Tulisan ini
harus saya mulai dengan paradoks, betapa seorang Sukarno dengan jasa-jasa yang
sulit ditimbang, begitu nista di akhir hidupnya. Demi pertikaian politik, demi
ambisi kekuasaan, ia dibungkam, dilarang berhubungan dengan dunia luar, tidak
mendapat perawatan atas sakitnya secara layak, hingga ajal menjemput.
Pelakunya? Tudingan akan mengarah ke
sosok presiden kedua, Soeharto.
Sekalipun, ia hanya budak atas sebuah konspirasi besar bernama CIA dan
kepentingan-kepentingan asing yang membawa semangat kapitalisme baru. Apa hanya
Soeharto? Tokoh militer yang mendapatkan semua jabatan dan kemuliaan dari
Presiden Sukarno yang berbuat dzolim? Ada nama-nama lain, seperti A.H. Nasution, dan sejumlah nama yang
kemudian moncer di saat Orde Baru lahir. Bahkan kemudian ikut menikmati
kekuasaan itu untuk waktu yang lama.
Situasi di
atas sangat berbeda dengan teladan yang Bung Karno wariskan sebagai seorang
negarawan. Bung Karno, dengan kekuasaannya, pasca 1959, bahkan meninjau kembali
kebijaksanaan berbagai tindakan keamanan yang pernah diambil oleh aparat
keamanan, demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Berikut adalah beberapa
peristiwa atau contoh, teladan Bung Karno sebagai seorang negarawan sejati.
Pertama, pemberontakan PRRI/PERMESTA. Para pelakunya memperoleh pengampunan
umum, meski mereka telah melakukan tindakan makar dengan memberontak dan
membentuk pemerintahan tandingan di Padang dengan bantuan persenjataan dari
Amerika Serikat. Bantuan itu tidak sebatas dollar, tetapi juga pesawat tebang,
kapal laut, dan alat-alat komunikasi modern.
Pilot Maukar yang memihak PERMESTA, yang memberondong Istana Merdeka
dengan tembakan-tembakan roket (mengarah ke teras belakang tempat biasa Bung
Karno mengadakan coffee morning dengan berbagai kalangan). Maukar toh
diampuni dan dibebaskan dari hukuman. Kemudian Mr Syafruddin Prawiranegara dari Masyumi yang diangkat menjadi
Perdana Menteri PRRI, Letna Kolonel Ahmad
Husen sang proklamator PRRI dan seluruh jajarannya termasuk Moh. Natsir (tokoh Masyumi), semua
direhabilitasi.
Bahkan
terselip kisah, ketika Ahmad Husen
sang proklamator PRRI di kemudian hari (setalah diampuni) bertemu Bung Karno,
sambil menangis ia bersimpuh di hadapan Bung Karno. Bung Karno segera meraih
kedua pundak Ahmad Husen dan mengusap air matanya. “Kamu juga anakku,” kata
Bung Karno lembut.
Contoh kedua, Sutan Sjahrir yang
ditahan karena tuduhan berkomplot hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Ia pun
direhabilitasi dan dianugerahi bintang Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Bahkan
ketika dia sakit dan memerlukan berobat ke Swiss, Bung Karno mengirimnya ke
Swiss untuk berobat atas biaya negara. Kemudian rumah yang ditempatinya di Jl.
Cokroaminoto, Menteng, Jakarta, oleh Bung Karno dihadiahkan kepada istri
Sjahrir.
Contoh ketiga, Tan Malaka. Tokoh
kontroversi. Ia dengan gerakan kirinya, melakukan beberapa petualangan politik
sehingga akhirnya dieksekusi oleh tentara di Jawa Timur di bawah komando
Kolonel Soengkono semasa clash kedua (Negara Dalam Keadaan Perang). Tan Malaka
pun direhabilitasi, dan dengan mempertimbangkan jasa-jasanya sebagai pemimpin
pergerakan Indonesia di masa silam, Tan Malaka dianugerahi tanda jasa sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Ketiga
contoh di atas, hanya untuk menunjukkan betapa besar jiwa Bung Karno, serta
betapa mulia hatinya sebagai seorang pemimpin bangsa. Semua bekas musuh
politik, diampuni. Dalam sudut pandang yang lain kita bisa melihat, mereka
menjadi musuh politik Bung Karno pada situasi tertentu, tetapi bukanlah musuh
abadi.
Benar-benar
tipikal pemimpin sejati. Salah satu cirinya, selain ciri-ciri di atas, adalah
tidak memendam rasa dendam dalam hatinya terhadap siapa pun yang pernah
beroposisi.
Apa itu
penilaian saya yang subjektif? Mungkin. Tapi baiklah, berikut ada sejumlah
testimoni yang bisa mendukung penialain tadi. Pertama dari Zulkifli Loebis. Ia dikenal sebagai bapak Intelijen Indonesia.
Sebagai tokoh intelijen yang pernah terlibat gerakan PRRI dan kemudian diampuni
oleh Bung Karno, suatu hari ia berkata, “Bung Karno betul-betul orang besar
yang sekali tidak ada rasa dendam dalam hatinya. Ajaran-ajarannya haruslah
dipelajari dari generasi ke generasi”.
Tokoh lain, Soebadio Sastrosatomo, seorang tokoh
PSI (Partai Sosialis Indonesia), pun berujar, “Sukarno adalah Indonesia, dan
Indonesia adalah Sukarno”. Para penutur tadi, direkam juga oleh seorang
Sukarnois, Pamoe Rahardjo, eks
laskar PETA yang kemudian berkarier di militer dan pernah menjadi ajudan senior
Bung Karno periode 1946 – 1948. (roso daras)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar