27 Juli 1996: Perjuangan Untuk Demokrasi Sejati!
Rabu, 27 Juli 2011 | 1:38 WIB Editorial
27 Juli 1996: di pagi buta 8 truk militer mengangkut ratusan orang berkaos PDI mendatangi kantor PDI versi Megawati di Jalan Diponegoro. Pada pukul 06 pagi, mereka sudah sampai di depan kantor PDI dan mulai melakukan penyerangan.
Bentrokan pun pecah. Para pendukung Megawati, yang berada di dalam kantor PDI, memberkan perlawanan. Sementara pihak penyerang semakin beringas, apalagi karena didukung oleh polisi dan tentara.
Peristiwa itu dikenang sebagai ‘Tragedi 27 Juli 1996”. Dikisahkan, rejim orde baru yang tidak terima dengan kepemimpinan Megawati, berusaha mempertahankan Suryadi ketua umum lama (Suryadi) dan mengambil paksa kantor pusat partai berlambang banteng itu.Kejadian itu telah menjadi bagian dari catatan kelam rejim orde baru. Ia menceritakan kepada kita dan generasi di masa depan tentang suatu masa dimana tidak ada kehidupan demokrasi. Dan, sejarah juga mengisahkan, upaya untuk memperjuangkan demokrasi telah dilakukan dengan pengorbanan para ‘martir’. Tentu, demokrasi yang diperjuangkan para martir itu adalah demokrasi sejati, bukan demokrasi palsu atau demokrasi borjuis.
15 tahun peristiwa itu berlalu, ingatan kita tidak bisa hanya pada aspek penuntasan pelanggaran HAM-nya (sekalipun itu memang sangat penting), tetapi juga perlu sebuah refleksi antara realitas kehidupan demokrasi saat ini dengan cita-cita para martir di masa perjuangan itu.
Sekarang, kita konon sedang memasuki sebuah situasi demokratis: ada banyak partai politik, ada kebebasan pers, setiap orang bebas mendirikan organisasi atau serikat, setiap orang bebas berpendapat, pemilu berjalan reguler setiap lima tahun, setiap kepala pemerintahan (Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, Kepala Desa) dipilih secara langsung oleh rakyat, dan lain-lain.
Tetapi kita juga menemukan fakta baru: DPR semakin korup, politik uang semakin merajalela, partai politik kian menjauh dari rakyat, kemiskinan bertambah parah, pengangguran di mana-mana, dan martabat bangsa makin terinjak-injak.
Pada kenyataannya, sekalipun sekarang dikatakan ada kebebasan politik dan demokrasi, tetapi partisipasi politik rakyat kian menurun. Mayoritas rakyat telah terlempar keluar dari ruang-ruang pengambilan kebijakan politik. Sekarang, depolitisasi dijalankan tidak dengan kekerasan dan paksa seperti di jaman orde baru, tetapi menggunakan alat lain yang lebih lunak: media massa.
Apakah itu demokrasi yang diperjuangankan para martir itu? Kami rasa tidak begitu. Para martir itu, sebagian besarnya adalah anak-anak dari kalangan miskin dan klas menengah di Indonesia, yang tuntutan mendasarnya adalah adanya perubahan mendasar terhadap kehidupan sosial-ekonomi mereka.
Mereka memerlukan demokrasi, karena berharap bahwa demokrasi bisa menjadi alat untuk memenuhi tuntutan mendasar mereka: pemenuhan kesejahteraan. Logikanya sederhana: ada partisipasi rakyat dalam kehidupan politik, sehingga setiap rumusan kebijakan ekonomi, politik, dan sosial bisa menguntungkan rakyat banyak.
Pada kenyataannya: kebijakan ekonomi-politik masih tetap diputuskan dari atas, oleh segelintir elit berkuasa, tanpa partisipasi rakyat di dalamnya. Bahkan, sebagian besar kebijakan ekonomi-politik itu bisa dipesan oleh pihak asing, sebagaimana terjadi terhadap 70-an Undang-Undang yang dianggap berbau kepentingan asing.Kita harus mengenang kembali semangat dan cita-cita para martir 15 tahun yang lalu itu. Dan, tentu saja, adalah tugas kita untuk membentuk barisan baru, yang lebih panjang, untuk melanjutkan perjuangan itu dan mewujudkan cita-cita mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar