Minggu, 07 Agustus 2011 , 04:27:00 WIB
RMOL.Anggota parlemen Inggris yang memfasilitasi konferensi International Parliamentary for West Papua (IPWP) untuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai melakukan tindakan tidak sopan.
“Pemerintah harus bersikap tegas. Sebab, mereka menyerukan diadakannya referendum di Papua dan mengatakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 tidak sah,” tegas Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Hasanuddin, tindakan IPWP tidak bijak. Sebab, tuntutannya itu masuk ranah politik. Tidak boleh pihak asing mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Pepera tahun 1969, lanjutnya, bagi Indonesia sudah selesai. Sebab, telah disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Berikut kutipan selengkapnya;
Apa yang perlu dilakukan?
Pemerintah harus bersikap tegas. Ini persoalan internal Indonesia. Lakukan protes. Sebab bila tidak diprotes, apa yang mereka lakukan dianggap benar.
Kami sebagai anggota parlemen Indonesia, tidak pernah mencampuri masalah Irlandia Utara. Kami sangat menghormati sikap negara lain.
Lagipula pemerintah tidak tinggal diam terhadap masalah di Papua.
Tapi harus lebih sigap lagi demi kepentingan masyarakat Papua.
Bagaimana bentuk protesnya, apa perlu disampaikan langsung ke parlemen Inggris?
Penyampaian protesnya dapat dilakukan lewat media massa. Soal apa perlu memanggil pihak Dubes Inggris, itu tergantung sikap pemerintah kita. Yang jelas, pihak KBRI di Inggris harus menjelaskan duduk persoalan di Papua kepada anggota parlemen Inggris yang mendukung referendum.
Apa perlu melakukan operasi kontra intelijen?
Saya rasa tidak perlu dilakukan. Dekati saja anggota parlemen Inggris itu. Lalu jelaskan situasi sebenarnya di Papua. Kita tidak perlu menutup-nutupi permasalahan dan segera mencari solusinya.
Kenapa sih masalah ini tak kunjung selesai?
Beberapa waktu lalu, LIPI menyampaikan empat poin substansial yang menjadi masalah di Papua. Pertama, adanya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap penduduk asli Papua, baik secara langsung atau tidak langsung. Kedua, kegagalan pemerintah dalam menjalankan Otonomi Khusus (Otsus), terutama kegagalan di bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Ketiga, adanya perbedaan persepsi mengenai sejarah tanah Papua. Padahal keberadaan Papua di Indonesia sudah final di mata dunia internasional. Keempat, masih adanya trauma bagi masyarakat Papua terhadap kekerasan yang dilakukan tentara di masa orde baru. Misalnya Operasi Sadar, Operasi Waspada, operasi Baratayudha, Operasi Tumpas dan Operasi Sapu Bersih.
Pemerintah harus bagaimana?
Pemerintah pusat harus duduk bersama dengan tokoh masyarakat Papua untuk mengadakan dialog.
Menyelesaikan masalah jangan menggunakan kekerasan termasuk menggunakan operasi militer.
Dalam hal ini, kedua belah pihak (OPM dan TNI) harus cooling down. Jangan sampai kontak senjata.
Selain itu, kalau perlu kita melakukan revisi undang-undang otonomi khusus. Bentunya seperti apa nanti kita pikirkan, yang jelas kerangkanya tidak keluar dari konsep NKRI.
Bagaimana dengan anggaran yang sering bocor?
Tentu kita harus memperbaiki struktur pemerintahan di sana. Sebab, sejak diberlakukannya Otsus, dana yang diturunkan sekitar Rp 21 triliun.
Dana itu tidak menghasilkan apa-apa karena dari pemeriksaan BPK tahun 2010, sebesar Rp 4,12 triliun dana otsus menguap tidak jelas. Untuk itu, pemerintah pusat harus mengawasi penggunaan dana tersebut secara ketat. [rm]
Baca juga: |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar