mengkooptasinya’ sebagai sastra anti-militeris, untuk membendung sentimen fasis yang mulai tumbuh di Prancis. Ironisnya, kaum ultra-kanan menyambut dingin novel ini. Bagi mereka, Céline melangkah terlalu jauh: bahasanya jauh dari sastra adilihung, jorok, karakter-karakternya bejat, dan akhirnya bunuh-membunuh di medan perang jadi perkara yang murni banal—bukan demi negara.
Barangkali ‘Jiwa Korsa’—dan segala mitos ksatria yang senantiasa dihembus-hembuskan para Mafia Magelang—bisa ditampik dengan cara yang sama. Saya pesimis, tapi sudah adakah yang mencobanya?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar